Preambul untuk Diskusi Kajian tentang Surveillance dan Sousveillance
Tanggal 28 Agustus 2001, Mohamad Atta, 33 tahun, seorang siswa sekolah penerbangan berkebangsaan Mesir, berjalan memasuki sebuah kedai kopi Kinko (Kinko’s copy shop) di Hollywood, Florida. Ia lantas duduk di depan sebuah komputer yang terhubung ke dalam internet. Seperti banyak kedai kopi lainnya di kota-kota besar dunia saat ini, Kinko menyediakan komputer dengan akses internet bagi pengunjung yang datang. Atta masuk ke dalam situs Web American Airlines, membuka nomor account frequent-flyer yang telah ditandatanganinya tiga hari sebelumnya, dan memesan dua tiket sekali jalan (one way) kelas satu untuk penerbangan tgl 11 September dari Boston ke Los Angeles. Atta membayar kedua tiket tersebut—salah satunya untuk Abdulaziz Alomari, seorang siswa sekolah penerbangan asal Saudi Arabia yang juga tinggal di Florida—dengan kartu kredit Visa yang belum lama diisunya.
Hari berikutnya, Hamza Alghamdi, orang Saudi Arabia yang juga sedang menempuh latihan untuk jadi seorang pilot, pergi ke Kinko yang sama. Di sana ia menggunakan kartu debit Visa untuk membeli tiket sekali jalan pada penerbangan No. 175 maskapai United Airlines, juga untuk tgl 11 september dari Boston ke Los Angeles. Sehari sesudahnya, Ahmad Alghamdi, saudara Hamza, menggunakan kartu debit yang sama untuk membeli sebuah tiket kelas bisnis, juga untuk penerbangan No. 175; Ia mungkin telah melakukan itu juga dari Kinko Hollywood. Pada kisaran waktu yang sama, 15 orang Arab, beberapa di antaranya adalah siswa sekolah penerbangan, juga membeli tiket California-bound untuk penerbangan yang berangkat pada pagi hari tgl 11 September. Enam dari mereka telah memberikan nomor telepon rumah Atta kepada maskapai penerbangan yang dipesannya sebagai nomor kontak yang bisa dihubungi. Beberapa di antara mereka membayar tiket tadi dengan kartu kredit yang sama. Bahkan ada juga yang menggunakan nomor frequent-flyer yang persis sama.Dalam banyak hal perubahan adalah tirani. Ia membetot siapa pun nyaris tanpa ampun. Mungkin karena itu siapa pun yang memakai jargon perubahan untuk sebuah kampanye politik pantas dicurigai berbakat menjadi penipu rakyatnya. Sekarang segalanya berubah begitu cepat, sehingga kita seperti hidup di bawah tirani kecepatan. Dulu orang membayangkan dan mengasosiasikan pengawasan (surveillance) sebagai manifestasi dari sebuah kontrol otoritarian sebuah rezim kekuasaan totaliter. Rujukan paling terkenal tentu saja adalah tokoh Big Brother yang dipakai George Orwell dalam novel distopian 1984, yang mendepiksikan sebuah kuasa yang omnipresent sekaligus omniscient, ada di mana-mana dan tahu segala, karena ia secara konstan melakukan pengawasan total terhadap seluruh rakyat.
Pengawasan dalam konteks kontrol Big Brother melahirkan kondisi tidak aman bagi rakyat yang diawasi tapi menciptakan rasa aman bagi kekuasaan yang melakukannya. Sekarang pengawasan yang mahateliti tentang subjek-subjek individu manusia modern justru lahir dari kebutuhan subjeknya sendiri akan sebuah rasa aman yang makin langka. Ketika ledakan demi ledakan bom membetot nyali penduduk berbagai kota di dunia, banyak orang yang sekarang mulai bertanya, dalam bahasa Farhad Monjo, apakah Big Brother hanya satu-satunya harapan bagi kita untuk melawan Bin Laden. Dinyatakan dalam cara lain, orang mulai berputar keyakinan bahwa metode melawan terorisme tidak bisa dengan teknik konvensional, melainkan butuh cara-cara inkonvensional.
Pengawasan total(iter) yang semula identik dengan rezim-rezim kuasa opresif totaliter dan ditolak atas nama demokrasi dan kebebasan, itu kini justru berbalik mulai dipertimbangkan sebagai alternatif solusi untuk menjamin rasa aman warga negara. Perlu segera digarisbawahi bahwa yang dipertimbangkan kembali adalah metode pengawasannya, bukan kuasa opresifnya, meskipun dalam praktiknya dua hal tersebut hampir mustahil dipisahkan. Kita seperti menghadapi serangan kritis terhadap pikiran kita sendiri tentang relasi antara rasa aman masing-masing individu vis a vis kekuasaan negara, yang belum sepenuhnya hilang itu, dan kesadaran bahwa kesanggupan melakukan kontrol menyeluruh atas hidup kita sekarang bukan lagi monopoli negara tapi juga firma-firma kapitalis raksasa melalui pemanfaatan teknologi digital, dan bahwa kontrol menyeluruh itu mungkin dibutuhkan justru untuk menjamin rasa aman kita ketika ancaman datang bukan dari manipulasi kekuasaan negara melainkan dari sesama aktor non-negara seperti kelompok-kelompok teroris itu.
Kalau kalimat tersebut terlalu memusingkan, singkatnya begini: semula kita takut bahwa karena kuasa yang mahabesar dan data yang paling lengkap tentang warganya, maka negaralah yang akan mengontrol secara total kehidupan kita. Dalam negara-negara industri maju sebagian dari masyarakatnya bahkan lebih mempercayakan data itu kepada firma-firma komersial. Daripada sebagai warga negara mereka mungkin merasa lebih aman dan nyaman dengan hanya menjadi dari banyak perusahaan yang saling berkompetisi. Dalam kalimat lain, status sebagai konsumen produk perusahaan-perusahaan raksasa sampai batas tertentu lebih sanggup memberi rasa aman daripada status sebagai warga negara. Ini sebenarnya lebih buruk daripada ungkapan lama “keluar dari mulut harimau masuk ke dalam mulut buaya”. Karena firma-firma itu kemudian menjadikan data tentang kita sebagai komoditi yang diperjualbelikan. Dengan kalimat lain, representasi digital kita bisa beredar dari satu pihak ke pihak-pihak lain di luar kesanggupan kontrol kita sendiri, dan bisa digunakan untuk berbagai kepentingan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri kita sendiri. Data personal melepaskan ikatannya dari kontrol personal masing-masing individu, dan karena dalam dunia digital yang real adalah yang tampil dalam bentuk representasi digital maka data tentang diri personal itulah yang justru akan mempengaruhi eksistensi individu-individu yang direpsentasikan olehnya. Yang digital menggantikan yang aktual sebagai acuan yang real.
Tapi belakangan kondisinya mulai berbalik. Berhadapan dengan ancaman yang langsung membayakan jiwa manusia warga negara, tidak satu pun dari firma-firma itu yang memiliki kesanggupan untuk menghadapinya. Para pelaku teror bersenjata tidak mungkin dihadapi oleh Google, Microsoft atau Amazon, karena tidak satu pun dari mereka memiliki kesanggupan untuk itu. Kalau pun secara teknologis dan finansial mereka bisa, mereka tetap tidak memiliki kewenangan untuk melakukannya. Hanya negara yang, dengan seluruh sumberdayanya, memiliki fungsi dan kewenangan melindungi warganya dari serangan-serangan kejahatan semacam itu. Fungsi perusahaan-perusahaan itu hanya mencari laba untuk dirinya sebagai imbalan atas jasa yang mereka berikan kepada konsumen. Perusahaan-perusahaan raksasa itu mungkin tahu segalanya tentang kita, tapi tidak tahu bagaimana melindungi kita dari teror bom, peledakan gedung, penembakan, dan kekerasan-kekerasan teroganisir semacam itu. Lantas siapa yang memiliki kemampuan untuk melakukan itu semua? Jawabannya sudah pasti adalah negara. Karena hanya negara, melalui pemerintah, yang diberi wewenang untuk memonopoli instrumen-instrumen kekerasan militer dan melakukan tindakan apa pun, di dalam bahkan kalau perlu di luar otoritasnya, untuk menjamin keselamatan warganya. Keselamatan warga negara adalah hukum tertinggi dalam konsep bernegara.
Asumsinya sangat sederhana, bahwa kalau pemerintah memiliki akses untuk mengetahui apa pun yang dilakukan oleh orang atau sejumlah orang dalam radius pengaruh kekuasaannya, baik dia warga negara atau warga negara asing, ia bisa melakukan antisipasi dini dan mencegahnya. Persis itulah yang kemudian menjadi argumen dasar Departemen Pertahanan Amerika Serikat membentuk apa yang disebutnya Total Information Awarness, sebuah sistem yang dirancang untuk bisa mengumpulkan sekaligus menganalisa berton-ton data personal individu-individu warga, baik warga negara AS maupun asing. Yang dikumpulkan dan dianalisisnya adalah bekas-bekas tapak kaki elektronik (electronic footprint) yang biasa ditinggalkan oleh manusia modern dalam bentuk catatan transaksi kartu kredit, catatan bank, detail penggunaan email dan telepon, rincian perjalanan, dan kebiasaan menjelajahi berbagai situs di internet. Singkatnya terorisme telah mengakibatkan eksistensi negara kemballi relevan dalam masyarakat modern. Bukan hanya itu, terorisme internasional juga memungkinkan kembalinya pola-pola kontrol totalitarian oleh pemerintah terhadap seluruh warganya. Mimpi buruk di masa lalu menjadi harapan keselamatan hari ini.
Artinya, banyak orang yang saat ini baru merasa aman justru kalau sudah diyakinkan bahwa mereka diawasi secara ketat. Atau sebaliknya, orang merasa aman kalau bisa melakukan pengawasan terhadap diri mereka sendiri setiap hari, dalam menit dan detik yang tidak terlewatkan oleh rekaman kamera. Mekanisme pengawasan semacam ini melampaui ideal struktur pengawasan model Panopticon yang diusulkan Jeremy Bentham, tapi juga melebihi interpretasi Foucault dalam Surveillance et Punir (Pengawasan dan Hukuman) yang meletakkan basis unit analisanya pada para tahanan dalam sebuah lokasi fisik tertutup. Kamera-kamera pengintai dipasang tidak di dalam sebuah struktur fisik bangunan yang dirancang secara spesifik untuk melakukan pengawasan, seperti menara pengawas yang berdiri tegak persis di tengah penjara Panopticon, melainkan di tempat-tempat terbuka dan dipakai untuk mengawasi siapa pun yang masuk ke dalam radius jangkauan rana lensanya. Tidak ada batas antara tahanan dan pengawas, karena yang diawasi bukan tahanan melainkan justru orang yang ingin mengamankan dirinya, seperti Big Brother ingin mengamankan kuasanya. Mereka melakukan pengawasan terhadap lingkungan di sekitar rumahnya, di sekitar tempat kerja, atau bahkan di jalan raya yang biasa dilaluinya karena keyakinan bahwa semakin banyak informasi yang bisa diperoleh dari hasil pengawasan tersebut, semakin besar peluang untuk hidup lebih aman setiap hari.
Gedung-gedung perkantoran atau pusat perbelanjaan makin banyak yang memasang Close Circuit Television (CCTV) dan kamera-kamera pengintai tersembunyi di pasang di banyak tempat. Kios-kios Anjungan Tunai Mandiri (ATM) juga dilengkapi dengan teknologi pengawasan yang sama. Kebutuhan akan instrumen-instrumen pengintai yang bisa memberi penggunanya informasi visual mendetail tentang sebuah kondisi pada satu momen waktu tertentu, itu semakin dirasakan mendesak ketika banyak pihak dan kekuatan di dunia sekarang disibukkan oleh upaya menghadapi atau memerangi terorisme yang kekuatan penghancurnya sangat mengerikan itu.
Sekarang kita hidup di zaman kamera (Cam Era). Setiap hari semakin banyak aktivitas yang dikonversikan menjadi data digital melalui kamera. Semua vendor perangkat telepon genggam (handphone) menjadikan kamera digital baik foto maupun video sebagai salah satu fitur standar produknya. Kebutuhan warga masyarakat-masyarakat modern akan rasa aman semacam itu telah melahirkan pula pasar yang cukup besar. Sebuah laporan yang disusun pada bulan Januari 2003 oleh J.P. Freeman, sebuah firma riset pasar keamanan di Newtoen, CT, 26 juta kamera pengawasan (surveillance cameras) telah terpasang di seluruh dunia, dan lebih dari 11 juta di antaranya dipasang di AS. Sementara di London, sebuah kota yang secara sangat ketat terus-menerus dimonitor, seorang kriminolog dari Hull University memperkirakan bahwa rata-rata orang di sana direkam oleh lebih dari 300 buah kamera setiap hari. Belanja terbesar untuk teknologi surveillance tentu saja dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS), bahkan jauh sebelum terjadi katastrofi akibat peledakan menara kembar World Trade Center di New York, 11 September 2001 yang lalu.
