Mengapa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sering mengadakan konferensi pers hanya untuk menanggapi kritik lawan-lawan politiknya yang sebenarnya tidak begitu penting? Kritiknya sendiri mungkin memang penting, tapi mengalokasikan ruang dan waktu khusus di depan publik untuk menanggapi itu semua, tidak akan menghasilkan apa pun selain impresi bahwa ia adalah seorang tokoh yang memang rawan dipermainkan oleh hal-hal yang remeh temeh. Yang didapat SBY dari itu semua hanya julukan "lebay", terlampau sensistif, sebuah julukan yang sungguh bertolakbelakang dengan keinginannya sendiri membangun citra diri sebagai pemimpin yang agung dan disegani. Tapi mengapa gaya egaliter Jusuf Kala selama kampanye Pemilu pemilihan presiden 2009 yang lalu justru banyak dilihat sebagai penampilan seorang calon pemimpin yang kurang patut dan tidak berwibawa? Ilmuwan politik atau ahli teori sosial mungkin bisa menjelaskannya dari banyak sisi. Tapi saya curiga, jangan-jangan itu semua juga bersangkutpaut dengan komedi dan relasinya dengan tradisi kritik politik dalam (sebagian) masyarakat Indonesia.
Tanpa harus melihat banjir variety show yang didominasi pelawak, dan komedi situasi tv-tv swasta Indonesia beberapa tahun belakangan ini, komedi pasti sudah lama menjadi bagian sangat penting dalam hidup kita. Kalau Aristotle benar bahwa manusia adalah satu-satunya mahkluk yang bisa dirangsang atau diajak untuk tertawa, maka komedi mungkin memang bisa dianggap bagian dari hidup kita yang paling alamiah. Melalui komedi kita seperti mendapatkan saluran untuk dorongan-dorongan dari dalam jiwa yang niscaya tersumbat oleh norma, oleh dogma, dan hipokrisi. Dalam komedi ketidakpatutan sosial justru menjadi norma, yang tidak masuk akal bisa diterima, budak bisa menjadi tuan atau sebaliknya, yang vulgar menjadi bagian dari tatakrama, dan penyimpangan (indecorum) sosial dan estetik merupakan keharusan inheren, sehingga sadar atau tidak kita selalu berada dalam posisi berguncang tanpa ikatan-ikatan standar kultural yang lazim. Anda yang suka menonton pertunjukan kelompok Srimulat di layar TV, misalnya, bisa melihat bagaimana mereka mementaskan penyimpangan-penyimpangan itu baik dalam bentuk makian-makian kasar sampai prilaku vulgar yang oleh beberapa kalangan mungkin sulit diterima dalam hidup di luar panggung, tapi yang bagi sebagian yang lain bisa saja itu merupakan praktek yang biasa dalam hidup sehari-hari.
Kita bisa mengatakan bahwa norma dalam pertunjukan komedi memang berbeda dengan norma dalam kehidupan nyata. Pertunjukan komedi adalah salah satu menifestasi kita sebagai homo luden, makhluk yang bermain. Sejarawan Johan Huzinga memberi tahu kita bahwa sebagai homo luden manusia memproduksi aturan main sendiri yang berbeda dari norma yang ada dalam kehidupan di luar permainan. Ini mungkin sebangun dengan argumen bahwa seni memiliki inner-logic-nya sendiri, sehingga karena itu ia tidak bisa dihakimi dengan acuan norma-norma yang berlaku di luarnya. Tapi di luar panggung atau arena permainan hidup niscaya ditata oleh struktur yang terus mereproduksi hierarki sosial. Norma menjadi penting untuk kebutuhan semacam itu. Maka norma bukanlah postulat-postulat yang class-agnostic, melainkan pasti melayani kelas tertentu. Konsep komedi sebagai bentuk-bentuk “social indecorum”, yang secara harafiah berarti tidak sesuai dengan selera, kepatutan atau etiket, memperlihatkan bagaimana kelas sosial memproduksi hierarki dan norma bahkan di dalam dan melalui pertunjukan seni. Karena itu, mereka yang merasa berasal dari kelas “terhormat” cenderung melihat komedi sebagai representasi dari kehidupan orang-orang kelas menengah ke bawah. Komedi dianggap menghadirkan segala jenis ketidakpatutan sikap dan prilaku kelas sosial semacam itu. Jika demikian maka komedi juga merupakan fungsi dari perbedaan kelas sosial.
