Something is Rotten in the State of Denmark

Untuk Kahuna Langitpagi Budiman*



“Blog

Saya selalu tergoda membayangkan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh Horatio, ketika tubuh-tubuh para bangsawan ksatria Kerajaan Denmark yang terhormat itu, satu per satu membujur disungkurkan oleh kematian? Kejahatan, culas, benci, dendam, pembalasan, justa, serakah, berahi, dan cinta yang karam beraduk tuntas, dan kerajaan seperti terbenam dalam lumpur maut, tanpa peluang bisa keluar selamat. Horatio menjadi saksi tumpasnya sebuah kuasa yang dibangun di atas berbagai khianat, kebohongan, kebodohan, ancaman, dendam kesumat, manipulasi, dan semata nafsu atas tahta. Ia dipilih Shakespeare untuk melihat sampai tamat ketika manusia bertumbuh menjadi makhluk-makhluk buas yang saling menerkam, baku bunuh. Jiwa-jiwanya seperti asap hitam mengotori angkasa. Di istana angkara melela. Dan lolong anjing hutan tak putus-putus meningkahi malam.

Kita tidak pernah tahu mengapa Horatio menjadi pilihan Shakespeare untuk menemani seorang pangeran yang ganjil, Hamlet, yang berusaha membuka tabir kebusukan yang membungkus istana Kerajaan Denmark, tapi dengan cara membiarkan dirinya sendiri masuk ke dalam perangkap celaka dan menarik semua musuhnya untuk musnah bersama dalam perangkap itu. Hamlet tidak mengutamakan penyelamatan dirinya melainkan masa depan Denmark. Di hari terakhir itu, sambil mendekap tubuh Hamlet, Horatio sempat ingin ikut mati dengan meminum sisa anggur yang telah diminium Getrude, tapi Hamlet melarangnya. Ia ingin Horatio menyampaikan pesannya kepada Pangeran Norwegia yang akan segera tiba.

“Blog

Membaca bermacam-macam kabar berita tentang Jakarta dan Indonesia yang datang susul menyusul hari-hari ini, mau tidak mau kita seperti serempak diajak masuk ke dalam sebuah dunia dengan bau menyengat. Presiden menandatangani undang-undang yang pasalnya ompong, para pejabat tinggi di pemerintahan Jakarta mengundurkan diri, ratusan yang lain tidak berminat seleksi kenaikan jabatan, dan gubernurnya sibuk berbelanja seluruh jenis penghargaan. Ada yang sangat tidak beres dengan negeri ini, dan kita hidup menjadi bagian tak terpisahkan dari dan boleh jadi ikut menyebarluaskan ketidakberesan itu. Kita seperti diingatkan kembali pada ucapan Marcellus di kastil Elsinore, “something is rotten in the state of Denmark”. Semua tidak sedang baik-baik saja. Atau tidak semua sedang baik-baik saja.

Marcellus adalah seorang opsir dalam naskah drama Hamlet yang ditulis Shakespeare sekitar tahun terakhir abad ke-16 dan tahun pertama abad ke-17. Untuk memberi sedikit konteks, kira-kira pada kisaran waktu yang sama ketika Shakespeare menulis Hamlet, kapitalisme Inggris di Asia sedang mendirikan The British East India Company atau yang juga dikenal dengan nama The Honorable East India Company (1601). Setahun kemudian, kongsi-kongsi dagang Belanda bergabung membentuk The Netherland East India Company atau VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie )(1602) yang, antara lain, menguasai jalur-jalur besar perdagangan terpenting di Nusantara dan Asia. VOC adalah perusahaan multinasional pertama sekaligus dianggap yang terbesar yang pernah ada di muka bumi.



Hamlet adalah sebuah kisah tragik tentang seorang Pangeran Kerajaan Denmark. Para ahli sepakat bahwa ini adalah drama tragedi terpanjang yang pernah ditulis Shakespeare. Di dalamnya banyak sekali kalimat yang butuh nafas pelari marathon, seperti solulokuinya Hamlet dengan klausa “to be, or not to be: that is the question” yang sangat terkenal itu. Di sepanjang kisah kita disuguhi bermacam-macam kerumitan dari kesalingterhubungan antarperistiwa dan intrik-intrik di dalam kehidupan istana. Ayahnya Hamlet, Raja Denmark, mati dibunuh oleh pamannya sendiri, Claudius, yang kemudian mengawini istri raja, Getrude, ibunya Hamlet, dan memahkotai dirinya sendiri sebagai pengganti raja. Hamlet pada dasarnya adalah seorang pangeran yang baik, tapi tidak mampu mengendalikan dirinya berada dalam pusaran kebusukan di lingkungan istana. Cintanya untuk Ophelia tidak berlanjut karena Polonius mediktenya untuk menolak Hamlet. Kepada Ophelia, sehabis soliloquinya yang mashur itu, ia menggambarkan dirinya sendiri dalam kalimat-kalimat yang demikian murung dan pahit:


