Virus Media! Agenda Terselubung dalam Budaya Popular

Rangkuman Buku

“Blog

Di samping merupakan momen cukup penting dalam sejarah negara Orde Baru, peristiwa wafatnya Nyonya Tien Soeharto tgl 28 April 1996 yang lalu di sisi lain juga berhasil mengungkapkan sebuah indikasi tentang kekuatan media dalam menciptakan sebuah realitas ( a socially constructed reality). Ketika praktis selama lebih dari dua puluh jam seluruh media massa (televisi, radio, dan media cetak) yang ada hanya menyiarkan acara-acara yang masih berkait langsung dengan peristiwa kematian istri presdien tersebut, maka paling tidak ada dua persoalan menarik yang bisa diperhatikan. Pertama, teknologi media massa telah memungkinkan penyebaran berita (duka) ke seluruh pelosok negeri dalam skala waktu yang sangat kecil: cucu Obahorok yang men-tuning radionya di lembah Baliem akan mengetahui kabar kematian tersebut sama cepatnya dengan warga Jakarta yang tinggal di Jakarta--tidak jauh dari kediaman almarhum--atau Nyonya Siti Hardijanti Rukmana yang konon tengah berada di London.

Kedua, saratnya seluruh kanal frekwensi informasi media massa oleh kabar duka dari Cendana di atas secara serentak telah mengakibatkan munculnya sebuah suasana duka bersama yang benar-benar real baik bagi keluarga yang ditinggalkan maupun bagi sekian banyak warga Indonesia lainnya. Secara tiba-tiba nampak ada satu mekanisme yang sanggup memberi semacam rasa tersatukan antara jutaan audiens media massa dengan kondisi psikologis keluarga yang ditinggal mati, rasa tersatukan sebagai sebuah komunitas, sebagai bangsa. Ini artinya media massa bukan lagi refleksi pasif dari realitas sehari-hari tapi justru menjadi acuan tempat realitas tersebut bercermin.

Pengalaman-pengalaman di atas bisa dilacak melalui pergeseran dari dominasi media tradisional ke media elektronik mutakhir: Kedua jenis media tersebut sangat berbeda dalam banyak hal mendasar. Bentuk informasi cetak yang paling banyak beredar hingga kini seperti koran, majalah dan buku tidak pernah bisa menjangkau seluruh pembacanya dalam waktu yang sama. Di lain pihak kecepatan membaca dan mengasimilasikan informasi masing-masing orang berbeda satu dengan lainnya. Padahal sejak penggunaan telegraf di abad sembilan belas sampai internet di penghujung abad 20 ini, komunikasi massa elektronik antara lain justru ditandai oleh kesanggupannya untuk menjangkau jutaaan manusia di daerah-daerah yang sangat berjauhan hanya dalam hitungan detik. Perpaduan antara kabel dan udara akan mentransmisikan komunikasi tersebut kepada siapa dan kapan saja, semua orang dan segala tempat dengan kecepatan sekitar 300.000 km/ detik. Tiga puluh lima menit setelah tertembaknya Kennedy tahun 1963, misalnya, sebagian terbesar warga AS sudah bisa mengetahui dan memahami kabar tersebut, padahal peristiwa yang sama yang menimpa Abraham Lincoln tahun 1865 membutuhkan waktu lebih dari delapan bulan sampai masyarakt AS memahaminya. Antropolog yang mengakses internet dari Eskimo, akan mendapatkan infromasi pada detik yang sama tentang perceraian Lady Diana dengan para wartawan di Inggris.

Buku Media Virus! Hidden Agendas in Popular Culture (1994) yang ditulis Rushkoff ini sebagian besar juga bercerita tentang pelbagai kemungkinan penciptaan realitas-realitas (baru) oleh media. Secara keseluruhan ia seolah ingin menegaskan kembali kepercayaan bahwa “kepak sayap kupu-kupu di Cina bisa menimbulkan badai tropis di New York” (hlm, 15). Artinya, segala peristiwa di sebuah tempat yang demikian jauh bisa membawa reperkusi yang hebat di berbagai tempat lainnya. Ketika filsuf media, McLuhan, tiga dekade lalu menyatakan bahwa setiap media merupakan perpanjangan beberapa fungsi tubuh manusia, ia belum lagi bisa meramalkan bahwa ekstensi tersebut bukan hanya bisa menimbulkan amputasi biologis pada individu (ketulian musisi rock, kebutaan mata para pecandu virtual reality), melainkan juga sanggup bermutasi sedemikian rupa menjadi organisme yang menancapkan pengaruhnya langsung pada kehidupan kita sehari-hari dengan menginfeksi sistem kesadaran setiap orang. Ia terus menyebar kian-kemari dengan kecepatan sangat tinggi, mengubah cara kita memandang dunia berikut dunianya sendiri. Lebih ekstensif daripada alat transportasi apa pun, jaringan media bisa menjangkau dan menyentuh siapa dan di mana saja. Tesis Ruskhoff ditutup dengan kalimat yang sangat sugestif: “Kalau mau, Anda bisa mengabaikan virus-virus media, tapi itu sungguh terlambat. If you’ve gotten this far, you’ve already been infected!”.