Maka norma bukanlah postulat-postulat yang class-agnostic, melainkan pasti melayani kelas tertentu. Konsep komedi sebagai bentuk-bentuk "social indecorum", yang secara harafiah berarti tidak sesuai dengan selera, kepatutan atau etiket, memperlihatkan bagaimana kelas sosial memproduksi hierarki dan norma bahkan di dalam dan melalui pertunjukan seni.
Tapi komedi bisa juga dilihat lebih dari sekedar ajakan untuk tertawa. Hegel memuja karya-karya komedi yang ditulis oleh Aristophanes sebagai representasi yang sangat gemilang tentang kesenangan dan kebebasan sejati umat manusia. Dalam Lectures on the History of Philosophy, ia bahkan menyebut Aristophanes menyajikan “a freedom we would not dream of were it not historically authenticated.” Bagi Hegel komedi memiliki signifikansi spiritual yang sama dengan kenegarawanan, filsafat dan tragedi. Karya Aristophanes dianggap penting karena tema-temanya, yakni tentang negara, filsafat, perang dan perdamaian, gender, dan relasi antara dewa-dewa dengan manusia, itu benar-benar substansial, sehingga komedinya bukan sekedar dan melampaui batas kelucuan dan hiburan belaka (Freydberg, 2008, h. 3).
Saya dan sebagian terbesar orang Indonesia lainnya, tentu saja, belum pernah membaca karya-karya Aristophanes. Lagipula, apa yang membuat lucu atau tertawa pada dasarnya sangat ditentukan oleh kultur masing-masing orang. Karena lingkup pergaulan kultural saya sangat terbatas, misalnya, saya sering gagal menikmati film-film komedi a la Hollywood. Yang akrab dengan sebagian besar dari kita adalah kisah-kisah tentang orang-orang pandir yang jenaka seperti si Kabayan atau lawakan-lawakan bodoh di layar TV saat ini. Konotasi konseptual kita tentang komedi, berbeda dengan pujian Hegel pada karya-karya Aristophanes di atas, adalah hiburan yang lucu tidak peduli apakah di dalamnya ada pesan-pesan tertentu atau tidak. Memang pernah ada siaran lawak di layar TV yang cukup cerdas sekaligus lucu, seperti Bagito Show (Baso) pada era 1990an, atau parodi politik dalam Republik Mimpi pada era 2000an, tapi selebihnya adalah tampilan kebodohan yang tidak pantas dikenang. Singkatnya, komedi adalah hiburan yang harus mudah dinikmati dan, yang pasti, harus bisa memancing tawa penonton. Ia terlanjur secara serampangan diidentikan dengan lawak. Para pelawak kita sering mengatakan bahwa salah satu pengalaman pahit dalam karir mereka adalah kalau lawakannya tidak bisa memancing tawa audience-nya atau, yang ini lebih satire, penampilan mereka kalah lucu oleh ulah para anggota parlemen. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pelawak disamakan dengan badut atau alan-alan. Yang bisa lebih lucu dari badut, dengan demikian, pasti lebih dari sekedar alan-alan.