….I am myself indifferent honest; but yet I could accuse me of such things that it were better my mother had not borne me. I am very proud, revengeful, ambitious; with more offences at my beck than I have thoughts to put them in, imagination to give them shape, or time to act them in. What should such fellows as I do crawling between heaven and earth? We are arrant knaves, all; believe none of us….



Kisah dimulai dengan Horatio, sahabat Hamlet, yang tengah mengunjungi Kastil Kronborg di Elsinore, pantai di timur luat pulau Zealand. Di sana ia pergi ke dinding menara karena dia mendengar dari para opsir bahwa hantu dari raja yang baru saja terbunuh, yang adalah ayahnya Hamlet, telah menampakkan diri di hadapan mereka. Hantu memang muncul di hadapan Horatio tapi ia menolak untuk bicara kepada mereka dan lantas pergi menghilang.

Horatio lantas bercerita kepada Hamlet, yang masih tenggelam dalam duka lara oleh kematian ayahnya, tentang apa yang dialaminya itu. Didorong oleh rasa penasaran Hamlet pergi ke dinding menara untuk melihatnya sendiri. Hantu muncul dan melambai ke arah Hamlet, dan Hamlet kemudian mengikutinya. Horatio dan para opsir berusaha mencegah Hamlet pergi tapi dia berkeras dan tak menghiraukan larangan mereka. Sementara Hamlet pergi mengikuti hantu, salah seorang opsir, Marcellus, berkomentar tentang apa kemungkinan makna dari kemunculan hantu itu, dan berujar, “something is rotten in the state of Denmark”. Ada yang busuk di dalam negara Denmark.

Di tempat lain, Hamlet berbincang dengan hantu Raja Denmark yang lantas menceritakan bahwa ia mati dibunuh oleh Claudius: “the serpent that did sting thy father’s life now wears his crown “. Claudius membunuh raja dengan menumpahkan racun ke dalam kupingnya. Hantu lalu meminta Hamlet membalaskan pembunuhan itu. Impulsif dan selalu bersemangat, Hamlet pun menyanggupinya. Kepada sahabatnya, Horatio, dan Marcellus, Hamlet kemudian menceritakan rencananya untuk mencari bukti pembunuhan itu sebelum ia membalaskan dendam kematian ayahnya. Horatio dimintanya untuk menjaga rapat-rapat rahasia ini, meskipun ia sendiri masih ragu atas kebenaran informasi dari hantu ayahnya itu. Untuk mewujudkan rencananya Hamlet lantas berpura-pura menjadi gila. Ini melengkapi kisah-kisah tentang para pahlawan yang berubah pandir untuk membela kebenaran yang juga dikenal dalam masyarakat Eropa tapi juga di Asia.

Untuk memastikan kebenaran cerita yang ia dengar dari hantu ayahnya, Hamlet merancang sebuah pentas drama yang mengisahkan kematian raja, yang dibuat bergaya seperti kematian ayahnya itu. Kepada Claudius Hamlet menyebut pertunjukan itu “Jebakan-Tikus”, Mouse-trap. Sangat tendensius. Dengan lakon drama seperti itu ia ingin melihat reaksi apa yang timbul pada Claudius ketika menyaksikan pertunjukan tersebut.

Sepanjang naskah ini Shakespeare seperti terus menggedor pikiran kita tentang aroma busuk dari hidup yang melapuk oleh kemaruk dan dendam. Oleh nafsu dan justa. Kematian, gambaran-gambaran tentang sakitnya para tokoh seperti Hamlet, Polonius, dan Claudius adalah representasi dari banyak hal yang sedang mengalami pengeroposan.



Ketika drama dipentaskan, dan Gonzago, raja dalam pertunjukan itu, mati dibunuh oleh pesainganya dengan menumpahkan racun pada telinganya, dan pembunuhnya kemudian mendapatkan cinta Baptista, istri Gonzago, Claudius yang menonton serentak bangkit berdiri dan berlari ke kamarnya. Dia masgul bagaimana pembunuhan itu bisa sama dengan yang pernah dia lakukan. Ini reaksi yang sudah ditunggu-tunggu Hamlet, dan sekarang dia yakin apa yang dikatakan hantu itu benar adanya.

