Setelah Pileg 2009 Berakhir
- Hikmat Budiman |
- Pendiri, Peneliti Senior Yayasan Interseksi
Saya merasa sangat senang karena tanggal 9 April 2009 telah berlalu. Setelah beberapa lama merasa muak dengan lintang-pukangnya visual kota, akhirnya saya bisa sedikit bernafas lega.
Cukup banyak orang atau kelompok orang yang percaya pada kehebatan angka Arab 9. Angka ini dianggap keramat, membawa keberuntungan, dan dipandang sebagai angka tertinggi dalam kelompok mistik tertentu. Waktu saya tinggal di Yogyakarta, banyak teman saya yang orang Jawa membisikkan kepada saya bahwa Sultan Yogyakarta terakhir adalah Sultan Hamengku Buwono ke-9, dan setelah itu tidak akan ada lagi sultan. Sebab setelah angka 9 dalam sistem bilangan angka Arab memang tidak ada lagi bilangan satuan yang lebih tinggi. Saya menjadi tidak percaya setelah terbukti bahwa bukan hanya HB IX kemudian digantikan oleh HB X, dan mangkatnya Sultan IX ternyata juga tidak lantas membuat Yogyakarta jadi bankrut, tapi juga karena penulisan penamaan Sultan Yogyakarta tidak menggunakan bilangan angka Arab tapi angka Romawi.
maka itu artinya dua pendekatan telah bertemu dan bermuara pada hasil yang sama: pendekatan saintifik ilmu pengetahuan modern dalam bentuk survey-survey politik, dan pendekatan mistik yang percaya bahwa angka 9 akan membawa keberuntungan.
Tapi beberapa bulan yang lalu, secara berseloroh saya pernah berkata pada istri di rumah bahwa kalau Pemilu Legislatif dilakukan tanggal 9 (April), maka kemungkinan besar Partai Demokrat yang akan menang. Waktu itu saya belum pernah membaca hasil survey-survey mutakhir yang memang memprediksikan kemenangan partainya SBY ini. Saya hanya bicara asal bunyi, semacam sinisme, karena saya perhatikan kecenderungan orang-orang Partai Demokrat yang seolah mengkultuskan angka Arab 9. Tanggal lahir Partai dibuat sama dengan tanggal dan bulan lahir SBY, yang merupakan rangkaian angka sembilan.
Tidak hanya itu, sebab bahkan konon lampu di pendopo Puri Cikeas pun berjumlah sembilan, dan belakangan tim pencari bakat untuk calon wakil presiden yang akan mendampingi SBY pun disebut “Tim Sembilan”. Beberapa minggu kemudian, seorang sahabat lama, ahli poling politik, Nico Harjanto, via percakapan telepon mengabarkan bahwa hasil poling yang dilakukan lembaganya (CSIS) bekerjasama dengan LIPI, LP3ES, dan UI, Partai Demokratlah yang memang akan jadi pemenang Pemilu dengan perolehan suara sekitar 20%. Dari hasil
quick count sejauh ini, prakiraan perolehan suara partai-partai peserta Pemilu 2009 ternyata memang tidak jauh berbeda dengan prediksi survey-survey itu.
Kalau, paling tidak, hasil
quick count itu bisa dijadikan indikasi kemenangan Parta Demokrat, maka itu artinya dua pendekatan telah bertemu dan bermuara pada hasil yang sama: pendekatan saintifik ilmu pengetahuan modern dalam bentuk survey-survey politik, dan pendekatan mistik yang percaya bahwa angka 9 akan membawa keberuntungan. Keganjilan ini akan tambah menggelikan kalau sampai kelak ada gugatan yang mempertanyakan mengapa KPU memutuskan tgl. 9 April sebagai hari pemungutan suara. Mengapa bukan tanggal 15 atau 13?
Tapi yang membuat saya senang tentu bukan karena Partai Demokrat menang Pemilu. Secara personal saya malah sangat kecewa pada partai ini, karena tanpa pernah minta izin pengurus atau pendukungnya tahu-tahu telah memasang sebuah bendera berukuran sangat di halaman rumah saya waktu musim kampanye lalu. Akibatnya, salah seorang teman yang mencari rumah saya hampir batal masuk rumah karena tidak percaya halaman rumah saya bisa dipasangi atribut parpol. Apalagi parpol pendukung pemerintah. Rupanya teman tersebut melihat saya tidak punya potongan untuk terlibat dalam politik praktis seperti itu.
Saya merasa senang Pemilu legislatif telah berlangsung karena soal estika kota belaka. Selama berbulan-bulan wajah semua kota di Indonesia benar-benar telah berubah kaotik secara estetis. Di seluruh titik pandang mata kita dirusuhi oleh gambar-gambar mereka yang entah siapa, orang-orang yang tiba-tiba merasa pantas memamer-mamerkan muka di hadapan orang banyak dan minta perhatian. Orang-orang ini telah merampas hak warga atas kebersihan, kenyamanan dan keindahan lingkungan tempat tinggalnya. Sudah lama kita mengeluhkan penataan spanduk dan papan-papan iklan yang sangat centang perenang di mana-mana, tapi kadang-kadang kita masih bisa mendapatkan beberapa hal yang sedikit melegakan: paras cantik/tampan bintang iklannya, atau ungkapan-ungkapan bahasa yang meskipun tidak cerdas tapi cukup mengoda dan mengundang senyum, atau desain yang cukup
eyecatching yang sayangnya justru tenggelam di lautan reklame-reklame lain.
Parade tampang-tampang para politisi di seluruh atmosfir kota kita kemarin adalah kejadian yang sama sekali berbeda. Gambar muka beberapa artis yang biasanya tampil cantik di sinetron atau iklan pun, ketika mereka tampil pada poster-poster kampanye sontak berubah norak. Demokrasi kita telah benar-benar membawa kita jatuh ke dalam politik tanpa estetika. Secara visual benar-benar carut-marut, centang-perenang, mengerikan. Muka-muka politisi itu seperti berubah menjadi momok yang terus menguntit kita ke mana pun dalam ruang-ruang publik. Menjadi tirani yang menelikung kita tanpa bisa mengelak.
Maka kalau pun ada yang harus disyukuri dari berlangsungnya Pemilu Legislatif 9 April 2009 lalu, itu adalah berkurangnya kepenatan mata dan psikologis warga negara akibat pelototan muka-muka pencari suara itu. Di luar itu, tentu masih ada soal-soal pelik lain seperti kasus jutaan orang yang dipaksa kehilangan hak suaranya dalam pemilu, tabulasi elektronik versi KPU yang super
lemot, dan hirukpikuk orang bicara soal koalisi dan kemungkinan atau ancaman beberapa pihak untuk memboikot pemilihan presiden kelak. Sebagai warga yang secara sadar memilih untuk tidak ikut memilih dalam pemilu legislatif kemarin, saya berharap soal-soal itu akan menemukan penyelesaian yang baik. Tapi musnahnya muka-muka penganggu kebersihan kota itu saja sudah cukup membuat saya merasa lega. Paling tidak untuk sementara.
Tanjung Barat, 9 April 2009
Tulisan ini pernah dimuat pada Community Blog situs web Yayasan Interseksi pada 10 April 2009.
BACA JUGA
Sosiologi | Teknologi
Sosiologi | Budaya
Sosiologi | Media