Bagi saya, banyak informasi yang disajikan Ruskhoff terasa begitu asing dan membingungkan. Itu karena secara bebas ia mengambil contoh-contohnya dari berbagai bentuk dan isi media yang, dengan teknologi konvensional, (sayangnya) belum lagi bisa diakses di sini sampai ini hari. Celakanya, ia lebih banyak bermain dengan data daripada teori-teori media. Dengan demikian pretensi Ruskhoff untuk menjadikan karyanya mudah dimengerti pembaca dengan uraian-uraian yang detail tentang beberapa contoh yang diambilnya (mulai dari CNN, MTV, Kampanye kepresidenan di AS, film kartun, Madona dan Michael Jackson sampai komik The Swamp Thing; mulai dari internet sampai aplikasi hypercard Apple Macintosh, SimCity sampai jenis-jenis virus komputer dsb.), itu justru bisa sangat mengasyikan sekaligus makin membingungkan. Akan tetapi secara garis besar, intensi Ruskhoff jelas terlihat dari upayanya untuk menghindari kecenderungan dominan dalam analisa media saat ini. Sambil tetap mengakui bermacam-macam kemungkinan buruk yang bisa ditimbulkan oleh media, ia berusaha pula melihat sisi lain dari kesanggupan media untuk menjadi alternatif bagi bentuk-bentuk penentangan terhadap status-quo (yakni potensinya untuk menjadi peluncur hululedak budaya-tanding yang baru) dan upaya-upaya perbaikan nasib manusia. Di lain pihak, dengan tegas ia membedakan antara mainstream media dengan alternatif media secara horisontal, dan secara vertikal antara overground media dengan underground media. Hubungan di antara keduanya bersifat saling memanfaatkan.



Rushkoff memulai uraiannya dengan gambaran tentang bermacam-macam perangkat teknologi media yang dimiliki rata-rata warga Amerika Serikat. Mulai dari mesin fotokopi Xerox, faksimili, sampai televisi yang bisa mengakses puluhan kanal siaran, yang semuanya sangat mudah diakses dan dioperasikan semudah telepon umum. Komputer personal berikut modem bahkan konon telah menjadi perlengkapan standar di kamar-kamar tidur anak belasan tahun. Dengan uraiannya tersebut, tampak jelas bahwa Ruskhoff ingin menunjukkan kondisi utama yang melatarbelakangi perkembangan radikal dalam penggunaan media untuk pelbagai kepentingan yang sebelumnya sulit dilakukan. Singkatnya ia bercerita tentang sebuah masyarakat yang telah bertumpu pada informasi (information based society), dalam apa gerombolan data dan citra begitu berlimpahruah (data superhigway). Tak ada lagi ruang tertinggal yang belum dijelajahi. Garis depan yang paling nyata tinggal ethernya itu sendiri: media. Maka kekuasaan hari ini tidak lagi banyak berurusan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki atau dikuasai seseorang, melainkan lebih ditentukan oleh berapa menit prime-time televisi atau halaman-halaman media berita yang bisa diaksesnya. Pertumbuhan media yang demikian pesat telah menjadi sebuah wilayah yang real, sebuah ruang yang sama real dan terlihat terbuka seperti bola dunia lima ratus tahun lalu. Inilah ruang yang disebut sebagai datasphere atau ruangmedia (media space).

Posisi kaum muda Amerika tampaknya menjadi sangat penting dalam studi Ruskhoff ini. Sebab mereka semula merupakan target utama dari kepentingan ekspansi pasar bagi produk-produk teknologi media seperti disebutkan di atas. Ruskhoff bahkan memberi penekanan menarik bahwa fenomena Nintendo beberapa waktu yang lalu sama pentingnya seperti mesin cetak Gutenberg. Ketika para podusen melempar produknya ke pasaran, yang mereka anut adalah semacam ideologi: berikan kepada anak apa yang mereka inginkan. Tapi dengan cara itu, demikian Ruskhoff, tanpa sengaja mereka sebenarnya telah memberdayakan massa yang semula hendak dimanipulasinya. Dengan menciptakan pasar anak-anak, pada dasarnya mereka juga sedang menciptakan sebuah budaya anak-anak dengan kebutuhan dan permintaannya sendiri. Mereka menciptakan apa yang sekarang biasa disebut sebagai “Generasi X”, yakni generasi AS pertama yang secara penuh terlibat dalam sebuah relasi simbiosis dengan media. Satu generasi yang memandang dunia seperti ia memainkan Nintendo.

Maka seperti materi genetik yang real, memes tersebut menginfilitrasi cara-cara kita melakukan bisnis, mendidik kita sendiri, berinteraksi dengan yang lain--bahkan cara kita memahami realitas.



