Melihat "Buda Keling" dari Wetutelu

Sosiologi


Share

“Blog

Sebelum berangkat ke dusun Benthek, desa Bhoko, kecamatan Gangga, Lombok Utara (dulu Lombok Barat), saya mampir di salah satu isntansi pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat untuk bertemu dengan seorang teman lama yang kebetulan sedang bertugas di instansi tersebut. Tiba di Bandara sekitar jam 2 siang waktu Lombok, saya dijemput oleh Takeshi Ando, teman yang hendak saya sambangi itu, saya langsung diajak ke kantornya, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Setelah berkenalan dengan beberapa orang staf JICA yang lain, kami berdiskusi tentang beberapa program intervensi ekonomi yang sedang dikerjakan JICA di provinsi tersebut. Setiap orang yang bertanya pada saya tentang maksud kedatangan saya ke Lombok, dan saya jawab bahwa saya akan mengunjungi teman yang sedang meneliti komunitas Buda di kecamatan Gangga, asosiasi mereka pasti langsung tertuju pada para pemeluk agama Budha sebagai salah satu agama resmi yang diakui negara di Indonesia.



Sekitar jam 5 sore kami ke luar meninggalkan kantor Dinas Peternakan menuju rumahnya Takeshi Ando di daerah pariwisata pantai Senggigi, yang dulu cukup terkenal sebagai alternatif Bali. Jarak Mataram ke Senggigi mungkin sekitar 30 km, tapi bisa ditempuh dengan berkendaraan taxi hanya dalam waktu sekitar 20 menit. Ongkos taxinya Rp. 53.000. Di Jakarta, itu hampir sama dengan biaya yang setiap pagi dikeluarkan istri saya naik taxi dari rumah kami di Tanjung Barat ke kantornya di daerah Palmerah melalui jalan Arteri Pondok Indah dan kondisi jalan belum macet parah, dengan waktu tempuh rata-rata 1 jam. Itu kalau naik taxi dengan flag-fall Rp. 5.000 (tarif bawah), kalau naik taxi yang flag-fallnya Rp. 6.000, biayanya tentu lebih mahal. Padahal di Lombok taxi yang saya tumpangi flag-fall-nya Rp. 4000. Kesimpulannya jarak Mataram-Senggigi pasti beberapa kilometer lebih jauh.

Setelah dua hari bolak-balik Senggigi-Mataram, pada hari ketiga saya berangkat ke lokasi penelitian Interseksi di dusun Benthek. Saya pergi meninggalkan keluarga Ando di Holiday Resort sekitar jam 8 pagi waktu Lombok. Rajimo, peneliti Interseksi yang sedang bertugas di sana, kebetulan sedang ada keperluan mencari buku-buku di perpustakaan Universitas Mataram. Maka ia janji menjemput saya di kota Mataram, di depan Warnet Click Jl. Udayana. Kurang lebih jam 9.30 Rajimo datang dan kami sempat menghabiskan waktu ngobrol tentang ini itu di depan Warnet itu. Menjelang tengah hari, setelah semua urusan Rajimo di Mataram selesai, kami melesat meninggalkan Mataram.

Sebagian rute yang ditempuh sudah pernah saya lewati sekitar 9 tahun yang lalu, sebagian yang lain seperti déja vue all and over again: hamparan kecantikan alam, dan deretan sawah dibelah jalan raya, dan tangan-tangan kemiskinan yang melilit seperti ular raksasa. Dalam obrolan via telepon dengan Dirmawan Hatta, film-maker Interseksi yang mengerjakan video dokumenter Hak Minroitas di kawasan Sembakung, Kalimantan Timur, secara berseloroh saya mengibaratkan perpindahan dari Holiday Resort di Senggigi ke dusun Benthek seperti “kembali dari kemewahan yang fana menuju kemiskinan yang baqa”. Kira-kira jam 13 kami sampai di rumah tempat Rajimo tinggal di dusun Benthek. Di luar perkiraan saya, Rajimo ternyata sudah bisa masuk cukup jauh ke dalam kehidupan warga di dusun ini. Semua orang yang kami temui di jalan mengenalnya. Tuan Rumah, Sugeng (Brinthik) dan beberapa orang temannya sudah menunggu duduk-duduk di Bruga di halaman depan. Cerita tentang Sugeng Brinthik dan para sahabat di Benthek sudah dikisahkan Rajimo dengan penuh simpati.