Selain kamera, proses pengumpulan digital footprint tentu saja dilakukan melalui bermacam-macam perangkat digital yang sekarang hampir semuanya saling terkoneksi di dalam dunia on-line, ke dalam datasphere. Karena sebagian terbesar para pemakai gawai digital saat ini hampir secara sukarela terus-menerus berbagi berbagai hal dengan sesamanya, tanpa putus, media sosial dan internet telah menjadi lahan tempat sedunia data tersedia. Semua seperti lahan-lahan lapang dengan triliunan ton data yang tertimbun di dalamnya. Seperti yang sudah berabad-abad dilakukan pada kekayaan alam di dalam bumi, untuk mendapatkannya orang hanya perlu menambangnya. Maka berdirilah berbagai perusahaan tambang baru, yang bekerja menambang data setiap detik, tanpa pernah takut akan habis seperti minyak. Ungkapan data is the new oil merujuk bukan hanya pada cara ekstrasinya melainkan juga pada nilai dan harga ekonomisnya di pasar kapitalisme digital.
MiniKata Koran Cepat Detik
Salah satu tesis Huntington (1976) tentang partisipasi politik adalah bahwa antara partisipasi yang dimobilisasi, dan partisipasi yang otonom keduanya membentuk sebuah spektrum yang tidak bisa begitu saja dipisahkan secara dikotomis.
Read More…Setiap komisi negara di Indonesia tampaknya punya kisah kisruhnya sendiri. Komnas HAM periode lalu sudah kisruh sejak awal mereka bekerja karena soal jabatan ketua, mobil dinas, dan mungkin hal-hal tidak berguna lainnya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) kisruh ketika beberapa komisionernya terbukti korupsi, dan kisruh-kisruh lain yang berlangsung sampai belakangan ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kisruh di zaman Kabareskrim Jendral Susno Duaji (banyak yang menulisnya 2G sebagai mockery dengan merujuk pada terminologi dalam teknologi komunikasi) yang melahirkan drama Cicak vs. Buaya, berlanjut dengan kasus penangkapan Bambang Wijayanto sampai pemberhentiannya bersama Abraham Samad. Tapi faktanya semua komisi-komisi itu masih ada sampai hari ini. Sekarang kita sudah masuk era teknologi komunikasi 5G, Jendral Susno juga sudah wafat, tapi kisruh di KPK masih juga terjadi. Bahkan mungkin lebih parah.
Bukan tanpa bukti ketika Goethe, misalnya, melontarkan sebuah ungkapan menarik, seperti terepresentasikan dalam refleksi sosiologis Weber tentang perkembangan agama di bawah kapitalisme, bahwa orang-orang Kristen mencari Tuhan tapi malahan dengan menciptakan setan. Itulah salah satu paradoks peradaban modern. Dari Weber kita diberi tahu bahwa jika agama (Protestan) telah menjadi pendorong yang hampir bersifat kausal bagi perkembangan kapitalisme, yang terakhir (kapitalisme) justru bertindak sebagai tali gantungan yang mengantar agama pada titik nadir peran dan fungsinya. Jalinkelindan relasi antara agama dan kapitalisme tidak berupa simbiosa mutual melainkan parasitis. Kapitalisme menjadi benalu yang terus-menerus menggerogoti kehidupan agama-agama.
Read More…MiniKata Koran Cepat Detik
Dalam setiap kemelut hidup, pegangan terakhir kita adalah akal sehat. Karena ia adalah batas terakhir kesanggupan intelektual kita memahami dan menafsirkan realitas. Setiap persoalan yang berada di luar jangkauan akal sehat akan menerbitkan rasa takut, serba asing, membingungkan, kaotik. Bankrutnya sebuah bangsa juga bisa dilihat dari sejauh mana akal sehat masyarakatnya (common sense) mengalami cedera.
Read More…Postscript Untuk Diskusi Forum Interseksi [*]
Apakah komunalisme adalah ancaman yang secara inheren memang berbahaya bagi upaya-upaya penguatan proses demokratisasi yang, dalam konteks Indonesia, baru saja dimulai sejak kekuasaan Suharto dipaksa berhenti? Kalau dipraasumsikan sebagai ancaman, konsekwensinya muncul asumsi berikutnya bahwa untuk memajukan demokrasi maka komunalisme pada titik terjauhnya harus disingkirkan. Asumsi-asumsi semacam itu tentu saja berpijak pada keyakinan (sesuatu yang sebenarnya tidak pantas menjadi landasan sebuah penelitian sosial yang baik) bahwa demokrasi mensyaratkan warga yang lebih mengutamakan aspek-aspek rasional dalam politik daripada unsur-unsur ikatan primordial. Di samping itu, modernisasi melalui pembangunan ekonomi, proses pendidikan modern, dan intensitas hubungan antar kelompok sosial dalam skala ruang yang jauh lebih luas selama ini diasumsikan akan mendorong orang semakin jauh meninggalkan ikatan-ikatan komunalnya menjadi sebuah bangsa di atas apa demokrasi bisa ditegakkan.
Read More…Untuk Mas Heru Nugroho
Intelektual dan kaum intelektual sudah menjadi subjek ribuan diskusi. Lisan dan tulisan. Dikunyah dan dimamah biak. Terus-menerus. Berbilang masa. Tapi tetap saja ada satu dua hal yang terasa tertinggal, dan sedikit mengganjal. Seperti remah makanan menyisip di sela-sela gigi. Tidak terkunyah. Bukan bongkah besar. Hanya cuil kecil saja. Tapi menghadirkan rasa tidak nyaman di mulut kalau tidak lekas dicungkil. Slilit kata orang Jawa. Ceuhil dalam bahasa Sunda. Seperti geremengan saya berikut:
Read More…Tendensi-tendensi pembangunan ekonomi ke arah perampingan multiplisitas program-program kultural masyarakat sudah banyak digugat di banyak tempat. Demi kepentingan ekonomi, beberapa aspek kebudayaan masyarakat sering terpaksa harus dikorbankan atau, pada level yang lebih rendah, mengalami komodifikasi menjadi objek yang bisa dijual agar bisa mendatangkan keuntungan ekonomi seperti dalam proyek-proyek turisme. Turunan dari komodifikasi adalah komoditisasi ketika budaya khas suatu daerah, misalnya, dikemas sedemikian rupa sehingga sebagai sebuah paket wisata pada dasarnya sulit dibedakan dengan paket wisata kultural dari wilayah lain. Kultur yang mengalami komoditisasi mengalami standarisasi sehingga menjadi seragam. Keragaman dan beda dianggap potensial mendatangkan ketidakteraturan, khaotik, dan bisa merugikan. Tema-tema seperti ini pernah menjadi pokok diskusi akademik yang cukup menarik dalam membicarakan proyek-proyek modernisasi melalui pembangunan ekonomi di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, paling tidak sejak pertengahan dekade 1990an, tanpa sebab yang jelas debat-debat teori pembangunan berangsur-angsur meredup.
Tentang Tokoh
Penolakan Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), atas fasilitas mobil dinas mewah tentu saja telah membetot perhatian dan kesadaran banyak orang. Sebelum itu, sebuah perubahan kecil tapi besar maknanya dalam etika politik dimulai ketika ia mengundurkan diri dari jabatan ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) segera setelah ia terpilih sebagai ketua MPR. Belakangan ia juga mempelopori penolakan fasilitas penginapan mewah untuk sidang pelantikan presiden baru. Memperhatikan rekam jejaknya, saya percaya Wahid tidak sedang bermain-main dengan apa yang sering disebut politik pencitraan diri. Citranya sebagai politisi bersih sejauh ini lebih sebagai sebuah akibat daripada sebuah tujuan di dalam dirinya sendiri.
Catatan Tahun 2004
Tidak bisa dimungkiri bahwa Pemilu merupakan peristiwa politik paling krusial sepanjang tahun 2004 ini. Seluruh jaringan media massa setiap hari pasti memuat berita tentang isu-isu di seputar penyelenggaran pesta demokrasi tersebut. Di tengah kepanikan masyarakat menghadapi wabah flu burung dan demam berdarah, berita dan wacana tentang pemilu tidak pernah kekurangan peminat.
Read More…Sejak kekuasaan formal Seoharto gempa, banyak hal berubah. Ketika partai-partai politik di Indonesia bisa dibiakkan seperti bebek, berjumlah banyak, lantas apa yang bisa dilakukan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)? Dalam demokrasi, partai politik adalah saluran paling handal untuk mengerahkan dan mengartikulasikan kepentingan rakyat dari seluruh lapisan. Jika ini terjadi, lembaga-lembaga sosial yang bergerak pada bidang-bidang yang secara khusus memediasi relasi antara masyarakat dengan negera, seperti banyak terjadi dalam kasus LSM Indonesia sejauh ini, kemungkinan akan kehilangan relevansinya. Konsekwensinya, lembaga-lembaga donor internasional juga boleh jadi tidak akan lagi menjadikan bantuan finansial untuk proyek-proyek demokrasi di negara berkembang sebagai prioritas strategi pendanaan mereka.
Read More…Prolog untuk Program Crossing Boundaries: Cross-Culture Video Making Project for Peace, Yayasan Interseksi 2010
Sebagian terbesar individu manusia pernah hidup di dalam kepompong kulturalnya sendiri. Di dalam lingkungan budaya, etnis, puak, nilai, dan agama yang dikenal sejak kecil orang menemukan rasa aman, kenyamanan, lingkungan yang akrab, dan kepastian bahwa segala hal senantiasa berada dalam tatanan yang dapat dipahami. Ibu kultural kita itu memastikan kita semua hidup serba kecukupan dalam hal nutrisi yang akan memberi kita asupan nilai-nilai dan norma yang harus diikuti, ladang pengetahuan yang subur, serta pandangan dan pedoman hidup yang membimbing kita hidup secara teratur sesuai dengan tradisi yang sudah berlangsung lama.
Read More…Salah satu pemandangan yang paling mudah ditemui di banyak kota di Indonesia selama periode demokrasi belakangan ini adalah spanduk, poster, dan baliho berukuran raksasa yang menampangkan sosok-sosok para kontestan perebutan supremasi politik di masing-masing daerah melalui pemilihan umum (Pemilu) daerah. Muka-muka yang sebelumnya boleh jadi tidak banyak dikenal sebagai para penampang (selebritis) itu tiba-tiba menyerbu dan memenuhi kota, berebut ruang dan perhatian warga dengan reklame layanan sedot WC, guru menggambar, les musik, tawaran pinjaman dana, dan iklan-iklan komersial lain. Divisi dan hierarki sosial hadir secara kasat mata dalam bentuk distingsi antara penampang dan warga biasa yang (diharapkan) memirsa tampangan tersebut. Tentu saja ada banyak hal yang bisa dipersoalkan dengan ekstravagansa publisitas semacam itu, namun bagaimana pun itu semua adalah bagian dari praktik demokratisasi yang baru tumbuh. Pemilu adalah dasar di atas apa mekanisme utama demokrasi, yakni representasi politik formal, didirikan (Saward, 2006: 403).
Read More…Sosiologi
Mereka yang terlampau antusias cenderung hanya tertarik pada aspek-aspek yang paling bombastis dari perkembangan teknologi digital, dan dari sana berkembang sejumlah mitos yang sebagiannya bermula dari riuh rendah pemasaran (marketing hype) belaka: bahwa internet telah membuka ruang bagi demokratisasi pengetahuan karena informasi semakin mudah diakses dan setiap orang bisa menjadi penerbit gagasannya sendiri, seolah informasi saja cukup untuk membangun pengetahuan, dan kalau sudah bisa menerbitkannya sendiri gagasan itu otomatis akan dibaca dan dianggap penting oleh khalayak luas; ekonomi digital akan menghapuskan kesenjangan, seolah-olah dunia digital tidak pernah memproduksi hierarki sosial dan ekonomisnya sendiri; buku-buku digital dalam iPad atau Kindle akan menyelematkan jutaan hektar hutan tropis, seolah-olah hutan di dunia akan habis hanya dipakai untuk mencetak buku, dan dengan menghilangkan keharusan mencetak buku pada kertas selamatlah hutan-hutan itu, dst. Ketika keajaiban semakin sering diambil oleh sain dan teknik, sebagian dari kita memang memiliki kecenderungan malang untuk melihat teknologi dari kacamata mesianisme seperti itu.
Read More…Artikel MiniKata, Koran Cepat Detik
Gus Dur mundur mungkin hanya tinggal soal waktu. DPR dan MPR sekarang memang berisi gerombolan orang patah arang. Lembaga-lembaga negara akhirnya hanya menjadi upaya sistemik institusionalisasi keserakahan politik. Dalam situasi seperti ini, posisi paling aman adalah semacam sikap agnostik secara politis karena:
Dongeng Kecil Kriminologi untuk Nalar Gramsia Budiman
Saya ingin mulai dari dongeng kecil tentang bangun pagi dan jendela.
