Kuasa dan Kebebasan

Sosiologi, Politik


Share


“Blog

Tiga surat kabar yang memusuhi
jauh harus lebih ditakuti daripada seribu bayonet.”

(Napoleon Bonaparte)




Saya yakin Abdurrahman Wahid pasti membaca George Orwell. Dalam karya distopiannya, 1984, Orwell memperlihatkan bagaimana sebuah kuasa total diterjemahkan secara konkret menjadi pelbagai operasi pengawasan visual (visual surveillance). Kekuasaan jadi tampak bersifat omnipresent, hadir di mana-mana, melotot tajam melalui telescreen raksasa. Kalimat “Big Brother is always watching you” dipakai Orwell sebagai sejenis pemakluman tentang sebuah rezim yang omnipotent sekaligus omniscient, mahakuasa sekaligus mahatahu. Sebuah kuasa yang bersifat omnes et singulatim, mencakup semua dan segalanya, total. Sejarah seperti sedang berkerut menjadi sebuah ruang sempit, dan hidup harus menyerah pada teror. Dan setiap saat adalah langkisan kecemasan.

Karena itu mereka yang berpikiran terbuka menaruh hormat cukup besar ketika Wahid membuat kebijakan politis yang sama sekali tidak populer: membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Wahid waktu itu pasti tidak hanya berpikir soal efisiensi anggaran negara, melainkan juga karena ia berpijak pada sebuah landasan filosofis yang cukup kukuh: bahwa negara memang tidak berhak campur tangan dalam urusan-urusan yang seharusnya dikelola sendiri oleh masyarakat. Ini menjadi salah satu ciri utama pandangan pluralis tentang kenyataan sosial.

Definisi klasik yang dipakai oleh Harold J. Laski dalam The State in Theory and Practice (1934: 21), misalnya, memperlihatkan betapa negara merupakan sebuah entitas yang memiliki otoritas koersif, kekuasaan supreme di atas seluruh individu atau kelompok masyarakat yang secara bersama-sama memberikan otoritas tersebut. Persepsi standar yang kita miliki tentang negara sebagian besar juga berangkat dari ide dasar seperti itu. Tapi kontrak sosial pembentukan negara demokratis tentu saja tetap harus memberikan dan menjamin keleluasaan kepada individu atau kelompok masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Ini yang menjadi dasar penghormatan negara terhadap hak-hak sipil warganya. Artinya, terdapat banyak wilayah dalam realitas kehidupan sehari-hari yang memang tidak bisa dicampuri oleh kekuasaan negara. Dalam demokrasi intervensi negara ke dalam detail kehidupan masyarakat sejauh mungkin memang harus ditolak. Segala bentuk upaya ke arah pentotalan kuasa negara harus secara frontal dihadapi dengan tuntutan pemenuhan hak-hak dasar kebebasan warga negara. Kita pernah mengalami satu massa ketika segala yang kita lakukan seperti tidak lepas dari pengawasan seorang Bung Besar di ujung sana.

Sosok seorang Harmoko waktu itu seolah mengantarkan kita pada asosiasi tentang si Bung Besar dalam karya Orwell tadi. Bukan saja karena ia telah secara menggebu meminta dirinya dipanggil dengan sebutan populis “Bung Harmoko”, melainkan juga karena iklim politik selama ia menjadi menteri penerangan, sedikit banyak, memang memperlihatkan bagaimana sebuah rezim kekuasaan bisa menjadi begitu takut pada kebebasan. Karenanya, kementerian penerangan tidak semata berfungsi sebagai sebuah lembaga yang mengelola urusan-urusan diseminasi informasi kepada publik, melainkan lebih sebagai fungsi dari kekuasaan untuk melakukan habituasi pikiran massa dan mengunci akal sehat.

Boleh jadi kekuasaan waktu itu berpijak pada sejenis dogma yang secara tajam didedahkan Orwell: “Kebebasan adalah Perbudakan. Kedunguan adalah Kekuatan.” Deppen di zaman Seoharto tidak mengelola informasi menjadi sumber-sumber kecerdasan intelektual sebuah bangsa, melainkan melakukan aksi-aksi disinformasi. Mekanisme sensor, SIUPP, dan pembreidelan pers seolah merupakan manifestasi dari teror “Big Brother is watching you” tadi. Ungkapan seperti “pers pembangunan”, misalnya, muncul dari paradigma komunikasi massa tradisional bahwa media merupakan humas pemerintah untuk bukan saja menyebarluaskan gagasan developmentalisme tapi juga menihilkan kemungkinan-kemungkinan munculnya sikap kritis masyarakat terhadap trajektori pembangunan.

