Bagi sebagian orang dari luar Aceh, ungkapan “formalisasi syariat (atau lebih sering ditulis syariah) Islam” untuk merujuk pada pemberlakuan syariat Islam sebagai landasan pengaturan tertib sosial dalam bentuk regulasi pemerintah daerah di provinsi Aceh (belakangan berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, NAD), mungkin merupakan nasib sosiologis masyarakat Aceh yang tidak terlalu perlu dipersoalkan. Sebutan “Serambi Mekah” yang pada dasarnya sedikit, kalau bukan tidak ada sama sekali, hubunganya dengan kondisi kehidupan dan ketaatan masyarakat Aceh pada ajaran Islam, misalnya, oleh orang non-Aceh seringkali dilihat sebagai indikasi tentang senyawa antara Aceh dan Islam. Julukan yang semula hanya merujuk pada gagasan tentang jarak spasial dalam rute jamaah haji Indonesia menuju tanah suci di Mekah Saudi Arabia, belakangan telah berubah menjadi ekpresi atau bahkan testimoni sosial tentang kehidupan religius masyarakat Aceh dalam naungan nila-nilai dan ajaran Islam: Aceh adalah Islam (meskipun mungkin tidak berlaku sebaliknya). Dipahami dalam konteks seperti itu, klaim kota Manokwari di Papua Barat sebagai “Serambi Yerusalem” atau “kota Injil”, semacam usaha untuk meraih status distingtif dalam versi Nasrani, yang merujuk pada Aceh sebagai preseden historisnya, misalnya, memperlihatkan berlangsungnya (kekeliruan) konotasi konseptual yang terlanjur terbentuk di tengah masyarakat non-Aceh tentang senyawa tadi.
Aceh memang sering diidentikkan dengan sebuah wilayah tempat Islam bukan hanya menjadi agama mayoritas penduduknya, melainkan juga dianggap sebagai sebuah karakteristik yang membedakannya dengan wilayah lain. Islam adalah the way of life, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dalam pengertian yang paling mungkin dalam masyarkat Indonesia kontemporer, bolehjadi memang sudah lama berlaku di Aceh. Ungkapan lokal (hadih Madja) “Adat ngön syariat lagee dzat ngön sifeut” (adat dan syariat seperti zat dan sifatnya) dengan cukup terang memperlihatkan bagaimana orang Aceh memandang syariat Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari: bahwa syariat (ajaran Islam) dan adat (yang bisa berarti kebudayaan dalam arti luas tapi juga bisa berarti pola-pola kebiasaan hidup sehari-hari) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Seperti wilayah kesultanan Yogyakarta di Jawa Tengah tapi dengan alasan historis yang berbeda, paling tidak sejak tahun 1959 Aceh diberi klaim tentang sebuah status istimewa, dalam arti memiliki status yang distingtif dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia terutama karena asumsi tentang atau identifikasi Aceh dengan Islam. Dengan demikian relasi negara Indonesia modern dan Aceh sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya memang menggunakan, untuk meminjam konsep Wittgenstein, permainan bahasa (language game) yang berbeda dibandingkan dengan wilayah-wilayah administratif lainnya dalam republik Indonesia.[1] Kesediaan orang Aceh, khususnya para ulama yang berpengaruh saat itu, untuk berintegrasi ke dalam negara (baru) modern Indonesia sebagiannya karena mayoritas penduduk daerah lain di Indonesia beragama Islam, sehingga Indonesia dianggap memiliki identitas yang sama dengan orang Aceh. Integrasi juga ditentukan oleh kepercayaan bahwa negara Indonesia merdeka akan memperbolehkan orang Aceh secara resmi menegakkan hukum Islam di wilayahnya (Salim, 2004). Aceh mendukung kemerdekaan Indonesia tahun 1945, bahkan mengirimkan pasukan untuk melawan belanda di Sumatra Utara, karena mengira bahwa hal tersebut akan membawa pada kemerdekaan atau otonomi lokal dalam wadah struktur negara federal (Kingsbury, 2007). Sebagai seorang pemula dalam kajian tentang Aceh, saya memulai studi singkat ini dengan beberapa pertanyaan awal yang sangat sederhana, yang bolehjadi memang mencerminkan keterbatasan pemahaman saya tentang Aceh. Sayangnya, sampai fieldwork singkat saya berakhir tidak semua bisa ditemukan jawabannya secara memuaskan. Pertama, karena jauh sebelum terjadi formalisasi syariat Islam Aceh sudah secara luas identik dengan Islam, kebutuhan dan kondisi apa yang mendorong munculnya kebijakan untuk memberlakukan formalisasi tersebut saat ini? Sebelumnya memang pernah ada upaya formalisasi yang hampir sama di Aceh tapi dihambat oleh kekuasaan Orde Baru di Jakarta, sehingga dengan demikian bisa diduga bahwa apa yang terjadi belakangan ini sedikit banyak mencerminkan terjadinya perubahan pada pola kekuasan yang ada di Jakarta. Kalau sebuah masyarakat terikat demikian kuat pada konsepsi-konsepsi religius tertentu dalam praktek hidupnya sehari-hari, kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa dilihat ketika negara justru berusaha keras memformalkan sesuatu yang bersifat kultural tersebut menjadi produk-produk struktural? Jawaban sementara yang saya dapatkan selama berada di kota Banda Aceh, sebagian warga kota ternyata menyikapi upaya struktural tersebut dengan sebuah sikap kultural yang secara padat terangkum dalam ungkapan “gak open”. Dalam bahasa Indonesia, ungkapan “gak open” ini lebih kurang berarti “tidak peduli”. Kedua, berhubungan dengan yang pertama, sikap “gak open” yang ditunjukkan oleh sebagian warga kota Banda Aceh tampaknya tipikal sikap sebagian besar warga di tempat mana syariat Islam dibakukan menjadi aturan pemerintah seperti di Bulukumba, Banjarmasin dan tempat lain. Penting dicatat bahwa sikap “gak open” di atas tidak harus serta merta diartikan bahwa sebagian warga Aceh, di kota Banda Aceh paling tidak, tidak lagi peduli pada atau sudah meninggalkan syariah Islam yang sejak lama mereka praktekan dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan tersebut bolehjadi justru merefleksikan sebuah penentangan simbolik, sejenis resistensi kultural, yang dilakukan oleh sebagian warga terhadap proyek-proyek kekuasaan yang berpretensi mengatur kehidupan mereka sampai pada hal-hal yang sangat privat sifatnya. Sikap “gak open” juga bisa muncul sebagai respon atas beberapa inkonsistensi pelaksanaan formalisasi SI, terutama pada kecenderungan pemberlakuan hukuman yang diskriminatif antara rakyat dan pejabat pemerintah, sehingga timbul kesan bahwa ketentuan-ketentuan hukum(an) berdasarkan syariat Islam, seperti hukum cambuk, itu hanya diberlakukan bagi rakyat tapi tidak bagi elit atau pejabat politik.[2] Kalau masyarakat cenderung bersikap tidak peduli atau “tidak mau tahu” terhadap formalisasi syariat Islam, kemungkinan besar ada kebutuhan lain yang menurut mereka lebih penting dan lebih mendasar daripada sekedar membakukan apa yang sudah bisa mereka praktekan sehari-hari (syariah Islam) menjadi aturan-aturan hukum formal. Kalau apa yang dibutuhkan rakyat dan apa yang dilakukan negara tidak sejalan, sehingga muncul kesan seolah-olah berlangsung “duo-monolog” dalam komunikasi politik antara rakyat dan negara, problem apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ini merupakan duplikasi dari problema yang sama yang berlangsung pada level yang lebih luas di tingkat nasional, ataukah ini merupakan gejala yang tipikal Aceh semata? Ketiga, dari mana sebenarnya inisiatif formalisasi itu berasal? Jawaban termudah adalah dari negara.[3] Tapi negara tidak bisa dibayangkan sebagai sebuah kesatuan yang monolit, serba sama di seluruh tingkatan. Pertanyaan tersebut, dengan demikian, bisa dipertajam menjadi apakah inisiatif tersebut berasal dari elit-elit negara lokal di Aceh ataukah ia merupakan tawaran dari pusat kekuasaan di Jakarta. Jawaban tercepat dan paling akurat atas pertanyaan tersebut tentu saja adalah bahwa inisiatif itu memang berasal dari Jakarta. Tapi jika demikian adanya, persoalannya kemudian adalah mengapa Jakarta memiliki inisiatif memberi Aceh ruang untuk melakukan formalisasi agama ke dalam tata aturan pemerintahan daerahnya. Berbeda dengan kasus-kasus yang terjadi di wilayah lainnya di Indonesia, formalisasi syariat Islam di Aceh saat ini pada mulanya bukan hasil dari formulasi kepentingan daerah tapi lebih menampakkan kepentingan besar kekuasaan di Jakarta atas Aceh. Tentu bukan tanpa alasan Jakarta menawarkan opsi pemberlakuan syariat Islam di Aceh tapi tidak di daerah lain. Yang menjadi persoalan adalah di mana kepentingan Jakarta dan kepentingan Aceh itu bertemu? Keempat, Aceh pada abad ke-21 adalah Aceh yang sangat berbeda dari sebelumnya. Selain telah lepas dari periode yang menempatkannya sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) di zaman Orde Baru, Aceh juga baru saja diguncang oleh prahara alam tsunami tahun 2004 yang lalu. Di samping itu, nasib Aceh (baru) kemudian banyak ditentukan oleh hasil nota kesepakatan (Memorandum of Understanding, MoU) Helsinki tahun 2005. Formalisasi syariat Islam diberlakukan sekitar dua tahun sebelum tsunami dan MoU Helsinki. Meskipun pada awalnya MoU Helsinki disambut dengan kontraversi opini di tingkat nasional, satu hal yang tidak bisa dimungkiri adalah kenyataan bahwa sekarang Aceh mulai memasuki sebuah fase sejarah baru. Beberapa warga yang sempat saya ajak berbincang-bincang memberi tekanan pada faktor “rasa aman” sebagai pembeda utama antara periode saat ini dengan masa-masa sebelumnya. Yang penting digarisbawahi dalam hal ini bukan terutama pada keamanannya sendiri sebagai sebuah kondisi objektif, melainkan lebih pada “hadirnya” rasa aman sebagai sebuah suasana subjektif. Hadirnya rasa aman sangat penting karena ia berhubungan langsung dengan kesempatan hidup dan peluang melakukan aktivitas produksi ekonomi. Mereka juga menceritakan bagaimana di era konflik bersenjata Indonesia versus GAM mereka sulit melakukan aktivitas produksi ekonomi, karena setiap hari senantiasa berada dalam posisi rawan menjadi korban kekerasan baik oleh pasukan TNI maupun oleh GAM. Karena itu mereka tidak terlalu peduli apakah Aceh akan didasarkan pada SI atau tidak, sebab yang lebih penting bagi mereka adalah rasa aman dalam melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Persoalannya kemudian adalah, mengapa kebutuhan akan perbaikan ekonomis tersebut malah dijawab dengan pemberian kewenangan memberlakukan syariat Islam yang dalam prakteknya sama sekali tidak ada kaitannya dengan persoalan ekonomi masyarakat Aceh. Beberapa Studi Terdahulu tentang (Syariat Islam di) Aceh
Atas resiko melakukan simplifikasi berlebihan dan dengan kemungkinan ketidaklengkapan bacaan, secara garis besar beberapa kajian tentang pelaksanaan formalisasi syariat Islam di Aceh dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori. Pertama, studi yang dilakukan untuk kepentingan inventorisasi akibat-akibat negatif implementasi formalisasi syariat Islam bagi kehidupan masyarakat Aceh. Kedua, kajian-kajian yang dilakukan untuk memeriksa akibat buruk pemberlakuan formalisasi syariat Islam bagi kelompok gender yang spesifik, yakni perempuan. Ketiga, studi yang dilakukan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan hilangnya kebebasan sipil akibat kebijakan formalisasi syariat Islam. Keempat, counter argument formalisasi syariah dengan tekanan pada kemungkinan-kemungkinan terjadinya kesalahan interpretasi dalam memahami postulat-postulat keislaman. Kajian-kajian dalam kategori ini tidak pernah benar-benar mempersoalkan praktek formalisasinya sendiri, melainkan lebih pada latarbelakang gagasannya yang diasumsikan dilandasi oleh stagnasi bahkan kekeliruan penafsiran atas ajaran-ajaran syariah itu sendiri. Pada prinsipnya, studi-studi semacam ini tidak pernah tegas menyatakan penolakan baik terhadap syariat Islam maupun terhadap kebijakan formalisasinya, melainkan mencoba mempersoalkan proses implementasinya di lapangan. Dengan kalimat lain, yang dipersoalkannya bukan substansi kebijakan negara dalam mengintegrasikan syariat ke dalam aturan-aturan pemerintah tentang kehidupan sosial warga, melainkan ekses negatifnya yang telah menimbulkan penderitaan rakyat ketika produk integrasi tersebut dipraktekkan. Sementara dengan mudah diajukan argumen bahwa tafsir atas fiqih harus terus menerus diperbaharui, tapi fiqihnya sendiri sebagai sebuah kategori tidak pernah benar-benar dipersoalkan. Artinya, hanya ada dua pokok kritik terhadap formalisasi syariat: ekses yang ditimbulkan dalam implementasi formalisasi, dan perbedaan tafsir atas fiqih yang melandasi gagasan formalisasi. [4] Dinas Syariah Islam provinsi NAD sendiri telah mempublikasikan beberapa studi tentang formalisasi SI di wilayahnya. Studi-studi tersebut rata-rata dilakukan oleh kaum akademisi dari dua perguruan tinggi negeri di kota Banda Aceh, universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry. Mudah diduga, beberapa di antara studi tersebut memang ada yang cenderung terjebak ke dalam glorifikasi masa lalu untuk mencari legitimasi bagi implementasi syariat Islam dalam masyarakat Aceh, tapi sebagian yang lain mencoba melihat persoalan implementasi formalisasi SI dari berbagai dimensi yang berbeda, mulai dari persketif sejarah, hukum, hak asasi manusia, isu kesetaraan gender sampai posisi kelompok minoritas dalam masyarakat Aceh yang berbasiskan syariat Islam.[5] Sejauh menyangkut karya-karya akademik ilmuwan Indonesia, studi paling komprehensif tentang formalisasi syariat Islam di Aceh sejauh ini adalah karya yang justru ditulis oleh pendukung utamanya sendiri, yakni Prof. Dr. Al Yasa’ Abubakar, yang sampai awal Maret 2008 menjabat sebagai Kepala Dinas Syariat provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Beberapa karyanya, terutama yang berjudul Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Paradigma, Kebijakan dan Kegiata)2008)n, tidak bisa dilewatkan oleh siapa pun yang ingin mengkaji problematik pemberlakuan SI di Aceh bahkan di Indonesia umumnya secara serius. Di dalamnya Al Yasa secara terang benderang menyoroti seluruh dimensi persoalan formalisasi SI di Nanggroe Aceh Darussalam, dimulai dari penjelasan tentang beberapa konsep dasar yang berhubungan dengan syariat Islam, latar belakang sosial, budaya dan politik formalisasi SI, dasar-dasar hukum pemberlakuannya, program yang sudah dilaksanakan, hambatan pelaksanaan program, bahkan sampai beberapa kekeliruan dalam cara masyarakat awam memahami syariat Islam. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa karya Al Yasa’ ini merupakan magnum opus tentang SI di Aceh yang sulit ditandingi oleh karya-karya sejenis di daerah lain. Kelengkapan karya ini juga menjadikan kritik-kritik terhadap formalisasi syariat Islam jadi tidak lagi terlalu berwibawa secara intelektual, terutama karena kebanyakan kritik tersebut hanya berupa artikel-artikel pendek di media massa. Tentang pelaksanaan SI di Aceh ia menulis (Abubakar, 2005, h. 20-21):Masyarakat Aceh menginginkan pelaksanaan SI dalam arti yang seluas-luasnya, sehingga selain tiga aspek ajaran di atas, akan ditambahkan aspek-aspek yang meliputi pendidikan, kebudaaan (kesenian), tatanan ekonomi dan keuangan, pelayanan kesehatan, dan penggunaan obat-obatan (tidak mengandung zat yang diharamkan), kegiatan olahraga, serta berbagai aspek lainnya. Begitu juga masyarakat Aceh menginginkan SI yang akan dilaksanakan adalah SI yang dapat menjawab permasalahan yang ada sekarang dan sesuai dengan kebutuhan masa kini. Jadi bukan SI seperti yang dipahami oleh ulama masa lalu, yang cocok untuk masa mereka dan tidak cocok lagi untuk kebutuhan kita sekarang. Masyarakat Aceh tidak ingin dan tidak akan berusaha menarik jarum jam kehidupan masyarakat mundur ke belakang.[6]