Kalau pun komedi mungkin memang mudah dinikmati, ia tidaklah mudah didefinisikan. Pertanyaan tentang apa itu komedi, akan mendapatkan jawaban yang tidak pernah memuaskan. Ini bukan hanya karena begitu banyaknya ragam bentuk komedi, tapi juga karena keterbatasan masing-masing definisi. Coba perhatikan beberapa definisi formal ini. Untuk entri kata “komedi”, The Concise Oxford Dictionary, misalnya, memulainya sebagai berikut:
comedy|ˈkämədē|, n. Stage-play of light, amusing and often satirical character, chiefly representing everyday life, & with happy ending (cf. TRAGEDY);
Sebagai perbandingan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008 memberi batasan berikut:
komedi /komédi/ n sandiwara yg penuh dng kelucuan-kelucuan (yg tidak masuk akal); sandiwara gembira komidi n 1 pertunjukan cerita yg dimainkan oleh orang; sandiwara; 2 pertunjukan
Batasan yang relatif lebih luas justru ada pada KBBI terbitan 1998:
komedi//komédi/ n sandiwara ringan yang penuh dng kelucuan-kelucuan meskipun kadang-kadang kelucuan itu bersifat menyindir dan berakhir dengan bahagia;
--banyolan komedi khusus untuk membuat penonton tertawa (tanpa berisi pesan apa-apa); --romantik komedi yang berisi petualangan dan pendewaan cinta oleh para pelakunya;--stambul komedi berbahasa Melayu yang menceritakan Hikayat 1001 Malam.
Paling tidak ada tiga patokan tentang komedi yang bisa kita lihat dari definisi versi The Concise Oxford Dictionary dan KBBI di atas: 1) menerbitkan gelak tawa (the generation of laughter); 2) akhir bahagia (the presence of happy ending), dan; 3) representasi dari kehidupan sehari-hari (representation of everyday life). Tapi bahkan tiga patokan ini pun tidak serta merta memudahkan kita menetapkan apakah sebuah karya yang bisa memancing tawa atau berakhir dengan bahagia sebuah komedi atau bukan. Kalau patokan komedi adalah memancing tawa, kita tidak bisa membedakannya dengan humor biasa atau dengan gas yang bisa merangsang syaraf ketawa (laughing gas) atau bahkan dengan kesenangan saya menggelitik pinggang anak bungsu kalau ia malas disuruh bangun pagi. Tapi prilaku para anggota parlemen kita di Senayan mungkin memang bisa dianggap sebagai komedi kalau kita melihatnya dari aspek ketidakpatutan sosial, etiket dan estetika. Sementara patokan happy ending dan representasi kehidupan sehari-hari jelas bukan ciri eksklusif komedi. Cerita anak-anak dari Snow White sampai Bawang Putih dan Bawang Merah, atau sebagian besar sinetron dan film Hollywood yang tidak berpretensi komedi ceritanya juga dipungkas dengan kebahagiaan tokoh-tokoh utamanya.
Asal-usul kata komedi umumnya disepakati berasal dari gabungan dua kata Yunani “kômos” atau “kômaî”, dan “oda”. Kalau merujuk terjemahannya ke dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Indonesia kata “kômos” (mungkin) bisa menunjuk baik pada pestapora maupun orang-orang yang berpestapora. Sementara ‘kômaî’ berasal dari kata yang merujuk pada kampung di pedesaan, dan kata “oda” disepakati dapat diterjemahkan menjadi “lagu”. Maka komedi bisa ditafsirkan sebagai sebuah himne selebrasi tapi bisa pula diartikan sebagai, dalam bahasa Dante, “sebuah lagu kampung(an)” (a rustic song) (Stott, 2005, h. 3-4). Dengan demikian, secara etimologis, komedi memang berurusan—atau seharusnya berurusan—dengan karakter, kelas, dan kehidupan yang inferior. Sejak Aristotle, selama berabad-abad komedi dianggap genre yang paling pas atau tepat merepresentasikan kehidupan mereka yang memiliki kuasa ekstensif tapi berada pada tatanan “tengah” atau “bawah” masyarakat, bukan kelas yang berkuasa. Yakni yang kuasanya terbatas dan lokal, dan yang adat, prilaku dan nilai-nilainya dianggap trivial atau vulgar atau kedua-duanya oleh tatanan kelas di atasnya (Neale dan Krutnik, 1990, h. 11-12).