Kalau bisa bangun pagi sekali, atau justru ketika tidak bisa tidur malam sepicing pun, satu hal yang paling saya nikmati adalah ketika membuka jendela kamar pertama kali. Mata langsung terpapar langit terbuka di timur, waktu cahaya matahari baru pecah dan masih berupa bias yang menebar dari ufuk karena mengalami refraksi ketika menembus atmosfer di kaki langit. Sinarnya belum menjadi bilah-bilah lembing cahaya menyilaukan yang menancap jatuh tepat di ujung teratak belakang. Angin subuh seperti berebut masuk, memenuhi ruangan dengan udara segar pagi. Di dalam kamar. Di dalam paru-paru. Saya menambahkan frasa langitpagi pada nama anak bungsu saya antara lain karena itu. Pada momen seperti itu saya sering terkagum-kagum dengan penemuan jendela. Tidak seperti pintu yang terbuka sampai ke lantai, jendela mengambang antara membuka dan menyembunyikan sebagian. Pintu dibuat untuk ditutup dan sesekali dibuka, sedangkan jendela mulanya dibuat untuk hanya ditutup pada malam hari. Yang satu menutup celah besar yang dipakai untuk lalu lalang agar tidak sembarang orang bisa masuk sesukanya, yang lain membuka celah cukup lebar di dinding agar ruang di dalam tidak terlampau tertutup dan menyesakkan. Pintu untuk keamanan, sedangkan jendela untuk kenyamanan tinggal di dalam rumah.Artikel MiniKata, Koran Cepat Detik
Analogi pers semata cermin realitas tampaknya sudah harus mulai ditinggalkan. Bukan saja karena ia sudah ketinggalan zaman, melainkan juga karena pada dasarnya ia didasarkan pada asumsi yang kini sulit dipertahankan. Analogi di atas mengandaikan adanya garis pemisah yang tegas antara realitas kehidupan sehari-hari dengan media yang hanya memantulkannya kembali kepada wilayah kognisi khalayak luas. Soalnya adalah apakah batas seperti itu benar-benar ada?
Read More…Semacam Sebuah Tafsir Sekular atas Sebuah Ritus Keagamaan
Puasa, seperti yang telah “diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”, memperlihatkan kepada kita bahwa lapar dan haus yang dikelola dengan satu keyakinan teguh, artinya dengan kesadaran penuh, bukanlah sekadar sebuah fakad dari derita dan sengsara belaka. Bagi yang berpikir sangat metodis, puasa adalah bagian dari pengelolaan antara pengekangan dan pelepasan, agar keduanya tidak diumbar tanpa takaran. Hidup adalah soal kapan melepas dan bilamana harus mengekang. Bersahaja. Samadya. Tahu batas cukup.
Read More…Mengenang Mudik yang Kini Dilarang
Tidak ada yang membantah bahwa puasa memiliki dimensi etis dan sosial yang sangat relevan bagi kehidupan modern. Selama ramadhan orang diajak untuk bisa mengendalikan diri, mengasah asketisme menghadapi problem sistemik yang makin berat. Pada sisi sosial, puasa melatih toleransi, menajamkan kepekaan sosial dan empati pada penderitaan sesama. Kalau empati sosial produk renungan filosofis muncul dari sebuah jarak antara subjek yang merenung dan objek yang mengalami penderitaan, kepedulian sosial kita selama ramadhan muncul dari pelibatan diri dalam perih luka menanggungkan lapar dan dahaga yang sehari-hari kerap dialami kaum papa.
Read More…Setelah Pileg 2009 Berakhir
Saya merasa sangat senang karena tanggal 9 April 2009 telah berlalu. Setelah beberapa lama merasa muak dengan lintang-pukangnya visual kota, akhirnya saya bisa sedikit bernafas lega.
Read More…Mengenang 20 Tahun Forum Interseksi
Tahun 2000 yang lalu, ketika saya pertama kali merencanakan serial diskusi dua bulanan di kantor the Japan Foundation (JF), Jakarta, yang di kemudian hari menjadi Forum Interseksi itu, saya tidak pernah membayangkan bahwa forum tersebut akan bertahan cukup lama. Sampai tahun 2007 ini. Seri diskusinya sendiri baru dimulai menjelang akhir tahun 2001, karena selama tahun 2000 ada beberapa aktivitas lain yang lebih mendesak, dan saya masih harus beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru saja saya masuki waktu itu.
Read More…Bermacam-macam perubahan radikal yang kita saksikan belakangan ini bukan hanya hadir sebagai sesuatu yang mengejutkan, tapi juga menghasilkan teror di setiap kepala, yang berpikir atau yang tidak. Bagaimana, misalnya, menjelaskan tentang ringgit, dolar Singapura dan rupiah yang nyaris lumpuh oleh sebab-sebab yang sebagian besarnya hanya berlangsung di layar monitor komputer? Lantas mengapa seluruh dunia begitu murung mendengar kabar kematian Lady Diana Minggu, 31 Agustus 1997 lalu? Rasa kehilangan atas seorang aktivis-selebritis seperti Diana nyatanya jauh lebih suram daripada rasa kehilangan kita saat wafatnya seorang aktivis-spiritual sekelas Bunda Theresia seminggu kemudian. Dunia yang begitu kukuh ditopang oleh sain dan teknik tinggi ini telah membawa kita pada sebuah jeram, penuh guncangan, soal-soal yang tak selalu mudah dipahami.
Read More…Mini-Kata, Koran Cepat Detik
Bagi Gus Dur tuduhan berbohong kepada publik yang dilontarkan oleh musuh-musuh politiknya jelas akan membuat hidupnya kurang nyaman sepanjang umur. Puluhan tahun ia membangun citra sebagai seorang humanis, demokrat, dan salah satu tokoh muslim paling toleran di dunia. Tiba-tiba ia harus melewatkan sisa hidupnya dengan beban dosa politik begitu besar. Itu pun kalau dia peduli. Kalau dia hanya menyambutnya dengan “gitu saja kok repot!”, maka musprolah sudah semua tuduhan itu.
Read More…Belajar lagi membaca sastra sambil mengenang Pak Kayam*
Saya selalu tergoda membayangkan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh Horatio, ketika tubuh-tubuh para bangsawan ksatria Kerajaan Denmark yang terhormat itu, satu per satu membujur disungkurkan oleh kematian? Kejahatan, culas, benci, dendam, pembalasan, justa, serakah, berahi, dan cinta yang karam beraduk tuntas, dan kerajaan seperti terbenam dalam lumpur maut, tanpa peluang bisa keluar selamat. Horatio menjadi saksi tumpasnya sebuah kuasa yang dibangun di atas berbagai khianat, kebohongan, kebodohan, ancaman, dendam kesumat, manipulasi, dan semata nafsu atas tahta. Ia dipilih Shakespeare untuk melihat sampai tamat ketika manusia bertumbuh menjadi makhluk-makhluk buas yang saling menerkam, baku bunuh. Jiwa-jiwanya seperti asap hitam mengotori angkasa. Di istana angkara melela, dan lolong anjing hutan tak putus-putus meningkahi malam.
Read More…Gerundelan Usang tentang Kemiskinan Warga di Negeri yang Kaya
Kekayaan dan/atau kelangkaan sumber daya alam dalam relasinya dengan kemakmuran dan/atau kemiskinan masyarakat sebuah negara, paling tidak, bisa dilihat dari dua jurusan yang berbeda bahkan bertolak belakang satu dengan lainnya. Jurusan yang pertama adalah anggapan umum bahwa sumber daya alam merupakan berkah bagi masyarakatnya. Karena lebih merupakan anggapan umum, asumsinya pun sederhana, yakni bahwa sumber kekayaan alam merupakan modal utama untuk menciptakan kemakmuran. Dengan kalimat lain, kekayaan dan/atau kelangkaan sumber daya alam dianggap sebagai determinan utama makmur tidaknya masyarakat sebuah negara. Tumbuhnya negeri-negeri petro-dolar di kawasan Timur Tengah, misalnya, menjadi bukti tak terbantah tentang berkah sumber daya alam bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.
Read More…Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik
Tepatkah sikap Kapolri Bimantoro menolak putusan Presiden baru-baru ini? Dalam situasi sekarang, jawaban apa pun pasti tidak lepas dari prasangka dan kepentingan politik. Yang mendukung, sebagian besar anggota DPR, jelas berkepentingan karena sejauh ini sikap kepolisian memang cenderung menguntungkan mereka. Apalagi jika ini dikaitkan dengan kemungkinan presiden mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen.
Read More…Sosiologi | Politik
Under the doctrine of state multiculturalism, we have encouraged different cultures to live separate lives, apart from each other and the mainstream. We have failed to provide a vision of society to which they feel they want to belong. (David William Donald Cameron, Perdana Menteri Inggris)[1]
Multikulturalisme tentu saja mencakup banyak persoalan, tapi untuk kebutuhan diskusi ini, dan karena keterbatasan pemahaman saya sendiri, makalah ini hanya akan dibatasi pada beberapa pokok soal: Pertama, tentang problematik hak minoritas dalam konteks diversitas Indonesia; kedua, tentang bagaimana seharusnya negara berperan dalam banyak soal yang menyangkut nasib hidup kelompok-kelompok minoritas. Apakah negara seharusnya netral terhadap perbedaan (different blind) ataukah ia harus berani memihak dan memfavoritkan salah satu kelompok (etnis/agama). Dua pokok soal ini sekaligus akan dipakai untuk melihat bagaimana problematik multikulturalisme sebagai sebuah gagasan konseptual maupun sebagai sebuah kebijakan politik.
Read More…Sosiologi | Politik
Jakarta seperti sebuah kota yang hampir tumpas oleh amarah. Seluruh media massa jauh-jauh hari menghimbau orang berhati-hati ke luar rumah. AM Fatwa merengek meminta sidang DPR dipindah ke kompleks tentara, dan sebagian anggota dewan yang lain minta dipersenjatai. Seluruh kota ditikam ketakutan, dan bagian terbesar warganya terkurung dalam rasa cemas dan gelisah yang menyakitkan. Mereka yang ribut ngomong potensi kerusuhan, mereka juga yang paling cepat merasa ketakutan oleh bayangannya sendiri. Jantung ekonomi seperti hendak berhenti berdetak. Kekerasan seperti monster yang mengintai di setiap jendela. Orang-orang kaya tak lagi punya nyali pamer kemewahan di jalan-jalan yang kumuh: dan saya bisa menikmati Jakarta yang jauh lebih manusiawi, zonder kemacetan. Sangat dramatis!
Sosiologi dan Politik
Apa yang tertinggal bagi kita setelah Mahkamah Agung memutus bebas Akbar Tanjung adalah sebuah drama. Penuh suspensi, haru, dan sebuah akhir yang terlalu mudah ditebak. Memahaminya tidak lebih sulit dari menebak alur drama televisi. Mereka yang merasa dirinya memiliki keprihatinan pada nasib bangsa, dan berkepentingan dengan tegaknya pemerintahan yang relatif bebas korupsi, pasti melihat itu sebagai malapetaka hukum nasional. Mahkamah Agung bagi mereka bukan lagi benteng pelindung keadilan, tapi justru sebuah bungker tempat para perompak bisa berlindung dengan aman.
Read More…In Memoriam
Daniel Dhakidae dan Thung Ju Lan dalam acara diksusi membahas buku Seri Hak Minoritas terbitan Yayasan Interseksi tahun 2007 di Hotel Santika, Jakarta Barat, 4 September 2007.
Tadi pagi, Selasa, 6 April 2021, puluhan pesan WA mengantarkan kabar duka lagi. Daniel Dhakidae, salah seorang intelektual publik dengan reputasi besar telah pergi menghadap illahi akibat serangan jantung pada pukul 3 dini hari. Seperti ribuan orang lainnya, saya tentu saja ikut merasakan sebuah kehilangan besar oleh kepergiannya itu. Sosok Daniel Dhakidae sudah menjulang tinggi di mata saya bahkan sejak saya masih kuliah S1 di akhir 1980an sampai awal 1990an. Meskipun saya tidak pernah benar-benar kenal dekat secara personal, tapi ada beberapa momen dalam hidup kami yang sempat bersisian dan membuat respect saya kepadanya semakin bertambah besar.
Read More…Liber Amicorum
Sebuah pagi di tahun 2000 (atau 2001 saya tidak ingat persis). Untuk pergi ke kantor saya di Gedung Summitmas, Jl. Jendral Sudirman, Jakarta, seperti hari-hari sebelum itu, saya naik bis Patas AC jurusan Depok-Tanah Abang dari rumah kontrakan saya di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Biasanya saya berhenti di halte bus di depan kantor Kepolisian Daerah (Polda) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), atau yang biasa juga disebut Komdak, di Jalan Gatot Subroto, sebelum saya melanjutkan kilometer terakhir menuju kantor di Gedung Summitmas I dengan naik bis Metromini ke arah Blok M. Tapi seperti sering terjadi sebelumya, karena tidak tahan dengan sesakan penumpang di dalam bis, pagi itu saya memutuskan untuk turun di perempatan Kuningan (waktu itu Underpass yang menghubungkan kawasan Mampang dan Jl. H.R. Rasuna Said belum dibangun). Yang masih saya ingat adalah, setelah turun dari bus saya lantas menunggu taksi kosong yang lewat. Kebetulan lokasi saya turun tidak begitu jauh dari kantor pusat perusahaan Taxi Blue Bird.
Read More…Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.
Apakah terorisme tidak beragama? Ketika bom bunuh diri diledakkan dengan sepenuh-penuhnya semangat dan keyakinan pelakunya bahwa ia sedang berjihad, seperti yang telah diajarkan kepadanya oleh pimpinan atau mungkin gurunya, mengapa setelah itu hampir semua pihak menolak tindakan tersebut dikaitakan dengan agama mana pun?
Read More…Belajar Sosiologi
Dalam pandangan Marxian, basis material masyarakat menentukan bentuk kebudayaannya, bukan sebaliknya. Prognosis Marx tentang masyarakat komunis berangkat dari pemahamannya tentang sejarah yang, berbeda dari Hegel atau Feuerbach, kemudian lebih dikenal sebagai the materialist conception of history (Mises, 1951: 352-53). Telaah Marx difokuskan pada basis-basis material masyarakat manusia, terutama tentang mode produksi (mode of production), yakni pelbagai proses melalui apa masyarakat-masyarakat manusia memenuhi kebutuhan materialnya. Bagi Marx, sejarah bisa dikategorikan menjadi beberapa zaman yang masing-masing dicirikan oleh satu mode produksi utama. Mode-mode produksi inilah yang menentukan bentuk-bentuk institusi, kebudayaan, hukum, agama, dan ideologi pada masing-masing masyarakat pada masing-masing zamannya.