Dari kutipan di atas, ada beberapa konsep yang bisa didiskusikan. Pertama, pemberlakuan syariat Islam di Aceh, yang kemudian diatur oleh beberapa produk formalisasi SI, itu ditarik sampai titik terjauh kemungkinan implementasinya dalam sebanyak-banyaknya bidang kehidupan masyarakat sehari-hari. Kedua, kenginan untuk melakukan revitalisasi ajaran lama untuk kebutuhan pengaturan sosial kontemporer, dan; Ketiga, sebagai konsekwensinya ada kebutuhan untuk melakukan rekontekstualisasi syariat Islam dengan kondisi masyarakat saat ini yang sudah jauh berbeda. Perluasan cakupan konsep syariah akan membawa kita pada diskusi tentang apa yang belakangan di Aceh disebut “pelaksanaan syariah secara kaffah”. Dalam upaya revitalisasi ajaran lama untuk mengatur kehidupan kontemporer masyarakat Aceh tersebut, paling tidak ada dua hal yang saling terkait: pertama, asumsi bahwa Aceh pernah mengalami sebuah periode historis ketika syariat Islam digunakan sebagai acuan sistem hukum dalam masyarakat yang dibayangkan jauh lebih baik daripada yang terjadi saat ini; kedua, asumsi bahwa segala hal negatif yang terjadi saat ini bisa dicarikan solusinya melalui penerapan ajaran lama tadi. Di lain pihak, kebutuhan untuk melakukan rekontekstualisasi sebuah ajaran pada dasarnya adalah sebuah pengakuan bahwa kalau diperlukan maka ajaran tersebut harus diperbaharui. Rekontekstualiasi berarti mengukur relevansi sosial konsepsi-konsepsi dengan sebuah konteks objektif. Konsekwensinya, kalau keduanya tidak berkesesuaian maka yang harus diubah adalah konsepsinya bukan konteksnya. Tapi bukankah formalisasi syariat justru bertujuan untuk mengubah kehidupan masyarkat agar sesuai dengan ajaran Islam? Artinya, formalisasi bertujuan mengubah konteks ke mana ia akan disesuaikan. Salah satu karya mutakhir yang cukup baik mendeskripsikan formalisasi SI mulai dari proses pembuatan Peraturan Daerah (Perda), implementasinya sampai pengawasan pelaksanaannya dirangkum dalam sebuah manuskrip yang, sayangnya, sampai saat ini belum diterbitkan. Manuskrip tersebut didasarkan pada hasil penelitian di 7 (tujuh) kabupaten/kota di tiga provinsi yakni di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Selatan.[7] Kelebihannya terletak pada kesanggupannya untuk bukan hanya menginventarisasi beberapa persoalan pelik sebagai ekses pemberlakuan integrasi agama dan aturan negara, melainkan juga menempatkan fenomen formalisasi SI dalam konteks proses demokratisasi di tingkat lokal (daerah tingkat II). Studi-studi yang dilakukan di ketujuh wilayah tadi memperlihatkan bahwa upaya formalisasi SI lebih memperlihatkan peta kontestasi kepemimpinan daerah di antara sesama elit lokal daripada kesungguhan untuk menjalankan ajaran agama secara benar dalam praktek hidup masyarakat. Pragmatisme politik elit lokal untuk meraih supremasi dalam pemilihan kepada daerah (Pilkada), dengan kalimat lain, telah mendorong mereka memobilisasi dukungan melalui upaya-upaya pengerahan dan manipulasi sentimen-sentimen keagamaan. Deskripsi Singkat tentang Syariat Islam di Aceh
Dua peristiwa penting yang terjadi di Aceh yang krusial sifatnya pada politik nasional adalah pemberlakuan otonomi khusus melalui UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan peristiwa prahara tsunami tahun 2004. Kebijakan otonomi daerah yang secara nasional berlaku pada tingkat kabupaten/kota, di Aceh, dan kemudian Papua, justru diberlakukan pada tingkat provinsi. Padahal, salah satu alasan mengapa otonomi daerah diberlakukan pada level daerah tingkat II adalah untuk menghindari potensi separatisme kalau hal itu diberlakukan pada satuan teritorial yang lebih luas setingkat provinsi. Tapi bukankah Aceh dan Papua justru merupakan dua wilayah yang paling rawan memisahkan diri dari kesatuan wilayah Indonesia? Bagaimana otonomi daerah diberikan untuk mencegah disintegrasi tapi di sisi lain justru dilihat sebagai pembawa potensi disintegrasi nasional, bolehjadi memperlihatkan kondisi dilematis yang dialami Indonesia ketika memasuki periode transisi dari era otoritarianisme. Pemberian otonomi khusus bagi Aceh mengukuhkan klaim tentang keistimewaan daerah ini dibanding wilayah-wilayah lain di Indonesia. Empat keistimewaan Aceh adalah keistimewaan dalam kehidupan beragama, adat, pemerintahan, dan (peran) ulama. Salah satu produk kebijakan dalam kerangka otonomi khusus Aceh adalah formalisasi SI. Secara sederhana, formalisasi SI adalah proses integrasi beberapa ajaran yang terkandung dalam fiqih Islam ke dalam bentuk kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Tujuan utamanya adalah untuk mengatur kehidupan warga provinsi NAD agar sesuai dengan kaidah-kaidah atau ajaran Islam. Membentuk masyarakat Islami dimanifestasikan dalam bentuk upaya memberlakukan kontrol atas tertib sosial dengan mengacu pada hukum-hukum Islam (syariah). Legitimasi atas kontrol sosial tersebut dikukuhkan dengan penerbitan beberapa peraturan daerah (Perda) yang di Aceh Darussalam disebut Qanun, yang maknanya lebih kurang sepadan dengan istilah Canon dalam bahasa Inggris.[8] Qanun yang secara khusus mengatur pelaksanaan syariat Islam biasa disebut Qanun syariah. Syariat dan Islam dalam frase “syariat Islam” sudah diterima sebagai dua hal yang identik satu dengan lainnya. Bukan saja karena penggunaan kata syariat secara spesifik memang hanya dipakai dalam konteks pembicaraan tentang ajaran Islam (tidak ada diskusi tentang syariat Kristen atau Hindu, misalnya), melainkan juga karena sebagian orang cenderung menganggap keduanya identik satu dengan lainnya. Al Yasa’ Abubakar, kepala Dinas Syariah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2001- Maret 2008) mengartikan syariah sebagai:ajaran dan tuntunan mengenai tata peraturan kehidupan praktis, bagaimana cara seorang muslim menyembah Allah (ibadah); bagaimana seorang muslim berinteraksi dengan keluarga dan kerabat (hukum perkawinan dan kekeluargaan); bagaimana hidup bertetangga dengan banyak orang, hidup dalam masyarakat yang berbudaya, bagaimana setiap orang harus menahan diri, tidak berbuat semau-maunya, sehingga masyarakat tetap aman dan tenteram; ke dalam bagian ini termasuk aturan tentang pemerintahan, mengenai pemilihan kepala pemerintahan, pembagian kekuasaan (kewenangan) dan pendelegasiannya. Begitu juga bagaimana memperlakukan dan memanfaatkan alam sehingga bermanfaat untuk manusia dan tidak mendatangkan bencana, dan seterusnya. Aspek ajaran ini dikembangkan para ulama menjadi sebuah disiplin yang sistematis yang diberi nama fiqih atau ilmu fiqih (buku yang menjelaskan hukum-hukum dalam kedudukan seseorang sebagai diri pribadi. Dengan kata lain, fiqih adalah aturan dan tuntunan mengenai prilaku lahir seseorang, baik dalam kedudukan sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat atau dalam kedudukan sebagai pejabat (petugas) negara.[9]
Bagi Abubakar, syariat hanyalah salah satu dari tiga ajaran pokok Islam (dua lainnya adalah aqidah dan akhlak), dan sama sekali bukanlah Islam itu sendiri. Dalam penggunaan vernakular masyarakat Aceh, barangkali juga di tempat lain, konsep syariat mengalami perluasan makna bukan lagi sebatas salah satu ajaran (yang berhubungan dengan perkara-perkara hukum) melainkan dianggap melingkupi semuanya, sehingga ia dianggap identik dengan Islam. Yang juga menarik adalah pernyataan Abubakar bahwa “ajaran Islam tidak terbatas hanya pada tiga aspek (aqidah, syariah, dan akhlak—HB), tetapi mencakup bidang lain yang lebih luas, seluas kehidupan itu sendiri. Jadi di dalam Islam ada aspek ekonomi, pendidikan, politik, kesenian, olahraga, dan seterusnya. Tetapi, ajaran di berbagai bidang ini belum dikodifikasikan dengan baik oleh para ulama, sehingga belum mejadi sebuah cabang atau disiplin ilmu seperti tiga aspek sebelumnya”. Dengan demikian, menurut Abubakar, syariat tidak seharusnya hanya dipahami dalam pengertian “tradisional”, tetapi digunakan secara lebih luas sebagaimana dipahami dan diuraikan oleh ulama kontemporer yang mencakup aspek pendidikan, kebudayaan, ekonomi, politik dan aspek-aspek lainnya. Menjadi jelas bahwa agenda formalisasi syariat Islam di Aceh menjangkau wilayah yang sangat luas, tidak terbatas lagi pada aspek tanggungjawab individu pemeluk Islam, melainkan juga akan membutuhkan campur tangan negara untuk mewujudkannya. Persis inilah yang mendorong Dinas Syariah Islam Aceh memandang perlu menambahkan kata “kaffah” di belakang frase “syariat Islam”. Dalam konteks ini Dinas Syariat NAD memberi tafsir baru pada ungkapan “kaffah”, yang secara umum didenotasikan sebagai pemahaman dan praktek suatu ajaran secara sempurna, itu menjadi sebuah terminologi untuk menunjuk pada kebutuhan politik untuk melibatkan negara (baik pemerintah daerah maupun pusat) dalam mendukung pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Dengan demikian, syariat Islam bukan lagi sebatas obligasi religius individu melainkan dinaikkan statusnya menjadi kewajiban negara untuk meningkatkan kualitas hidup warga negara berdasarkan nilai-nilai Islami. Yang masih menjadi perdebatan dalam hal ini adalah sejauhmana peran negara dimungkinkan, apakah harus mengurusi semua perkara syariat atau hanya sampai pada perkara-perakara tertentu saja (Abubakar, 2005, h. 21-30). Kalau kesungguhan pelaksanaan sebuah kebijakan bisa diukur dengan jumlah regulasi yang diterbitkan untuk memayunginya, maka pelaksanaan formalisasi SI di Aceh akan tampak tidak terlalu serius. Sampai tahun 2007 berakhir, misalnya, tidak terlalu banyak Qanun syariat yang telah diundangkan di Aceh. Tahun 2002, hanya terbit dua buah Qanun, yakni Qanun No. 10/2002 tentang Peradilan Syariat Islam dan Qanun No. 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Tahun 2003 hanya terbit tiga Qanun, yaitu Qanun No. 12/2003 tentang Khamar (minuman keras) dan sejenisnya, Qanun No. 13/2003 tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun No. 14/2003 tentang Khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrim di tempat sepi). Qanun terakhir diterbitkan tahun 2004, yakni Qanun No. 7/2004 tentang Pengelolaan Zakat. Dari keenam qanun tersebut, hanya tiga yang merupakan Qanun pidana (Qanun Jinayah), yakni Qanun No. 12-14 (Sulaiman dkk., 2007, h. 104). Satu hal harus segera digarisbawahi, yakni bahwa proses penguatan kembali identitas ke-Islaman di Aceh menampilkan kasus spesifik yang relatif berbeda dengan di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Isu formalisasi SI di Aceh tampaknya tidak banyak digunakan sebagai sebuah wahana untuk mendorong mobilisasi dukungan politik dalam kontestasi kepemimpinan lokal. Meskipun sebagian besar calon mencoba mempromosikan penegakan SI untuk meraih dukungan suara pemilih, tapi kemenangan calon independen Irwandi Yusuf sebagai gubernur NAD memperlihatkan bahwa formalisasi SI bukanlah komoditas politik yang bisa laku dijual di pasar suara dalam Pilkada Aceh.[10] Peraturan/Undang-undang yang menjadi landasan pemberlakukan formalisasi syariat Islam di Aceh adalah sebagai berikut: UU No. 44/1999 tentang penyelenggaraan Keisitimewaan Provinsi Aceh UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Peraturan Pemerintah No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonomi Keputusan Presiden Repubik Indonesia No. 11/2003 tentang Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 3/2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh NO. 43/2001 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 3/2000 tentang Pembetukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Peraturan Daerah rovinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 7/2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islah Bidang Aqidah, Ibadah, dan Siar Islam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 1/2002 tentang Peradilan Syariat Islam.