Para kritikus dan sejarawan banyak yang setuju bahwa komedi lebih merupakan produk dari lingkungan pedesaan daripada kawasan urban, dan muncul bersamaan dengan ritual-ritual musim kesuburan agraris. Di zaman Yunani Kuno, komedi juga dianggap ada kaitannya dengan kepercayaan mereka pada dewa Dionysus. Dalam mitologi Yunani, Dionysus alias Bakkhus adalah anak Zeus dari perempuan manusia biasa, Samele. Hampir mati bersama ibunya di tangan Zeus sendiri, Dionysus diusir dari kota ke wilayah pinggiran, dan ia lantas mengembara bersama para satir menyebrangi Afrika Utara dan Asia kecil (Smith, 1936, h. 110). Dionysus dianggap sebagai dewa kesuburan alam, yang mati dan lahir kembali setiap tahun, dan berasosiasi pada ritus-ritus keagamaan yang cenderung liar dan ecstatic. Dalam tradisi berikutnya, Dionysus bukan lagi semata diasosiasikan sebagai pembawa kesuburan organik, melainkan juga sebagai dewa anggur (dalam arti penganjur pestapora dan mabuk-mabukan) dan telah memberi banyak inspirasi pada kreativitas musik dan puisi. Sosok Dionysus inilah yang dianggap memiliki pengaruh signifikan pada prinsip-prinsip festivitas, inversi, dan travesti yang bisa kita temukan dalam komedi hingga saat ini.
Dalam sejarah literer tentang komedi, Dionysus adalah patron untuk Lenaea dan “Great Dionysia”, festival theater tahunan warga Athena. Semula Dionysia hanya untuk kategori tragedi, dan komedi dipertunjukan dalam Lenaea di musim dingin. Sejak tahun 486 sebelum Masehi, sebuah kompetisi komedi mulai dilakukan pada festival Dionysia. Yang juga penting dari festival Dionysia ini adalah bagaimana divisi dan hierarki sosial dalam masyarakat dihadirkan dalam bentuk yang kasat mata antara yang duduk nonton dan yang ikut perlombaan. Perasaan tentang keterlibatan bersama warga dalam isu-isu pemerintahan juga muncul melalui debat-debat yang dipertontonkan dalam pertunjukan (Palmer, 1994 dalam Stott, 2005, h. 4-5).
Kalau, paling tidak untuk sementara, komedi bisa diperlakukan sebagai ode kampung yang berasosiasi dengan kelas bawah dalam struktur sosial, maka mungkin cukup aman untuk mengatakan bahwa salah satu tradisi komedi lama dalam khasanah kebudayaan Indonesia bisa ditemukan pada cerita tentang sosok-sosok para punakawan dalam tradisi pewayangan di (pulau) Jawa, baik versi Mahabharata maupun Ramayana. Para punakawan (Semar, Bagong (Cepot), Petruk (Dawala), dan Gareng) yang sama sekali tidak ada dalam versi asli kisah klasik ini di India, paling tidak memperlihatkan beberapa sisi yang bisa kita cermati tentang relasi antara komedi dan politik dalam tradisi masyarakat di Jawa.
Dalam tradisi Wayang Purwa di Jawa (orang, kulit, golek), tokoh-tokoh punakawan biasanya disepakati sebagai representasi orang kebanyakan. Jabatan tertingginya hanya seorang lurah (kepala desa), sedangkan anak-anaknya tidak memiliki jabatan yang jelas selain sebagai hamba sahaya para bangsawan (Pandawa dalam Mahabharata atau komplotan Rama dalam Ramayana). Saya tidak ingin mengulang ulasan tentang apa makna eksistensi tokoh-tokoh tersebut dalam konteks filsafat Jawa tentang relasi kuasa hamba dan tuan, melainkan ingin melihat ruang-ruang bagi kritik dalam tradisi komedi lama kita.