Read More…Sosiologi
Orang yang paling berpengaruh di wilayah kultural tahun 2003 yang lalu adalah Jonatahn Ive. Paling tidak itulah hasil pilihan pemirsa stasiun radio BBC, Inggris, baru-baru ini. Lahir di kawasan utara London, Ive mengalahkan jutawan baru, penulis serial Harry Potter, serial buku terlaris di planet bumi dalam tiga tahun terakhir ini, J.K. Rowling, dan beberapa tokoh berpengaruh lainnya. Ive bukanlah pengarang penerima penghargaan Nobel, atau ilmuwan humaniora kelas puncak, melainkan hanya seorang perancang desain peralatan teknologi mutakhir yang sekarang paling banyak dipakai di dunia: pemutar lagu portable berbasis teknologi komputer, MP3 player yang diberi nama iPod.
Read More…Sosiologi
Museum Tsunami, Kota Banda Aceh. Foto oleh: Julianto Saputra (https://unsplash.com/photos/8Z0Q_K8I7Tc)
Hamburan informasi (visual, tekstual, dan audio) tentang bencana tsunami belakangan ini memberi impresi seolah sejarah Aceh sedang hendak ditulis ulang. Pekabaran media massa tentang tragedi ini benar-benar melahirkan horor di setiap kepala. Aceh kini mengalami sebuah disrupsi besar-besaran dalam seluruh dimensi. Begitu banyak korban, demikian banyak soal rumit yang harus diselesaikan. Puluhan ribu orang meninggal dalam hitungan hari, dan kemungkinan ribuan lain menyusul akibat komplikasi penyakit yang menyertai bencana tesebut.
Read More…Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.
Dalam hidup sehari-hari, sebuah perumpamaan sering dipakai untuk menjelaskan hal rumit agar lebih mudah dimengerti. Semacam pintu darurat yang mau tidak mau harus dipakai ketika kita kehilangan kesanggupan untuk memberi informasi yang lebih terang. Banyak orang mengira bahwa untuk setiap soal rumit selalu ada perumpamaan yang bisa dipakai sesuka hati. Kita kadang lupa bahwa setiap perumpamaan pada dasarnya adalah simplifikasi. Dan setiap simplifikasi bukan lain adalah distorsi realitas. Orde Baru adalah contoh kekuasaan yang dihidupkan oleh politik distorsi realitas ini.
Read More…Review Artikel
Judul Buku: Global Transformation and the Third World
Editor: Robert O. Slater, Barry M. Schutz, dan Steven R. Dorr
Penerbit: Lynne Rienner Publisher, Boulder, Adamantine Press, London
Tahun Terbit: 1993
Esay yang dibahas: “Global Economic Transformation and Less Developed Countries”
Sampai empat belas tahun yang lalu, tepatnya tahun 1988, kata jadian “globalisasi” sama sekali belum tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen P dan K dan Balai Pustaka. Ini paling tidak bisa berarti dua kemungkinan: globalisasi belumlah menjadi terminologi yang dikenal luas atau, kalau tidak, hal tersebut justru memperlihatkan bagaimana perkembangan khasanah bahasa Indonesia cenderung kurang responsif terhadap perkembangan zaman yang bergerak begitu cepat.
Read More…Rough-draft.
Indonesia pasca Orde Baru Suharto antara lain ditandai oleh terjadinya rentetan konflik sosial yang sumber-sumbernya dipercaya bisa dilacak dari diversitas nilai, identitas, etnik dan agama. Dimulai dengan apa yang lebih dikenal sebagai konflik etno-religius di Ambon tahun 1997-2000 yang lalu, kemudian disusul konflik Poso di Sulawesi, dan konflik Dayak-Madura di Kalimantan, konflik-konflik lain terus terjadi silih berganti. Meskipun beberapa kalangan akademisi cenderung menyatakan bahwa yang terjadi pada dasarnya bukanlah konflik antaragama, tapi tetap tidak bisa dimungkiri bahwa konflik-konflik tersebut menempatkan para pelaku yang berbeda agama atau berbeda etnis (atau kedua-keduanya) berhadap-hadapan sebagai musuh satu sama lain.
Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.
Dalam kasus Ginanjar Kartasasmita, yang harus dipersoalkan bukan saja keseriusan pemerintah, melainkan juga kesungguhan kita memerangi korupsi. Mengapa orang ribut membela Ginanjar dengan pelbagai alasan?
Read More…Ringkasan Buku
Ada banyak pendekatan kajian ideologi telah dikembangkan dalam ilmu sosial kontemporer. Dua di antaranya adalah pendekatan aliran Marxist strukturalis Prancis yang terutama dikembangkan oleh Louis Althuser, dan pendekatan yang dikembangkan oleh pewaris terjauh tradisi Marxist dari Jerman, yakni Aliran Frankfurt terutama pada tokoh terakhirnya, Jurgen Habermas. Meskipun seolah membentuk dua aliran pendekatan yang sama sekali berbeda, tapi keduanya jelas memiliki basis atau akar teori yang sama. Tim Dant (1991), misalnya, melihat bahwa baik strukturalis Althuserian maupun teori kritik masyarakat Aliran Frankfurt sama-sama masih berpijak pada analisa Marx tentang relasi-relasi materialis, tapi dua pendekatan ini juga mencoba mengatasi Marx dalam konteks pengakuannya pada aspek-aspek lain di luar determinan ekonomi dari kehidupan sosial manusia.
Tulisan ini berisi rangkuman dari sebagian isi buku yang ditulis Tim Dant, Knowledge, Ideology and Discourse, A Sociological Perspective. London: Routledge, 1991. Read More…Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.
Memakai cara apa pun, tahta Abdurrahman Wahid sudah sulit dipertahankan. Agustus 2001 mungkin saatnya kita memberikan salam perpisahan pada orang yang semula begitu menjanjikan, tapi yang kemudian terbukti baru bisa berjanji. Namun jika Agustus nanti ia bisa bertahan, kemungkinan besar ia akan tetap di tahtanya sampai 2004. Sebab orang-orang partai politik akan mulai sibuk mempersiapkan pemilu, membikin janji-janji baru, membuncahkan lagi omong kosong, dan melupakan Wahid.
Read More…Beberapa Catatan dari Perjalanan Singkat di Aceh tahun 2008#
Bagi sebagian orang dari luar Aceh, ungkapan “formalisasi syariat (atau lebih sering ditulis syariah) Islam” untuk merujuk pada pemberlakuan syariat Islam sebagai landasan pengaturan tertib sosial dalam bentuk regulasi pemerintah daerah di provinsi Aceh (belakangan berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, NAD), mungkin merupakan nasib sosiologis masyarakat Aceh yang tidak terlalu perlu dipersoalkan. Sebutan “Serambi Mekah” yang pada dasarnya sedikit, kalau bukan tidak ada sama sekali, hubunganya dengan kondisi kehidupan dan ketaatan masyarakat Aceh pada ajaran Islam, misalnya, oleh orang non-Aceh seringkali dilihat sebagai indikasi tentang senyawa antara Aceh dan Islam. Julukan yang semula hanya merujuk pada gagasan tentang jarak spasial dalam rute jamaah haji Indonesia menuju tanah suci di Mekah Saudi Arabia, belakangan telah berubah menjadi ekpresi atau bahkan testimoni sosial tentang kehidupan religius masyarakat Aceh dalam naungan nila-nilai dan ajaran Islam: Aceh adalah Islam (meskipun mungkin tidak berlaku sebaliknya). Dipahami dalam konteks seperti itu, klaim kota Manokwari di Papua Barat sebagai “Serambi Yerusalem” atau “kota Injil”, semacam usaha untuk meraih status distingtif dalam versi Nasrani, yang merujuk pada Aceh sebagai preseden historisnya, misalnya, memperlihatkan berlangsungnya (kekeliruan) konotasi konseptual yang terlanjur terbentuk di tengah masyarakat non-Aceh tentang senyawa tadi.
Read More…Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.
Sebuah Prakata untuk Isu Hak Minoritas
Konformitas adalah naluri yang sangat kuat. Ada rasa aman yang disediakan di dalam jumlah, dan di luar jumlah itu orang membutuhkan lebih dari naluri untuk bisa berbeda dari kebanyakan orang lain. Maka orang cenderung mengatur hidupnya di atas landasan yang disepakati secara bersama-sama oleh sejumlah orang tertentu. Menjadi mayoritas dalam jumlah memberi orang sebuah rasa aman karena ia menyediakan kesamaan-kesamaan atribut dengan sejumlah sangat besar khalayak. Sebaliknya, berbeda dengan mayoritas sering mendatangkan perasaan tidak aman atau, paling tidak, beresiko dianggap minor, aneh, menyimpang, tertinggal, terasing dengan segala konsekwensinya. Individu atau sekelompok individu menjalani cara hidup yang berbeda dari mayoritas bisa karena pilihan bisa pula karena sebab-sebab historis tertentu, seperti pengabaian oleh negara dalam kebijakan-kebijakan modernisasi, atau oleh representasi dalam wacana. Sebagai pilihan atau karena secara historis dan politis diciptakan, kelompok-kelompok minoritas adalah fakta yang selalu ada dalam setiap negara. Salah satunya adalah kelompok minoritas berbasis etnis/agama.
Read More…Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.
Revolusi memakan anaknya sendiri. Tapi dalam kasus yang tengah menimpa Gus Dur, sebagian orang mungkin akan mengatakan “demokrasi tengah memangsa pendekarnya sendiri”. Sebutan “pendekar demokrasi” tentu saja didasarkan pada track-record aktivitas Wahid sebelum ia jadi presiden: Orang tahu bahwa dibanding tokoh-tokoh lain, Wahid adalah sosok yang lebih berakar pada gerakan-gerakan pro demokrasi vis a vis otoriterianisme Orde Baru waktu itu.
Read More…Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.
Bagi sebagian orang, ada satu hal yang disyukuri setiap kali Jakarta disergap kecemasan: banyak ruas jalan akan sepi, lalu lintas akan sangat lancar, dan Jakarta jadi terasa lebih manusiawi. Karena itu, meskipun terkesan kurangajar, sebagian orang justru mengharapkan Jakarta lebih sering dicekam isu kerusuhan. Mereka tentu saja bukan para penjahat atau politisi yang senang memancing di air keruh. Mereka hanya orang-orang biasa yang ingin hidup dalam kondisi “normal”.
Read More…Tentang Tokoh | Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.
Kita tahu, orang sama sekali tidak butuh keberanian untuk menentang kekuasaan saat ini. Apa yang ditakutkan dari sebuah kuasa yang tangannya satu persatu telah dibuntungi: melalui undang-undang atau tap MPR. Artinya, relasi antara keberanian dan perlawanan dalam konteks kekuasaan kini sudah lenyap. Karena itu, pada diri para penentang yang bawel itu, kita juga tidak pernah bisa menemukan satu hal pun yang punya harga. Semuanya seragam, membebek, sampah politik.
Read More…Esai Plesetan tentang Mimpi dan Descartes. Dimuat majalah Matra, Desember 1996
Apa yang berharga dari sebuah mimpi? Martin Luther King Jr. disanjung orang antara lain juga karena ia bisa mengukuhkan sebuah mimpi menjadi itikad yang begitu keras, dan gelombang pengikut yang bergelora. Ia bermimpi tentang tumbuhnya Amerika Serikat yang lebih toleran, yang tidak melihat dosa manusia melulu dari warna kulit. Walaupun King mati sambil mendekap mimpinya yang berantakan,--karena AS sampai kini tetap menjadi salah satu negeri rasialis terbesar--toh penghormatan orang tidak lantas berkurang karenanya. Meskipun dalam pidatonya ia mengatakan bahwa “semalam ia bermimpi”, tapi mimpi King kemungkinan bukanlah apa yang sering disebut “kembang tidur”, melainkan sebuah kiasan untuk tekad atau harapan tentang masa depan yang letaknya tidak musti selalu jauh. Kita, di sini, sampai ini hari, biasa menyebut mimpi-mimpi yang langsung terkait atau tidak--artinya sengaja dikait-kaitkan--dengan sebuah realitas di luar tidur itu sebagai cita-cita. Tapi ia juga bisa berarti wangsit atau ilham.
Read More…Artikel Mini-Kata
Sumber gambar: https://www.metmuseum.org/art/collection/search/426600.
Sebuah masa, ketika pecah pagi berlalu di langit Athena. Seorang lelaki tambun, sekarang kita mengenalnya dengan nama besar, Socrates, biasa keliling kota menebarkan kesangsian. Suaranya berat sedikit parau, kata-katanya deras seperti hujan di bulan November. Lidahnya tajam, bilah pedang pernyataan perang pada segala yang mapan. A round peg in a square hole. Read More…
Menyambut Imlek 17 tahun silam
Pada mulanya adalah warna kulit. Batas antara “yang sama” dan “yang lain” ditarik begitu tegas: aku “pribumi”, Indonesia asli, muslim, dan kau orang-orang keturunan, bukan asli, nonmuslim, nonpri. Kemudian kita ramai-ramai mendefinisikan dosa-dosa orang lain. Melalui KTP, atau surat keterangan lain. Dalam bisnis atau perhelatan-perhelatan politik, dan birokrasi yang gendut. Setelah itu proses-proses sejarah memunculkan pembedaan lain: aku miskin, kau kaya raya, aku papa sedangkan kau begitu berlimpah. Tanpa harus membaca Proudhon, aku tahu milikmu adalah hasil curian, hasil persekutuan sesat dengan kekuasaan yang menindasku. Dan karena itu, satu saat aku harus mencurinya kembali.