Mereka inilah generasi baru yang oleh Rushkoff disebut sebagai para aktivis media (media activists). Dilahirkan pada dekade 1950, 1960 atau 1970-an, mereka adalah para partisipan sebuah pengalaman sosial besar dalam apa dunia di belakang layar televisi dipresentasikan sebagai sebuah gambaran nyata dari realitas--atau sekurang-kurangnya sebuah realitas ke mana mereka harus mengarahkan aspirasinya. Menghabiskan sebagian besar energinya untuk berhadapan dengan representasi media, anak-anak ini akhirnya menentukan bahwa cara termudah untuk mengubah dunia adalah dengan mengubah citra dalam layar televisi. Mengubah realitas dengan tiga langkah drag-and-drop-and-klicking (geret-jatuhkan dan klik). Mereka inilah yang sekarang menghasilkan program-program yang paling berpengaruh dalam mengubah cara kita memandang realitas dan, pada gilirannya, mengubah realitasnya itu sendiri. Televisi anak dan MTV misalnya, demikian Rushkoff, kenyataanya merupakan tempat termudah untuk meluncurkan misil budaya-tanding. Pesan-pesannya mendatangi kita dalam kemasan yang mirip kuda-kuda Troja.

Para aktivis media tersebut memahami media sebagai sebuah ekstensi dari sebuah organisme hidup. Seperti halnya para ekolog memahami kehidupan di bumi sebagai bagian dari sebuah organisme biologis tunggal, aktivis media menganggap datasphere sebagai sistem sirkulasi informasi, gagasan dan citra saat ini. Sebagai individu kita masing-masing masuk ke dalamnya kapanpun kita terlibat kontak dengan teknologi komunikasi seperti televisi, jaringan komputer, majalah, video games, mesin fax, surat kabar, videocassetes, atau CDs. Konsekwensi dari pandangan tersebut, menurut Rushkoff, adalah kenyataan bahwa peritiwa-peristiwa media yang mempengaruhi perubahan sosial yang nyata tidaklah cukup dipahami sebagai ibarat kuda-kuda Troja, melainkan sebagai virus-virus media.

Persis itulah inti argumen Ruskhoff, bahwa term virus dalam konteks pertumbuhan, penyebaran dan potensi terinfeksinya kehidupan oleh media tidak lagi bisa dipahami sebagai metafor. Media bukan lagi seperti virus tapi benar-benar merupakan virus. Seperti halnya virus-virus biologis yang hanya merupakan selubung protein berisi materi genetik, yang menyebar melalui tubuh atau komunitas organisme biologis, maka virus-virus media menyebar melalui datasphere. “Selubung protein” virus media mungkin berupa sebuah kejadian, penemuan, teknologi, sistem pemikiran, citra visual, teori ilmiah, skandal seks, gaya busana bahkan seorang pahlawan pop--sejauh semua itu bisa menarik perhatian kita. Selubung-selubung virus tersebut akan mencari tempat penyebarluasannya dalam budaya popular. Tempat hidupnya adalah sebuah dunia yang boleh kita sebut sebagai MacWorld. Yakni sebuah dunia yang secara matang telah disiapkan oleh MTV, MacDonald, Macintosh (dan Microsoft belakangan ini). Sekali menjangkiti, ia akan menyuntikkan agenda-agendanya yang paling tersembunyi ke dalam aliran-data dalam bentuk kode ideologis. Meminjam istilah dalam disiplin medis, Ruskhoff menamakan kode ideologis ini sebagai memes.

Maka menurut Ruskhoff seperti materi genetik yang real, memes tersebut menginfilitrasi cara-cara kita melakukan bisnis, mendidik kita sendiri, berinteraksi dengan yang lain--bahkan cara kita memahami realitas.

Sebagai semacam selubung atau “selaput protein” keberhasilan virus-virus media tergantung pada organisme yang menerimanya. Dalam garis analogi yang sama, Ruskhoff melihat bahwa budaya popularlah organisme penerima virus itu. Yang tampak di mata kita hanyalah citra atau ikon-ikon. Maka semakin provokatif sebuah citra atau ikon, semakin cepat dan jauh ia akan melintasi datasphere. Perhatian dan keterpikatan kita, dengan demikian, adalah sebuah tanda bahwa secara kultural kita tidak “kebal” terhadap virus-virus itu. Sebuah virus media bisa dirancang untuk melawan partai politik, agama, institusi, ekonomi, bisnis, bahkan sistem pemikiran. Seperti para ilmuwan yang memakai virus untuk memerangi penyakit tertentu dalam tubuh manusia, para aktivis media menggunakan virus-virusnya untuk memerangi apa yang mereka anggap sebagai musuh budaya kita. Virus-virus media tersebut telah membawa kita ke arah mutasi sosietal dan sebentuk evolusi.

Ruskhoff mengibaratkan media seperti air, kecuali bahwa yang dihantarkannya adalah elektrisitas sosial. Ke arah mana pun media menyebar, seperti muatan listrik di dalam air, elektrisitas sosial pasti terbawa serta. Karakteristik semacam ini tentu saja telah melahirkan ketakutan pada banyak kalangan masyarakat. Ruskhoff kemudian menukik masuk memeriksa respons dari berbagai kelompok sosial terhadap perkembangan teknologi media kontemporer. Ia menemukan bahwa secara tradisional apa yang biasa disebut sayap-kiri, aktivis lingkungan, dan komunitas New Age adalah mereka yang biasanya menentang ekspansi gila-gilaan dari teknologi ini. Kebanyakan dari anggota kelompok-kelompok tersebut bahkan tidak bersedia atau tidak menyadari bahwa datasphere menyediakan kesanggupan untuk meningkatkan kampanye-kampanye budaya-tanding pada level grassroots yang sebenarnya. Beberapa aktivis lingkungan tetap mempertahankan gagasan bahwa teknologi sama sekali tidak alamiah dan (karenanya) bersifat desktruktif bagi ekosistem planet bumi. Teriakan paling keras menentang media datang dari komunitas New Age, yang masih mengasosiasikan media dengan ideologi-ideologi konsumerisme--yang justru sering mereka promosikan di masa lalu. Dalam The American Replacement of Nature, William Irwin Thompson, seorang teoritisi dan pengajar terkemuka kelompok New Age, misalnya, menyatakan bahwa perkembangan ruangmedia adalah sesuatu yang “tidak alamiah”. Mesin media di mata Thompson adalah wilayahnya setan dan ini berarti datangnya masa apokalipstik.