Ada pun otoritas yang berwenang dalam Implementasi Syariah Islam di Nanggroe Aceh Darussalam adalah Dinas Syariat Islam, yang bertugas dan berwenang merancang Qanun pengamalan dan pengawasan pelaksanaan serta memberikan bimbingan dan penyuluhan tentang syariat Islam. Dinas Syariat membentuk dan mengangkat Wilayatul Hisbah sebagai badan pengawas pelaksana Syariat Islam.Tabel 1. Jumlah Personil Wilayatul Hisbah Kabupaten/Kota berdasarkan Jenis Kelamin (klik gambar untuk melihat versi yang lebih besar)
Sumber Dinas Syariat Islam Aceh, dikutip melalui Danial, Mahdi, dan Usammah, “Pelaksanaan Syariat Islam dan Kekerasan di Aceh”, dalam Jurnal Seumikè Edisi III, Agustus 2007
Tabel 2. Jumlah Personil Wilayatul Hisbah berdasarkan Tingkat Pendidikan (klik gambar untuk melihat versi yang lebih besar)
Sumber Dinas Syariat Islam Aceh, dikutip melalui Danial, Mahdi, dan Usammah, “Pelaksanaan Syariat Islam dan Kekerasan di Aceh”, dalam Jurnal Seumikè Edisi III, Agustus 2007
Tabel 3. Rasio Jumlah Penduduk dan Jumlah Personil Wilayatul Hisbah (klik gambar untuk melihat versi yang lebih besar)
Sumber Dinas Syariat Islam Aceh, dikutip melalui Danial, Mahdi, dan Usammah, “Pelaksanaan Syariat Islam dan Kekerasan di Aceh”, dalam Jurnal Seumikè Edisi III, Agustus 2007
Landasan operasional tugas Wilayatul Hisbah (WH) adalah Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 01/2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah, pasal 4 yang berbunyi: [11]
Wilayatul Hisbah mempunyai tugas: a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran perundang-undangan di bidang syariat Islam; b. melakukan pembinaan dan advokasi spritual terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang syariat Islam; c. pada saat tugas mulai dilakukan, Muhtasib perlu memberitahukan hal itu kepada Penyidik terdekat atau kepada Geuchik/kepala Gampong dan keluarga pelaku; d. melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang syariat kepada peyidik.
Pelaksanaan tugas pengawasan sebagai dimaksud dalam pasa 4 ayat (2) huruf a meliputi: a. memberitahukan kepada masarakat tentang adanya peraturan perundang-undangan di bidang syariat Islam; b. menemukan adanya perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan syariat Islam
Pelaksanaan tugas pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf b meliputi: a. menegur, memperingatkan dan menasihati seseorang yang patut diduga telah melakkan pelanggaran terhadap ketentuan syariat Islam; b. berupaya untuk menghentikan kegiatan/perbuatan yang patut diduga telah melanggar peraturan perundang-undangan di bidang syariat Islam; c. menyelesaikan perkara tersebut melalui Rapat Adat Gampong; d. memberitahukan pihak terkait tentang adana dugaan telah terjad penyalahgunaan izin penggunaan suatu tempat atau sarana.
Praktek kerja atau tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh polisi syariat, nama yang lebih banyak dipakai oleh warga untuk menyebut Wilayatul Hisbah, adalah salah satu aspek implementasi formalisasi SI yang paling banyak menimbulkan kontraversi. Berbeda dengan polisi regular yang hanya bertugas menjaga tertib sosial berdasarkan kaidah-kaidah hukum sekular, polisi syariat memiliki kewenangan bahkan dalam mengurusi perkara-perkara yang dalam pemikiran masyarakat biasa dianggap terlalu bersifar pribadi seperti soal busana yang dikenakan oleh kaum perempuan, bahkan sampai relasi antara laki-laki dan perempuan di ruang-ruang privat (berdasarkan qanun tentang khalwat). Di dalam dan di luar Aceh, eksistensi polisi syariat identik dengan razia terhadap kaum perempuan dengan dalih penegakan syariat Islam. WH secara konseptual adalah pemberi peringatan dan bimbingan tentang pelaksanaan syariat Islam bagi masyarakat. Konsep ini diambil dari periode Muhammad SAW di Saudi Arabia hampir 16 abad yang lalu. Tidak terlalu jelas apa sebabnya WH bisa menjelma menjadi “polisi khusus” yang hanya mengurusi masalah-masalah pelanggaran syariat Islam. Yang jelas hanyalah bahwa WH tidak hanya dipahami sebagai fungsi (yang bisa diintegrasikan ke dalam sistem pengaturan tertib sosial yang sudah ada) melainkan juga sebagai sebuah entitas kelembagaan yang memang harus dibentuk. Dalam prakteknya, eksistensi polisi syariat justru yang sangat cepat mendorong pembentukan opini tentang syariat Islam sebagai fenomen yang identik dengan kekerasan dan penindasan. [12] Tidak ada satu pun otoritas yang diberi wewenang dan tugas untuk memberi peringatan kepada para pejabat negara tentang pelaksanaan syariat Islam terutama dalam praktek politik kenegaraan. Artinya, institusi-institusi tersebut berangkat dari asumsi negara (konkretnya aparatus negara) sebagai entitas yang prilakunya pasti sesuai dengan syariat Islam. Sementara itu, sudah banyak diketahui bahwa salah satu rujukan historis penerapan hukuman yang diatur dalam qanun-qanun syariat Islam adalah semacam hagiografi Sultan Isandar Muda di abad 16 yang lalu. Tentang pemberlakuan hukuman cambuk bagi mereka yang ber-khalwat, misalnya, peristiwa yang sering diceritakan kembali adalah tindakan bijaksana sang Sultan yang mencambuk anaknya sendiri sampai mati karena terbukti telah melakukan perbuatan zinah. Dari situ kemudian ditarik moral bahwa Aceh memiliki sampel penegakan hukum yang sangat adil dan tegas kepada para pelaku pelanggaran tata susila. Kisah di atas saat ini mungkin hanya pantas ditempatkan sebagai bagian dari sahibul hikayat yang tidak perlu terlalu diyakini kebenarannya dalam sejarah. Dalam konteks yang lebih luas kegemaran sebagian orang Aceh menuturkan kembali kisah tersebut hanya memperlihatkan gejala sebuah masyarakat yang sedang mengalami kekecewaan terhadap tatanan saat ini, dan berusaha menutup kekecewaan semacam itu dengan melarikan diri pada ilusi tentang masa lalu yang sangat jauh. Tapi lepas dari semua itu, apa yang terjadi di Aceh saat ini mungkin bisa dilihat cenderung manipulatif. Sebab sementara yang diceritakan tentang Iskandar Muda adalah ketegasannya mencambuk anaknya sendiri sebagai contoh penegakan hukum yang adil dan imparsial, yang dilakukan oleh legislatif dan eksekutif di Aceh adalah memberlakukan hukuman cambuk itu hanya bagi warga masyarakat biasa. Artinya, mereka merujuk tauladan Iskandar Muda sebagai legitimasi historis, tapi pada saat yang sama mereka mereduksi moral dari tauladan tersebut untuk melindungi dirinya sendiri. Dalam cerita tersebut yang diberi tekanan adalah bagaimana Iskandar Muda bersikap adil menerapkan hukuman bahkan kepada anak kandungnya sendiri. Itu adalah contoh yang sangat terang benderang tentang bagaimana hukum ditegakkan dengan terlebih dahulu memberi contoh bahwa hukum tidak bersifat diskriminatif, sebab bahkan putra sultan pun harus menerimanya. Iskandar tidak mencambuk rakyat jelata untuk memperlihatkan komitmennya pada penegakan hukum berdasarkan syariat Islam, tapi justru dengan membersihkan lingkungannya sendiri terlebih dahulu. Pertemuan Kepentingan Jakarta dan Aceh
Telah disinggung sebelumnya bahwa formailsasi syariat Islam di Aceh adalah atas inisiatif Jakarta untuk meredam konflik Aceh yang telah berlangsung lama. Sebagian orang melihat itu sebagai bukti ketidakmampuan Jakarta memahami persoalan dan kebutuhan masyarakat Aceh yang sebenarnya, sebab bahkan GAM sendiri tidak mengagendakan formalisasi SI dalam perjuangan mereka.[13] Sebagian yang lain menganggap hal itu sebagai bagian dari upaya Jakarta untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari persoalan-persoalan (ketimpangan) ekonomis yang sedang diderita masyarakat Aceh dengan memberi semacam “ilusi” bahwa pemerintah pusat sangat menghormati tradisi ke-Islaman masyarakat Aceh.[14] Kalau pun pandangan-pandangan semacam itu benar adanya, soalnya kemudian adalah mengapa inisiatif itu bisa diterima oleh elit-elit Aceh (kaum ulama dan pemerintah)? Saya akan memulai pembahasan ini dari sebuah pernyataan seorang ulama muda Aceh, anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Nanggore Aceh Darussalam, Tengku Faisal (kadang-kadang juga dipanggil Lim Faisal), yang dalam sebuah wawancara dengan saya melukiskan formalisasi syariat Islam di Aceh dengan sebuah amsal yang menggoda. Ketika saya tanya tentang apa yang diketahuinya tentang sikap masyarakat kebanyakan terhadap formalisasi syariat Islam di Aceh yang “dari sononya sudah Islam’, ia menggunakan ungkapan “seperti ikan masuk ke dalam laut”. [15] Dengan ungkapan ini Tg. Faisal ingin menyatakan bahwa karena pada dasarnya sebagian terbesar masyarakat Aceh sudah sejak lama mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, formalisasi SI akan memberi mereka ruang yang lebih lapang untuk menjalankan tradisi religiusnya itu. Kalau sebelumnya masyarakat Aceh, kembali meminjam metafora yang digunakan oleh Tg. Faisal, “seperti ikan yang hidup di dalam kolam atau akuarium, formalisasi SI akan membuat mereka seperti ikan menemukan samudra luas”. Artinya, demikian Faisal, mereka akan hidup lebih senang karena apa yang biasa dilakukannya sebelumnya sekarang malah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Tentu saja ada problem konseptual dari analogi yang digunakan oleh Lim Faisal di atas. Dengan merujuk analogi tersebut kita bisa mengatakan bahwa baginya agama adalah sebuah semesta, konsep spasial (laut atau samudra) yang menampung pemeluknya (warga masyarakat Aceh). Penarikan analogi semacam ini bolehjadi berkaitan dengan pemahaman konseptual bahwa untuk menganut agama Islam (dan agama apa pun sebenarnya) dalam bahasa Indonesia digunakan ungkapan “masuk Islam” seperti orang masuk ke dalam rumah. Pengandaian tentang ruang (sosial) dalam agama ini membawa konsekwensi bahwa yang masuk ke dalamnya harus sepenuhnya mematuhi aturan yang ada di dalamnya. Bardan, salah seorang anggota Majelis Ulama kota Banda Aceh menguatkan konsepsi tersebut ketika ia menjelaskan mengapa umat Islam wajib, baik dalam arti berdasarkan kesadaran maupun dalam pengertian karena paksaan, menjalankan kehidupan yang sesuai dengan syariat agama Islam. Menanggapi kritik yang sering dilontarkan tentang pemaksaan penggunaan jilbab bagi kaum wanita di Aceh, misalnya, Badran membangun argumennya dalam cara yang sangat fasih, yang bisa juga memperlihatkan bagaimana ia memahami Islam sebagai sebuah ruang:yang tidak boleh itu adalah memaksa orang masuk Islam. Tapi kalau sudah masuk Islam maka tidak bisa tidak ia harus mentaati aturan yang berlaku. Contohnya seperti kalau Bapak (maksudnya saya—HB) bertamu ke rumah saya. Saya tidak boleh memaksa Bapak masuk ke rumah saya. Tapi kalau Bapak sendiri yang datang bertamu, ketika sudah masuk di rumah saya Bapak harus mau menuruti aturan yang berlaku di rumah saya. Saya mau suruh Bapak duduk di mana, itu terserah saya. Kalau Bapak tidak menurutinya saya berhak mengusir Bapak dari rumah saya.[16]