Malam pertama di Benthek, setelah para sahabat pergi. Saya dan Rajimo baru bisa berdiskusi soal subjek penelitian yang sedang diteliti, yakni tentang komunitas Buda Lombok, yang oleh masyarakat tempatan biasa juga disebut “Buda Keling” untuk membedakannya dengan para penganut agama Budha yang lebih mainstream. Kebetulan, pada program terdahulu Interseksi pernah melakukan penelitian tentang komunitas Wetutelu di wilayah kabupaten yang sama, yang sekarang berubah menjadi kabupaten Lombok Utara itu. Dalam obrolan sepanjang perjalan Mataram-Benthek, Rajimo telah banyak mem-briefing saya tentang komunitas “Buda Keling”, dan saya menangkap (atau mungkin lebih tepat menduga) ada beberapa sisi dari kehidupan mereka yang beririsan dengan komunitas Wetutelu.

Dalam diskusi dengan Rajimo itu pula, saya menangkap irisan atau interseksi isu komunitas Buda dan Wetutelu. Kebetulan, Rajimo akan mencoba melihat rumah adat komunitas Buda Keling sebagai pintu masuk ke dalam persoalan dan isu hak minoritas dalam kelompok ini. Secara arsitektural, rumah adat Buda Keling dan Wetutelu dari luar tampak hampir tidak ada bedanya sama sekali. Mungkin karena itu pula, komunitas Buda Keling relatif tidak banyak dikenal oleh masyarakat di luar kecamatan Gangga jika dibandingkan dengan komunitas Wetutelu.

Maka keesokan harinya, saya tidak minta ditemani pergi ke komunitas Buda Keling tapi malah diantar ke beberapa lokasi tempat bermukimnya komunitas Wetutelu di Lombok Utara berturut-turut secara terbalik dari lokasi paling jauh di Lolohan, ke Bayan, dan terakhir ke Segenter. Saya tidak sempat datang ke Wetsmokan, karena lokasinya relatif lebih sulit dijangkau. Di Lolohan saya hanya menemukan sebuah situs Wetutelu yang cukup mencolok di tengah perkampungan penduduk, karena situs tersebut di sekelilingnya dipagari bambu cukup rapat dan tinggi. Hanya satu orang warga komunitas Wetutelu, seorang perempuan tua, yang bisa kami jumpai di tempat ini siang itu. Konon, tempat tersebut memang hanya dipakai sebagai tempat ritual saja, sedangkan orang Wetutelunya sendiri bermukim di tempat lain. Di Bayan kami hanya menemukan mesjid raya Wetutelu dan beberapa kuburan tua.

Di Segenter kami masuk ke dalam sebuah kampung orang-orang Wetutelu yang sudah dikelola sedemikian rupa sehingga lebih mirip sebuah kompleks perumahan. Batas pemisah bukan lagi kerapatan pagar bambu, tapi tembok benteng yang tampaknya memang sengaja dibangun oleh pemerintah setempat. Singkatnya, ini adalah sebuah proses yang berusaha membekukan sejarah menjadi suvenir penekuk kenangan, cagar budaya untuk pariwisata. Begitu memasuki pintu gerbang kompleks, seorang lelaki muda menyambut kami dengan ramah. Tampak sekali ia sudah sangat terlatih melayani pertanyaan para pengunjung yang biasa datang ke sana. Tanpa ditanya pun, ia dengan fasih menjelaskan makna kata “wetutelu” kepada kami. Menurutnya, “wetutelu” bukanlah agama tapi lebih merupakan sebuah gagasan filosofis tentang tiga cara segala makhluk hidup di lahir ke dunia.

Yang menarik tentu saja adalah kenyataan bahwa di kompleks itu, beberapa rumah warga sudah berubah bentuk menjadi bangunan-bangunan permanen berbahan tembok bata merah seperti di kampung-kampung lain. Cukup banyak pula warga yang berangkat menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri dengan segala problematiknya. Para TKW inilah, bolehjadi, yang bisa menjadi salah satu penjelas munculnya bangunan-bangunan rumah tembok permanen tadi. Selebihnya adalah himpunan bangunan rumah beratap susunan jerami, berdinding bambu seperti yang saya lihat di Lolohan dan Bayan. Entah mengapa saya sama sekali tidak mengalami semacam rasa kehilangan melihat kehadiran rumah-rumah tembok berdiri di kompleks tersebut. Mungkin karena saya memang tidak sedang mencari sesuatu yang asli di sana. Soal fenomen orang Wetutelu yang menjadi TKW di luar negeri, misalnya, yang mengganggu pikiran saya justru soal ekonomi politik, bukan soal kulturalnya.