Getrude memanggil Hamlet ke biliknya untuk meminta penjelasan. Di sana mereka bertengkar sangat sengit. Polonius yang mengintip kejadian itu dari balik tirai bermaksud menolong. Hamlet mengira itu adalah Claudius, dan menikamnya bertubi-tubi. Polonius pun mati. Sadar kalau salah orang, Hamlet kembali mencerca ibunya. Tapi hantu kembali muncul dan menegurnya. Getrude yang tidak bisa melihat kehadiran hantu bekas suaminya itu hanya mengira Hamlet memang gila. Setelah berpesan agar Getrude berhenti tidur dengan Claudius, Hamlet menyeret mayat Polonius keluar.

Hamlet masih bisa mengeluarkan kalimat-kalimat jenaka tapi sekaligus suram ketika ia ditanya Claudius tentang Polonius:


King Now, Hamlet, where’s Polonius?
Hamlet At supper.
King At supper! Where?
Hamlet Not where he eats, but where he is eaten: a certain convocation of politic worms are e’en at him. Your worm is your only emperor for diet: we fat all creatures else to fat us, and we fat ourselves for maggots: your fat king and your lean beggar is but variable service, two dishes, but to one table: that’s the end.”
King Alas, alas!
Hamlet A man may fish with the worm that hath eat of a king, and eat of the fish that hath fed of that worm.
King What dost thou mean by this?
Hamlet Nothing, but to show you how a king may go a progress through the guts of a beggar.
King Where is Polonius?
Hamlet In heaven; send thither to see: if your messenger find him not there, seek him i’ the other place yourself. But, indeed, if you find him not within this month, you shall nose him as you go up the stairs into the lobby.
King [To some Attendants] Go seek him there.
Hamlet He will stay till you come.



Claudius takut Hamlet akan membunuhnya juga. Maka ia membuat rencana untuk menghabisi hidup Hamlet. Ia meminta Hamlet melanjutkan pendidikannya di Inggris, dan telah menunjuk dua orang untuk menemani perjalanan Hamlet, dan sebuah surat dalam amplop tertutup untuk Raja Inggris. Isinya adalah permintaan agar Hamlet dibunuh ketika sudah sampai di Inggris. Tapi percobaan pembunuhan itu gagal, karena Hamlet berhasil mengetahui isi surat itu. Surat diganti dengan yang palsu, yang isinya justru permintaan agar dua orang yang menemaninya itu segera dibunuh. Dia lantas kembali ke Denmark.

Claudius mengubah taktiknya. Kali ini ia akan mengusulkan pertarungan pedang antara Hamlet dan Laertes, anak Polonius yang sangat dendam atas kematian ayahnya. Pedang Laertes akan dibubuhi racun di ujungnya. Laertes adalah pemain pedang yang istimewa, dan dia yakin betul bisa mengungguli Hamlet. Ia setuju dengan usulan Claudius. Tapi kalau cara ini juga gagal, Claudius sudah merencanakan plot lain: ia akan berpura-pura memberikan selamat pada Hamlet dan memberinya minum secawan anggur yang sudah diberi racun.

Tiba-tiba Getrude memberi kabar bahwa Ophelia mati tenggelam, entah dibunuh atau bunuh diri.

Meskipun sempat dicegah oleh Horatio, tapi Hamlet menyambut tantangan melawan Laertes. Dalam duel pedang itu Hamlet sempat terlihat unggul. Ini membuat Getritude girang dan mengangkat lantas meminum secawan anggur beracun yang sudah disiapkan Claudius untuk membunuh Hamlet. Claudius mencoba mencegah, tapi terlambat. Getritude mati. Laertes berhasil melukai Hamlet dengan pedang yang ujungnya sudah dibubuhi racun. Karena kebingungan atau alasan lain, dua petarung ini lantas bertukar senjata, dan Hamlet berhasil melukai Laertes dengan pedang beracunnya sendiri. Menjelang ajal, Laertes membuka rahasia plot jahat yang dirancang oleh Claudius ini, dan mengajak Hamlet untuk saling memaafkan. Hamlet segera menghambur ke arah Claudius dan membunuhnya.