Analogi “laut dan ikan” dan “rumah dan tamu” tadi tampak sangat masuk akal, tapi ketika diperiksa secara lebih teliti akan segera tampak beberapa kelemahannya, dan dari sana kita bisa mulai memahami serangkaian kesalahan lain sebagai implikasinya. Kelemahan utama terletak pada terdapatnya praasumsi tentang homogenitas. Analogi Faisal mengandaikan bahwa karena masyarakat Aceh sejak lama telah menjalankan syariat Islam maka secara otomatis ia akan menerima formalisasi syariah sebagai sesuatu yang memang sudah seharusnya ada. Yang dilupakan adalah bahwa adalah dua hal yang berbeda antara praktek syariat yang dijalankan atas dasar ketaatan individu pada ajaran (atau sebutlah perintah Tuhan) dengan praktek syariat yang dikonversi menjadi sebuah obligasi dari sebuah otoritas duniawi (negara). Sekecil apa pun pasti akan terdapat perbedaan dalam cara orang-orang Aceh memahami ajaran Islam, sebab seperti tidak semua ikan bisa hidup di laut maka tidak mungkin semua pemeluk Islam di Aceh melihat formalisasi SI sebagai hal yang mereka butuhkan. Dari perspektif yang berbeda, analoginya mungkin bisa dibalik, yakni bahwa dengan formalisasi SI masyarakat Aceh justru seperti ikan dari laut yang luas dengan segala kebebasan dan resikonya masuk ke dalam kolam bahkan aquarium yang tertib, terkontrol dan relatif tidak bebas. Atau analogi lain, yakni bahwa karena masyarakat Aceh sudah menjalankan praktek-praktek syariat Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari, formalisasi SI memang seperti ikan di lepas ke laut, tapi masyarakat Aceh itulah lautnya dan bukan sebaliknya. Analogi ini mengandung dua kemungkinan terdekat untuk ditafsirkan. Pertama, syariat Islam memang akan menemukan ruang sosial untuk bisa diterapkan dalam masyarakat Aceh yang memang cenderung relatif taat syariat. Kedua, formalisasi syariat Islam pada dasarnya tidak akan berarti apa pun bagi masyarakat Aceh, sebatas formalitas belaka. Di sisi lain, analogi Bardan mengantarkan konotasi konseptual tentang kuasa dan otoritas.[17] Konkretnya, sulit untuk menghindari kesan bahwa dalam gagasan Bardan Islam adalah sebuah ruang yang sudah sepenuhnya dihuni oleh pihak-pihak yang (mengklaim) memiliki otoritas untuk mengaturnya. Dalam konteks Islam di Aceh, pemilik otoritas itu adalah para ulama. Ia cenderung mengesampingkan kenyataan bahwa kalau pun Islam bisa dianalogkan dengan sebuah rumah, ia tidak pernah bisa dimiliki secara eksklusif oleh satu otoritas sedangkan hamparan jutaan umat hanya dianggap sebagai tamu di rumah tersebut. Islam terdiferensiasi menjadi bermacam-macam aliran, mahzab, dan ajaran dengan klaim otoritas yang sama. Dari gagasan Bardan kita bisa melihat bahwa dalam konteks formalisasi SI otoritas dalam Islam adalah prerogatif mereka yang diakui secara resmi oleh negara dan pemerintah seperti para anggota Majelis Permusyawaratan Ulama dan para legislator di DPR dan lembaga-lembaga pemerintah yang terkait dengan fungsi penyelenggaraan formalisasi SI. Problemnya adalah karena baik umat maupun pemimpin (agama dan negara) tidak hirarkis kedudukannya dalam Islam. Bukankah yang terbaik di mata Tuhan bukan yang paling besar kuasa duniawinya, tapi yang paling takwa kepada-Nya? Umat bukanlah tamu di dalam rumah Islam, melainkan sama-sama tuan rumah yang syah. Analogi Faisal yang menggambarkan formalisasi syariat Islam dalam konteks masyarakat Aceh, dan analogi Bardan tentang Islam sebagai ruang (sosial atau ideologis?) yang mengandaikan rule of the game yang bersifat memaksa di satu sisi dan pemeluk Islam sebagai tamu yang harus mentaati aturan tersebut di sisi lain, membuka pintu masuk bagi penelusuran tentang kondisi sosio kultural masyarakat Aceh berhadapan dengan agama dan negara (dan aparatusnya) ke dalam apa Jakarta menginsepsikan gagasan dan kebijakan tentang formalisasi SI melalui payung Otonomi Khusus bagi provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dari uraian di atas kita juga bisa melihat bahwa berbeda dengan anggapan bahwa penjelas formalisasi SI di Aceh sepenuhnya bisa dialamatkan ke Jakarta, tidak bisa dimungkiri bahwa di Aceh sendiri memang terdapat kebutuhan untuk melakukan hal tersebut. Di titik inilah kepentingan Jakarta dan Aceh (dalam arti sebagian elit-elit Aceh) bertemu, yakni pada konteks diidentifikasinya kebutuhan untuk mengelola kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang didasarkan pada konsepsi religius yang sudah lama dikenalnya. Bagi Faisal, diminta oleh Aceh atau diberikan dari Jakarta, formalisasi SI dibutuhkan karena hal tersebut akan memberi maysarakat Aceh rasa “dilindungi dan dijamin” oleh negara dalam menjalankan praktek-praktek syariat Islam. Padahal di zaman Orde Baru masyarakat Aceh justru seperti sedang diajak meninggalkan keterikatannya pada ajaran Islam agar lebih mencurahkan sumberdaya bagi pembangunan ekonomi nasional. Bagi Orde Baru Suharto, Islam di Aceh adalah sejenis patologi pembangunan. Bagi Bardan, formalisasi SI adalah keniscayaan karena setiap “rumah” (dan itu berarti tuan rumahnya sekaligus) pasti memiliki aturan yang harus ditegakkan dan dipatuhi. Merunut logika semacam ini, aturan bisa ditegakkan dan dipatuhi kalau ada pelembagaan agar norma bukan hanya memiliki legitimasi tapi juga kesanggupan mengikat dan memaksakan pelaksanaannya. Di samping itu juga tidak bisa dimungkiri bahwa formalisasi SI telah mendorong proses recentering peran, posisi dan status kelompok ulama dalam masyarakat Aceh. Kalau selama masa Orde Baru kelompok ulama mengalami peminggiran oleh proses birokratisasi dan modernisasi (terutama dalam bidang pendidikan), pemberian status otonomi khusus Aceh memungkinkan kedudukan ulama dikembalikan ke tempat semula, yakni di pusat relasi antara rakyat dan negara.[18] Salah satu keistimewaan kelompok ulama Aceh dibanding di daerah lain, misalnya, bisa dilihat dari kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang secara politik bahkan sejajar dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan demikian, MPU harus selalu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah daerah di Aceh. Berbeda dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara resmi bukan bagian dari aparat negara, betapa pun ia menerima subsidi dari departemen agama, MPU di Aceh adalah lembaga negara yang sepenuhnya dibiayai dari anggaran belanja pemerintah daerah. Tidak hanya itu, meskipun anggota MPU statusnya bukan pegawai negara, tapi kantor sekretariatnya sehari-hari dijalankan oleh para pegawai negeri sipil (PNS).[19] Meskipun masih tetap harus hati-hati untuk menyatakan bahwa kelompok ulamalah yang paling diuntungkan oleh formalisasi SI, tapi bisa diduga bahwa tawaran Jakarta untuk memberlakukan formalisasi SI justru menjadi jawaban bagi kebutuhan kelompok ulama Aceh untuk menjadikan peran dan posisi sosiokultural dan politiknya kembali menjadi penting, kembali menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam konstelasi politik lokal di Aceh. Dalam konteks spesifik konflik GAM versus TNI, secara formal GAM memang tidak pernah mengagendakan formalisasi SI, tapi yang tidak boleh diabaikan adalah fakta bahwa GAM sendiri bukan sebuah satuan utuh dan homogen. Di dalam GAM terdapat beberapa kelompok yang pada dasarnya sejak awal memang menginginkan pemberlakuan SI. Mereka adalah orang-orang yang bergabung dengan GAM tapi berlatar belakang DI/TII dan NII.[20] Dengan demikian tidaklah mengherankan kalau terdapat kesan bahwa meskipun tidak mengagendakannya, posisi GAM tentang formalisasi syariat Islam di Aceh pada dasarnya bisa dimasukkan ke dalam kategori not endorsing nor opposing, tidak mendukungnya tapi juga tidak menolaknya. Bagi sebagian elit yang berpengaruh di Aceh, tawaran untuk memberlakukan formalisasi SI juga merupakan kesempatan untuk melihat keseriusan pemerintah pusat.[21] Sebab upaya formalisasi SI pada level tertentu bukan merupakan hal yang sepenuhnya baru bagi masyarakat Aceh. Status istimewa yang diberikan oleh pemerintah pusat tahun 1959, misalnya, lebih merupakan sebuah strategi temporer untuk meredam penentangan politik yang dilakukan oleh kelompok Daud Beureuh ketika itu. Tapi dengan alasan demi kesatuan dan keutuhan bangsa, rezim Orde Baru kemudian memberlakukan sentralisme hukum dengan mengeluarkan Undang-undang No. 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah yang secara efektif menghapus status istimewa provinsi Aceh meskipun label “daerah istimewa” tetap dipakai (Salim 2004). Satu kesimpulan tentatif bisa ditarik, bahwa formalisasi syariat Islam di Aceh memang merupakan sebuah proyek yang ditanamkan Jakarta di Aceh. Tapi tidak bisa diabaikan bahwa di dalam masyarakat Aceh sendiri, di kalangan sebagian elit ulamanya paling tidak, juga terdapat kepentingan (sosial maupun religius) untuk melaksanakan hal yang sama. Ulama di Aceh tentu saja tidak bisa diasumsikan sebagai entitas tunggal, tapi yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa mengesampingkan kemungkinan perbedaan di antara para ulama di Aceh tentang formalisasi SI, pasti ada kelompok ulama yang berkepentingan mempromosikannya. Di samping itu, juga cukup menarik bagaimana sesuatu yang semula merupakan “proyek dari pusat” itu kemudian diinternalisasi menjadi sesuatu yang seolah-olah berasal dari keinginan masyarakat Aceh sendiri. Ketika pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar memenangi Pilkada gubernur NAD, misalnya, sempat muncul kekhawatiran bahwa mereka tidak akan menjalankan formalisasi SI yang sudah berjalan di masa kekuasaan gubernur sebelumnya. Salah satu argumen yang dipakai untuk mendesak pasangan Yusuf-Nazar tetap melaksanakan formalisasi SI adalah bahwa karena formalisasi SI merupakan kehendak seluruh rakyat Aceh.[22] Aceh Baru, Syariat Islam, dan Indonesia Baru
Aceh Baru tentu saja mengacu pada kondisi historis Aceh pasca tsunami 2004 dan pasca Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU) Helsinki tahun 2005. Tapi akar-akar persoalan yang bisa ditemukan di sana pasti tidak bisa dibatasi hanya pada peristiwa perubahan sosial yang ditimbulkan oleh bencana alam dan momen diplomasi politik tersebut. Beberapa narasi tentang Aceh cenderung menggali akar yang, paling tidak untuk kebutuhan tulisan ini, terlampau jauh ke masa lalu, bahkan jauh melampaui era kolonialisme Belanda di Nusantara ke sumber-sumber yang telah begitu dalam terbenam di masa silam. Menjelaskan persoalan masa kini dengan merujuk akarnya ratusan tahun lalu memang ada gunanya untuk membantu kita lebih memahami persoalan tersebut secara menyeluruh, tapi kadang-kadang upaya semacam itu juga bisa terkesan berlebihan, kalau bukan mengada-ada. Penekanan pada sejarah masa lampau yang terlalu jauh sebagai penjelas hal-hal kontemporer justru cenderung ahistoris. Karena itu, karangan ini hanya akan berusaha melihat “penjelas-penjelas jangka pendek”, yang justru akan lebih banyak membantu menempatkan kajian tentang Aceh dalam konteks kajian tentang Indonesia kontemporer. Dalam semangat semacam itu, kisah Aceh baru dalam beberapa hal padanannya bisa ditemukan di wilayah-wilayah lain di Indonesia setelah era kekuasaan formal Suharto berakhir tahun 1998 yang lalu. Apa yang berlangsung di Aceh saat ini, dengan demikian, bisa diletakkan dalam perspektif kajian sosial tentang Indonesia pasca Suharto. Saya tidak sedang mengatakan bahwa Aceh tidak memiliki hal-hal distingtif dalam konteks politik pasca Suharto, melainkan sedang berusaha menempatkan kasus Aceh ke dalam konteks historis Indonesia yang, seperti Aceh, juga sedang berubah. Aceh baru, dengan demikian, hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan Indonesia baru.