Read More…Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.
Banyak hal yang bisa berubah dalam 5 sampai 10 detik. Apa yang berharga dari kilas watku sesingkat itu? Bagi perokok berat seperti saya, itu adalah waktu untuk setiap hisapan penuh nikotin yang cukup berbahaya bagi kesehatan. Cerita jadi lain bagi para produsen, pemburu dan pewarta berita sekarang. Bagi mereka 5 detik cukup untuk mengubah dunia. Kita sekarang berada di zaman ketika ideologi makin banyak ditertawakan, dan orang lebih percaya pada videologi.
Read More…Rangkuman Buku
Di samping merupakan momen cukup penting dalam sejarah negara Orde Baru, peristiwa wafatnya Nyonya Tien Soeharto tgl 28 April 1996 yang lalu di sisi lain juga berhasil mengungkapkan sebuah indikasi tentang kekuatan media dalam menciptakan sebuah realitas ( a socially constructed reality). Ketika praktis selama lebih dari dua puluh jam seluruh media massa (televisi, radio, dan media cetak) yang ada hanya menyiarkan acara-acara yang masih berkait langsung dengan peristiwa kematian istri presdien tersebut, maka paling tidak ada dua persoalan menarik yang bisa diperhatikan. Pertama, teknologi media massa telah memungkinkan penyebaran berita (duka) ke seluruh pelosok negeri dalam skala waktu yang sangat kecil: cucu Obahorok yang men-tuning radionya di lembah Baliem akan mengetahui kabar kematian tersebut sama cepatnya dengan warga Jakarta yang tinggal di Jakarta--tidak jauh dari kediaman almarhum--atau Nyonya Siti Hardijanti Rukmana yang konon tengah berada di London.
Read More…In Memoriam
Dua mobil VW (Volkswagon) tua mungkin bisa sedikit bercerita tentang komitmen Bisri Effendi (BE) dalam upaya panjangnya untuk rekonsiliasi kultural di banyak tempat di Indonesia.
BE adalah pencinta mobil VW tua. Seingat saya ia memiliki dua VW tua di rumahnya, tapi saya tidak persis tahu keluaran tahun berapa masing-masing mobil itu. Yang satu sebuah VW Kodok (VW Beetle), dan satu lagi sebuah VW Kombi (Combi). Dua-duanya adalah model VW yang saya kira paling ikonik, yang bukan hanya digemari di Indonesia tapi juga di tempat-tempat lain di dunia. Ketika butuh modal untuk mendirikan perusahaan yang sekarang menjadi perusahaan terkaya di bumi, Apple Computer, yang belakangan berubah nama menjadi Apple Inc, Steve Jobs menjual barang miliknya yang dia anggap paling berharga waktu itu, sebuah VW Kombi. Read More…Untuk 50 Tahun Indonesia Merdeka, 1995.
Di mana bisa kita temukan keadilan? Di penjara. Kemana kita mencari kebebasan? Ke penjara. Menjelang perayaan ulang tahun proklamasi kemerdekaan politik Indonesia kelima puluh tahun lalu, orang ramai-ramai malah pergi ke penjara. Mencari kemerdekaan, memburu keadilan, sebab konon Tyson dan Subandrio pun bisa bertemu Tuhan di sana. Padahal, konon, kebebasan paling puncak adalah pengikatan diri dengan Tuhan; keadilan paling akhir adalah yang datang dari ujung jari-Nya. Tapi mengapa Subandrio, Oemar Dhani, Arswendo dan Tyson malah memilih ke luar dari rumah yang mendekatkan mereka dengan kebebasan paling puncak, dengan keadilan paling tinggi? “Mengapa mereka menginginkan dunia luar yang bebas tapi semu?” kata sebagian penghujat. Mereka memburu keadilan yang lebih jelata, sedangkan Pak Flintstone pun tetap berusaha memelihara hubungan mitisnya dengan penjara goa purbawi: merapatkan diri pada keheningan, melautkan keinginan menjadi sunyi.
Read More…Kolom Intermezo di Majalah Matra, Januari 1998
“Here is the test of wisdom, Wisdom is not finally tested in schoolds, Wisdom cannot be pass’d from one having it to another not having it, Wisdom is of the soul, is not susceptible of proof, Is its own proof” (Walt Whitman, "Song of the Open Road", diambil dari Leaves of Grass, edisi 1954).
Tidak begitu jelas berapa orang di negeri ini yang telah menyandang gelar doktor sebagai puncak prestasi akademisnya. Karena menyandang gelar tertinggi, tampaknya, mereka cenderung tidak suka diikat dalam satu wadah seperti Ikatan Dokter Indonesia untuk para dokter medis, atau Persatuan Insinyur Indonesia untuk para alumna keteknikan. Sementara itu, konon, ada rektor sebuah universitas ternama yang bahkan tengah berupaya keras agar pada tahun 2000 nanti universitasnya, paling tidak, akan memiliki 1.000 orang doktor pelbagai jurusan.
Read More…Artikel Mini-Kata
Kalau sebuah karya intelektual dibakar, yang dilalap api tentu bukan hanya kerja keras penulisnya, melainkan juga kehormatan seluruh kepala manusia yang punya otak waras. Ketika belakangan beberapa orang membakar buku-buku kiri, buruk rupa peradaban kita pun semakin memalukan.
Read More…Artikel Mini-Kata
sumber: https://www.indictoday.com/quick-reads/tales-mahabharata-vidura-niti-part-iv-viduras-exhortation-dhritarashtra/
Malam itu apa yang dirasakan Destarastra ketika Perang Kurukshetra, atau yang di Jawa disebut Bharatayudha, berakhir, dan seluruh amarah mengendap jadi debu, lalu bisu, dan angsana yang luruh? Dari cerita Sanjaya ia menyaksikan robohnya kehormatan jadi sederet panjang pekuburan. Seratus anak-anaknya bertumbangan, tumpas seperti batang-batang rumput disabit para pembuka lahan. Read More…
Rough-Draft. Catatan tahun 2010
Belum lama ini, menteri Suryadharma Ali (SA) mengeluarkan pernyataan tentang kelompok Ahmadiyah sebagai kelompok keyakinan yang harus dibubarkan karena dianggap menyimpang dari dan menodai ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas muslim Indonesia. Ia merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung yang telah dikeluarkan tahun 2008 yang lalu yang, antara lain, juga merujuk kepada PNPS (Penetapan Presiden) tahun 1965 tentang pencegahan penodaan agama. Tidak lama berselang, dalam suasana Lebaran Idul Fitri 2010, terjadi kekerasan terhadap kelompok HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Ciketing, Bekasi, yang diduga dilakukan oleh anggota-anggota kelompok Front Pembela Islam (FPI). Dugaan ini sudah dibantah oleh pimpinan FPI (Kompas, 13/9/2010). Isu krusial di balik aksi brutal terhadap kelompok HKBP di Bekasi adalah soal pendirian rumah ibadah. Salah satu rujukan yang banyak diperdebatkan dalam kasus pendirian rumah ibadah juga SKB, yakni SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006.
Read More…Rough-Draft
Kebudayaan akhirnya kerap menjadi pembicaraan yang semena-mena. Betapa tidak, karena ia adalah rimba New York bahkan belantara Bojongpari atau ketenteraman Ngrimpak. Bara padang pasir yang mematangkan keperkasaan piramid sampai beku kutub bumi yang memadatkan kultur Kwakiutl suku Eskimo--yang mengundang decak kagum Franz Boas; mode body language yang memusingkan birahi lelaki, sampai kombinasi jilbab-cadar yang serba enggan atau lilitan jarik yang membius, misterius. Semua punya jatah ruang dan waktu hidupnya sendiri. Raung hirukpikuk sampai kesunyian yang demikian tandas.
Read More…Sosiologi, Politik
Almarhum filsuf utilitarian Inggris abad ke-18, Jeremy Bentham, tiba-tiba saja jadi penasihat presiden Susiolo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menghadapi korupsi di Indonesia. Kita semua tahu bahwa perang melawan korupsi kini mulai memasuki babak baru. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang tampak begitu perkasa. Ia diberi otoritas bahkan untuk menyadap percakapan telepon. Akibat sertamertanya terkesan lucu bahkan moronik, ketika konon banyak anggota dewan legislatif yang ramai-ramai mengganti nomor telepon selulernya, seolah dengan cara itu mereka akan bisa lepas dari pengawasan.
Read More…Kontribusi untuk Buku Intoleransi dan Politik Identitas Kontemporer di Indonesia, LIPI, 2021
Paling tidak sejak satu dekade belakangan ini, meskipun puncak-puncaknya berlangsung mulai tahun 2014, isu intoleransi mulai banyak dibicarakan dalam berbagai lingkar perbincangan, dari mulai para akademisi, kalangan aktivis pluralisme dan Hak Asasi Manusia (HAM), aparat keamanan, organisasi-organisasi masa (ormas) berbasis agama sampai para politisi. Bukan hanya dibicarakan tapi intoleransi bahkan dianggap sebagai salah satu ancaman besar bagi masyarakat Indonesia saat ini. Yang lebih mengkhawatirkan adalah karena tindakan-tindakan intoleran itu bukan hanya muncul dalam bentuk ujaran-ujaran kebencian tapi bahkan mulai banyak yang berbentuk aksi-aksi kekerasan.
Read More…Lampiran untuk buku Kota-kota di Sulawesi
Dalam periode 15 tahun terakhir Sulawesi telah makin berkembang menjadi salah satu kawasan terpenting di wilayah timur Indonesia. Beberapa kalangan secara tidak resmi bahkan sering merujuk Makassar, salah satu kota terpenting di Sulawesi, sebagai ibu kota Indonesia (Bagian) Timur. Selain karena perkembangan fisik kota Makassar belakangan ini, dalam konteks yang lebih luas sebutan seperti itu tentu saja tidak terlalu mengejutkan mengingat kawasan Sulawesi memang telah mengalami perkembangan politis sangat dinamis sejak dimulainya era demokrasi lokal dan otonomi daerah belakangan ini. Cukup aman untuk mengatakan bahwa dari sisi terbentuknya wilayah-wilayah urban baru dan desentralisasi politik, setelah Sumatra, Sulawesi merupakan wilayah yang mengalami perkembangan paling dinamik di Indonesia. Pada tingkat provinsi, misalnya, sejak berakhirnya era Orde Baru terdapat dua provinsi baru dibentuk (Gorontalo dan Sulawesi Barat). Read More…
Catatan Tahun 2002
Keterangan Foto: “[Civil Rights March on Washington, D.C. [Dr. Martin Luther King, Jr. and Mathew Ahmann in a crowd.], 8/28/1963" Original black and white negative by Rowland Scherman. Taken August 28th, 1963, Washington D.C, United States (The National Archives and Records Administration). Colorized by Jordan J. Lloyd. U.S. Information Agency. Press and Publications Service. ca. 1953-ca. 1978. https://catalog.archives.gov/id/542015.
Dalam ranah kepustakaan politik liberal terminologi “civil rights” lebih kurang mengacu pada seperangkat kebijakan publik yang dirancang untuk memberikan jaminan bahwa setiap orang akan diperlakukan secara adil oleh masyarakatnya. Ini dimaksudkan untuk mencegah dan/atau menanggulangi pelbagai bentuk diskriminasi. Cukup jelas bahwa gagasan tersebut berkembang di atas landasan klasik bahwa “all (wo)men are created equal”--sebuah gagasan yang terang-terangan ditolak oleh dua orang peletak dasar-dasar filsafat Barat sendiri, Socrates dan Aristoteles. Bersama dengan isu Perang Dingin antara Barat dan Komunisme serta dekolonisasi, isu-isu tentang “civil rights” pernah menjadi wacana dominan di Eropa dan Amerika. Untuk konteks Amerika Serikat, misalnya, perkembangan konsep “civil rights” boleh jadi mengacu pada praktik-praktik diskriminasi rasial kulit putih atas kulit hitam.
Read More…Catatan tahun 1992
Pernahkah Sang Budha atau orang suci lainnya terbahak? Atau adakah mereka orang yang senantiasa tampil tegar, sedikit senyum, serius melulu menyuntuki nasib dunia—seperti dokter memeriksa preparat melalui mikroskop? Kita tak persis tahu jawabannya. Karena pekabaran yang kita tangkap tentu tak demikian lengkap. Kita hanya sanggup mencegat kesan, yang itu pun kadang seperti bunglon. Semakin ngotot kita meyakini salah satu warnanya, semakain kelirulah kesimpulan kita. Yang pasti, dalam hidup ini ada banyak wilayah yang seakan enggan bersinggungan dengan gelak tawa. Kaku, sepi dan dingin seperti tembok rumah bekas Belanda. Ia cenderung menghindar dari ketawa yang lepas. Sebab hanya dalam sunyi ada keheningan untuk merapatkan rasa, sedangkan ketawa sering diidentikkan dengan nafsu. Dan nafsu itu dari syetan, perusuh setiap itikad baik yang serius.
