Sepokok pohon sawo di halaman depan rumah saya, yang roboh oleh hujan deras kamis sore menjelang maghrib, sebenarnya mungkin tidak memberi tanda apa pun. Tapi Jum’at pagi puluhan pesan WA saya terima mengabarkan hal yang tidak pernah saya harapkan: seorang sahabat yang demikian baik hatinya, Radjimo Sastro Wiyono, telah pergi untuk selamanya. Orang percaya bahwa meninggal di hari Juma’at adalah pertanda baik, dan saya percaya itu untuk Radjimo. Tapi tetap saja ada bolong besar dalam hati saya hari itu.
Mengenang hidup seorang yang sudah tidak lagi bersama kita sebagiannya adalah usaha menghentikan luka. Kehilangan orang yang begitu dekat dengan kita adalah hal lumrah, tapi ketika itu terjadi, tiba-tiba seperti ada sebuah alu besar yang keras menyedak di kerongkongan. Air mata, dan serpih keperihan. Melampaui yang saya bayangkan, ternyata kepergian Radjimo adalah sebuah kehilangan besar dalam hidup saya; hampir seperti ketika saya kehilangan adik bungsu saya hampir sepuluh tahun yang lalu. Sampai malam ini mata saya selalu basah setiap ada kawan dan kerabat yang bertanya atau justru mengabarkan tentang kepergian Radjimo.
Saya mulai kenal Radjimo mungkin sekitar tahun 2007/2008, diperkenalkan oleh Amin Mudzakkir di kantor Yayasan Interseksi di Tanjung Barat. Ia ikut terlibat dalam beberapa aktivitas kecil Interseksi sampai kemudian ia menjadi bagian dari tim penelitian Interseksi tentang kelompok-kelompok minoritas di Indonesia sekitar tahun 2009. Ia memilih komunitas Buda-Keling di Lombok sebagai subjeknya. Saya sendiri datang ke lokasi penelitian Radjimo di dusun Benthek, Lombok Utara, dan menghabiskan waktu berhari-hari di sana. Karena orangnya luwes, Radjimo cepat sekali beradaptasi dengan warga tempatnya tinggal. Sejak kami berdua turun dari kendaraan, berjalan kaki menuju rumah tempatnya menginap, di semua rumah yang kami lewati Radjimo selalu disapa orang dengan ramah. Rupanya di sini dia sudah membentuk klub sepakbola kampung. Saya pernah menuliskan cerita kebersamaan kami di Dusun Benthek untuk situs web Interseksi.
Tulisan Radjimo tentang komunitas Buda Keling di Lombok ini menjadi salah satu Bab dalam buku Hak Minoritas. Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme, yang diterbitkan Interseksi tahun 2010. Untuk buku ini, Radjimo bahkan sempat nginap di rumah saya untuk membantu membenahi tata letak halaman buku. Dia juga orang pertama yang saya mintai pendapat soal sampul buku.
Bersama film-maker Dirmawan Hatta saya pernah berkunjung ke rumah Radjimo di Serang, Banten. Di halaman depan rumahnya tumbuh sebatang pohon mangga. Kami juga diajak berkeliling di kampung-kampung di belakang kompleks perumahannya. Dia cerita bahwa di kampungnya ini dia sedang melatih anak-anak remaja bermain bola.
Setelah riset tentang hak-hak minoritas pungkas, Radjimo kembali menjadi bagian dalam tim riset Interseksi untuk Kota-kota di Sumatra. Kali ini dia memilih lokasi penelitian di Kota Jambi dengan fokus pada pembahasan tentang Sungai Batanghari. Berbeda dari sewaktu di Lombok, di Jambi Radjimo mengalami beberapa hambatan teknis karena ia juga harus menyelesaikan urusan perkuliahan pada program S-2 di Universitas Indonesia. Tapi dengan cukup tawakal akhirnya ia bisa menyelesaikan tulisannya. Bukan hanya itu, ia juga menjadi penjaga kondisi emosi para peneliti lain, terutama yang lebih muda, ketika tulisan-tulisan mereka berkali-kali harus mengalami revisi besar selama proses editing.
Suatu hari Radjimo pernah menggoda saya, “mas Hikmat dan Pak Sofian kaceke ming setahun, tapi kok dia kelihatan jauh lebih muda?”. Asem. Sofian yang dimaksud Radjimo adalah Sofian Munawar, mantan direktur eksekutif Demos yang kemudian jadi direktur program Interseksi. Saya menimpalinya, “lha ya mungkin karena hidup dia lebih enak. Paling tidak dia kan tidak harus mikirin nasib wong-wong koyo kowe Mo!”. Dan kami pun terbahak bersama.
Tidak banyak orang tahu bahwa Radjimo pernah menjadi Koordinator Harian Yayasan Interseksi. Secara legal ini adalah posisi tertinggi pada level pelaksana. Waktu itu Interseksi sedang berada pada salah satu masa yang cukup sulit, ketika dana program belum turun dan operasional lembaga sedang dihemat habis-habisan. Dia membantu saya mempersiapkan program riset dan advokasi di 7 (tujuh) kota di Sulawesi. Dia mengerjakan banyak urusan termasuk menjadi kontak person dengan lembaga donor dan merekrut staf-staf baru. Semua bisa dikerjakannya dengan baik.