Penggemar wayang pasti tahu bahwa Semar adalah (atau dianggap) manifestasi seorang dewa agung yang sedang menjalani hukuman dari orangtuanya. Coba perhatikan kesejajaran antara Semar dengan Dionysus yang juga seorang dewa. Semar dikeluarkan dari swargaloka dan hidup di mayapada bersama manusia biasa. Ia dan anak-anaknya tinggal tidak di kota pusat kerajaan Amarthapura tapi di kampung di pelosok negeri. Dalam tradisi wayang golek masyarakat Sunda, nama desanya adalah Karangtumaritis. Mengapa Semar dan anak-anaknya tinggal di kampung, mungkin karena secara ekonomis dia tidak mampu membeli rumah di kota. Tapi mungkin pula karena memang sikap, tingkahlaku dan nilai-nilai yang dianutnya tidak kompatibel dengan tatakrama di lingkungan istana Indraprastha tempat Yudhistira dan seluruh ksatria lainnya tinggal. Mereka bahkan dianggap tidak layak menetap di pusat kota kabupaten Madukara, tempat bupati Harjuna berkuasa. Para punakawan juga tidak secara khusus memilih tempat sunyi seperti para begawan dari kasta brahmana sekelas resi Abiyasa leluhur Pandawa, yang mengejar sepi untuk membangun jiwa yang kukuh di tengah hutan. Ini menjadi mitos yang terus direproduksi sampai saat ini, bahwa intelektual membutuhkan keterasingan yang berkelimpahan (splendid alienation) untuk berkarya. Semar dan anak-anaknya tidak berada di dunia semacam itu, melainkan di sebuah kampung yang sarat dengan gambaran nostalgis: tentram, damai, warga yang ramah, dan kebersahajaan. Moralnya hampir sama dengan kisah tentang pengusiran Dionysus dari kota ke kawasan pinggiran, dan tentang peminggiran para pengikutnya dari juridiksi perkotaan dan pengkategorian prilaku mereka ke dalam tingkah laku yang tidak bisa diterima di dalam kota.
Salah satu ciri paling mudah diingat tentang para punakawan dalam wayang di (pulau) Jawa adalah gambaran tentang kehidupan mereka yang egaliter. Secara visual dan verbal mereka adalah tokoh-tokoh lucu, baik tingkahlaku dan ucapannya maupun bentuk fisik tubuhnya. Secara fisik, semar dan anak-anaknya adalah bentuk-bentuk deformasi dari bentuk standar tokoh-tokoh wayang Mahabharata dan Ramayana. Mereka, dalam kalimat lain, adalah para devian, baik dalam bentuk fisik maupun pola naratifnya. Dengan demikian, para punakawan tampaknya memang diciptakan bukan hanya sebagai selingan lucu di tengah paparan cerita yang sarat moral, melainkan juga semacam subversi terhadap heroisme, dan hipokrisi. Mereka adalah oda kampung yang berada di luar medan pemaknaan orang-orang di pusat kekuasaan.