Read More…In Memoriam
Sepokok pohon sawo di halaman depan rumah saya, yang roboh oleh hujan deras kamis sore menjelang maghrib, sebenarnya mungkin tidak memberi tanda apa pun. Tapi Jum’at pagi puluhan pesan WA saya terima mengabarkan hal yang tidak pernah saya harapkan: seorang sahabat yang demikian baik hatinya, Radjimo Sastro Wiyono, telah pergi untuk selamanya. Orang percaya bahwa meninggal di hari Juma’at adalah pertanda baik, dan saya percaya itu untuk Radjimo. Tapi tetap saja ada bolong besar dalam hati saya hari itu.
Read More…Politik dan Hiburan
Kita telah kehilangan seluruh hak kita dimulai dengan hilangnya hak kita untuk bicara. Dalam The Republic of Silence Sartre menuliskan kalimat tersebut dengan timbre suara mengerang dan menerjang di dekade 1940-an. Persisnya pada bulan september 1944, ketika Prancis sedang berada di bawah dan mencoba melawan pendudukan Jerman, dan ia sendiri menjadi bagian dari gerakan yang dikenal dengan France Resistance itu. Sebagian menduga ia merupakan salah satu pemimpinnya, tapi sebagian yang lain kemudian menyadari bahwa peran Sartre di sana telah terlampau dilebih-lebihkan.
Read More…Pengantar Video Dokumenter
Ad loca aromatum. November 2013, Andang Kelana, salah satu pembuat video Harimau Minahasa, datang memenuhi undangan saya untuk bergabung ke dalam tim penelitian kota-kota di Sulawesi yang diorganisir Yayasan Interseksi. Ada tujuh kota yang akan menjadi tujuan kami di keenam provinsi di Sulawesi. November itu para peneliti sedang melakukan proses pendalaman bacaan tentang Sulawesi, dan setiap minggu rutin bertemu di kantor kami untuk mendiskusikan hasil bacaan dan cicilan rencana penelitian. Tema umum program Interseksi di Sulawesi (2013-2015) adalah tentang demokrasi, politik lokal, dan kewargaan. Di samping tema umum itu, saya juga memberi pilihan kepada para peneliti untuk mengerjakan topik yang diminatinya sendiri di lokasinya masing-masing. Peneliti yang akan berangkat ke Kota Baubau di pulau Buton, Sulawesi Tenggara, misalnya, berencana menulis tentang konflik dalam lingkaran kaum bangsawan Keraton Buton. Sementara yang berangkat ke Minahasa Utara berencana meneliti rantai komoditi manusia dalam industri kopra di sana, dan lain-lain.
Read More…Sosiologi Pembangunan
Ketika pertama kali membaca beberapa teori pembangunan pada akhir dekade 1980an sampai tahun-tahun awal dekade 1990an, di lingkungan universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, waktu itu saya langsung dihadapkan pada dua kutub pendekatan yang bukan hanya berbeda melainkan bahkan bertolakbelakang satu dengan yang lain: pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Dalam kaitannya dengan problem pembangunan di Indonesia, misalnya, kalau yang pertama lebih kurang berurusan dengan wilayah mental world yang dianggap tidak atau belum sesuai dengan tuntutan modernisasi, yang kedua lebih kurang berurusan dengan wilayah di luar mental, structural constrainst, yang membuat potensi masyarakat untuk berkembang selalu terhambat.
Read More…Politik
Banyak peristiwa konyol yang lewat begitu saja di wilayah panca indera kita belakangan ini. Orang ramai mengumpat kemacetan jalan-jalan raya di Jakarta, tapi ketika gubernur DKI memberi sebuah solusi dengan introduksi Busway, yang dilakukan banyak orang hanya memaki. Tapi di situlah letak soalnya, kalau kepentingan orang kaya terganggu, dan politik sudah terlalu lama identik dengan manipulasi.
Read More…Politik
Negara didaulat memiliki wewenang mutlak penguasaan atas mesin-mesin kekerasan yang paling menghancurkan, konkretnya militer, karena ia didirikan justru untuk memenuhi rasa aman warganya. Konkretnya, di tangan negara secara ideal orang membayangkan bahwa kekerasan tidak akan melela tanpa kendali. Penggunaan mesin kekerasan dalam perspektif semacam ini terutama ditujukan untuk kepentingan keselamatan warga dari kemungkinan ancaman kekerasan pihak lain.
Read More…Politik
Almarhum Nietzche menuding demokrasi tidak lebih dari “a mania of counting nose”. Nietzche mungkin terlampau berlebihan, tapi bukan berarti aforismanya itu sama sekali tidak relevan untuk konteks politik kita sekarang. Setelah tgl. 20 September 2004, eksistensi kita dalam demokrasi akan dikonversikan menjadi angka-angka. Ketika sudah menjadi barisan angka, rakyat pada dasarnya menjadi sebuah entitas yang sangat (trans)portable, bisa dibawa ke mana-mana, sangat mudah dimanipulasi menjadi tampilan grafik visual di layar TV atau pagina media cetak. Angka-angka statistik hasil sebuah Pemilu adalah bukti dukungan politik yang paling dipercaya dalam demokrasi.
Read More…Politik
Dalam Pemilu presiden putaran kedua, peluang pasangan Megawati/Muzadi dan Yudhoyono/Kalla bisa diasumsikan lebih kurang sama. Lantas apa yang harus dilakukan setelah kartu suara dicoblos, dan angka-angka kemenangan ditetapkan. Salah satu kelemahan kita sejauh ini adalah karena sebagian terbesar energi kita habiskan untuk mengurusi pemilu, seolah demokrasi melulu identik dengan itu. Sekarang, ketika pilihan yang tersisa hanya tinggal dua kandidat dan Golput, sudah saatnya fokus perhatian kita digeser pada proses demokrasi pasca Pemilu.
Read More…Politik
Sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan calon presiden dan wakil presiden secara definitif tgl 22 Mei 2004, pemeo Latin mens sana in corpore sano sudah harus dibaca secara kritis. Ungkapan “jiwa sehat dalam tubuh sehat” tersebut tampaknya telah mengimposisi nalar kita dengan sebuah commonsense bahwa, dalam konteks Pemilu presiden kali ini, hanya mereka yang fisiknya sempurnalah yang bisa jadi (calon) presiden. Artinya, commonsense seperti ini telah melahirkan cara berpikir yang potensial menjadi praktek diskriminasi seperti sinyalemen Komnas HAM tentang kasus Abdurahman Wahid.
Read More…Politik
Tahun 2004 ini, sebagian besar rakyat pemilih akan disergap kebingungan menghadapi Pemilu beberapa bulan ke depan. Bukan hanya karena Pemilu sekarang berlangsung dalam cara baru yang jauh lebih rumit, tapi terutama karena untuk pertamakalinya dalam periode enam tahun belakangan ini, kompetisi antara kekuatan lama dan baru akan muncul lebih terbuka dalam kontestasi politik formal.
Read More…Sosiologi dan Politik
Kalau segalanya berjalan sesuai rencana, dua peristiwa besar akan mendominasi politik di Indonesia pada tahun 2014, yakni pemilihan umum (pemilu) legislatif pada tgl. 9 April 2014, dan pemilu presiden/wakil presiden pada bulan Juli 2014. Daftar pemilih tetap (DPT) nasional yang dikeluarkan komisi pemilihan umum (KPU) mencatat ada 186.172.508 jumlah penduduk dengan hak pilih (Kompas. Com, 20/2/2014), yang akan diperebutkan oleh para kandidat dan, ini yang paling mencemaskan sebagian orang tapi menyenangkan sebagian yang lain, triliunan rupiah dana yang akan beredar dan dihabiskan oleh seluruh pihak baik individu maupun institusi untuk membiayai seluruh kebutuhan dan tahapan penyelenggaraan dua pemilu raya tersebut. Di luar itu, paling tidak sampai tahun 2019 yang akan datang, dalam rentang lima tahun di Indonesia berlangsung ratusan pemilihan umum daerah pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Demokratisasi selama 16 tahun ini telah menjadikan Indonesia salah satu negeri paling sibuk di dunia dengan pemilihan umum.
Read More…Politik
Beberapa hal membuat banyak pihak mulai mencemaskan jalannya Pemilu yang akan datang. Jumlah partai peserta Pemilu kali ini memang lebih kecil dari jumlah kontestan tahun 1999 yang lalu. Tapi itu bukan berarti masalah yang akan kita hadapi menjadi lebih mudah. Problem kotak dan kertas suara, misalnya, bukan hanya menunjukkan tidak profesionalnya kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU), tapi juga dikhawatirkan akan merepotkan masyarakat pemilih. Tapi jauh-jauh hari, anggota KPU malah lebih sibuk dengan program sosialisasi ke luar negeri daripada membenahi banyak masalah ruwet infrastuktur pemilu di dalam negeri.
Read More…Politik
Sebuah kekuasaan yang terlampau besar kepala selain akan cepat kehilangan ide-ide cerdas, juga akan mengundang cara matinya sendiri. Bukan saja karena ia dihidupkan oleh sekelompok orang dungu yang, karenanya, serba sok tahu, melainkan juga karena ia telah menjadi sebuah dunia di dalam dirinya sendiri. Satu wilayah yang demikian rapat menolak lalulintas harapan dan suara yang lain. Semacam sebuah rasionalitas yang serba tertutup dan inferior sebenarnya, tapi sekaligus berpotensi menghancurkan segala hal baik. Mereka yang hidup dalam orbit kekuasaan seperti itu, biasanya melulu bertindak atas nama dan untuk purbasangka. Hidup seperti berpusing dalam labirin paranoia. Politiknya sarat dengan pelbagai upacara besar, dan pengulangan kalimat-kalimat norak.
Read More…Teknologi
Ketika semua orang ditelikung rasa takut oleh ancaman AIDS, Bill Gates-lah yang seharusnya paling bertanggungjawab, bukan para pekerja seks atau kaum homoseksual. Ceritanya bisa dimulai dari mana saja.
Read More…Politik
Tidak semua orang setuju Shakespeare soal nama. Bekas aktivis penentang Soeharto di masa lalu, misalnya, konon ada yang memberi anaknya nama “Gempur Soeharto” dan “Tikam Soeharto”. Itu artinya, sebuah nama juga bisa bicara banyak tentang pelbagai peristiwa politik pada satu periode historis tertentu. Sebuah nama, dengan kalimat lain, juga sering merupakan satu usaha untuk menautkan diri seseorang dengan pengalaman tertentu di masa lalu, sambil membebankan harapan untuk hari depan. Nama, singkatnya, adalah juga doa, permintaan yang baik dari makhluk kepada yang Mahasegala.
Read More…Sosiologi, Politik
Gibran, penyair romantik dari awal abad ke-20 itu, kita tahu, pernah menulis tentang anak. Bagi saya yang tidak tekun membacanya, kata-kata Gibran sering terasa lebih mirip parabel atau, kalau bukan itu, sebut saja alegori sentimentil. Menyayat sesaat kadang menggugat di lain tempat, tapi tak cukup kuat untuk mengguncang. Mungkin, karena ia hidup dalam lingkungan yang tak banyak dikotori bau ompol, dan rengekan tengah malam yang bikin kesal. Pria kelahiran Bishari, bagian utara Lebanon, ini sebenarnya lebih suka mengaku dirinya seorang pelukis. Karya penulisannya cukup popular dan banyak terjual, termasuk di Indonesia sampai dekade 1990an, tapi tidak pernah benar-benar disambut hangat atau dianggap serius oleh kalangan kritikus sastra. Tapi sampai hari ini, sepotong kalimatnya, “anakmu bukan anakmu, tapi anak sang Mahahidup”, itu tak pernah gagal menghadirkan gema. Orang banyak mengenang itu dengan hati penuh takjub. Di Indonesia kalimat ini cukup sering dikutip menjadi sejenis inspirasi untuk banyak soal. Mungkin hanya karena ia terdengar begitu tak galib di telinga. Waktu itu.
Read More…Sosiologi, Teknologi
Anak dan internet adalah perpaduan yang paling mengagumkan. Keduanya memiliki satu persamaan: peradaban yang baru. Anak-anak dalam sekejap akan menjadi dewasa. Internet sebentar lagi akan bermutasi menjadi bentuk-bentuk yang lebih rumit tapi juga makin lengkap. Seperti anak Anda yang sebentar lagi besar, internet besok lusa pasti tidak hanya akan berhenti dalam persaingan Netscape versus Microsoft. Bedanya, anak tumbuh ke arah sebuah format fisik yang relatif bisa ditebak, sedangkan internet justru belum lagi terduga masa depannya.
Read More…Budaya
Catatan Personal:
Kawan-kawan di situs Jalankaji meminta seluruh redaksi menulis singkat tentang buku favorit mereka di tahun 2020. Bagi saya ini tidak terlalu mudah, karena lebih dari separuh waktu saya di tahun 2020 habis untuk mengerjakan buku Sudah Senja di Jakarta (SSDJ) bersama teman-teman di Populi Center. Tapi karena diberlakukan Work from Home (WFH) waktu yang tersedia jauh lebih melimpah dari biasanya. Dalam interval waktu itu pula saya menemukan buku Japanese Wordworking Tools. Their Tradition, Spirit, and Use (1984). Di luar dugaan buku ini ternyata berisi banyak hal yang sejak lama ingin saya ketahui tentang seluk beluk tradisi pekerja kayu di Jepang yang mengagumkan itu. Maka inilah buku yang saya pilih untuk diceritakan dalam rubrik "bacaan favorit editor" di situs Jalankaji tadi.