Bagi Ruskhoff argumen Thompson tersebut benar dalam konteks bahwa AS (atau semua kebudayaan Barat) didasarkan atas satu rasa takut terhadap alam. Mitos-mitos biblikalnya terutama tertuju pada pemisahan antara manusia dengan Tuhan, kelamin yang bersebrangan, dan alam itu sendiri. Terlempar dari “kemanunggalan” dalam syurga, demikian Ruskhoff, manusia lantas mengembangkan sebuah dunia dualistis dan moralitas. Maka secara tradisional kita telah mengasosiasikan wanita, khaos dan alam dengan syetan. Karena sejak awal ikonografi yang dikembangkan oleh firma-firma kehumasan dan dibawa oleh media mendukung gagasan-gagasan dualistik tersebut (gagasan tentang benar dan salah, baik dan buruk, misalnya), maka tidaklah mengherankan jika perkembangan datasphere yang, sambil menawarkan sebuah atmospher khaotik, telah meruntuhkan gagasan-gagasan tadi, itu akan diberi predikat “jahat”.

Perhatian Rushkoff sebagian besar tertuju pada tiga pemain utama dalam era information superhighway: televisi, komputer dan informasi. Pada level konseptual ia berhasil memperkenalkan sebuah gagasan tentang aktivis media sebagai antitesa dari term pengendali media (media controller) yang dikenal secara tradisional sebagai media kehumasan politik. Kalau yang terakhir adalah mereka yang memanfaatkan media untuk mengefektifkan propaganda, maka yang pertama justru memanfaatkan media untuk menolak dan melecehkannya, sambil menawarkan alternatif-alternatif pengalaman yang baru. Roskhoff merujuk Noam Chomsky yang telah menjelaskan bagaimana sejak lama pemerintah AS telah mengembangkan ilmu kehumasan (public relation) untuk meyakinkan rakyatnya bahwa sebuah perkara merupakan soal kehormatan bangsa (seperti perang), dan perkara lainnya merupakan ancaman bagi keamanan dan stabilitas nasional (seperti persatuan buruh). Dalam kalimat lain, yang dikembangkannya tidak lain adalah propaganda.

Bagi Chomsky, komitmen industri Humas adalah untuk mengendalikan pikiran rakyat. Bagi orang yang telibat dalam propaganda tidaklah penting untuk percaya apakah segala hal yang mereka lakukan secara inheren jahat atau tidak, melainkan melulu bertindak sesuai dengan pandangan-dunianya sendiri. Salah satu asumsi pertama para pengendali media adalah bahwa fungsi terbaik sebuah bangsa adalah menjadi sebuah demokrasi penonton (spectator democracy). Para intelektual liberal dekade 1930 dan 1940-an percaya bahwa rakyat kebanyakan terlampau bodoh untuk memahami intrikasi jalannya sebuah bangsa. Ketimbang membujuk publik melalui argumen intelektual, para ahli kehumasan justru hanya mencoba untuk melakukan oversimplifikasi pelbagai isu dan merangsang respon emosional dari para penonton tadi.

Awal kejatuhan propaganda bisa dialamatkan pada peristiwa terkooptasinya teknik-teknik kehumasan oleh bisnis-bisnis besar. Pelbagai teknik yang semula digunakan untuk menciptakan demokrasi penonton di atas, berubah menjadi wilayah kepentingan bisnis-bisnis besar dan lantas digunakan untuk mengembangkan sebuah demokrasi konsumen (consumer democracy) yang dirancang untuk meraih keuntungan dari penghamburan income paska perang. Iklan-iklan, program, dan bahkan film-film televisi datang untuk mempromosikan sebuah pandangan-dunia dalam apa kebahagiaan bisa dibeli. Menjelang akhir dekade 1950-an dunia dibelakang layar TV telah menjadi sebuah ruang-pamer mobil-mobil fantasi, dan gaya hidup. Perkembangan ini berlanjut ketika pada dekade 1960-an media menjelma sebuah dunia tersendiri. Anak-anak bertumbuh menghabiskan lebih banyak waktunya dalam dunia media ketimbang dalam dunia nyata. Artinya, pada dekade tersebut datasphere mulai menjadi lingkungan alamiah kita yang baru.