[23] Bukankah bisa pula diandaikan bahwa MoU Helsinki sulit dibayangkan bisa terjadi tanpa perubahan siginifikan pada pusat kekuasaan Indonesia di Jakarta? Dengan segala kekurangan dan resikonya, cara ini bisa dipakai untuk dua keperluan sekaligus: melihat Aceh dalam konteks Indonesia yang sedang berubah, dan melihat Indonesia dengan melakukan ekstrapolasi dari dinamik sosial politik yang berlangsung di Aceh. Banyak hal yang menandai Indonesia setelah otoriarianisme Orde Baru berakhir. Dengan resiko menjadi klise harus dinyatakan bahwa pada level politik Indonesia pasca Suharto ditandai oleh demokratisasi, otonomi daerah, keterbukaan, desentralisasi, dan dekonsentrasi. Kemerosotan ekonomis berjalan paralel dengan meningkatnya kekuatan politik rakyat berhadapan dengan kekuatan negara yang justru melemah. Di samping itu, paling tidak sejak tahun 1998 yang lalu Indonesia juga ditandai oleh apa yang oleh van Klinken (2002, h. 72) disebut “ledakan politik identitas” (the explosion of identity politics). Otonomi daerah dan desentralisasi memberi jalan lebar bagi munculnya elit-elit etnik (ethnic elites) di tingkat lokal, yang secara besar-besaran memanipulasi sentimen etnis untuk kepentingan politiknya sendiri dalam kontestasi kepemimpinan daerah. Setelah tiga puluh tahun hidup dalam kungkungan otoritarianisme, Indonesia memasuki fase baru tempat segala hal adalah mungkin dan hampir tidak ada satu pun yang pasti. Persoalan (politik) identitas tampaknya memang merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam memahami dinamik politik Indonesia saat ini. Meskipun banyak identitas yang bisa diatributkan kepada kelompok sosial tertentu, tapi dua yang paling utama dan paling sering muncul menjadi persoalan dalam konteks politik Indonesia kontemporer tentu saja adalah identitas berbasis etnis dan/atau agama. Setelah lebih dari tiga dekade hidup dalam keharusan menerima sebuah ”identitas nasional” selama pemerintahan Suharto, persoalan identitas belakangan muncul selain dalam konteks isu “putra daerah” yang dianggap paling berhak menjadi kepala daerah, yang sebelumnya sempat ramai diperdebatkan, juga dalam konteks bermacam-macam upaya formulasi identitas masing-masing daerah dengan merujuk (ajaran) agama tertentu sebagai landasan utamanya. Hampir semua kabupaten akhir-akhir ini sibuk mencari simbol kultural (lama) yang dianggapnya bisa merepresentasikan identitasnya masing-masing. Sebuah harmoni besar, sebuah gagasan tentang bangsa, yang semula tampak kukuh dipagari senapan tentara di zaman Suharto, itu tiba-tiba jadi tampak begitu rapuh, sangat mudah pecah justru ketika ruang-ruang demokrasi terbuka lebar. Erupsi mendadak politik identitas pada tingkat sub-nasional tersebut telah menyadarkan para ilmuwan sosial dan pembentuk opini di Indonesia, yang di era Suharto cenderung mengabaikan dinamik politik lokal dan hanya memusatkan perhatiannya pada apa yang terjadi pada level nasional, secara lebih spesifik, Jakarta. Karena tidak pernah memiliki referensi yang memadai tentangnya, peristiwa politik semacam itu kemudian sering dianggap sebagai ancaman bagi integritas bangsa. Di Jakarta sangat mudah orang membandingkan kondisi Indonesia pada paruh akhir abad 20 dengan kondisi Uni Soviet setelah Perestroika dan Glasnot pada penghujung dekade 1980an yang lalu: sebuah kesatuan di bawah rezim otoritarian yang pecah dari dalam ketika rezim tersebut berakhir. Tapi sampai satu dekade setelah Suharto berhenti, kekhawatiran tersebut tidak pernah terbukti dalam kenyataan. Timor Timur memang telah lepas dari kesatuan RI, tapi penyebabnya sama sekali berbeda dengan apa yang dikhawatirkan tadi. Di luar itu, dari Sabang di pulau Weh sampai Merauke di Papua, kedaulatan wilayah RI masih tetap sama sejak masa kemerdekaan. Tapi setelah kasus kemerdekaan Timor Timur dari wilayah kedaulatan RI, Aceh mungkin memang merupakan persoalan yang paling krusial dalam konteks politik Indonesia pasca Suharto, terutama kalau hal tersebut dikaitkan dengan munculnya rasa takut akan pecahnya kesatuan RI. Kalau Timor-Timur adalah sebuah wilayah jajahan Portugal yang kemudian dianeksasi oleh rezim militer Orde Baru ke dalam ranah kesatuan Indonesia, secara historis Aceh merupakan salah satu dari tidak banyak wilayah yang kemudian membentuk kesatuan Indonesia yang secara internasional diakui sebagai sebuah negara yang terpisah dan berdaulat (Reid, 1979; Sjamsuddin, 1985). Studi lain juga memperlihatkan bagaimana Aceh pada dasarnya memiliki riwayat yang berbeda dalam kaitannya dengan penjajahan Belanda. Sementara Indonesia lebih banyak dibentuk oleh adaptasi terhadap pengaruh Belanda daripada melawannya, sejarah Aceh adalah sebuah perlawanan panjang untuk menghindar dari proses penyerapan ke dalam wilayah koloni yang kemudian menjadi Indonesia itu (Reid, 2005, h. 335). Tidaklah mengherankan jika perlawanan bersenjata GAM kemudian dilihat merupakan salah satu bagian dari proses penguatan klaim Aceh atas identitasnya yang berbeda dan terpisah dari Indonesia. Pergeseran dari wacana tentang heterogenitas sebagai modal pembangunan, sehingga karena itu heterogenitas diasumsikan harus dipersatukan di bawah sebuah daulat kuasa yang terpusat, di era Orde Baru ke diversitas sebagai problem bagi keutuhan bangsa saat ini dipicu oleh dinamik bangsa-bangsa subnasional di tingkat lokal yang sebelumnya dipaksa menerima konsep “kesatuan nasional” yang seragam dari pusat. Respon-respon negatif dalam bentuk ungkapan seperti “Jawanisasi” di masa Orde Baru yang lalu, ketika negara memberlakukan pola-pola pemerintahan dan kultural a la masyarakat Jawa di seluruh Indonesia, atau kekhawatiran terhadap “Arabisasi” yang belakangan diduga berlangsung di beberapa kota sebagai dampak-turutan dari formalisasi syariat Islam, misalnya, memperlihatkan gambaran tentang kuatnya kecenderungan bukan hanya relasi advesarial antar kelompok masyarakat, tapi juga tendensi pemaksaan nilai-nilai dan identitas oleh kelompok tertentu kepada kelompok yang lain berikut respon masyarkat yang menegasikannya. Isu-isu “Jawanisasi”, “putra daerah”, dan “Arabisasi” di atas juga memperlihatkan gerak melingkar dari penyikapan masyarakat Indonesia terhadap diversitas, yakni dari penekanan atas kesatuan dan penyeragaman (Jawanisasi) a la Orde Baru ke penekanan atas partikularitas (putra daerah), dan kembali ke kecenderungan penyeragaman (Arabisasi). Bagi sebagian masyarakat Aceh, termasuk mereka yang bergabung dengan GAM, Indonesia, sampai era Suharto paling tidak, identik dengan Jawa dan proses Jawanisasi tadi. Era otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks spesifik ini bisa pula dilihat sebagai proses-proses politik “membebaskan Indonesia dari dominasi Jawa”. Bagi sebagian wilayah lain di Indonesia, Aceh adalah simbol kemenangan artikulasi politik daerah vis a vis Jakarta. Dalam konteks otonomi daerah dan kecenderungan politik identarian di Indonesia pasca Orde Baru, posisi Aceh sangat krusial karena ia bisa dianggap mewakili dua kemenangan sekaligus. Pertama, secara politik Aceh, melalui perundingan antara GAM dan pemerintah Republik Indonesia di Helsinki, berhasil memaksakan agenda politiknya diakomodasi oleh pusat kekuasaan di Jakarta, terutama ketika isu-isu politik di wilayah tersebut telah menjadi perhatian dunia internasional. Kedua, sebagai konsekwensi kemenangan pertama tadi, pada level ideologis Aceh meraih kemenangan karena ia berhasil memaksa Jakarta mengakomodasi tuntutan bentuk pengelolaan negara dan masyarakat berdasarkan syariah Islam, yang sejak lama dianggap merupakan identitas Aceh. Dua anggapan tersebut tentu saja tidak sepenuhnya benar, tapi sudah cukup untuk menjadikan Aceh sebagai inspirasi dan salah satu lokasi studi banding para legislator daerah yang ingin menerapkan syariat Islam di wilayahnya masing-masing. Aceh adalah provinsi pertama di wilayah Indonesia bagian Barat, dan apa yang terjadi di sana setelah penandatanganan MOU Helsinki tahun 2005 yang lalu menjadi sangat ikonis sifatnya dalam konteks problem multikulturalisme di Indonesia. Sebab baru-baru ini, di wilayah paling Timur Indonesia, yakni di provinsi Papua Barat, juga sudah mulai muncul dorongan ke arah formalisasi agama melalui kontroversi tentang apa yang lebih dikenal sebagai “Perda Injil”, yakni pemberlakuan peraturan-peraturan pemerintah daerah yang didasarkan pada konsepsi-konsepsi biblikal ajaran Nasrani. Kalau Aceh dikenal sebagai “Serambi Mekah”, kota Manokwari, ibu kota provinsi Irian Jaya Barat, menuntut dianggap sebagai “Serambi Jerusalem”. Karena dianggap sebagai pintu masuk pertama agama Kristen di Papua, sebagian elit politik di Manokwari juga menginginkan kotanya dijuluki “kota Injil”.[24] Dengan demikian, kalau kita menarik garis lintas dalam peta wilayah negara Republik Indonesia mulai dari yang paling Barat di Aceh ke wilayah paling Timur di Papua, akan muncul impresi bahwa Indonesia seolah terbagi ke dalam wilayah-wilayah teritorial berdasarkan agama dominan di masing-masing daerah. Dalam konteks penemuan nasion Indonesia, perlombaan memaksakan pengakuan negara atas partikularitas masing-masing daerah dalam pengelolaan pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakatnya, itu seperti menarik masyarakat Indonesia kembali ke dalam apa yang oleh almarhum Sutan Takdir Alisjahbana (1977, p.2-11) disebut zaman prae-Indonesia. Di lain pihak, riwayat syariah Islam di Aceh tampaknya menyembunyikan banyak cerita penting lain di luar kisah tentang status Aceh sebagai wilayah yang (di)istimewa(kan). Pertama, setelah tsunami alam berakhir, pada dasanya Aceh langsung diserbu bentuk “tsunami” yang lain, yang hampir tidak ada presedennya di masa lalu: yakni arus besar manusia dari luar Aceh, nasional dan terutama internasional, yang datang dan bahkan menetap di sana untuk berbagai keperluan, dari mulai upaya humanitarian yang paling altruistik, para donor pemberi hibah atau hutang, sampai mereka yang paling pragmatis memanfaatkan kondisi yang ada untuk meraih keuntungan ekonomis; dari aktivis Islam garis keras sampai para aktivis non muslim. Secara historis Aceh mungkin sudah masuk dalam pergaulan internasional sejak lama, tapi apa yang berlangsung sejak tsunami 2005 jelas berlangsung dalam skala yang jauh lebih massif dan ekstensif. Internasionalisasi Aceh berlangsung bukan hanya pada level wacana dan berita tapi dalam pengertian bahwa Aceh telah berubah menjadi sebuah lokasi spasial tempat sejumlah besar orang dari seluruh dunia bertemu. Aceh, dengan demikian, menjadi sebuah areal yang secara fisik geografis dan sosial sangat terbuka. Dalam hal ragam latar belakang orang yang datang ke sana, Aceh pasca tsunami mungkin tidak jauh berbeda dengan New York atau London atau kota-kota internasional lain. Bencana tsunami, dalam kalimat lain, telah melahirkan sebuah disrupsi sosial yang pasti telah mengubah banyak hal dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Pemberlakuan syariat Islam dalam pengelolaan tata kehidupan masyarakat Aceh, di sisi lain, patut diduga merupakan kontra posisi dari kondisi terbuka tersebut. Sebab pilihan semacam itu secara sistematis memberi batas-batas sosial, kultural, dan religius (ideologi) yang tegas antara orang Aceh yang Islam, dan orang-orang lain di luarnya.[25] Ia bisa berarti positif dalam pengertian bahwa Aceh memilih menemukan identitas dari khasanah tradisi masa lalu di tengah pilihan-pilihan lain yang ada, tapi pada saat yang sama selalu ada resiko bahwa pilihan semacam itu menempatkan Aceh pada posisi problematis berhadapan dengan realitas objektif yang sudah mengalami disrupsi besar akibat peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi pasca tsunami. Dugaan di atas tentu harus diperiksa lebih seksama melalui studi-studi yang sungguh-sungguh, tapi yang ingin disampaikan di sini adalah bagaimana sebuah identitas ke-Acehan dibentuk dengan mendirikan batas-batas yang begitu tegas justru ketika secara sosial dan kultural masyarakat Aceh persis sedang menyaksikan peluruhan banyak batas lama. Dinyatakan dalam cara lain, bagaimana upaya pendirian batas itu ternyata tidak bisa dihentikan bahkan oleh beberapa kondisi yang telah banyak berubah. Formalisasi syariat Islam yang di Aceh sudah dimulai sejak tahun 2001 ternyata tidak bisa dihentikan bahkan oleh disrupsi sosial yang muncul setelah sebuah malapetaka besar. Atau justru sebaliknya yang terjadi, alih-alih mendorong Aceh ke luar dari selubung identitas tunggal, perubahan sosietal dalam skala besar tersebut justru menjadi legitimasi sosiologis bagi upaya-upaya formalisasi syariat Islam yang, dalam perspektif kajian tentang identitas, justru cenderung eksklusif dan uniter. Pergaulan internasional tidak membuat elit Aceh melihat peluang untuk menjadikannya momentum historis untuk menempatkan Aceh sebagai warga dunia, tapi justru telah menimbulkan rasa cemas yang semakin besar akan kemungkin pengaruh buruknya bagi moral dan prilaku masyarakat. Karena itu sangat menarik melihat bagaimana masyarakat Aceh memahami posisinya sendiri dan konsepsi-konsepsi Islam yang dipahaminya dalam konteks sosial seperti itu. Sejauhmana kondisi objektif tadi berpengaruh pada cara orang Aceh mengidentifikasikan dirinya, dan pada cara mereka menafsirkan atau memaknai kenangan kolektifnya pada ke-Islaman Aceh dan status kewargaan mereka dalam sebuah kolektivitas yang lebih besar, Indonesia. Sudah pula menjadi pengetahuan bersama bahwa bagi wilayah-wilayah lain di luarnya, Aceh adalah simbol kemenangan artikulasi politik daerah vis a vis Jakarta. Karena itu ia sering menjadi salah satu lokasi studi banding para legislator daerah yang ingin menerapkan SI di wilayahnya masing-masing. Tapi di Aceh sendiri, pemberlakuan SI, mudah diduga, justru melahirkan kontraversi antara pendukung dan penolaknya. Tarik tolak semacam itu menimbulkan pertanyaan yang belum banyak dijawab secara terbuka tentang bagaimana identifikasi Aceh dengan Islam itu diciptakan dalam kerangka konsep kebangsaan Indonesia. Sebagian orang merujuk pada jejak-jejak diskursif Snouck Horgronje dari era kolonial Belanda, sebagian lain merunut pada ingatan kolektif masyarakat tentang sejarah masa lalu Islam di Aceh, dan pada harapan Aceh bahwa Indonesia merdeka akan menjadi negara Islam. Ada pula yang menduga bahwa pada dasarnya Aceh yang identik dengan Islam tidak lebih dari strategi Jakarta untuk kepentingan proyek kekuasaan yang lebih luas.Problem Politik Pengakuan