Saya dan Rajimo minta izin untuk bisa masuk ke dalam salah satu rumah warga yang masih bertahan dalam bentuk tradisionalnya. Rumah yang saya masuki mungkin memperlihatkan jalinan-jalinan makna kultural yang harus dibaca lebih teliti. Di dalam ruang yang rapat tertutup itu, selain ada perapian dan lumbung (yang sekaligus merupakan kamar tidur pengantin), juga ada sebuah ranjang tidur modern. Mereka yang cenderung nostalgis mungkin akan melihat itu dengan rasa cemas sebagai bukti makin pupusnya keaslian budaya tradisional. Saya melihat itu sebagai hal yang biasa saja terjadi di mana pun.

Paling tidak ada dua kemungkinan yang bisa diajukan tentang komunitas Buda Keling ini yang berkaitan dengan komunitas Wetutelu. Pertama, Buda adalah agama pra-Islam di Lombok yang masih ada sampai sekarang. Menurut kacamata ini, sebelum Islam datang ke wilayah ini, Buda dianut oleh sebagian besar masyarakat Lombok. Ketika Islam datang, sebagian kecil dari mereka tetap bertahan sampai saat ini, sebagian besar masuk Islam, dan sebagian yang lain berubah menjadi penganut ajaran Islam Wetutelu sebagai semacam kompromi jalan tengah antara Islam dan agama adat.

Kemungkinan kedua, Buda adalah sebentuk perversi dari para penganut Islam Wetutelu. Dengan demikian, komunitas Buda adalah komunitas yang relatif baru jika dibandingkan dengan Wetutelu dan Islam pada umumnya. Dari jurusan ini pula dapat diduga bahwa sebagaian penganut Buda kemungkinan berasal dari komunitas penganut Islam Wetutelu yang berpindah agama karena bermacam-macam alasan sosial maupun politik. Di Lolohan, misalnya, saya mendengar rumor yang memang sulit dibuktikan kebenarannya bahwa kitab yang dianggap paling keramat dalam komunitas Buda Keling adalah al-Qur’an. Saya harus segera menggarisbawahi bahwa isu kitab suci ini sepenuhnya hanya desas-desus yang tidak harus dipercaya, tapi di balik desas-desus semacam itu kita juga bisa mulai pula menduga-duga tentang pola relasi baik antara Buda dengan Islam pada umumnya maupun dengan Islam Wetutelu. Jadi bukan soal kebenaran desas-desus itu yang penting untuk dibicarakan, melainkan konteks milieu sosial dan kultural tempat desas-desus itu muncul. Salah satu dugaan yang bisa dikembangkan adalah kemungkinan besar desas-desus itu justru dikembangkan di antara warga pemeluk Islam untuk memperlihatkan superioritas ajaran agamanya vis a vis Buda Keling. Tapi pasti ada banyak kemungkinan lain.

Sementara kalau dilihat dari arsitektur dan rancang-dalam rumah adatnya, juga ada dua dugaan awal yang bisa dikembangkan. Pertama, rumah Buda Keling adalah bentuk dasar rumah para penganut Islam Wetutelu. Keberadaan lumbung yang merangkap tempat “bulan madu” penganten pada ruang-dalam rumah adat Islam Wetutelu, dengan demikian, bisa dianggap sebagai sebentuk sofistikasi kebudayaan Wetutelu atas budaya Buda Keling. Dugaan kedua, rumah adat Buda Keling justru merupakan hasil dari proses penyederhanaan rumah adat Islam Wetutelu. Jika demikian, persoalannya kemudian bisa ditarik lebih jauh pada pertanyaan-pertanyaan tentang aspek sosial ekonomis yang mendorong orang Buda memutuskan meniadakan lumbung dari arsitektur rumahnya.

Dugaan tentang kemungkinan-kemungkinan di atas, tentu saja mengabaikan klaim masing-masing kelompok tentang asal-usul historis dan adat istiadat mereka, yang sebagian besarnya didasarkan pada tuturan lisan. Akan tetapi, secara etis dan metodologis penelitian sosial mutakhir justru tidak bisa begitu saja mengesampingkan wacana yang dibangun oleh masing-masing kelompok tersebut. Berbeda dengan tradisi penelitian ilmu-ilmu pasti atau bahkan ilmu sosial konvensional yang berusaha sedekat mungkin menyerupai ilmu alam, tradisi riset ilmu sosial mutakhir tidak terutama berpretensi menemukan kebenaran objektif, melainkan juga berusaha menghormati makna-makna yang dibagi bersama oleh anggota masing-masing kelompok/komunitas. Jadi dalam konteks kemiripan antara Buda dan Wetutelu, kalau pun klaim keduanya berbeda satu dengan yang lain, yang diutamakan bukan klaim kelompok mana yang paling benar secara objetif, tapi justru rajutan makna seperti apa yang bisa dilihat dari kontestasi semacam itu.