Akibat racun dari pedang Laertes, Hamlet kemudian mati dalam pangkuan sahabat sejatinya, Horatio. Sebelum ajal tiba ia, yang telah mendengar kabar bahwa pasukan Norwegia akan melintasi Denmark, memilih pangeran Norwegia sebagai penggantinya. Dalam dekapan lengan-lengan kukuh Horatio, sebelum nafas penghabisan terhembus, Hamlet berdesis mengerang, “selebihnya adalah kesunyian”, the rest is silence. Lembayung kemudian membawa nyawa Hamlet berpulang ke dalam malam.

Sepanjang naskah ini Shakespeare seperti terus menggedor pikiran kita tentang aroma busuk dari hidup yang melapuk oleh kemaruk dan dendam. Oleh nafsu dan justa. Kematian, gambaran-gambaran tentang sakitnya para tokoh seperti Hamlet, Polonius, dan Claudius adalah representasi dari banyak hal yang sedang mengalami pengeroposan. Di situ Shakepeare menaruh jejak-jejak yang bisa dilacak tentang kerusakan jiwa yang membawa pada kematian para tokohnya. Malaikat pencabut nyawa sendawa di setiap jendela istana.


Polonius jelas adalah seorang tokoh busuk. Dia telah sejak lama menjadi seorang penasihat senior raja dan telah busuk sejak beberapa tahun. Dia berpenampilan terhormat, dan tingkahlaku yang menyengangkan tapi dengan kekejian yang bersembunyi di baliknya. Dia memperlakukan putrinya sendiri, Ophelia, yang adalah kekasih Hamlet, sepenuhnya hanya untuk kepentingannya sendiri, dan bahkan menugaskan orang untuk memata-matai anak lelakinya, Laertes, serta merencanakan plot kematian Hamlet.

“Hamlet”


Apakah secara moral lebih baik membiarkan atau menghadapi kejahatan dalam cara pasif ataukah kita punya keharusan moral untuk membela kebenaran, sekalipun untuk itu harus dengan cara kekerasan demi tegaknya keadilan? Tapi agama, negara, dan masyarakat menilai pembunuhan adalah dosa dengan ancaman hukuman di neraka. Hamlet terperangkap dalam sebuah lingkaran korup tanpa jalan keluar.


Claudius adalah biangkerok pembusukan yang mewabah di dalam kerajaan, tapi tidak kunjung mendapat hukuman. Alih-alih mendapat hukuman kejahatan Claudius malah justru berhasil mendongkrak posisi politiknya sampai menduduki singgasana raja, dan dari sana ia terus menyebarkan kerusakan hati kepada seluruh rakyat sehingga menimbulkan kekacauan, menghamparkan pralaya, kesedihan dan kematian. Inilah yang secara simbolik diwakili dalam ungkapan Marcellus sebagai “sesuatu yang membusuk di Kerajaan Denmark” itu. Membusuknya jiwa dan moral Claudius dan pengaruhnya pada kehidupan kerajaan. Penggambaran tentang kebusukan dan bau menyengatnya yang menyebarluas mengisyaratkan daya tular yang sangat mengerikan dari perbuatan dosa manusia. Hidup melulu berpusar pada laku-laku durhaka.

Hamlet mencoba mengatasi pembusukan itu, tapi ia sendiri dikepung sebuah dilemma besar. Sejak bertemu dengan hantu mendiang ayahnya, ia sudah tidak lagi berharap pada cinta dan tak lagi menaruh harapan tentang masa depan. Ia kini sepenuhnya bersandar pada nasib. Seperti terbaca dari soliluqui-nya, semua tindakannya secara moral menimbulkan keraguan. Ia mungkin sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya, tapi itu berarti bertentangan dengan rencananya untuk menyingkirkan Claudius. Tapi apakah balas dendam pribadi bisa diterima? Apakah orang harus memilih antara menderita dan menanggung sakit atau berbuat sesuatu untuk menghukum orang yang menyebabkan penderitaan dan sakit itu.

Apakah secara moral lebih baik membiarkan atau menghadapi kejahatan dalam cara pasif ataukah kita punya keharusan moral untuk membela kebenaran, sekalipun untuk itu harus dengan cara kekerasan demi tegaknya keadilan? Tapi agama, negara, dan masyarakat menilai pembunuhan adalah dosa dengan ancaman hukuman di neraka. Hamlet terperangkap dalam sebuah lingkaran korup tanpa jalan keluar. Seperti dalam sebuah permainan judi, ia bermain dan kalau pun menang ia tetap mengalami kekalahan yang sama besar. Hampir putus asa Hamlet bergumam perih, “suara hati memang membuat kita semua jadi pengecut”. Menjelang pertunjukan berakhir, ia telah membunuh lima orang dan mengakibatkan satu orang bunuh diri.

