Semacam Sebuah Tafsir Sekular atas Sebuah Ritus Keagamaan
- Hikmat Budiman |
Puasa, seperti yang telah “diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”, memperlihatkan kepada kita bahwa lapar dan haus yang dikelola dengan satu keyakinan teguh, artinya dengan kesadaran penuh, bukanlah sekadar sebuah fakad dari derita dan sengsara belaka. Bagi yang berpikir sangat metodis, puasa adalah bagian dari pengelolaan antara pengekangan dan pelepasan, agar keduanya tidak diumbar tanpa takaran. Hidup adalah soal kapan melepas dan bilamana harus mengekang. Bersahaja. Samadya. Tahu batas cukup.
Tapi melalui praktik pengekangan suci itu kita, seperti dikerjakan oleh orang-orang sebelum kita itu, juga sedang merangsang tumbuhnya rasa solidaritas pada sesama. Sepanjang bulan kita diseru untuk berserah diri dan penuh syukur kepada yang mahahidup, dan terus berbagi dan berempati terutama kepada yang hidupnya ditimpa malang.
Keutamaan etis dari laku hidup semacam itu, dimulai dari pilihan apa yang bisa masuk ke dalam mulut dan perut, martabat kemanusiaan kita dimulai dari praktik laku yang baik. Tafsir materialisnya kurang lebih adalah
man is what he eats. Manusia adalah apa yang masuk ke dalam mulutnya. Memasang kendali pada mulut adalah bagian dari cara kita mengendalikan hidup. Puasa pada dasarnya adalah sosok agung seorang ibu yang di dalam rahimnya berlangsung proses-proses spiritual, bukan digital, yang memungkinkan kita terlahir kembali sebagai manusia baru. Setelah puasa yang tersedia luas bagi kita adalah ruang dan kemungkinan untuk meremajakan kembali hidup, yang mungkin sudah kusut masai oleh kepongahan, lupa diri, dan bakhil.
Akan seperti apa hidup kita setelah puasa sepenuhnya bergantung pada bagaimana kita menggunakan ruang dan kemungkinan itu. Dalam hal ini saya sepakat dengan Sartre bahwa manusia dihukum untuk merdeka, karena sekali ia lahir ke dunia ia sepenuhnya bertanggungjawab atas seluruh tindak perbuatannya. Kalau setelah puasa Anda tetap menjadi koruptor, bukanlah salah bunda mengandung tapi salah Anda terlampau lemah tunduk pada kerakusan. Kalau di hari-hari mendatang yang Anda cari tetap saja hanya uang dan kedudukan, mungkin memang ada yang salah dalam cara Anda menyikapi dan mengelola haus dan lapar sepanjang hidup.
Puasa, singkatnya, seperti semburat perak di langit ketika siang dikepung mendung. Ia mungkin memang manifes langsung dari sebuah keinsyafan bahwa kedaifan kita itulah yang selalu memberi kita harapan untuk terus memperbaiki diri. Bagi kita sebagai mahkluk, yang daif itulah yang telah sempurna adanya.
Lebaran, di sisi berikutnya, selalu mengingatkan kita bahwa bahkan setelah sebuah kemenangan besar pun, kita tetap harus selalu tahu diri. Ketika akhir dari bulan pengekangan dirayakan, digemakan di mana-mana, dan takbir tentang kebesaran-Nya memenuhi angkasa, kita seperti selalu dibetot kembali untuk menekuri sejumlah kesalahan, dan sekian banyak perkara menyakitkan yang sering kita abaikan, dan berbilang ketololan sekeras apa pun kita mencoba mengingkarinya.
Shinta melabuhkan tubuhnya ke dalam kobaran api bukan terutama untuk membuktikan bahwa ia masih seorang perawan suci setelah hidup dalam rundungan kuasa Rahwana, melainkan untuk menyergap Rama, yang melambung-lambung dimabuk kemenangan, itu kembali ke dalam kebimbangan tentang dharma, tentang keutamaan dan harga diri yang membuatnya demikian pongah setelah anak panah terakhirnya menghamparkan Rahwana ke tempat yang hina. Orang-orang yang selalu memenangi pertempuran memang cenderung merasa kebenaran hanya miliknya sendiri.