Perpaduan antara jaringan televisi, komputer dan informasi menjadi datasphere yang sangat mudah diakses seolah menegaskan perbedaan antara generasi baby boomers dengan anak-anaknya (generasi X) di Amerika Serikat. Dalam konteks kajian Ruskhoff, kalau yang pertama adalah para penonton pasif aneka citra dalam media, maka generasi X adalah mereka yang, sambil mengembangkan sikap yang lebih toleran terhadap perbedaan ras, etnik, agama, kelas sosial, bangsa dan gender, justru dengan bebas mengubah citra di layar TV yang juga ditonton oleh orang-orang tuanya. Dalam bahasa Ruskhoff, kesanggupan untuk mengubah apa yang ada pada layar adalah sebuah pemberdayaan yang luar biasa. Sebab dengan mengubah citra berarti juga permulaan untuk mengubah realitas. Lahir setelah 1960 GenXers memperoleh namanya dari sebuah novel Doug Coupland--Generation X--tentang anak-anak yang dipaksa untuk mengembangkan sebuah sikap baru terhadap depiksi media dalam dunia di sekitar mereka. Mereka bukan hanya menerima dan menyarikan media, melainkan memanipulasinya. Mereka memainkannya. Media bukanlah sebuah cermin. Ia adalah suatu “other”, dan mereka persis berada dalam keterhubungan hidup bersamanya.

Saat ini apa pun kejadian di hampir segala tempat di dunia bisa serentak tampil di layar TV. Intimasi sosial, moral dan ideologis yang ditawarkannya benar-benar merupakan candu. Kesadaran kita sebagai individu telah meluas mencakup pertetanggaan seluruh dunia, maka tabung gambar tersebut kita perlakukan sebagai satu-satunya jendela yang sangat fungsional dalam rumah kita. Kita mulai menuntut agar ia melayani kita dengan kegunaan yang lain dari sekedar hiburan. Kita menginginkan informasi, pelbagai gagasan, dan isu. Kita, kalau mungkin, ingin tahu apa yang sedang terjadi di seluruh dunia.

Dengan contoh-contoh yang meyakinkan, Ruskhoff memperlihatkan pergeseran radikal dalam dunia siaran TV. Bagi para baby boomer yang tumbuh pada tahun 1950 dan awal 1960-an, TV dimaksudkan sebagai substitusi peran orang tua, dan pesan-pesan dramatisnya bersifat patriarkal. Seperti orang tua, tabung itu mengajari mereka tentang orang yang baik dan yang jahat. Pertunjukan Polisi memenuhi gelombang udara, dan penonton dengan penasaran menunggu tertangkapnya tokoh jahat. Kebaikan dan kejahatan bersifat given. Penangkapan dan hukuman adalah hadiah bagi para penonton. Ceritanya demikian sederhana bahkan tidaklah serumit pertunjukan-pertunjukan moralitas kuno. Ini sangat bertolakbelakang dengan isi siaran TV sekarang. Menunjuk serial L.A. Law sebagai contoh tipikal, Ruskhoff menyatakan bahwa televisi saat ini mulai menayangkan pertanyaan tentang kemungkinan dari hal-hal yang sebelumnya dianggap sebagai realitas given tadi.

Televisi anak-anak merupakan salah satu dari acara inovatif dalam siaran TV belakangan ini. Anak-anak belajar dari dan dihibur oleh boneka, animasi, tokoh-tokoh rekaan, efek-efek khusus, dan musik pop, bukan petunjuk dan titah. Acara anak-anak yang paling imajinatif biasanya juga menarik perhatian orang tua. Seolah terdapat komunikasi satiris bahkan ironis yang sangat subtil antara para pembuat program anak-anak dengan para orang tua yang menonton bersama anak-anaknya. Karena itu TV bolehjadi telah menjadi media terbaik untuk menghantarkan virus-virus media langsung ke dalam satuan terkecil masyarakat manusia: keluarga.

Salah satu perkembangan radikal dalam dunia siaran TV adalah apa yang oleh Ruskhoff disebutnya sebagai “Revolusi MTV”. MTV kita tahu, memungkinkan para musisi dan penyanyi untuk mengekspresikan diri dan gayanya dalam sebuah format yang jauh lebih luas, dan lebih kaya ketimbang hanya dengan sampul kaset. Yang dibentuknya bukan semata sebuah dunia narasi melainkan sebuah wacana estetik. Penonton bukan hanya disuguhi oleh sebuah karakter melainkan suksesi pelbagai citra. Pat Aufderheide, kritikus media dan editor budaya surat kabar In These Times, misalnya, menunjuk perbedaan kategoris antara video-video musik dengan siaran-siaran televisi tradisonal: Salah satu ciri pembeda video musik sebaga satu ekspresi sosial, demikian Aufderheide, adalah kualitasnya yang terbuka yang tujuannya untuk merangsang emosi penonton dalam komunikasi mereka dengan dirinya sendiri, dan bujukannya pada sebuah alternatif dunia yang baru di mana citra merupakan realitas. Yang dilakukannya adalah penghapusan batas-batas tradisional antara masa lalu dan sekarang, antara karakter dan penampakan, antara tata berkesenian dengan kehidupan yang distilisasikan (hlm, 127- 8).