Karena kebetulan ada libur cukup panjang di akhir tahun, dan sebagai selingan dari postingan tulisan-tulisan lama, saya mencoba mengembangkan tulisan singkat untuk Jalankaji tadi berikut ini:
Suatu saat saya ingin bisa menulis tentang kayu, karena sejak kecil saya suka mendengar suara ketika bilah ketam yang tajam mengupas permukaan papan atau balok Jati, menghempaskan lapisan tipis-tipis melalui lubang di punggugnya. Berulang-ulang. Bunyi yang nyaring bening, bersih, menukik tapi tetap terdengar halus di ujung. Musik.
Read More…
Sosiologi, Teknologi
Sumber kearifan di zaman kita kini barangkali bukan lagi petuah kaum tua tapi film kartun. Kaum tua terlampau sering merasa benar sendiri, sehingga lebih sanggup mendatangkan rasa bosan yang menentang ketimbang pendengar yang antusias. Selain itu, orang tua kelewat lamban, tak sesuai dengan desakan sumber-sumber informasi lain yang terus-menerus saling menjatuhkan. Dunia kita sekarang, seperti kata Lyotard, terlampau sarat kanal frekwensi informasi bahkan sampai overloaded : Terlampau sering mendengarkan omongan orang tua, dengan demikian, berarti membiarkan diri kita sendiri tertikam kesepian dalam gaduhnya kabar dan peristiwa yang mbludak. Apalagi karena sesungguhnya kita telah menjadi korban dari kelangkaan informasi justru di tengah hirukpikuknya lalulintas kata dan benda, dan warta sejagat.
Read More…Sosiologi, Politik
Meskipun mungkin akan terkesan terlampau mengada-ada bahkan ahistoris untuk mengatakan bahwa riwayat kekuasaan politik pada sebuah masyarakat senantiasa berulang dalam pola yang relatif sama untuk jangka waktu yang sangat lama, tapi untuk konteks politik Indonesia kontemporer, pernyataan seperti itu tampaknya tetap tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Ketika Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya tgl 21 Mei 1998 yang lalu, misalnya, ia tidak menggunakan istilah apa pun yang bisa dicari dalam kamus politik modern melainkan satu istilah yang bisa mengantarkan konotasi konseptual kita pada kisah kekuasaan ratusan tahun yang lalu di zaman kerajaan Mataram Hindu, yakni istilah “lengser” atau lengkapnya “lengser keprabon” yang artinya tidak bisa tidak kecuali meninggalkan tahta keprabuan atau kerajaan.
Read More…Sosiologi, Politik
Kekuasaan dan kemuliaan pada mulanya bolehjadi merupakan dua wilayah yang berbeda sama sekali. Untuk keperluan tulisan ini cukuplah dikatakan bahwa, kalau yang pertama berasosiasi pada otoritas dan kepatuhan, yang kedua berasosiasi pada keagungan dan penghormatan. Kuasa mengisyaratkan kemampuan mempengaruhi bahkan memaksa pihak lain untuk melakukan sesuatu, kemuliaan mengisyaratkan aura, semacam getar ganjil yang menerbitkan ketakziman pihak lain. Kekuasaan adalah terminologi politik, sedangkan kemuliaan bisa diperlakukan sebagai terminologi kultural.
Read More…Sosiologi, Politik
Abdurrahman Wahid adalah kontoversi di dalam dirinya sendiri. Bahkan ketika tahta tertinggi telah direnggutkan darinya ia tetaplah sebuah kontroversi. Bagi orang seperti Wimar Witoelar, kegagalan Wahid mengelola kekuasaan lebih karena ia tidak bisa diimbangi secara cerdas oleh masyarakatnya. Untuk orang tipe Amien Rais, kegagalan yang sama justru timbul karena faktor Wahidnya sendiri. Kalau sikap Wimar bolehjadi didorong oleh kekaguman yang sering tidak kritis, Amien lebih mungkin dirangsang oleh rasa geram yang tidak rasional.
Sosiologi, Politik
Dalam tradisi sosiologi, terbentuknya negara modern merupakan bagian dari proses rasionalisasi. Bagi Max Weber, misalnya, rasionalisasi adalah rangkaian sistematik operasi rasionalitas pada konteks sosial dan kebudayaan. Proses ini berlanjut menjadi modernisasi pada level kemasyarakatan melalui perluasan dan diferensiasi ekonomi kapitalis serta munculnya negara modern. Modernisasi, dengan demikian, mencakup pembentukan perusahaan-perusahaan kapitalis yang bersifat publik dan terpisah dari dunia domestik, serta terbentuknya institusi politik rasional berupa negara modern.
Read More…Sosiologi
Secara sederhana, internet mungkin bisa dipahami pertama-tama sebagai sebuah cara atau metode untuk mentransmisikan bit-bit data atau informasi dari satu komputer ke komputer lain dari satu lokasi ke lokasi lain di seluruh dunia. Arsitektur internet menyediakan beberapa teknologi pengelolaan data digital sehingga informasi-informasi yang dikirim tersebut bisa dipecah menjadi beberapa paket, lantas dikirim melintasi jaringan antar komputer, dan akhirnya ditata ulang oleh komputer penerima. Semua jenis informasi pada prinsipnya akan diperlakukan sama dalam arti bahwa bit-bit tersebut akan dikirim dengan cara yang sama tidak peduli apakah itu merupakan representasi teks, audio, gambar, atau video.[1] Bolehjadi karena itu pula banyak orang yang menganggap internet sebagai teknologi bersifat netral.
Read More…Sosiologi, Teknologi
Lambat tapi pasti masyarakat mulai bergeser pada satu bentuk yang bersandar pada informasi (information-based society). Dominannya informasi dalam dinamika dan relasi sosial masyarakat telah lama disebut-sebut oleh para teoritisi sosial sebagai salah satu ciri zaman pasca-industri. Kondisi seperti ini bukan tanpa resiko. Sebab zaman informasi berarti guncangnya beberapa batas lama, dan mengendurnya pelbagai tradisi. Pada level politik, misalnya, sebuah pemerintahan musti selalu siap merevisi kebijakan politiknya, kalau perlu dalam setiap 24 jam. Jika tidak, segala kebijakan yang diputuskannya akan menjadi tidak relevan lagi. Dengan demikian, serbuan arus informasi telah memperbarui tradisi politik.
Sosiologi, Teknologi
Antara praktek politik dan praktek bisnis industri pasti bertaut kepentingan. Lebih dari itu, dalam banyak kasus di Indonesia, misalnya, baik pebisnis dalam industri maupun politisi dalam politik, keduanya memiliki tujuan akhir yang sering sama: kemakmuran ekonomis bagi dirinya. Industri mengerahkan modal raksasa untuk teknologi pemasaran dengan tujuan meraih keuntungan yang jauh lebih besar. Teorinya jelas: makin besar modal yang dikeluarkan, makin besar kemungkinan pasar bisa dikuasai, dan makin besar pula keuntungan yang diproyeksikan akan diraih. Metode konvensional yang paling banyak dipakai adalah melalui iklan. Dalam politik, kita juga sering mendengar kabar tentang begitu besarnya kapital yang harus dikerahkan oleh seorang politisi untuk mendapatkan dukungan politik dalam sebuah plebisit. Bedanya, kalau profit dalam industri mengindikasikan bisnis yang sehat, profit ekonomis yang ingin diraih politisi justru mengindikasikan politik yang sakit.
Sosiologi, Teknologi
Berbahagiakah orang Jawa dengan kehadiran teknologi internet? Tidakah melalui world wide web mereka bisa mendapatkan tafsir paling mutakhir atas Sumpah Palapa Gajah Mada? Sebuah sumpah yang ingin menghimpun rempah-ruah ranah budaya manusia, dari Trowulan sampai Campa, itu di bawah sebuah pusat wubawa kekuasaan. Melalui web bukan hanya Campa tapi seluruh dunia bisa dikendalikan hanya dengan sebuah layar monitor. Tak perlu berperang mengerahkan kekuatan militer, cukup mengklik link-link dan menuliskan alamat http yang, dengan serentak, akan membawa orang Jawa ke alamat mana saja yang diinginkannya. Dunia sudah berada di ujung jarinya.
Read More…Sosiologi, Politik
“Tiga surat kabar yang memusuhi
jauh harus lebih ditakuti daripada seribu bayonet.”
(Napoleon Bonaparte)
Saya yakin Abdurrahman Wahid pasti membaca George Orwell. Dalam karya distopiannya, 1984, Orwell memperlihatkan bagaimana sebuah kuasa total diterjemahkan secara konkret menjadi pelbagai operasi pengawasan visual (visual surveillance). Kekuasaan jadi tampak bersifat omnipresent, hadir di mana-mana, melotot tajam melalui telescreen raksasa. Kalimat “Big Brother is always watching you” dipakai Orwell sebagai sejenis pemakluman tentang sebuah rezim yang omnipotent sekaligus omniscient, mahakuasa sekaligus mahatahu. Sebuah kuasa yang bersifat omnes et singulatim, mencakup semua dan segalanya, total. Sejarah seperti sedang berkerut menjadi sebuah ruang sempit, dan hidup harus menyerah pada teror. Dan setiap saat adalah langkisan kecemasan.
Read More…Sosiologi, Teknologi
Masihkah kita bisa yakin dengan penataran, sementara kian hari semakin banyak kaum tua dimakamkan? Tampaknya semua orang harus mulai siap menerima dengan lapang hadirnya sebuah generasi yang dibesarkan dengan kesadaran sejarah yang, dalam pandangan kita, terlihat koyak. Bagaimana mungkin, misalnya, seorang pelajar SD di tahun 2010 masih tertarik dengan dongeng kita tentang PKI? Tak seorang pun bisa mengisi ruang peduli di hati dan pikirannya dengan rentang waktu begitu jauh. Orang seusia saya, yang lahir persis ketika dekade 1960-an akan pungkas dan masih sedikit berbau darah, misalnya, toh hanya bisa mengenang para jenderal yang dikuburkan dalam keprihatinan riuhrendah itu, tanpa dendam dan keharusan untuk hidup dalam suasana hati (dan politik tentu saja) yang sama dengan orang-orang sebelum kami. Padahal kami tak cukup beruntung untuk tumbuh dan besar bersama meledaknya revolusi teknologi informasi sampai melahirkan komunitas-komunitas virtual seperti sekarang. Dan kini, kami adalah generasi baru orang tua yang gembira membagi waktu dengan pelbagai media untuk membesarkan anak-anak. Bukan semata karena kesibukan kerja kami, melainkan lebih karena saat ini kami sadar betapa sejak dalam kandungan anak-anak kami telah demikian akrab dengan media.
Read More…Sosiologi
Kalau politik dan agama begitu dekat dengan bahkan tidak bisa dipisahkan dari hidup kita sehari-hari, di mana sebetulnya batas kapan urusan agama berakhir dan politik dimulai? Pada masanya, agama pernah menjadi sumber legitimasi ultim banyak tahta di dunia ketika penyelenggaraan negara tidak semata didasarkan pada konfigurasi dan relasi-relasi kekuasaan yang profan, melainkan juga disepakati sebagai manifestasi sebuah kuasa absolut di seberang realitas. Karena itu, kekuasaan bersifat omnes et singulatim (of all and of each), total. Ia dianggap bukan hanya bersumber dari kompetisi antar kelompok politik yang ada melainkan lebih sebagai pengejawantahan sebuah kuasa ilahiah.
Sosiologi, Teknologi
Sejak Kamis 21 Mei 1998, ada yang harus berubah dalam ingatan kita. Kota lautan api bukan lagi Bandung, tapi Jakarta. Hari itu kita menyaksikan puncak dari segala kemelut.
Macam-macam soal beraduk, kemudian api menghanguskan semuanya. Kehalusan pekerti yang berpuluh tahun dijadikan semacam topeng untuk menutupi kelancungan, berakhir dengan serangkaian prilaku biadab dan memalukan.
Sosiologi, Teknologi
Empat sistem operasi komputer personal, Mac OS, DOS, OS2/Warp, dan Windows 9x saling berlomba merebut kesetiaan konsumen. Apa sebenarnya fungsi terpenting dari sebuah sistem operasi pada sebuah komputer? Mengapa begitu banyak orang membelanjakan uangnya untuk sekumpulan kode-kode program yang tak sepenuhnya bisa mereka pahami? Mengapa sekian banyak perusahaan mau menanamkan modalnya hanya untuk sebuah produk perangkat lunak? Mengapa Netscape, IBM, Apple, dan Oracle begitu sengit melihat dominasi Windows?
Sosiologi
Sebelum berangkat ke dusun Benthek, desa Bhoko, kecamatan Gangga, Lombok Utara (dulu Lombok Barat), saya mampir di salah satu isntansi pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat untuk bertemu dengan seorang teman lama yang kebetulan sedang bertugas di instansi tersebut. Tiba di Bandara sekitar jam 2 siang waktu Lombok, saya dijemput oleh Takeshi Ando, teman yang hendak saya sambangi itu, saya langsung diajak ke kantornya, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Setelah berkenalan dengan beberapa orang staf JICA yang lain, kami berdiskusi tentang beberapa program intervensi ekonomi yang sedang dikerjakan JICA di provinsi tersebut. Setiap orang yang bertanya pada saya tentang maksud kedatangan saya ke Lombok, dan saya jawab bahwa saya akan mengunjungi teman yang sedang meneliti komunitas Buda di kecamatan Gangga, asosiasi mereka pasti langsung tertuju pada para pemeluk agama Budha sebagai salah satu agama resmi yang diakui negara di Indonesia.