Dalam lakon-lakon carangan, yakni kisah-kisah yang tidak sepenuhnya didasarkan pada Mahabharata atau Ramayana melainkan kreasi para dalang sendiri, Semar atau anak-anaknya bisa berubah bentuk menjadi ksatria yang tampan dan gagah perwira. Mereka bahkan bisa pula naik ke puncak struktur kekuasaan menjadi raja seperti dalam lakon Petruk Dadi Ratu. Ketika sudah berubah bentuk menjadi ksatria Semar dan anak-anaknya bisa memarahi, memberi kritik tajam kepada tuan-tuan mereka, hal yang tidak mungkin terjadi dalam alur cerita yang normal. Karena itu, kalau ada orang kebanyakan yang kemudian menduduki jabatan politik cukup tinggi, dan setelah itu terjadi perubahan pada prilaku dan sikapnya, orang Jawa sering mengolok-oloknya dengan perumpamaan "Petruk dadi ratu". Lakon-lakon semacam itu sering pula ditafsirkan sebagai pesan moral bahwa rakyat adalah penguasa tertinggi, seperti pengandaian dalam teori dasar tentang demokrasi. Singkatnya, sosok punakawan adalah upaya untuk membentuk sebuah perasaan tentang keterlibatan bersama warga dalam isu-isu pemerintahan. Kalau tidak bisa secara substantif paling tidak pada level simbolik cukuplah.
Tapi invensi tokoh punakawan bisa juga dilihat dari sudut yang berbeda. Kalau benar bahwa wayang adalah kreasi, dalam arti reinvensi tradisi oleh, para wali penyebar Islam di Jawa, kita tahu bahwa sebagian besar dari mereka adalah bagian integral dari kekuasaan raja-raja Jawa. Jika demikian, maka patut pula diduga bahwa Semar dan keluarganya diciptakan bukan sekedar sebagai representasi dari rakyat, melainkan juga sebagai sebuah ruang untuk hal-hal yang vulgar, subversif, lucu, yang sering menyindir kekuasaan, yang tidak pantas menjadi bagian dari kehidupan keluarga kerajaan. Para kesatria adalah pribadi-pribadi yang agung, berperangai halus, santun, dan pasti berjarak dengan rakyatnya untuk menjaga wibawa dan kehormatan. Kesatria yang berasal dari sosok-sosok punakawan di akhir cerita harus kembali ke bentuk aslinya sebagai rakyat jelata belaka. Artinya, tradisi cerita wayang memberi ruang untuk kritik, untuk segala ketidakpatutan, dan untuk sikap-sikap egaliter, tapi ruang itu sangat temporer dan terpisah secara kategoris dari pusat wacana politik kekuasaan.
Tempat untuk kritik bukan di dalam lingkungan pusat kuasa tapi di pinggiran, seperti Dionysus dan para pengikutnya diseklusikan ke pinggiran kota dalam mitologi Yunani. Tuntunan yang diajarkan wayang adalah: kalau mau jadi penguasa, jadilah ksatria yang agung, santun, dan pandai menjaga wibawa; Tingkah dan ucapan yang kocak atau lucu, dan sikap egaliter bukan sikap dan prilaku para kesatria melainkan para punakawan, yang vulgar dan yang kuasanya terbatas dan lokal (bukan nasional). Yang lokal tidak pantas menjadi pemimpin nasional. Ucapan Andi Malarangeng bahwa orang Bugis belum saatnya menjadi presiden dalam kampanye Pemilu Presiden tahun 2009 yang lalu mungkin bisa ditempatkan pula dalam konteks semacam itu.
Dalam wayang atau mitologi Yunani, tabiat para penguasa tetap sama saja: mereka tidak suka kepada kritik atau sindiran yang tajam dan subversif. Mereka cenderung menganggap dirinya terlampau agung, sehingga kritik kalau dibiarkan akan menganggu aura wibawanya. Kritik didasari asumsi bahwa antara yang dikritik dan yang mengkritik berada pada posisi sederajat. Egalitarianisme dalam tradisi kritik politik adalah subversi pada tatanan yang dicirikan oleh hierarki sosial yang ketat. Yang egaliter bukan sosok pemimpin yang agung, tapi tokoh-tokoh punakawan atau karakter-karakter dalam komedi, dan tempatnya bukan di kota pusat kuasa melainkan di pinggiran. Salah satu kegemaran SBY baik selama masa kampanye presiden maupun sesudahnya adalah memberi himbauan agar para pesaingnya bisa menjaga etika/moral dalam berpolitik, dan dengan cara itu sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa hanya dirinyalah yang paling bermoral dan beretika. Ini tidak perlu dirisaukan sebenarnya, karena SBY memang mengasumsikan dirinya sebagai penguasa (ia calon incumbent ketika Pemilu, dan presiden terpilih pasca pemilu). Dan moral memang selalu merupakan salah satu produk kekuasaan untuk menjaga tertib. Semua penguasa pasti memproduksi himbauan moralnya masing-masing. Himbauan SBY tentang moral, dengan demikian, bukan lain adalah bahasa kekuasaan. Tidak lebih tidak kurang. Yang menjadi kelebihan SBY dari para penguasa penganjur moral lainnya adalah karena ia menyampaikannya dalam diksi-diksi yang melodramatis. Anjuran moralistiknya pun seringkali disampaikan dalam konteks yang terlampau remeh-temeh, seperti ulah para demonstran atau kritik kecil para penentangnya.