Tapi di akhir cerita Hamlet masih bisa melakukan tindakan heroik: ketika ia sepenuhnya terjebak dalam perangkap busuk orang-orang di sekelilingnya, dia membuat satu putusan untuk secara sadar membiarkan semua orang yang merekayasa rencana busuk itu dihancurkan oleh rencana mereka sendiri. Hamlet mati dan ia membawa semua kebusukan itu hancur bersama kematiannya. Tidak ada jalan lain bagi Hamlet, juga bagi Shakespeare saya kira, karena dalam Tragedi tidak pernah ada akhir bahagia. Hamlet harus binasa karena hanya dengan itu ia bisa menghancurkan dan memutus rantai pembusukan Denmark. Ini adalah kualitas kepahlawanan Hamlet. Melalui jalan yang rumit berliku dan penuh darah ia masih bisa meraih martabat hidup dan makna dari kematiannya. Ia pergi mati secara tragis dan bersamanya seluruh kelancungan luruh ke dalam tanah, memberi ruang luas untuk generasi yang akan datang. Hamlet mati dalam kemuliaan. Husnul khatimah.

Tiga dendam atas kematian ayah terbayar sekaligus: Hamlet berhasil membunuh Claudius yang telah membunuh ayahnya; Laertes berhasil menghujamkan pedang beracun mematikan ke tubuh Hamlet yang telah membunuh ayahnya; dan Pangeran Norwegia, di luar keinginannya sendiri, terbayarkan dendamnya atas pembunuhan terhadap ayahnya.



Perkataan Marcellus “something is rotten in the state of Denmark”, menjadi salah satu ungkapan yang paling banyak dikutip, selain, tentu saja, “to be or not to be”, dari naskah Hamlet. Sepintas lalu Marcellus tampak sekadar sedang mengomentari kondisi buruk yang terjadi di negerinya. Tapi secara perlahan kita akan segera tahu bahwa yang dimaksudnya jelas bukan hanya tentang hantu yang dilihat dan akan diikuti oleh Hamlet, tapi juga ihwal yang jauh lebih besar seperti hubungan antara Denmark dan Norwegia yang sedang bermasalah. Beberapa tahun sebelumnya, Raja Hamlet telah membunuh Raja Norwegia, Fortinbras dalam sebuah pertempuran. Ada kekhawatiran bahwa putra Raja Norwegia akan segera memimpin pasukan perang untuk menginvasi Denmark.

Para pembaca sastra klasik umumnya menafsirkan ucapan Marcellus dengan menitikberatkan pada dua kata utama yang dipakainya, yakni kata “state” yang menunjuk pada tubuh politik, dan kata “busuk” (rotten) yang menunjuk pada kondisi yang sedang mengalamai pembusukan, tidak sehat. Dalam Hamlet, Shakespeare menjadikan pembusukan politik sebagai tema besar naskah dramanya, hampir lima abad sebelum kita menghirup udara yang lebih kurang sama busuknya sekarang. Ditulis pada 1599-1601, melalui Hamlet ia menggambarkan pelapukan itu bukan hanya dalam prilaku para karakternya tapi juga dalam cara bagaimana ia melukiskan kondisi kehidupan secara keseluruhan.

Diskusi-diskusi dalam bahasa Inggris sering menggunakan kata “corruption”, “corrupt” atau “corrupted” tapi dalam bahasa Indonesia kata “korupsi” terlanjur mengalami penyempitan menjadi ungkapan teknis tentang pencurian uang negara/rakyat oleh para pejabat lancung. Korupsi dalam ajang diskusi tentang Hamlet bukan hanya berarti soal pencurian uang dan kesalahan pencatatan administrasi keuangan seperti yang banyak ditangani KPK dan kepolisian Indonesia, tapi tentang kondisi jiwa, moral, dan tatanan kehidupan yang lebih luas. Gambaran tentang korosi moral, pembusukan etika dan tingkah laku, penyakit, dan kerusakan berserakan dalam seluruh bagian naskah. Busuknya Negara Denmark dengan sangat kuat bahkan dicerminkan oleh gambaran-gambaran Shakespeare tentang kesehatan yang memburuk, gulma, dan tanaman liar lain yang menutupi tumbuh-tumbuhan yang sehat. Atmosfer di lingkungan istana penuh aroma kematian. Segalanya membusuk, semuanya melapuk. Keadaan terus semakin memburuk. Sebuah negeri sedang di ambang kebankrutan.