Tapi ketika dana sudah turun, Radjimo malah minta izin saya untuk mundur dan hanya ingin terlibat sebagai peneliti saja. Alasannya karena dia harus lebih banyak di rumah untuk keperluan antar-jemput anak-anak ke sekolah dan istrinya ke tempat kerja. Sejak lama Radjimo selalu bilang bahwa pekerjaan utamanya adalah “ternak-teri”, mengantar anak dan mengantar istri. Berarti selama berbulan-bulan itu dia mengorbankan keluarganya hanya untuk membantu saya keluar dari kesulitan. Saya benar-benar melihat praktik prinsip sepi ing pamrih rame ing gawe pada keputusannya itu. Dari almarhum Pak Umar Kayam saya belajar tentang prinsip low living high thingking, tapi dari Radjimo saya mendapat contoh terbaik tentang ikhlas dan tawakal.
Ketika sebagai salah satu anggota tim riset Sulawesi, mungkin karena kesibukan kuliah S-2 atau sebab-sebab lain, dia sering tidak bisa datang dalam diskusi-diskusi persiapan, dengan sangat terpaksa saya harus mengeluarkannya dari tim. Tapi dia malah berterima kasih dan tetap ikut terlibat dalam beberapa aktivitas Interseksi yang lain. Sikapnya sama sekali tidak berubah sedikit pun. Laut luas adalah hatinya.
Setelah satu atau dua tahun tidak pernah bertemu, sekitar Agustus 2019 lalu saya kontak dia via WhatsApp. Seminggu kemudian dia datang ke kantor saya di Populi Center. Dasar orang baik, kedatangannya ternyata membawa kegembiraan bagi teman-teman Populi yang baru dikenalnya. Dia berjanji akan sering mampir karena kantor Populi letaknya cukup dekat dari tempat dia melatih sepak bola. Kami menawari dia kalau kemalaman bisa nginap di kantor Populi.
Pertemuan terakhir saya dengan Radjimo terjadi tgl. 23 Septmber 2019 ketika ia datang di diskusi Forum Populi yang menghadirkan Pak Riwanto Tirtosudarmo sebagai pembicara. Seingat saya tidak banyak yang kami obrolkan setelah diskusi, dan dia bergegas pergi. Saya tidak berusaha menahan kepergiannya, karena kepastian bahwa dia bisa mampir kapan saja kembali di kantor saya di Slipi.
Kemarin seharian saya mencoba membuka-buka arsip Interseksi untuk melihat-lihat lagi riwayat Radjimo dalam lebih dari sepuluh tahun saya mengenalnya. Saya temukan catatan harian singkat yang ditulisnya tgl. 14 Januari 2009 waktu dia bersama saya di Lombok yang saya ceritakan di atas.
Bersama mas Hikmat
Dalam tiga hari, dua malam kami terlibat diskusi yang mengasyikkan. Ia mengajariku banyak hal, salah satunya tentang berbicara. Selama ini kurasakan, aku susah berkomunikasi dengan orang, karena takut salah atau ketakutan-ketakutan lain yang membuatku lebih baik diam. Dia dalam bicara sangat percaya diri, karena memang pembicaraanya penuh isi, dan tak jarang ia berbicara masalah dirinya namun bukan sebuah narsis.
Hari pertama, saya bertemu dia di Jalan Airlangga. Di depan pintu gerbang Hotel Airlangga, kami menghabiskan waktu 3 jam. Selain berbicara tentang riset ini, ia juga berbicara apa yang barusan ia jalani di lombok ini. Duduk di mangkalnya tukang parkir kita sama-sama menunggu fotokopi, saya lapar menunggu ditraktir dia. Jam satuan kami jalan menuju tempat fotokopi, dan dilanjutkan makan siang di bakso ubay. Di sini pun kami berdiskusi..asyik saja. Ia bos, tapi menyetarakan anak buahnya.
Catatan di atas memang tentang saya, tapi yang menonjol adalah gambaran sikap rendah hati dan ikhlas penulisnya. Saya boleh jadi memang narcis memamerkan catatan di atas, tapi itu untuk menyatakan bahwa di awal-awal persahabatan kami, Radjimo mungkin memang mendapat satu dua manfaat dari kedekatannya dengan saya yang 6 atau 7 tahun lebih senior. Tapi selebihnya, saya yakin justru sayalah yang lebih beruntung bisa menjadi sahabatnya.
Sepokok pohon sawo di halaman depan saya roboh oleh hujan deras di malam jum’at, sesosok sahabat berpulang di Jum’at pagi. Selamat jalan sahabatku.
Kepada anak-anaknya yang demikian dicintainya, hati saya merengkuh kalian erat-erat. Ayah kalian adalah orang yang sangat tulus, dan kebaikannya telah menghangatkan hidup orang-orang yang dikenalnya. Dia pasti akan menghangatkan hati orang-orang yang ditemuinya di syurga saat ini. Untuk istri yang ditinggalkannya semoga dilimpahi kesabaran dan kekuatan.
Allahumagfirlahu warhamhu wa’afihi wafuanhu.
Jakarta, Sabtu, 18 Januari 2020. Hikmat Budiman
PS: Saya baru tahu belakangan bahwa tulisan ini di-share di halaman facebook salah satu kerabat Interseksi, dan lantas disiarkan oleh situs Bergelora.com pada tgl. 20 Januari 2020.