Sebagai personifikasi angkara paling murka Rahwana memang telah ditumbangkan. Dalam wayang di Jawa diceritakan bahwa jasadnya dijepit dua gunung besar, yang adalah anak-anaknya sendiri yang ia ingkari. Ia hanya tinggal bisa meronta, dan melolong kesakitan. Sepanjang umur. Tapi gelembung-gelembung nafsunya terus melela, dihirup dan beranak pinak di hati semakin banyak orang. Di Alengka, di Ayodya bahkan di hati Rama. Dan kita. Di Jakarta. Di Indonesia yang raya.
Shinta memaksa Rama kembali belajar keras dalam cara yang memilukan. Padahal di samping Rama kini sudah tidak ada lagi Laksmana. Kerabat setianya itu telah pergi sambil menanggungkan kecamuk rasa jengkel, kecewa dan sakit hati. Gondewanya yang megah dan selalu memberinya keunggulan di setiap perang dan pertempuran, perlahan jatuh ke tanah. Pikirannya sesak oleh kesumat, rindu dendam. Dan tentu saja berahi yang samar-samar.
Api luruh, dan tubuh Shinta tetap utuh. Tapi cintanya terlanjur tumpas, menjadi arang menjadi abu, dan jelaga yang menghitamkan beberapa tiang pancang. Labuh geni Shinta hari itu hanya memperlihatkan apa yang dalam neologisme Derrida disebut phallogosentrisme, yang memang moronik, congkak sekaligus juga pandir. Setelah tubuh Shinta lesap dilahap bumi, Rama telak ditikam nestapa dan penyesalan, dan sepi: bahwa bahkan seorang pemenang gemilang sekalipun ternyata tetap harus berendah hati dan tidak merasa paling suci.
Perlawanan kita terhadap diri kita sendiri mungkin memang jadi tampak seperti jalan tak ada ujung, tak pernah benar-benar sampai ke tujuan. Perjuangan terbesar dan paling berat, menurut suara bijak dari jazirah Arab pada sekitar abad ke-7 Masehi, adalah melawan hawa nafsu. Dan konsep nafsu tidak menunjuk ke wilayah eksterior dari ego. Ia cenderung tidak mengandaikan jarak spasial dan temporal karena ia justru merupakan bagian dari karakter kontradiktif kita sebagai sebuah ciptaan yang lengkap dari awal.
Nafsu bukan menyerbu dari luar sebagai agresor yang merusak, melainkan sudah ada di dalam diri kita masing-masing, sebagai dorongan agar hidup kita tidak monoton. Seperti pagi ia harus ada setiap hari di waktu yang tepat, untuk sesaat dan tidak sampai siang. Karena itu kita tidak diperintahkan melenyapkannya tapi menaklukkan, mengendalikannya, termasuk ketika kita menjalankan laku puasa. Nafsu adalah yang menjadikan hidup menarik, tidak kerontang dan dengan terus-menerus melawannya urusan kita di dunia menjadi lebih punya arti. Ketika diwajibkan kepada kita untuk berpuasa, seperti telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita itu, kita seharusnya makin tahu bahwa perkara mengelola hawa nafsu adalah laku yang tidak bisa putus, perlawanan tanpa akhir.
Bagi sebagian orang, perlawanan tadi mungkin memang akan lebih tampak seperti kisah tragis tentang hukuman yang harus dihela Sisyphus raja Ephyra. Tapi bagi sebagian yang lain ia justru yang menjadikan hidup terus menyediakan tenaga dan makna. Merayakan lebaran adalah merayakan jeda, memberi ruang bagi rasa gembira setelah sebulan tali kekang kita tarik sekuatnya.
Tubuh kita (mudah-mudahan) telah dibersihkan dengan puasa. Ini adalah bahasa spiritual untuk apa yang dalam diet modern disebut detoksifikasi. Jiwa kita (semoga) sudah disucikan dengan zakat menjelang lebaran, sebagai bagian dari komitmen kita pada kehidupan bersama di dalam puak, nagari dan bangsa. Tapi bahkan ketika tubuh dan jiwa kita telah diteguhkan ulang pun, tetap tertinggal satu ihwal untuk setiap hari lebaran yang raya: maaf dari sesama.
Selamat Idul Fitri, 1 Syawal 1439. Mohon maaf lahir dan bathin.
Sukabumi, 15 Juni 2018
Hikmat Budiman
Ini adalah tulisan pertama yang sepenuhnya saya tulis pada iPhone tahun 2018 yang lalu. Dimuat di sini dengan beberapa perubahan kecil.
BACA JUGA
Sosiologi | Teknologi
Sosiologi | Budaya
Sosiologi | Media