“Kematian adalah satu-satunya invensi terbaik kehidupan. Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati untuk sampai ke sana.” Itu adalah kata-kata Steve Jobs dalam commencement speech yang legendaris di Universitas Stanford tahun 2005 yang lalu. Ia mengucapkan itu karena mengalami sendiri pengalaman hidup di ambang kematian setelah menjalani pemeriksaan medis karena kanker pankreas yang dideritanya cukup lama. Enam tahun kemudian, pada 5 Oktober 2011, Jobs akhirnya tidak bisa lagi menunda kekalahan di hadapan sang maut. Kepergiannya meluapkan duka bagi dunia. Tapi ia bukan Hamlet. Bersama kematiannya ia mewariskan nama besar yang akan terus harum entah untuk berapa lama.


Dalam politik Indonesia hari-hari ini, tentu saja sangat mudah bagi sebagian orang untuk tergoda menarik garis lurus antara kondisi Denmark di dalam naskah Hamlet dengan kondisi Indonesia saat ini. Negeri yang berkali-kali salah urus memang akan terlalu mudah menjadi korban bully oleh rakyatnya sendiri. Semua orang membutuhkan tong sampah untuk membuang kotoran. Agama sudah membuat tegas kategori-kategori najis. Ke mana semua kehinaan itu harus diempaskan selain kepada orang-orang yang dalam pemilu menggunakan cara apa pun untuk dipilih? Juga akan sangat mudah bagi sebagian orang mencari-cari padanan bagi tokoh seperti Claudius dan Polonius di dalam personalia pemerintahan pusat atau di bawahnya. Bukankah kebodohan yang sama pernah dipertontonkan telanjang ketika para pembawa kabar dari neraka mengibaratkan pertemuan mereka dengan kepala negara seperti pertemuan antara Musa, nabi yang suci, dengan Firaun si raja mahalalim? Dan banalitas seperti itu sungguh sangat cepat menular ke dalam banyak batok kepala orang-orang yang sepertinya memang tidak ditakdirkan untuk bisa menggunakan otaknya secara optimal. Yang kegemarannya hanya mengunyah dan memamah biak kabar bohong.

Saya seperti terserang halusinasi dan melihat sekumpulan burung gagak hitam terbang di langit Jakarta. Dari mulutnya tidak berhenti keluar bunyi, “hoax…hoax…hoax”.

Padahal Claudius bisa saja adalah personifikasi dari dorongan-dorongan terdalam pada hati cukup banyak orang. Seperti gelembung-gelembung jahat Rahwana yang, setelah kematiannya oleh panah sakti Sri Rama, merayap perlahan di udara, lantas dihirup oleh dan meresap pelan-pelan ke dalam hati orang-orang di Alengka, di Ayodya, bahkan ke dalam hati Sri Rama yang meluap-luap oleh rasa bangga setelah memenangkan sebuah pertempuran.

Tapi pada segala yang membusuk, semua yang melapuk, selalu ada janji dan undangan untuk menyambut yang masih segar. Selebihnya adalah, seperti kata Hamlet, kesunyian.

Tanjung Barat, 25 April 2021

*Saya ingat mendiang Pak Umar Kayam pernah menulis esai dengan judul yang sama. Tapi yang tidak saya ingat adalah di mana esai itu diterbitkan. Ingatan saya pada foto diri Pak Kayam seukuran kuku jempol (thumbnail) di pojok kanan atas dari tampilan esai itu, tak banyak membantu saya mengetahui persisnya media mana yang memuatnya. Mungkin di majalah mingguan Tempo atau publikasi yang lain. Dengan kenangan semacam itu, tulisan singkat saya ini mudah-mudahan bisa menjadi salah satu penghormatan untuk almarhum. Al-fatihah untuk Pak Kayam.


Rujukan

Jobs, Steven Paul. Stay Hungry, Stay Foolish. Commencement Speeach di Universitas Standford, 12 Juni 2005.

Shakespeare’s Hamlet. Disunting oleh Sidney Lamb. New York: Hungry Minds, 2000.

Shakespeare, William. Hamlet. Disunting oleh David Bavinton, dkk. Prakata oleh Joseph Papp. New York: Bantam Books, 1980.

Shakespeare, William. Hamlet. New York: Penguin Books, 1980



BACA JUGA