Aceh hadir selalu dalam bentuk hasil produksi pengetahuan tentangnya. Dalam ungkapan lain, bagi bahagian besar warga di luar NAD, representasi Aceh lebih dominan daripada Acehnya sendiri, atau semacam peta yang melampaui teritori yang diacunya. Sejak publikasi tulisan Snouck Horgronje di abad 19 sampai tulisan-tulisan mutakhir di beberapa situs internet Aceh direpresentasikan kepada dunia di luarnya. Melalui representasi ini pula orang menetapkan beberapa batas identifikasi tentang “orang Aceh” dan “ke-Acehan” (the Achehness). Salah satu identitas Aceh yang paling mudah ditunjuk adalah fanatismenya terhadap ajaran Islam. Cukup menarik memperhatikan bagaimana identitas semacam itu diberikan oleh orang-orang dari luar Aceh, tapi lama kelamaan seperti mengalami internalisasi ke dalam psikologi masyarkat Aceh sendiri. Faktanya, Aceh dan Islam, seperti telah disinggung sebelumnya, adalah senyawa yang mustahil dipisahkan. Di sisi lain, penduduk Aceh secara genetik adalah campuran banyak darah, sehingga kata “Aceh” sering dianggap merupakan kependekan atau akronim dari “Arab, China, Eropa, dan Hindia”. Tanpa mempersoalkan lebih jauh akronim tersebut, pengalaman singkat saya tinggal di Banda Aceh cukup memberi saya keyakinan bahwa Aceh adalah kawasan hibrida berbagai ras, bangsa, dan etnis. Persoalannya kemudian adalah, bagaimana sebuah masyarakat yang secara biologis (mungkin genetik?) terbentuk dari hibridasi tersebut bisa menerima sebuah identitas tunggal, dan seragam, Islam. Soal ini menjadi sangat krusial ketika belakangan diverisitas banyak dipersoalkan relasinya dengan keutuhan sebuah kebangsaan. Sebuah pertanyaan klasik kembali menjadi penting dalam konteks ini: apakah diversitas merupakan berkah atau justru sebuah kutukan bagi sebuah negara bangsa? Tapi kecenderungan di atas juga bisa dibaca dari perspektif yang berbeda. Aceh dan Papua adalah gambaran dari tarik tolak antara pluralisma hukum negara dan sentralisme kesatuan hukum nasional. Indonesia baru setelah era Suharto juga ditandai oleh posisi negara yang terperangkap dalam kesulitan antara mengakui otonomi masing-masing agama dalam mengatur dirinya sendiri di satu sisi, dan klaim bahwa negara memiliki hak untuk menentukan norma-norma agama mana saja yang boleh dijalankan di pihak lain (Salim 2007). Seperti telah disinggung secara sepintas lalu di atas, formalisasi syariat Islam di Aceh, berbeda dengan di beberapa daerah lainnya di Indonesia, adalah sebuah proyek politik yang inisiatifnya datang dari pusat kekuasaan di Jakarta. Mudah diduga, proyek ini semula dimaksudkan sebagai upaya untuk meredam konflik panjang antara Jakarta (Jawa) dan Aceh. Mewarisi problem perlawanan Aceh (GAM hanya salah satu komponen dalam upaya perlawanan ini) yang tidak kunjung berhasil di tumpas oleh kekuatan militer di zaman Suharto, atas saran seorang penasihet presiden tentang konflik Aceh, B.J Habibie mengambil kebijakan pemberian hak-hak istimewa (special rights) kepada provinsi Aceh untuk menyelenggarakan pemerintahan yang sesuai dengan karakterisitik dan kebutuhan masyarakatnya. Pemberian status istimewa bagi Aceh dan otonomi khusus bagi Papua, disadari atau tidak, bisa dilihat sebagai salah bentuk implementasi the politics of regcognition melalui apa negara secara formal memberi ruang bagi pengelolaan sebuah wilayah berdasarkan pada karakter spesifik atau nilai-nilai partikular sebuah kelompok masyarakat dalam teritori tertentu. Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, misalnya, tiga dari enam dasar pertimbangannya memperlihatkan hal tersebut. Item (c) dari pertimbangan tersebut bahkan secara tegas merujuk Islam sebagai penjelas status istimewa bagi Aceh:bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[26]
Di lain pihak, Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dijadikan salah satu argumen tentang tuntutan pemberlakuan peraturan daerah berdasarkan ajaran Injil di kota Manokwari. Meskipun tidak ada satu kata pun yang secara formal menyebut kata “Kristen” dalam UU tersebut, tapi pemberitan status otonomi khusus dianggap merupakan pertimbangan paling masuk akal untuk memperlakukan Manokwari sama dengan Aceh. Undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Otonomi Khusus “adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua”. Baik dalam kasus Undang-undang tentang Aceh maupun tentang Papua keduanya menggunakan argumen yang sama dalam merujuk konstitusi nasional yang memungkinan satu pemerintahan daerah memiliki kekhususan/keistimewaan dibandingkan dengan pemerintah daerah lain. Item (a) dalam Undang-Undang No. 11/2006 tentang Aceh, dan item (c) Undang-undang Otonomi Khusus No. 21/2001 tentang Papua memuat kalimat yang sepenuhnya identik:bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.[27]
Karena berbagai protes dan alasan sosial lain, formalisasi agama di Manokwari belum sempat dilaksanakan, tapi gagasan semacam itu pada dasarnya memperlihatkan respon-respon spesifik di masing-masing daerah atas pemberlakuan the politics of recognition tadi. Ketika sebuah wilayah mendapatkan hak-hak istimewa karena alasan-alasan tertentu, daerah lain akan menuntut hal yang sama. Latarbelakang UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua, misalnya, bukan terutama karena pertimbangan Papua sebagai entitas partikular yang memang perlu diberi hak istimewa, melainkan lebih karena ketakutan Jakarta kalau-kalau Papua, seperti halnya Timor-Timur, memisahkan diri dari wilayah Indonesia. Pemberian hak-hak istimewa kepada wilayah tertentu dengan argumen kekhasan kultural dan/atau agama di wilayah tersebut, potensial mendorong puluhan wilayah lain yang secara teoritis bisa menuntut hal yang sama. Provinsi Bali, misalnya, yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, secara teoritis sangat mungkin untuk menuntut perlakuan serupa. Demikian seterusnya, sehingga status istemewa sebuah wilayah pada dasarnya sudah tidak berarti sama sekali ketika daerah-daerah lain juga (menuntut) memiliki status yang sama. Ini tentu saja menjadi kritik sangat penting bagi ide-ide multikulturalisme, terutama yang sepenuhnya mendasarkan diri pada gagasan tentang pentingnya memberikan hak-hak khusus kepada kelompok masyarakat tertentu dalam sebuah negara. Salah satu pelopor gagasan the politics of recognition, Charles Taylor, menyatakan bahwa pengakuan atas hak-hak individu sebagai anggota sebuah kelompok sama pentingnya dengan perlindungan hak-hak dasar individu yang lebih diutamakan oleh para pemikir liberal. Karena itu, berbeda dengan kelompok liberal, Taylor melihat peran negara tidak bisa netral melainkan harus bisa memberi jaminan sebuah konsensus minimum dalam masyarakat untuk menghormati norma-norma bersama yang bersifat khusus (specific common norms) dan mengakui hak-hak kelompok. Menurutnya, hal semacam itu diperlukan karena untuk mengakui bahwa dan memperlakukan semua anggota masyarakat secara sederajat membutuhkan institusi publik yang akan mengakuinya dan bukan malah mengabaikannya (Taylor, 1992, h. 25-73). Sementara Kymlicka menganggap perlindungan terhadap hak-hak kelompok adalah perlu justru untuk menjamin hak-hak individu. Keduanya tidaklah bertentangan melainkan kompatibel dan komplementer satu dengan lainnya. Kymlicka membagi hak-hak kolektif menjadi dua kategori, yakni internal restriction dan external restriction. Yang pertama mengacu pada hak sebuah kelompok untuk membatasi kebebasan individu anggota-anggotanya atas nama solidaritas kelompok atau kemurnian kultural. External restriction adalah hak sebuah kelompok untuk membatasi kekuasaan ekonomi atau politik yang dipraktekkan oleh masyarakat yang lebih luas terhadap kelompok tersebut untuk menjamin agar sumberdaya dan institusi-institusi minoritas tidak menjadi rawan terhadap putusan-putusan mayoritas (Kymlicka, 2003, h. 51-52). Seperti telah dikemukakan sebelumnya, penerapan SI bukanlah hal yang sama sekali baru bagi masyarakat Aceh. Sementara bagi pemerintah pusat pemberian status istimewa sebenarnya mungkin hanya merupakan bagian dari upaya meredakan penentangan politik terhadap Jakarta, wacana yang berkembang di Aceh melihat hal yang sama berkait erat dengan aspek-aspek historis perjuangan masyarakat Aceh (yang Islam) melawan Belanda (yang kafir), dan peran dan kontribusi Aceh bagi pembentukan nation-state Indonesia. Tapi kalau kita membaca status istimewa Aceh dalam kerangka multikulturalisme Kymlickian tersebut, akan tampak beberapa hal yang membingungkan. Pertama, sulit untuk meletakkan Aceh ke dalam kutub kategorisasi antara mayoritas dan minoritas. Dalam hal agama masyarakat Aceh jelas merupakan bagian dari mayoritas umat Islam Indonesia. Dari sisi etnis, Aceh bukan bukanlah sebuah entitas etnis tunggal melainkan bahkan merupakan hibrida berbagai ras manusia. Kalaupun, paling tidak untuk sementara, Aceh dianggap merupakan sebuah satuan etnis, menempatkan Aceh sebagai minoritas justru akan membatalkan status istimewanya di hadapan etnis-etnis lain di Indonesia. Sebab hanya ada dua etnis mayoritas di Indonesia, yakni Jawa dan Sunda. Konsekwensinya, kalau Aceh dianggap minoritas di hadapan dua etnis besar tersebut, maka seluruh etnis lain harus pula mendapat status istimewa. Dengan kalimat lain, hak istimewa berbasis kategori mayoritas versus minoritas seperti dalam argumen Kymlicka di atas sulit diberlakukan dalam konteks pemberian hak-hak istimewa bagi provinsi NAD. Kedua, aspek restriksi internal sebagai bagian dari hak-hak istimewa a la Kymlicka bisa dilihat dalam praktek implementasi formalisasi SI. Dengan demikian, status istimewa Aceh memberinya hak untuk membatasi kebebasan individu warganya demi menjaga kemurnian akidah Islam dan identitas masyarakat Aceh. Problemnya kembali pada kesulitan kita menempatkan Aceh sebagai sebuah kelompok atau entitas tunggal yang bisa diasumsikan sebagai kelompok minoritas vis á vis kelompok mayoritas tadi. Kalau formalisasi SI dianggap sebagai bentuk restriksi internal, hal itu mengandaikan bahwa Aceh merupakan sebuah teritori tempat minoritas beragama Islam tinggal di Indonesia, sedangkan wilayah lain dihuni oleh warga beragama lain. Padahal, sekali lagi, dari sisi agama penduduknya, konfigurasi sosial Aceh tidaklah berbeda dengan sebagian besar wilayah lain di Indonesia. Dalam cara yang sama kita bisa menyatakan bahwa hak untuk melakukan restriksi eksternal hanya bisa dipahami kalau kita menempatkan Aceh sebagai sebuah kelompok minoritas berhadapan dengan kelompok mayoritas, dengan konsekwensi semua kelompok etnis lain di luar Jawa dan Sunda juga mendapatkan hak istimewa yang sama. Kenyataan seperti ini bukan hanya memperlihatkan limitasi gagasan-gagasan multikulturalisme Kymlickian dalam konteks relasi antara Aceh dan Indonesia, tapi juga tentang terdapatnya kasus-kasus spesifik dalam apa pemberian hak-hak istimewa, semacam positive discrimination, justru dapat melahirkan problem yang lebih rumit bagi sebuah pemerintahan yang memberlakukan the politics of recognition. Dalam konteks yang lebih luas, merujuk pada butir (a) dalam Undang-Undang No. 11/2006 tentang Aceh, dan butir (c) Undang-undang Otonomi Khusus No. 21/2001 tentang Papua, menjadi jelas bahwa secara konstitusional Indonesia merupakan negara yang mengakui pluralitas hukum dalam wilayah kedaulatannya. Yang menjadi persoalan adalah bahwa keistimewaan sistem pemerintah sebuah daerah dalam level provinsi dengan sendirinya mengasumsikan bahwa wilayah tersebut secara sosial dan kultural homogen. Dalam dua kasus di atas, Aceh dan Papua diasumsikan sebagai dua kelompok wilayah yang homogen. Padahal homogenitas saat ini lebih merupakan sebuah fiksi Antropologis daripada realitas empirik. Tidak di Aceh, tidak di Papua, bahkan tidak pula di Bali dan di tempat lain dalam cakupan teritorial sebuah provinsi atau kabupaten kita bisa menemukan homogenitas. Yang selalu ada adalah klaim tentang mayoritas, dan klaim tentang mayoritas hanya bisa dipahami dalam konteks penemuan siapa yang minoritas. Kalau kelompok mayoritas di sebuah wilayah menuntut (dan kemudian diberi) hak-hak istimewa untuk menentukan aturan pemerintahan dan pengelolaan tertib sosial, konsekwensi logisnya adalah memperlakukan individu atau kelompok yang tidak masuk ke dalam kategori mayoritas tersebut sebagai kelompok yang diekslusikan. Penutup