MTV dikembangkan untuk menyediakan pengalaman-pengalaman yang tidak sinambung. Rekaman gambar-gambar videonya yang terbaik mengeksploitasi fakta bahwa dunia di dalam MTV tidaklah terikat oleh aturan-aturan yang sama seperti realitas biasa. Seorang gadis secara tiba-tiba bisa menemukan dirinya tengah berdansa dengan seorang mahabintang, atau wajah seseorang bisa bermutasi menjadi wajah orang lain. Pada sebuah level yang lebih mendasar, video-video rock MTV, menurut Ruskhoff, secara esensial sama sekali tidak real. They exist in no-time. Para penyanyi hanya menggerakkan bibirnya untuk menyanyikan lagu-lagu yang telah direkam beberapa bulan sebelumnya. Adegan-adegannya diiris-iris secara tak sinambung, sehingga vokalisnya bisa muncul di tiga benua sekligus dalam satu penggalan lirik. Dimungkinkan oleh inkonsistensi inherennya, video-video seperti itu bebas masuk ke dalam sebuah dunia-impian yang takberwaktu, tempat dikontinuitas diolah menjadi kesempatan. Maka MTV bisa dianggap sebagai sebentuk TV pendidikan dalam konteks bahwa ia melatih mata dan otak untuk menangkap lebih banyak citra secara lebih cepat. Seperti puisi yang menggunakan pelbagai citra atau kata-kata dari berbagai budaya bahkan sumber-sumber mitis untuk menciptakan resonansi, video musik MTV menggunakan satu penggambaran visual untuk mempengaruhi penontonnya. Makin cepat dan makin tumpangtindih penggambaran tersebut, semakin dalam akibat potensial yang dibawanya.

Kalau dalam program-program tradisional setiap pertunjukan terikat ketat pada jam siar acara, maka MTV sebaliknya justru nyaris tanpa jadwal. Meskipun ia mulai menjadwal acara-acaranya secara regular, tapi sebagian besar isi MTV pada dasarnya adalah sebuah aliran konstan dari musik dan citra, seperti tangga berjalan. MTV adalah siaran “dua puluh empat jam setiap hari, sehingga Anda akan hidup selamanya”. Ideologinya: “timeless and eternal youth.” Dengan ungkapan lain, revolusi MTV adalah sebuah keterputusan dari sejarah segalanya: orang tua, sekolah, pekerjaan, warisan-warisan etnik, represei sosial, kisah-kisah linear, bahkan dari realitas yang kita pahami secara konsensual selama ini. Ia disemarakkan oleh perayaan diskontinuitas sebagai peluang bagi transformasi serentak.

Kalau baik MTV maupun CNN bisa dikelompokkan ke dalam kategori mainstream media, maka secara detail Rushkoff berhasil memperlihatkan bagaimana para aktivis media bawah tanah (underground media) atau media-alternatif berusaha memanfaatkan icon-icon budaya yang dipakai oleh mitranya itu untuk meluncurkan virus-virus budaya-tanding secara lebih jitu karena mereka tidak terikat oleh sensor media massa. Ada dua cara yang ditempuh untuk menyebarluaskan virus media seperti itu. Yang pertama adalah dengan menggunakan format alternatif--seperti video games, komik, trading cards, dan fantasy role-playing games. Cara kedua adalah dengan membuat penerbitan-mandiri (self-publish) media yang terlalu radikal untuk ukuran mainstream media. Zines--sebutan untuk majalah-majalah yang self-publish tersebut--dan ribuan penerbit buku independen berkembang marak di AS dan Eropa, meliput bermacam-macam isu mulai dari pajak penghasilan sampai anarki. Beberapa di antaranya bahkan ada yang menjadi media tentang media (meta-media). Secara keseluruhan ini membawa pada satu bentuk baru filsafat penerbitan, dalam apa plagiarisme justru didukung dan hakcipta dilecehkan. Meskipun beberapa di antaranya merupakan orang yang lebih suka mendiskuiskan metodologi dan filsafat, namun mereka tidak butuh untuk tampil benar secara politik, lurus secara moral. Formatnya dirancang untuk merefleksikan sebuah sistem nilai dalam apa konsep-konsep seperti interaktivitas, feedback, iterasi, dan virus adalah hukum-hukum dunia.

Majalah-majalah dan pampflet yang self-publish (Zines) bermunculan di mana-mana, sejak komputer-komputer Macintosh dan sistem dekstop publishing yang lain memungkinkan orang untuk menghasilkan karya-karya kualitas profesional secara mandiri. Melalui bulletin board komputer, mailing list, dan faximili, para kativis media telah menciptakan sebuah kongres jaringan dunia yang terdesentralisasi (Decentralized Worl-Wide Networker Congress). Di sanalah mereka saling bertukar teknik, alamat dan, yang terpenting, virus-virus komputer. Mereka menyebutnya sebagai satu keterlibatan transnasional dalam produksi kultural, dialog, kolaborasi, pertukaran terbuka, dan disrupsi kolektif terhadap budaya dominan. Akan tetapi, menurut Ruskhoff, yang terpenting bagi subkultur aktivis media adalah, bahwa jaringan meningkatan interkonektivitas antara anggota-anggota individual yang lantas akan meningkatkan kekuatan gerakan tersebut secara keseluruhan. Dengan tetap berkomunikasi satu sama lain, para aktivis ini tidak mudah untuk dimarginalisasikan oleh budaya dominan.