Tapi mereka yang di pinggiran sesekali perlu pula dipertunjukan di kota, agar terbentuk sebuah ilusi seolah-olah seluruh warga terlibat secara bersama-sama dalam isu-isu pemerintahan. Untuk itu warga Athena memiliki tradisi festival tahunan Lenaea dan Dionysia untuk komedi dan tragedi. Orang Indonesia tidak memiliki hal yang serupa dengan Lenaea dan Dionysia. Tapi bukankah sebuah rasa tentang keterlibatan bersama warga dalam isu-isu pemerintahan juga niscaya dibangkitkan dalam ritus lima tahunan demokrasi kita? Dalam plebisit umum lima tahunan itu kita dibuat percaya bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, meskipun dalam praktek kita tetap tinggal di pinggiran terjauh dari kekuasaan seperti para punakawan. Dan ritus itu sudah membuktikan bahwa yang dipilih mayoritas rakyat adalah sosok yang memberi impresi kesantunan dan kewibawaan, bukan yang egaliter dan berani melakukan kritik.
Komedi adalah bagian dari budaya popular saat ini, baik dalam pengertian bahwa ia dikreasi secara mandiri oleh orang kebanyakan, maupun dalam arti bahwa ia diproduksi oleh industri untuk ditonton secara massal dan meraih keuntungan ekonomis. Dante boleh saja menyebut komedi sebagai sebuah ode kampungan(an), tapi nasib komedi saat ini, paling tidak di era televisi swasta di Indonesia, mungkin lebih tepat diwakili oleh ungkapan almarhum Benjamin Sueb, yang lantas dipopulerkan kembali oleh Tukul Arwana, “wajah desa rejeki kota”. Tapi ketika sudah mendapat rejeki kota, apakah komedi kita lantas malah kehilangan sifat rustik (rustic) dan subversifnya dan jatuh menjadi hiburan ringan belaka? Tidak ada festivitas, tanpa pesan apa pun yang bisa membantu kita sedikit cerdas? Apakah para komedian kita kemudian sama-sama terobsesi oleh tata kesantunan para kesatria, yang niscaya menepis kritik sebagai vulgarisme dan tidak patut dalam standar tatakrama politik kita? Saya tidak tahu apakah itu sebuah komedi atau tragedi.
Rujukan
Freydberg, Bernard. Philosophy & Comedy. Aristophanes, Logos, and Eros (Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 2008).
Konstan, David. Greek Comedy and Ideology (Oxford and New York: Oxford University Press, 1995).
Neale, Steve, and Frank Krutnik. Popular Film and Television Comedy (London and New York: Routledge, 1990).
Stott, Andrew. Comedy (New York and London: Routledge, 2005).
Smiths, Sir William. Everyman’s Smaller Classical Dictionary (London: J. M. Dent & Sons, 1936).
Wagg, Stephen (ed). Because I Tell a Joke or Two. Commedy, Politics and Social Difference (New York and London: Routledge, 1998).