Sejauh menyangkut perkembangan pelaksanaan implemantasi SI di Aceh, ada beberapa hal yang cukup menarik diperhatikan. Pertama, secara substantif cukup sulit mencari kalangan yang secara terbuka menentang gagasan formalisasi SI di Aceh. Kalau selama ini perempuan niscaya dianggap sebagai korban pertama dari pemberlakuan syariat Islam di mana pun, tapi itu tidak lantas menjadikan gerakan perempuan di Aceh menolak formalisasi SI. Salah seorang aktivis gerakan perempuan Aceh menegaskan bahwa sejak awal gerakan perempuan di Aceh tidak mempersoalkan penerapan syariat Islam, tapi berusaha sangat kritis terhadap beberapa ekses negatif yang ditimbulkan dalam implementasinya.[28] Cukup sulit menghindari kesan bahwa formalisasi SI sebagai sebuah gagasan sudah hampir dianggap selesai. Kedua, sejauh menyangkut sikap-sikap kritis masyarakat terhadap implementasi formalisasi SI, ada dua level implementasi yang saling terkait satu dengan lainnya: bagaimana gagasan formalisasi SI diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pemerintah daerah, dan bagaimana pula kebijakan tersebut diimpementasikan di lapangan. Pada level pertama kritik ditujukan kepada produk-produk kebijakan (Perda atau Qanun) yang sudah dan akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Sikap kritis masyarakat dalam konteks ini bisa dilihat dari seringnya muncul pertanyaan tentang mengapa pemerintah daerah dan DPRD hanya sibuk membuat aturan tentang hal-hal kecil seperti perjudian atau khalwat, tapi tidak pernah membuat aturan tentang masalah yang jauh lebih penting dan menyangkut kepentingan rakyat yang lebih besar seperti tentang tindakan korupsi oleh para pejabat pemerintah. Pada level kedua, kritik ditujukan kepada bentuk-bentuk praktek inkonsistensi, diskriminasi, penyalahgunaan wewenang, sampai akibat-akibat negatif penerapan SI bagi warga yang menjadi objek pemberlakuannya. Ketiga, jika dilihat dari produk-produk legal yang telah diterbitkan sejak pemberlakuannya lima tahun yang lalu, formalisasi syariat Islam di Aceh relatif bisa dikatakan hanya berjalan di tempat. Setelah hampir tujuh tahun, misalnya, relatif tidak banyak peraturan daerah (Qanun) yang diterbitkan yang langsung berkaitan dengan pelaksanaan formalisasi SI. Dinas Syariah Islam NAD juga tampak relatif lebih hati-hati dalam mempersiapkan rancangan Qanun yang diperkirakan bisa menimbulkan kontraversi. Rancangan Qanun tentang pencurian, misalnya, sampai saat ini tidak diteruskan pembahasannya dan “diendapkan” sampai waktu yang tidak ditetapkan setelah ia mendapat banyak reaksi negatif ketika gagasan tentangnya diperkenalkan kepada masyarakat.[29] Keempat, kondisi sehari-hari masyarakat Aceh ternyata tidaklah seperti dalam beberapa pemberitaan yang biasa dibaca di luar Aceh. Sebagian terbesar populasi perempuan di Banda Aceh memang mengenakan jilbab, tapi di hampir semua tempat umum sudah mulai banyak perempuan yang tidak mengenakannya. Wilayatul Hisbah (WH), atau yang juga dikenal dengan sebutan “Polisi syariah” juga sudah semakin jarang melakukan razia terhadap warga, terutama sejak terjadi kasus tertangkapnya sepasang anggota polisi syariah yang sedang melakukan tindakan asusila tahun 2007 yang lalu.[30] Kejadian ini juga memicu friksi antara WH tingkat provinsi Aceh dengan WH tingkat kota Banda Aceh.[31] Apa yang terjadi di Aceh, paling tidak di kota Banda Aceh, bolehjadi memperlihatkan adanya jarak antara prakonsepsi yang sudah tertanam di kepala sebagian orang dari luar Aceh dengan realitas yang ada di Aceh. Realitas sosial terus berubah, tapi prakonsepsi tentangnya cenderung sering bertahan dan membekas lebih lama. Sejak tujuh tahun lalu bayangan orang luar tentang Aceh dibentuk oleh sistem pekabaran dan paparan diskursif tentang pelaksanaan formalisasi syariat Islam di wilayah ini. Setelah tsunami tahun 2004 yang lalu, konstruksi yang berlangsung bukan hanya upaya memulihkan kondisi fisik Aceh yang hancur akibat prahara alam, tapi juga dalam bentuk bermacam-macam wacana yang ditulis tentang Aceh oleh sembarang jenis orang dari berbagai jurusan keahlian dan kiblat kepentingan. Aceh yang hadir kepada sebagian besar orang Indonesia dan dunia adalah Aceh hasil representasi yang berlapis-lapis, saling merujuk satu sama lain, mulai dari surat kabar, berita TV tentang pelaksanaan hukum cambuk, sampai rempah ruah cerita dalam blogosphere di internet.[32] Hasilnya adalah sebuah konstruksi tentang Aceh yang mencekam, yang bukan hanya masih terancam oleh kemungkinan bencana sosial seperti kelangkaan lapangan kerja setelah periode rekonstruksi fisik selesai, atau problem dislokasi spasial para ex-combatant GAM dalam struktur sosial masyarakat Aceh, tapi juga oleh ancaman razia oleh polisi syariah yang bisa terjadi kapan saja. Meskpun sebagian warga menduga bahwa razia-razia tersebut akan kembali banyak dilakukan pada bulan April 2008, tapi secara keseluruhan kondisi Aceh di bawah rezim syariat Islam, paling tidak selama kerja lapangan untuk studi ini dilakukan, tidaklah semencekam seperti apa yang selama ini diberitakan. Melihat Indonesia dari Aceh akan memberi kita sebuah gambaran yang menarik tentang negara Indonesia setelah era Suharto. Berbeda dengan beberapa anggapan tentang melemahnya negara vis a vis rakyat setelah rezim otorianisme Orde Baru runtuh, pemberlakuan formalisasi SI di Aceh justru memperlihatkan bahwa Negara masih sangat powerful dalam menentukan nasib rakyatnya. Sebagai sebuah cara untuk meredam konflik atau sebagai sebuah ruang tempat para elit ulama meraih kembali peran dan status tradisionalnya dalam masyarakat Aceh yang sedang berubah, negara pusat berperan sangat menentukan. Melalui inisiatif formalisasi SI, pemerintah pusat telah menciptakan sebuah kondisi sosial politik yang membuat elit dan masyarakat Aceh terokupasi oleh apa yang secara historis diklaim sebagai identitas milik Aceh hampir secara eksklusif: Islam. Dalam ungkapan lain, kesibukan elit dan masyarakat Aceh dengan formalisasi SI tidak lain adalah proses deradikalisasi politik justru dengan membawa peran dan status ulama kembali ke pusat wacana dan praktek politik lokal di Aceh. Simalakama politiknya sekarang berada di Aceh sendiri: Kalau formalisasi SI berhasil dilaksanakan, Aceh beresiko dipandang sebagai sebuah wilayah ekslusif Islam dalam khasanah Indonesia yang pluralistik. Dengan tinjauan tentang problematik politik pengakuan (the politics of recognition) yang sudah diuraikan sebelumnya di atas, status istimewa juga bisa dilihat sebagai sebuah perlakuan bagi kelompok sosial yang dianggap minoritas dalam konteks ranah warga sebuah bangsa yang lebih besar, seolah-olah tanpa keistimewaan itu kelompok tersebut tidak akan bisa berpartisipasi dalam ranah-ranah publik dalam sebuah negara. Sebaliknya, kalau formalisasi SI tidak berhasil dijalankan dengan sungguh-sungguh, dan tidak membawa perbaikan pada kehidupan masyarakat Aceh, pemerintah pusat bisa mengalamatkan seluruh kesalahannya kepada pemerintah dan warga Aceh sendiri. Apakah dengan demikian bisa dikatakan bahwa sejak zaman Snouck Hurgronje sampai saat ini Aceh adalah sebuah wilayah yang tidak pernah bisa ditundukkan dengan kekuatan senjata tapi mudah dikendalikan dengan pendekatan keagamaan? Apakah pemerintah pusat di Jakarta memang mengadopsi siasat Hurgronje dengan memberi ilusi tentang identitas Aceh[33] sebagai wilayah tempat Islam dipraktekkan secara kaffah dalam hidup masyarakat dan pemerintahannya sehari-hari, dan dengan itu bukan hanya perlawanan politik dan senjata bisa dihentikan tapi malah menjadikan Aceh, dalam pengertian sebagian dari elitnya, makin bergantung kepada Jakarta?[34] Pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi sebuah rekomendasi bagi kajian lebih lanjut tentang Aceh dan Indonesia baru. Jakarta, 30 Maret 2008End Notes
[*]Tulisan ini didasarkan pada laporan pra-penelitian yang saya tulis untuk the Aceh Institute, Banda Aceh, dan Yayasan Tifa, Jakarta.
[ß] Direktur the Interseksi Foundation, Jakarta (http://interseksi.org).
[1] Sebuah essai menarik tentang status Aceh sebagai daerah istimewa, dan latar belakang historis serta kaitannya dengan nasib politik Aceh sebelum MOU Helsinki, lihat Michelle Ann Miller, “What Special about Special Autonomy in Aceh”, dalam Anthony Reid (ed), Verandah of Violence. The Background to the Aceh Problem (Singapore, Seatle: Singapore University Press in association with University of Washington Press, 2006), hlm.292-314.
[2]Lihat, misalnya, sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Fajran Zein, “Longgar Ketat Tubuh Syariah”, dalam Modus Aceh, Minggu IV, Januari 2008.
[3]Wawancara dengan Tengku Faisal, tgl. 6 Maret 2008, dan wawancara dengan Dr. Syahrizal Abbas, tgl. 8 Maret 2008.
[4]Penelitian yang dilakukan oleh Danial, dkk. untuk the Aceh Institute, misalnya, cukup berhasil melakukan inventorisasi persoalan-persoalan kekerasan yang timbul setelah formalisasi syariat Islam diberlakukan. Lepas dari beberapa kelemahan elementer pada paparan tentang metodologi dan metode yang dipakainya, studi ini secara cukup meyakinkan bisa mengungkap praktek-praktek kekerasan dan secara tertib menggolongkannya ke dalam beberapa kategori yang konsisten. Tapi pengungkapan praktek-praktek dan bentuk-bentuk kekerasan itu tidak cukup kuat untuk mendorong Danial, dkk. merekomendasikan penghentian kebijakan formalisasi syariat Islam di Aceh. Sebaliknya, mereka justru merekomendasikan beberapa hal penting agar implementasi kebijakan tersebut bisa “berjalan efektif dan efisien”. Lebih jelas lihat laporan Daniel, dkk., Pelaksanaan Syariat Islam dan Kekerasan di Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: The Aceh Institute, 2007). Karya Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Ciputat: Center for the Study of Religion and Culture), juga mewakili kecenderungan yang sama.
[5]Lihat, misanya, Azman Ismail, dkk., Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007); Syamsul Rizal, dkk., Dinamika dan Problematika Penerapan Syariat Islam (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007); Zaki Fuad Chalil, Melihat Syariat Islam dari Berbagai Dimensi (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007); Syahrizal, dkk., Dimensi Pemikiran Hukum dalam Implementasi Syariat Islam di Aceh (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007).
[6]Al Yasa’ Abubakar, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005), h. 20-21
[7]Formalisasi Agama. Tantangan Demokrasi Lokal. Temuan Penelitian di Tujuh Kabupaten/Kota di Indonesia (Jakarta: LAPAR-YPKM-LK3, akan terbit). Manuskrip ini didasarkan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan selama tahun 2005/2006 oleh beberapa LSM di Lombok, Makassar, dan Banjarmasin, dibawah koordinasi yayasan Tifa, Jakarta.