Video game dan komputer memang merupakan perata jalan bagi masa depan para pemakai komputer untuk menggunakan sebuah antarmuka realitas virtual . Yakni dalam apa yang sekarang kita sebut komputer multimedia-interaktif. Ini menandai momentum penting dalam sejarah media massa, yakni berlangsungnya pergeseran dari bentuk media searah (directive media) menjadi paket multimedia interaktif (interactive multimedia) yang merupakan integrasi dari berbagai jenis media sekaligus. Dengan teknologi multimedia-interaktif ini, Ruskhoff (182-5) menyatakan bahwa seorang pemakai komputer akan berusaha diyakinkan bahwa ia bukan sekedar bisa bermain dengan objek-objek audio-visual, melainkan terlibat langsung di dalam realitas permainan tersebut--bukan semata secara interaktif tapi juga dalam menciptakan medianya (anak-anak kita yang telah sangat menguasai sebuah game komputer , misalnya, mereka sering dengan sengaja membongkar bahasa perintah dari program game tersebut, mengubahnya menjadi tampilan sesuai selera mereka.) Yang ingin dibentuknya adalah semacam etik Cyberpunk Generasi X bahwa "apa pun bisa dicapai".

SimCity keluaran Maxis Software's barangkali merupakan contoh terbaik. Game tersebut akan membawa user pada sebuah kota hasil simulasi, di mana ia harus menentukan seluruh keputusan untuk melangsungkan kehidupan di sebuah pulau khayalan. Game ini dilengkapi dengan sebuah peta di atas mana Anda akan membangun kota. Anda harus memilih wilayah mana yang akan dibangun sebagai perkampungan penduduk, kompleks perdagangan dan industri, kantor polisi, jalan-jalan raya dan jalan-jalan bebas hambatan dsb. Setelah Anda menentukan keputusan, game akan menampilkan laporan untuk Anda tentang seluruh pelaksanaan politik pembangunan yang Anda ambil dalam bentuk nilai-nilai pemilikan, kejahatan, polusi dan keberhasilan perdagangan. Segala keputusan Anda dibatasi oleh anggaran belanja kota, dan waktu yang berlalu dalam hitungan tahun, bulan atau hari.

Kecemerlangan game ini, seperti diungkapkan dengan antusias oleh Ruskhoff (hlm, 183), adalah karena ia telah menghadirkan sebuah gambaran tentang kesalingterhubungan dari tata kota. Anda tidak bisa membangun lebih banyak kompleks industri tanpa menciptakan masalah-masalah lalulintas. Tapi Anda juga tidak bisa seenaknya membangun jalan raya tanpa mengeruk anggaran belanja yang telah Anda tentukan dalam kebijaksanaan moneter Anda. Anda juga tidak bisa mengambil budjet tanpa meningkatkan kejahatan, persis seperti Anda tidak bisa membiarkan kejahatan meningkat tanpa menurunkan nilai pemilikan. Persoalan yang diajukan game ini begitu kompleks, sehingga yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya bukan semata otak tapi juga intuisi dan kesabaran. SimCity bukan sekedar menantang kesanggupan mekanis otak Anda tapi juga kebijaksanaan seorang pemimpin.

SimCity atau game-game lain yang sejenis menawari kita untuk mengalami hal-hal nyata, yang terjadi di antara kita sebagai pemakai dengan gamenya itu sendiri, yang diperantarai oleh satu produk teknologi ciptaan perusahaan Apple Macintosh yang disebut antarmuka (interface) sebuah komputer. Belajar memanipulasi interface sebuah game, dengan demikian, berarti mempelajari agenda si pembuat game. Ruskhoff bahkan menyimpulkan, bahwa ajaran terpenting dari game semacam itu tidak lain adalah bagaimana kita bisa belajar untuk melihat realitas sebagai sebuah jaringan raksasa kesalingterhubungan daripada sekedar hubungan-hubungan kecil kekuasaan. Di lain pihak, Baudrillard (1995:104) menyatakan bahwa integrasi pelbagai sirkuit menjadi sebuah antarmuka sistem komputer semacam itu berpretensi menujukkan kemungkin untuk menulis dunia secara otomatis (the automatic writing of the world).

Teknologi realitas virtual adalah produk yang saat ini tumbuh semakin pesat dan banyak dipakai untuk meluncurkan virus-virus media. Kecuali ketidaksanggupannya menghadirkan citra aroma bau atau wewangian, kemungkinan tak terbatas yang disediakannya untuk mengalami sebuah kenyataan seperti yang sangat mirip realitas sehari-hari bahkan memberi peluang sangat besar pada kita untuk berusaha menerapkan teknologi tersebut dalam cara kita mengalami seks . Dalam bahasa Shoot The Moon Entertainment itu berarti bahwa Club Party Girl Exotic Dancers A True Interactive CD yang diluncurkannya "will turn your software into hardware." Pergeseran dari semata sebuah program komputer (software) menjadi pelbagai bentuk pengalaman nyata (hardware), berarti memasukkan seorang pemakai komputer menjadi bagian dari sebuah dunia virtual di dalam komputer melalui penciptaan pelbagai peluang untuk melangsungkan interaksi, komunikasi antara seorang pemakai dengan bagian-bagian lain dari dunia virtual tadi melalui media yang memasukkannya ke dalam dunia tersebut.