Sosiologi, Politik
Kondisi politik Indonesia hari ini pantas membuat kita murung menatap masa depan. Menjelang tahun 2000, seperti halnya di dunia komputer, pada dasarnya kita masih belum lepas dari ancaman millenium bug. Dalam wacana komputer, istilah kutu millenium mengacu pada ketidakmampuan komputer mengelola angka tahun kalender lebih dari dua digit. Tahun 2000 akan diperlakukan sama dengan tahun 1900. Akibatnyal seluruh urusan kacau balau. Dalam wacana politik, itu bisa berarti ketidaksiapan kerangka berpikir kita menghadapi realitas hidup yang makin kompleks dan beragam di zaman baru. Akibatnya, seluruh tatanan bisa ambruk.
Read More…Sosiologi, Budaya
Keterangan Foto: Buddha head embedded in a Banyan tree, Wat Mahathat, Tha Wasukri, Phra Nakhon Si Ayutthaya District, Phra Nakhon Si Ayutthaya, Thailand. Wat Mahathat's Buddha Head is a famous statue that over the decades has been overgrown with the roots of a Banyan Tree. It rests in Thailand's ancient city of Ayutthaya, about an hour and a half from Bangkok. Most people who venture out to this ancient city have a fairly good idea of why they want to go there. I on the other hand, arrived not really sure what to expect. While there, I turned my head and saw this face looking back at me and I realized I have stumbled upon something I have seen many times in photos but never planned to find it for myself. You can say it found me instead. https://unsplash.com/photos/ugm-yDj9Hi4.
Sebatang pohon bukan hanya bisa dijadikan lambang sebuah organisasi politik, melainkan juga jadi sumber dari segala hal yang kita anggap paling baik: kebijaksanaan. Konon, dalam keyakinan para pengikut Budha, ada sepokok kayu yang dianggap pangkal kemuliaan: pohon Bo(dhi).
Persis di bawah pohon Bo yang liar inilah, di abad keenam sebelum Masehi, jauh sebelum orang-orang Eropa mengenal dan membanggakan jargon Pencerahan, seorang pangeran bertafakur demikian keras, sedemikian kerasnya hingga ia membiarkan tubuh rupawannya menjadi rudin.
Sosiologi, Teknologi
“Adalah satu misteri bagiku, Tuan!” tulis Dr. Martin Luther dalam suratnya kepada Sri Paus, “bagaimana tesis hamba….tersebar ke seantero tempat. Padahal itu merupakan ciri eksklusif bagi lingkaran akademis kita, di sini. Tesis itu ditulis dalam bahasa yang sulit dipahami oleh orang-orang awam”. Luther benar dalam satu hal, tapi ia melupakan hal lain bahwa di luar gereja orang sudah mulai mengenal buku-buku cetakan. Apa yang dilupakan Luther, seperti ditunjukkan oleh Neil Postman dalam Technopoly, adalah soal portabilitas buku-buku yang dicetak. Maka meskipun tesisnya ditulis dalam bahasa Latin akademis, dengan mudah ia bisa disebarkan ke seluruh Jerman atau negeri lainnya melalui mesin cetak, dan lantas diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari yang lebih mudah dimengerti. Kelak, ketika Luther mempimpin gerakan Reformasi Protestantisme terhadap gereja, ia menularkan ide-ide, pidato-pidatonya, juga ke dalam pamflet yang dicetak untuk disebar ke mana-mana agar dibaca banyak orang.
Sosiologi
Masih ingat The Time Tunnel? Sekitar lima belas tahun "yang lain", film ini diputar TVRI setiap jum'at malam dengan rasa bangga. Ini adalah sebuah serial science fiction Amerika dengan segala congkak sekaligus kebaikan hatinya. Gagasannya secara lengkap terpresentasikan dalam judul yang diangkatnya: Terowongan Waktu. Lorong yang bisa mengantarkan manusia untuk menjangkau sejarah secara tak terbatas. Ia bisa mengirim kita ke masa ratusan tahun yang lain, dan melemparkan kita ke dalam pelbagai riwayat pada ruang, tempat dan waktu ketika itu, tapi dengan kesadaran saat ini. Kemarin dan hari ini tidak lagi menjadi kategori-kategori penting dalam pengalaman manusia. Waktu tidak lagi bisa dipahami sebagai satuan linear pada apa kita tak memiliki kesanggupan untuk mencegat lajunya.
Read More…Sosiologi, Politik
Dari mana sebenarnya masa depan bermula? Di masa kanak-kanak kita, masa depan dikurung dalam kerangkeng pemahaman konseptual tentang cita-cita: harapan yang belum (tentu) datang. Tapi masa depan ternyata memang tidak lebih dari sekedar sebuah ide. Bagi peziarah kultural seperti Octavio Paz, misalnya, masa depan pada dasarnya bukanlah periode historis yang membentang dalam horison, sudah ada di sana dan, seperti gadis remaja yang belum disunting, menunggu kita mendatangi dan meminangnya dengan wajah gemilang. Sebaliknya, ia adalah sebuah konsep yang secara partikular diperkenalkan oleh modernitas. Tepatnya, ketika tradisi Judeo-Kristian masyarakat Eropa mengintervensi proses pemetaan sejarah sekular, dan menawarkan sebuah historisitas yang khas miliknya: sejarah sebagai sebuah rangkaian teleologis linear yang diderivasikan dari konsep-konsep biblikal. Ada awal yang bisa dilacak, dan akhir yang bisa dinubuat. Ada awal penciptaan, dan sorga sebagai sebuah akhir.
Read More…Sosiologi
Beruntunglah karena dunia kita masih punya seniman. Sebab salah satu kehebatan seniman adalah kesanggupannya untuk menggandakan dunia tanpa penolakan yang berarti dari orang lain. Mereka bisa menciptakan dunia baru untuk berkeluhkesah atau sekedar untuk sebentar bergembira. Itu bisa berupa sebuah dunia tempat kata tak selalu dibebani makna, seperti yang diciptakan oleh Sutardji. Mungkin karena ia tahu betul, sekeras apa pun kita berusaha merekatkan kata pada makna, yang dihasilkannya adalah kalimat-kalimat yang korup, penuh aturan dan, pada dasarnya, juga tak bermakna. Lagi pula, tidakah kebiasaan seperti itu hanya memperlihatkan bakat kita untuk jadi pemaksa yang tak kenal kata "tidak". Sementara kepahitan Sukardal jadi begitu indah dalam puisi Goenawan Muhamad, seperti Affandi yang berhasil meyakinkan mata kita bahwa matahari biru warnanya. Seorang seniman dangdut bahkan sanggup membuat orang yang dihantam alu bencana tetap bergairah bergoyang pinggul.
Read More…Sosiologi
Bulan November tahun 1996 yang lalu, penerbit Basic Books, New York, membuat edisi spesial ulang tahun ke-20 untuk salah satu buku paling terkenal yang pernah diterbitkannya, The Cultural Contradictions of Capitalism. Penulisnya, Daniel Bell, secara khusus pula menulis 56 halaman pengantar baru untuk edisi istimewa dari karya klasiknya tersebut. Terlepas dari pelbagai kelemahan di dalamnya, selama lebih dari dua puluh tahun sejak diterbitkan tahun 1976, buku ini telah menjadi rujukan demikian banyak ilmuwan sosial di dunia dengan minat yang merentang panjang mulai dari seni sampai sosiologi, dari filsafat sosial sampai kajian-kajian postmodernisme.
Read More…Sosiologi, Budaya
Mengapa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sering mengadakan konferensi pers hanya untuk menanggapi kritik lawan-lawan politiknya yang sebenarnya tidak begitu penting? Kritiknya sendiri mungkin memang penting, tapi mengalokasikan ruang dan waktu khusus di depan publik untuk menanggapi itu semua, tidak akan menghasilkan apa pun selain impresi bahwa ia adalah seorang tokoh yang memang rawan dipermainkan oleh hal-hal yang remeh temeh. Yang didapat SBY dari itu semua hanya julukan "lebay", terlampau sensistif, sebuah julukan yang sungguh bertolakbelakang dengan keinginannya sendiri membangun citra diri sebagai pemimpin yang agung dan disegani. Tapi mengapa gaya egaliter Jusuf Kala selama kampanye Pemilu pemilihan presiden 2009 yang lalu justru banyak dilihat sebagai penampilan seorang calon pemimpin yang kurang patut dan tidak berwibawa? Ilmuwan politik atau ahli teori sosial mungkin bisa menjelaskannya dari banyak sisi. Tapi saya curiga, jangan-jangan itu semua juga bersangkutpaut dengan komedi dan relasinya dengan tradisi kritik politik dalam (sebagian) masyarakat Indonesia.
Read More…Mac
Kalau Steve Jobs bisa menepati janjinya, Januari tahun 2001 nanti para pemakai Macintosh akan mendengar berita yang sangat mengguncangkan: era Macintosh telah berakhir. Setelah Apple berusaha keras mempertahankannya selama 16 tahun, satu-satunya sistem operasi komputer yang sanggup memberikan hubungan personal di hati pemakainya itu pun sebentar lagi harus mati. Zaman terus berubah, dan Mac OS telah terus dipacu untuk menyesuaikan diri pada perubahan itu, dan terbukti ia sanggup tetap bertahan. Tapi apa boleh buat Mac OS tidak pantas dipertahankan untuk masa depan. Ia harus surut ke belakang, dan lima tahun dari sekarang ia mungkin hanya akan tinggal sebagai kenangan.
Read More…Sosiologi
Naskah ini tidak bisa dilepaskan dari bahan presentasi digital yang disampaikan di dalam kelas, dan sama sekali bukan makalah akademis yang dipersiapkan secara ketat. Secara garis besar, naskah ini berupa rangkuman sebagian kecil dari peta perkembangan riset visual dalam tradisi ilmu sosial sebagai pelengkap dari uraian tentang aspek-aspek formal-prosedural penelitian sosial dalam konteks kebutuhan penelitian visual yang pemaparan lengkapnya disediakan dalam format presentasi digital tadi. Tujuannya agar para peserta di kelas mendapatkan sedikit pemahaman tentang konteks perkembangan metode riset visual di dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial sebagai latar belakang bagi berlangsungnya diskusi tentang riset visual pada ranah-ranah di luar ilmu sosial.
Read More…Sosiologi
Sampai hari ini saya masih sering bingung melihat orang yang membawa bukan satu tapi dua bahkan tiga telepon genggam sekaligus. Tapi rupanya jumlah handphone yang dibawa bisa menjadi petunjuk awal tentang kehidupan seseorang dalam jaringan sosialnya. Makin luas dan kompleks jaringan sosialnya, makin besar keharusan memiliki lebih dari satu handphone. Mereka yang membawa handphone lebih dari satu karena punya yang baru dan enggan membuang yang lama juga tetap termasuk ke dalam kategori ini. Kalau tidak, mengapa tidak ditinggal di rumah?
Read More…Sosiologi, Politik
Menjelang pemilu, wacana tentang ruang publik (public sphere) kembali relevan paling tidak karena beberapa alasan. Pertama, ruang publik terlanjur diidentikkan dengan proses pembentukan opini publik, dan opini publik dianggap penting karena diasumsikan bisa mendesakkan putusan-putusan politik. Dalam pemilu, idealnya program-program politik kontestan dibawa ke lingkar publik, dan dijadikan wacana terbuka untuk dievaluasi di dalam pasar suara pemilih. Pertanyaannya, bisakah publik mendesakkan perubahan politik melalui suara mereka dalam pemilu kali ini.
Read More…Sosiologi
Secara konseptual, semboyan bhinneka tunggal ika (secara literer berarti "beraneka satu itu") tidaklah kompatibel dengan bentuk masyarakat plural, dan tidak pula kompatibel dengan multikulturalisme. Lebih dari itu, konstruksi masyarakat plural secara konseptual juga tidaklah kompatibel dengan multikulturalisme. Kalau bhinneka tunggal ika, yang diambil dari salah satu bait kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, mengandaikan adanya kesamaan bahkan kesatuan (unity) di antara hal yang berbeda, terminologi masyarakat plural yang diperkenalkan oleh J. S. Furnivall mengandaikan adanya dominasi satu kelompok di atas beragam-ragam beda yang lain, dan multikulturalisme adalah terminologi yang justru tidak merekomendasikan pencarian kesamaan dan kesatuan di antara ragam dan perbedaan melainkan bagaimana ragam dan perbedaan tersebut diperlakukan secara sederajat.
Read More…Games
Tiba-tiba siang berangsur suram. Gelap menggidikkan. Dunia seperti tenggelam entah di mana. Yang tampak hanya sepucuk BFG 9000—senapan pembunuh paling menghancurkan. Tangan saya besar oleh otot-otot bisep dan trisep serta topangan tendon yang mengukuhkan penyatuan saya dengan BFG 9000. Kaki saya dibungkus sepatu lars dari bahan kulit terbaik, lentur dan nyaris tidak bisa rusak. Solnya terbuat dari thermoplastic polyurethane yang beberapa kali lebih kuat dari yang digunakan sepatu merek Timberland.
Seribu hantu seperti tumpah dari langit, menggerung dahsyat, menjerit, melengking parau ke udara. Angkasa yang pasi.