[8]Al Yasa’ Abubakar, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam…., h. 67.
[9]Ibid, h. 13-14.
[10]Lihat, “Penegakan Syariat Islam Dominasi Isu Pilkada Aceh” dalam Central for Moderate Muslim Indonesia, tgl. 26 November 2006 http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3284_0_3_0_M (diakses tgl. 29 Maret 2008), dan; “Syariat Islam Setelah Irwandi Menang”, dalam Rakyat Aceh Online, tgl. 22 Januari 2007 http://rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=1370&tit=Berita%20Utama %20-%20Syariat%20Islam%20Setelah%20Irwandi%20Menang (diakses tgl. 29 Maret 2008).
[11]Himpunan Undang-undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam, Dinas Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004, edisi III, hlm. 466-67.
[12]Selain WH, ketika itu juga ada dua otoritas lain yang berwenang menegakkan aturan/hukum: Wilayatul Qadha (WQ), yang berwenang menyelesaikan sengketa antar sesama anggota masyarakat, dan Wilayatul Mazhalim (WM), yang berwenang menyelesaikan sengketa ketatausahaan negara dan sengketa antara pejabat dan rakyat atau antara bangsaan dengan rakyat biasa. Dalam prakteknya, WM biasa dijabat oleh khalifah sebagai kepala pemerintahan atau diserahkan kepada gubernur atau kepala suku. Al Yasa’ Abubakar, “Pelaksanaan Syariat Islam” via Danial, Mahdi dan Usamah, Pelaksanaan Syariat Islam dan Kekerasan Di Nanggroe Aceh Darussalam, Laporan Penelitian The Aceh Institute (Banda Aceh: The Aceh Institute, 2007), hlm. 3. Tentang tugas dan kewenangan Wilayatul Hisbah, lihat Himpunan Undang-undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004), edisi III, hlm. 466-67.
[13]Lihat, misalnya, “PM. GAM: Penerapan Syariat Islam Bukan Prioritas GAM”, dalam Era Muslim http://www.eramuslim.com/berita/nas/6814145924-pm-gam-penerapan-syariat-islam-bukan-prioritas-gam.htm?prev (diakses tgl. 29 maret 2008), dan; “Syariat Islam Bukan Keinginan Rakyat Aceh”, dalam Tempo Interaktif, tgl. 14 Agustus 2006 < http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/08/14/ brk,20060814-81900,id.html> (diakses tgl. 29 Maret 2008).
[14] Wawancara dengan Dr. Syahrizal Abbas tgl. 8 Maret 2008
[15] Wawancara tgl. 6 Maret 2008.
[16]Wawancara tgl. 7 Maret 2008
[17]Pembedaan ini tentu saja merujuk pada tradisi Weberian yang memahami kuasa sebagai kesanggupan untuk mendatangkan kepatuhan dan meniadakan penentangan, sedangkan otoritas lebih dilihat sebagai hak untuk mendapatkan kepatuhan. Tentang beda antara kuasa (power) dan otoritas (authority) periksa, misalnya, karangan Peter Skalnik, “Authority versus Power: A View from Social Anthropology”, dalam The Anthropology of Power, Empowerment and Disempowerment in Changing Structures, disunting oleh Angela Cheater (London dan New York: Routledge, 1999).
[18]Tentang kemunduran peran dan fungsi sosial poltik ulama Aceh di era Orde Baru Suharto, lihat, misalnya, tulisan Tim Kell, The Roots of Acehnese Rebellion, 1989-1992 ((New York: Cornell Modern Indonesia Project Southeast Asia Program Cornell University, 1995), h.47-50.
[19]Wawancara tgl. 6 Maret 2008.
[20]Wawancara dengan Dr. Syahrizal Abbas, guru besar fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, di Banda Aceh, tgl. 8 Maret 2008.
[21]Wawancara dengan Dr. Syahrizal Abbas, tgl. 8 Maret 2008 di Banda Aceh.
[22]Lihat, misalnya, pernyataan wakil ketua DPRD NAD, Raihan Iskandar, dalam Chairul Akhmad, “Syariat Islam setelah Irwandi Menang”, dalam Rakyat Aceh Online, tgl. 22 Januari 2007 (diakses tgl. 29 Maret 2008).[23] Penggunaan sebutan “baru” dalam frase “Indonesia baru” sama sekali tidak dengan intensi relasi superlatif bahwa “yang baru” pasti lebih baik daripada yang sebelumnya, melainkan sebatas sebagai sebuah upaya untuk menandai sebuah periode, betapa pun ia harus disebut sebagai periode transisional, yang lahir dari beberapa perubahan besar di bidang sosial dan politik pada periode akhir kekuasaan formal Suharto satu dekade yang lalu.
[24]Lihat laporan Dominggus A. Mampioper, “Injil di Kepala Burung” in Voice of Human Rights (VHR) News, 26 June 2007 (diakses tgl. 30 December 2007); “Perda Injil di Manokwari. Bakal Diterapkan”, dalam Radio Nederland Wereldomroep, 14 May 2007 < http://www.ranesi.nl/arsipaktua/indonesia060905/perda_basis_injil070514 > (accessed 30 December 2007); “Raperda Kota Injil, Otda yang Kebablasan”, dalam Republika Online, 25 March 2007 < http://202.155.15.208/kolom_detail.asp?id=287460&kat_id=3 > (diakses tgl. 30 December 2007); “Manokwari Godok Raperda Berbasis Injil”, dalam Republika Online, 23 March 2007 (diakses tgl. 30 December 2007);[25]Lihat laporan yang ditulis oleh Ahmad Arif dan Sidik Pramono, “Syariah Ketat di Serambi yang Terbuka”, dalam Kompas, 14 Agustus 2006.
[26]Lihat, Undang-undang Pemerintahan Aceh. (UU RI No. 11 Th. 2006) (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 1.
[27]Lihat Ibid, h. 1., and “UU RI No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua”, dalam Koran Tempo, 7 April 2004.
[28]Wawancara dengan salah seorang aktivis perempuan di LSM Flower Aceh tgl. 10 Maret 2008.
[29]Wawancara dengan salah seorang pejabat di Dinas Syariah NAD, tgl. 10 Maret 2008.
[30]Lihat “Berbuat Mesum, Seorang Polisi Syariah NAD Ditangkap Warga”, dalam AntaraNews, tgl. 19 april 2007 < http://www.antara.co.id/arc/2007/4/19/berbuat-mesum-seorang-polisi-syariah-nad-ditangkap-warga/> (diakses tgl. 29 Maret 2008).
[31]Wawancara dengan salah seorang staf di kantor Dinas Syariah Islam provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tgl. 11 Maret 2008.
[32]Untuk sebuah ulasan kritis tentang beberapa pemberitaan dan tajuk rencana beberapa media massa, lihat, Lisna Sari, “Euforia Pers terhadap Penerapan Syariat Islam. Riset Berita dan Tajuk Rencana Terhadap Berita Penerapan Syariat Islam di Propinsi NAD”, dalam Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatra (KIPPAS), tgl. 4 Juni 2007 < http://kippas.wordpress.com/2007/06/04/euforia-pers-terhadap-penerapan-syariat-islam/> (diakses tgl. 29 Maret 2008).
[33]Tentang identitas tunggal sebagai ilusi lihat uraian menarik Amartya Sen dalam Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (Jakarta: Marjin Kiri, 2007).
[34]
[32]Lihat Renegotiating Boundaries. Local Politics in Post-Suharto Indonesia disunting oleh Henk Schulte Nordholt dan Garry van Klinken (Leiden: KITLV, 2007).
Bibliografi
Abubakar, Al Yasa’, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005).
open=view&newsid=1370&tit=Berita%20Utama%20-%20Syariat%20Islam%20Setelah%20Irwandi% 20Menang >
Alisjahbana, Sutan Takdir, "Menuju Masyarakat Baru dan Kebudayaan Baru', Indonesia-Prae-Indonesia" dalam Polemik Kebudayaan: pokok pikiran St. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Poerbatjaraka, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, Ki Hajar Dewantara. Disunting oleh Achdiat K. Mihardja. Jakarta: Pustaka Jaya, 1977.
Arif, Ahmad, dan Sidik Pramono, “Syariah Ketat di Serambi yang Terbuka”, dalam Kompas, 14 Agustus 2006.
Chalil, Zaki Fuad, Melihat Syariat Islam dari Berbagai Dimensi. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007.
Danial, Mahdi, dan Usamah, Pelaksanaan Syariat Islam dan Kekerasan Di Nanggroe Aceh Darussalam. Laporan Penelitian The Aceh Institute. Banda Aceh: The Aceh Institute, 2007.
Dominggus A. Mampioper, “Injil di Kepala Burung” in Voice of Human Rights (VHR) News , 26 June 2007 (accessed 30 December 2007).
Formalisasi Agama. Tantangan Demokrasi Lokal. Temuan Penelitian di Tujuh Kabupaten/Kota di Indonesia (Jakarta: LAPAR-YPKM-LK3, akan terbit).
Gutman, Amy, Identity in Democracy (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2003).
Ismail, Azman dkk., Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007.
Kamil, Sukron, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim. Ciputat: Center for the Study of Religion and Culture.
Kell, Tim, The Roots of Acehnese Rebellion, 1989-1992. New York: Cornell Modern Indonesia Project Cornell University, 1995.
Kymlicka, Will, Kewargaan Multikultural [Multicultural Citizenship. A Liberal Theory of Minority Rights . Jakarta: LP3ES, 2003.
Kingsbury, Damien, “The Free Aceh Movement: Islam and Democratisation” dalam Jurnal of Contemporary Asia, tgl. 1 Mei 2007 < http://goliath.ecnext.com/coms2/gi_0199-6563115/The-Free-Aceh-Movement-Islam.html>.
Miller, John, and Aaron Kenedi, Inside Islam. The Faith, the People, and the Conflicts of the World’s Fastest Growing Religion. Introduction by Akbar S. Ahmed. New York: Marlowe & Company, 2002.
)
Miller, Michelle Ann “What Special about Special Autonomy in Aceh”, dalam Verandah of Violence. The Background to the Aceh Problem .Disunting oleh Anthony Reid (Singapore, Seatle: Singapore University Press in association with University of Washington Press, 2006).
Nordholt, Henk Schulte, and Gerry van Klinken, Renegotiating Boundaries. Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press, 2007.
Reid, Anthony, An Indonesian Frontier. Acehnese & Other History of Sumatra. Singapore: Singapore University Press, 2005, particularly Chapter 15, “Conflicting Histories: Aceh and Indonesia”.
Reid, Anthony. The Contest for North Sumatra. Atjeh, the Netherlands and Britain, 1858-98. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1969.
Reid, Anthony. The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford University Press. 1979.
Rizal, Syamsul, dkk., Dinamika dan Problematika Penerapan Syariat Islam. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007.
Salim, Arskal. “Shari`a From Below in Aceh (1930s-1960s): Islamic Identity and the Right to Self Determination with Comparative Reference to the Moro Islamic Liberation Front (MILF)”, Indonesia and Malay World 32, 2004.
Salim, Arskal. “Dynamic Legal Pluralism in Modern Indonesia: The State and the Sharia (Court) in the Changing Constellations of Aceh”, makalah untuk the First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, diselenggarakan oleh Asia Research Institute, National University of Singapore & Rehabilitation and Construction Executing Agency for Aceh and Nias (BRR), Banda Aceh, Indonesia, 24 – 27 February 2007.
Sari, Lisna, “Euforia Pers terhadap Penerapan Syariat Islam. Riset Berita dan Tajuk Rencana Terhadap Berita Penerapan Syariat Islam di Propinsi NAD”, dalam Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatra (KIPPAS), tgl. 4 Juni 2007 < http://kippas.wordpress.com/2007/06/04/euforia-pers-terhadap-penerapan-syariat-islam/> (diakses tgl. 29 Maret 2008).
Skalnik, Peter, “Authority versud Power: A View from Social Anthropology”, dalam The Anthropology of Power, Empowerment and Disempowerment in Changing Structures . Disunting oleh Angela Cheater (London dan New York: Routledge, 1999).
Sulaiman, Salman dan Syarqawi, “Urgensi Maqashid Syariah dalam Penerapan Syariah Islam. Studi Kritis terhadap Penerapan Syariat Islam di Aceh”, dalam Jurnal Seumike, edisi III, Agustus 2007.
Syahrizal, dkk., Dimensi Pemikiran Hukum dalam Implementasi Syariat Islam di Aceh. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007.
Syamsuddin, Nazaruddin, The Republican Revolt. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985.
Taylor, Charles, “The Politics of Recognition”. Dalam Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. Disunting oleh Amy Gutman. New York: Princeton Univeristy Press, 1992.
van Klinken, Gerry “Indonesia’s New Ethnic Elites”, Dalam Indonesia: In Search of Transition, disunting oleh Henk Schulte Nordholt and Irwan Abdullah. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.
Zein, Fajran, “Longgar Ketat Tubuh Syariah”, dalam Modus Aceh, Minggu IV, Januari 2008.
Himpunan Undang-undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam . Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004, edisi III.
“Perda Injil di Manokwari. Bakal Diterapkan”. Dalam Radio Nederland Wereldomroep, 14 May 2007 < http://www.ranesi.nl/arsipaktua/indonesia060905/perda_ba sis_injil070514 > (accessed 30 December 2007).
“Raperda Kota Injil, Otda yang Kebablasan”. Dalam Republika Online , 25 March 2007 (accessed 30 December 2007); “Manokwari Godok Raperda Berbasis Injil”. Dalam Republika Online, 23 March 2007 (accessed 30 December 2007)
Undang-undang Pemerintahan Aceh. (UU RI No. 11 Th. 2006). Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
“UU RI No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua”. Dalam Koran Tempo , 7 April 2004.