Sebagian terbesar pesan-pesan dalam komik dan game-game komputer diturunkan dari mainstream media. Dengan konsistensi yang mengejutkan bahkan hampir menakutkan, para penulis komik memenuhi cerita-ceritanya dengan sebuah agenda budaya-tanding progresif. Seperti kebanyakan media alternatif atau media bawahtanah lainnya, komik-komik tersebut mempromosikan kesadaran psikedelik, kesadaran lingkungan, kepermisivan seksual, kesamaan ras, nilai-nilai feminis, dan ketakpercayaan terhadap otoritas. Episode Swam Thing yang ditulis oleh Alan More, misalnya, merupakan komik yang paling kontroversial selama dekade 1980-an. Ini adalah cerita tentang makhluk manusia-tumbuhan yang bisa menggunakan kesalingterhubungan dari kerajaan tumbuhan untuk pergi dan muncul di mana pun di dunia. Agenda lingkungan tampak sangat jelas dalam komik ini. Jika sebuah wilayah mengalami polusi, ia akan kesulitan untuk mewujudkan dirinya menjadi sebuah makhluk yang sehat. Kalau Swam Thing sepenuhnya bergantung pada kondisi lingkungan hidupnya, maka begitu pula halnya dengan kita yang begitu tergantung kepada kerajaan tumbuhan untuk makanan, udara, dan biosphere yang seimbang.

Di tangan Moore Swamp Thing menjadi sebuah virus media untuk mempromosikan agenda pro-psikedelik, pro-kerajaan tumbuhan. Banyak pemakai psikedelik percaya bahwa obat-obat terlarang berfungsi dengan memberi manusia akses pada “kesadaran tumbuhan”. Dalam Food of the Gods, Terence McKenna, seorang pembela psikedelik terkemuka, menyatakan bahwa alienasi yang dialami dalam masyarakat modern adalah hasil langsung dari keterputusan hubungan simbiotik dan coevolusioner manusia dengan tumbuh-tumbuhan psikedelik. baginya tumbuhan adalah “rantai yang hilang” dalam pencarian untuk memahami umat manusia dan tempatnya dalam alam semesta. Artinya, manusia dan tumbuhan psikedelik berkoevolusi. Manusia bisa memahami relasi simbiotiknya pada tumbuhan dan alam secara keseluruhan jika memakan tumbuhan psikedelik. Karena tumbuhan ini telah diharamkan kita kehilangan hubungan pada kerajaan tumbuhan dan alam semesta. Keterputusan inilah yang bertanggunjawab atas kurangnya penghargaan kita pada lingkungan, yang dibuktikan oleh pengrusakan kita atas habitat-habitat alami.




“Moral cerita” yang ingin ditawarkan Ruskhoff dalam Media Virus ini adalah bahwa, suka atau tidak suka akses yang begitu mudah pada "data superhighway" telah mengantarkan kita pada era masyarakat berbasis informasi (information based society), bukan lagi masyarakat yang melulu didasarkan pada keterikatan tradisional seperti puak, nagari atau bangsa sekalipun. Di lain pihak secara paradoks pertumbuhan jaringan komputer sedunia juga seolah menandai lahirnya era anarkhi di atas dunia, yang dihasilkan oleh perpaduan antara manusia-manusia hyperindividualis dan lingkungan hyperdemokratis dunia cyberspace. Dengan cara yang sama paradoks lain akan muncul: orang bisa menjadi kosmopolitan sekaligus egois dan primordialis yang puritan--yang bukan lagi berorientasi pada negara atau bangsa melainkan lebih menukik ke akarnya, pada diri atau satuan-satuan kecil lainya. Orang akan menjadi demikian tulus hati untuk saling berbagi, bekerja bersama bahkan dengan siapa pun yang entah di mana. Akan tetapi pada saat yang sama ia memiliki potensi besar untuk menyakiti orang lain secara keji, hanya demi kepuasan hasrat eksperimentasinya pribadi. Melalui virus-virusnya yang berjangkauan sangat luas, para hacker, misalnya, bahkan mengakui dirinya memiliki kesanggupan untuk mematikan sistem-sistem komputer ekonomi dan militer terpenting di dunia, melihat dan mengubah laporan-laporan kredit, file-file deposito Bank, catatan kesehatan, pusat kendali depatemen Hankam dan seterusnya, tanpa sedikitpun memikul konsekwensi dari perbuatannya tersebut. Ini karena pelbagai institusi sosial dan hukum aktual yang ada saat ini belum lagi bisa menjangkau wilayah "kerajaan kebebasan" tersebut.

Orang yang pesimis dan konservatif akan mengangap itu sebagai khaos yang berbahaya, tapi oleh mereka yang optimis khaos justru, seperti para penghayat mitologi mempercayainya, dilihat sebagai awal yang paling baik untuk melahirkan segala yang baru. Dan dalam beberapa hal, saya rasa seperti halnya para aktivis media Ruskhof adalah salah seorang di antaranya.

Sagan, 30 September 1996