Semacam Sebuah Tafsir Sekular atas Sebuah Ritus Keagamaan
Puasa, seperti yang telah “diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”, memperlihatkan kepada kita bahwa lapar dan haus yang dikelola dengan satu keyakinan teguh, artinya dengan kesadaran penuh, bukanlah sekadar sebuah fakad dari derita dan sengsara belaka. Bagi yang berpikir sangat metodis, puasa adalah bagian dari pengelolaan antara pengekangan dan pelepasan, agar keduanya tidak diumbar tanpa takaran. Hidup adalah soal kapan melepas dan bilamana harus mengekang. Bersahaja. Samadya. Tahu batas cukup.
Read More…Setelah Pileg 2009 Berakhir
Saya merasa sangat senang karena tanggal 9 April 2009 telah berlalu. Setelah beberapa lama merasa muak dengan lintang-pukangnya visual kota, akhirnya saya bisa sedikit bernafas lega.
Read More…Mengenang 20 Tahun Forum Interseksi
Tahun 2000 yang lalu, ketika saya pertama kali merencanakan serial diskusi dua bulanan di kantor the Japan Foundation (JF), Jakarta, yang di kemudian hari menjadi Forum Interseksi itu, saya tidak pernah membayangkan bahwa forum tersebut akan bertahan cukup lama. Sampai tahun 2007 ini. Seri diskusinya sendiri baru dimulai menjelang akhir tahun 2001, karena selama tahun 2000 ada beberapa aktivitas lain yang lebih mendesak, dan saya masih harus beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru saja saya masuki waktu itu.
Read More…In Memoriam
Daniel Dhakidae dan Thung Ju Lan dalam acara diksusi membahas buku Seri Hak Minoritas terbitan Yayasan Interseksi tahun 2007 di Hotel Santika, Jakarta Barat, 4 September 2007.
Tadi pagi, Selasa, 6 April 2021, puluhan pesan WA mengantarkan kabar duka lagi. Daniel Dhakidae, salah seorang intelektual publik dengan reputasi besar telah pergi menghadap illahi akibat serangan jantung pada pukul 3 dini hari. Seperti ribuan orang lainnya, saya tentu saja ikut merasakan sebuah kehilangan besar oleh kepergiannya itu. Sosok Daniel Dhakidae sudah menjulang tinggi di mata saya bahkan sejak saya masih kuliah S1 di akhir 1980an sampai awal 1990an. Meskipun saya tidak pernah benar-benar kenal dekat secara personal, tapi ada beberapa momen dalam hidup kami yang sempat bersisian dan membuat respect saya kepadanya semakin bertambah besar.
Read More…Liber Amicorum
Sebuah pagi di tahun 2000 (atau 2001 saya tidak ingat persis). Untuk pergi ke kantor saya di Gedung Summitmas, Jl. Jendral Sudirman, Jakarta, seperti hari-hari sebelum itu, saya naik bis Patas AC jurusan Depok-Tanah Abang dari rumah kontrakan saya di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Biasanya saya berhenti di halte bus di depan kantor Kepolisian Daerah (Polda) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), atau yang biasa juga disebut Komdak, di Jalan Gatot Subroto, sebelum saya melanjutkan kilometer terakhir menuju kantor di Gedung Summitmas I dengan naik bis Metromini ke arah Blok M. Tapi seperti sering terjadi sebelumya, karena tidak tahan dengan sesakan penumpang di dalam bis, pagi itu saya memutuskan untuk turun di perempatan Kuningan (waktu itu Underpass yang menghubungkan kawasan Mampang dan Jl. H.R. Rasuna Said belum dibangun). Yang masih saya ingat adalah, setelah turun dari bus saya lantas menunggu taksi kosong yang lewat. Kebetulan lokasi saya turun tidak begitu jauh dari kantor pusat perusahaan Taxi Blue Bird.
Read More…In Memoriam
Dua mobil VW (Volkswagon) tua mungkin bisa sedikit bercerita tentang komitmen Bisri Effendi (BE) dalam upaya panjangnya untuk rekonsiliasi kultural di banyak tempat di Indonesia.
BE adalah pencinta mobil VW tua. Seingat saya ia memiliki dua VW tua di rumahnya, tapi saya tidak persis tahu keluaran tahun berapa masing-masing mobil itu. Yang satu sebuah VW Kodok (VW Beetle), dan satu lagi sebuah VW Kombi (Combi). Dua-duanya adalah model VW yang saya kira paling ikonik, yang bukan hanya digemari di Indonesia tapi juga di tempat-tempat lain di dunia. Ketika butuh modal untuk mendirikan perusahaan yang sekarang menjadi perusahaan terkaya di bumi, Apple Computer, yang belakangan berubah nama menjadi Apple Inc, Steve Jobs menjual barang miliknya yang dia anggap paling berharga waktu itu, sebuah VW Kombi. Read More…In Memoriam
Sepokok pohon sawo di halaman depan rumah saya, yang roboh oleh hujan deras kamis sore menjelang maghrib, sebenarnya mungkin tidak memberi tanda apa pun. Tapi Jum’at pagi puluhan pesan WA saya terima mengabarkan hal yang tidak pernah saya harapkan: seorang sahabat yang demikian baik hatinya, Radjimo Sastro Wiyono, telah pergi untuk selamanya. Orang percaya bahwa meninggal di hari Juma’at adalah pertanda baik, dan saya percaya itu untuk Radjimo. Tapi tetap saja ada bolong besar dalam hati saya hari itu.
Read More…Sosiologi
Sebelum berangkat ke dusun Benthek, desa Bhoko, kecamatan Gangga, Lombok Utara (dulu Lombok Barat), saya mampir di salah satu isntansi pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat untuk bertemu dengan seorang teman lama yang kebetulan sedang bertugas di instansi tersebut. Tiba di Bandara sekitar jam 2 siang waktu Lombok, saya dijemput oleh Takeshi Ando, teman yang hendak saya sambangi itu, saya langsung diajak ke kantornya, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Setelah berkenalan dengan beberapa orang staf JICA yang lain, kami berdiskusi tentang beberapa program intervensi ekonomi yang sedang dikerjakan JICA di provinsi tersebut. Setiap orang yang bertanya pada saya tentang maksud kedatangan saya ke Lombok, dan saya jawab bahwa saya akan mengunjungi teman yang sedang meneliti komunitas Buda di kecamatan Gangga, asosiasi mereka pasti langsung tertuju pada para pemeluk agama Budha sebagai salah satu agama resmi yang diakui negara di Indonesia.