Dalam banyak hal pemerintah waktu itu jadi identik dengan petugas intel yang menyebar ke sembarang sudut, berkepala cepak dan selalu siap dengan catatan. Penyelenggaraan politik bernegara lebih banyak didasarkan pada purbasangka dan bukan pada penghargaan atas martabat manusia. Waktu itu kita merasakan bagaimana setiap orang tidak lebih dari bintik-bintik kecil dalam sebuah layar besar di hadapan Bung Besar yang bisa dihapus dengan sekali menekan tombol.

Ketika baru-baru ini ada rumor tentang rencana menghidupkan kembali departemen penerangan (Deppen) dan departemen sosial (Depsos) dalam kabinet Megawati, kita seperti baru terjaga dari mimpi indah. Waktu diketahui bahwa gagasan tersebut muncul dalam pertemuan lintas fraksi DPR orang kemudian akan teringat pada pelecehan Gus Dur waktu ia diminta menjelaskan alasan pembubaran Deppen dan Depsos: bahwa anggota DPR seperti siswa Taman Kanak-Kanak. Bukan saja karena mereka memang cenderung overtalkative, cerewet tapi tidak berkualitas (padahal siswa TK banyak sekali yang berkualitas), melainkan juga karena terbukti bahwa pemahaman mereka tentang konsep rakyat vis a vis negara memang masih belum beranjak dewasa.

Menghadapi kenyataan reaksi keras dari sebagian masyarakat, Megawati konon membatalkan rencana menghidupkan kembali Deppen dan hanya akan menghidupkan Depsos. Kalau pun informasi ini benar, putusan Mega tidak otomatis berarti kita telah ke luar dari problem yang sangat mendasar. Patut dicatat bahwa rencana tadi dibatalkan bukan karena sebagai ide ia telah diuji secara komprehensif melainkan karena (masih) ditolak oleh sebagian rakyat. Dalam terminologi Weberian, pembatalan tadi tidak didasari oleh rasionalitas nilai (wertrationalitat) melainkan oleh rasionalitas tujuan (zweckrationalitat) untuk kepentingan stabilitas kuasa. Buktinya, karena tidak menimbulkan reaksi penolakan massal, ide menghidupkan kembali Depsos tetap diteruskan menjadi keputusan politis yang akan segera diberlakukan. Padahal ide ini jelas sama bodohnya dengan ide menghidupkan kembali Deppen.

Dari kasus seperti itu, paling tidak, kita bisa melihat sejumlah persoalan yang bisa menjadi landasan untuk membuat prognosa tentang nasib politik kita di bawah rezim baru ini. Pertama, terdapat kesenjangan yang cukup besar antara pemahaman masyarakat tentang raison d’être negara dengan pemahaman yang dimiliki oleh penyelenggara kekuasaan politik negara. Kalau masyarakat melihat bahaya dari gagasan tadi terletak pada potensi dan kecenderungannya memberangus kebebasan warga, Megawati dkk. melihat bahayanya hanya terletak pada kemungkinan terjadinya penolakan massa yang bisa berujung pada krisis legitimasi. Kalau masyarakat berwacana di wilayah simbolik filosofis, Megawati dkk. meresponnya dengan memilih bahasa pragmatik relasi politik kekuasaan. Ketika rakyat dan aparatus negara berbicara pada medan wacana yang senantiasa berbeda, komunikasi simetris terhenti dan yang muncul bukan proses dialog tapi duo-monologue. Konsekwensinya, keterhubungan antara penyelenggaraan negara dengan ide dasar pembentukan negara untuk menjamin warganya hidup lebih bermartabat akan kehilangan relevansinya.

Kedua, perbedaan medan wacana tersebut mengindikasikan bahwa pada dasarnya pemerintah sekarang sejak awal sudah menderita ketakutan pada kebebasan warganya. Dibatalkannya rencana pembentukan kembali Deppen tidak menjamin bahwa kekangan atas kebebasan akan dilepaskan. Alasan pembatalannya sendiri bukan pada substansi melainkan pada bentuk yang menimbulkan kontroversi, sehingga terbuka kemungkinan bahwa rezim ini nanti akan merumuskan bentuk baru yang tidak kontroversial tapi substansinya tetap sama. Kalau rumor tentang gagasan pembentukan Departemen Telematika atau Departemen Informasi dan Komunikasi bisa dipercaya, kita patut curiga bahwa pemerintahan baru ini sedang melakukan manipulasi semantik hanya untuk meredam penentangan.

Diakui atau tidak, ada dua pilar utama yang mengusung Mega menggantikan Wahid. Pilar pertama adalah perubahan peta politik di parlemen yang antara lain dipicu oleh sifat eratik Abdurrahman Wahid sendiri. Selama Wahid berkuasa, kita menyaksikan DPR dan MPR menjadi pelembagaan kebencian personal sejumlah anggotanya terhadap prilaku politik presiden lebih menonjol daripada usaha sungguh-sungguh mereka untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang memberi mereka makan.

Pilar kedua adalah keberadaan sebagian besar media massa sebagai amplifier yang makin menguatkan volume suara penentangan parlemen terhadap eksekutif. Dua puluh empat jam sehari, tujuh hari dalam seminggu mayoritas bisnis media massa di Indonesia waktu itu melakukan preokupasi dengan isu-isu seputar buruknya performa pemerintahan Wahid. Karena itu kiranya cukup aman untuk mengatakan bahwa dengan kombinasi dua pilar utama tadi, kejatuhan Wahid sebenarnya dimulai dari proses pembusukan citranya dalam media. Artinya secara de facto Wahid pada dasarnya sudah jatuh sebelum MPR mengetuk palu pemecatan dirinya tgl 23 Juli 2001 yang lalu. Tanpa peran media massa Wahid mungkin tidak jatuh secepat itu.

Tapi mungkin ada satu maksud baik di balik gagasan menghidupkan kembali Deppen. Yakni keinginan para politisi DPR untuk memelihara dukungan media terhadap pemerintahan koalisi baru yang mereka bentuk. Di luar isu tentang pembagian jatah kursi kabinet, boleh jadi mereka sadar betul bahwa media massa saat ini bisa turut menentukan usia sebuah pemerintahan. Dari kasus runtuhnya tahta Wahid, mereka belajar bahwa media ternyata bisa berbalik menjadi oposan yang sulit dilumpuhkan. Di zaman ketika citra dalam media lebih tangguh daripada ikatan-ikatan ideologis, menguasai media bisa berarti menguasai bangsa. Ini akan mengingatkan kita pada ucapan terkenal Napoleon bahwa “tiga suratkabar yang memusuhi jauh harus lebih ditakuti daripada seribu bayonet”.

Dalam konteks seperti itulah muncul kebutuhan untuk menarik pers kembali ke paradigma tradisional sebagai humasnya pemerintah. Tapi para politisi itu tidak cukup sadar bahwa zaman sudah terlanjur jauh berubah. Multiplikasi kanal-kanal komunikasi massa seperti yang terjadi pada teknologi internet, misalnya, telah secara telak menihilkan kemungkinan adanya sebuah kontrol monolit dan terpusat oleh negara atas arus informasi yang mengalir melalui kawat dan gelombang udara. Di lain pihak, maksud baik untuk melibatkan dukungan media justru bisa berbelok total jadi ancaman teror kooptasi kekuasaan atas independensi pers. Kita patut bersyukur bahwa sebagian besar, kalau bukan seluruhnya, komunitas pers Indonesia serempak menolak rencana itu. Kalau tidak, beberapa bulan ke depan kebebasan akan berhenti jadi kenangan yang mengundang rindu dendam.

Salah satu peninggalan paling berharga dari Habibie dan Wahid adalah surga kebebasan--yang pada tingkat tertentu memang berlebihan. Kalau hal ini dilenyapkan, seluruh bangsa ini harus memulai perjuangan demokrasi dari nol kembali. Kekurangmatangan kita dalam memanfaatkan surga kebebasan tadi bukan alasan untuk mengeliminir kebebasannya itu sendiri, melainkan harus jadi peluang untuk perbaikan diri terus-menerus. Manusia, kata Jean Paul Sartre, condamné à être libre, terhukum untuk menjadi merdeka. Untuk proses hukuman ini kita telah mengorbankan banyak hal, termasuk resiko menjatuhkan Habibie dan Wahid yang telah merintisnya pada level pusat kekuasaan.

Selama periode transisi ini kita mungkin memang tengah mengalami apa yang oleh Sartre disebut néantisation, peniadaan atau penyangkalan terus-menerus. Apa yang kita kehendaki belum ada, dan apa yang ada bukan yang kita inginkan. Selalu berubah, senantiasa bergerak, tidak pernah berhenti pada titik sempurna. Di zaman Soeharto kita memimpikan kebebasan melebihi ketentraman sebuah orde. Tapi ketika kita baru saja mengeja kebebasan itu, sebagian orang sudah mulai ingin meniadakannya kembali. Apakah kita harus berakhir pada la nausée (muak) secara eksistensialis seperti yang diungkapkan Sartre? Kalau pun kebebasan memang sebuah hukuman, ia mungkin memang sebuah nasib eksistensial kita sebagai manusia. Tidak ada yang berhak meniadakan hukuman itu. Megawati tidaklah lebih berharga daripada Habibie dan Wahid, dan tampaknya kita memang tidak pernah menghendakinya menjadi hakim bagi nasib eksistensial kita. Bangsa ini harus berdiri dengan kepala tegak menghadapi hukuman kebebasan agar bisa sama-sama bermartabat seperti bangsa manusia yang lain.

Jakarta, 5 Agustus 2001

Pernah dimuat pada situs Detik.com pada 8 Agustus 2001