Beberapa Catatan dari Perjalanan Singkat di Aceh tahun 2008#
Bagi sebagian orang dari luar Aceh, ungkapan “formalisasi syariat (atau lebih sering ditulis syariah) Islam” untuk merujuk pada pemberlakuan syariat Islam sebagai landasan pengaturan tertib sosial dalam bentuk regulasi pemerintah daerah di provinsi Aceh (belakangan berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, NAD), mungkin merupakan nasib sosiologis masyarakat Aceh yang tidak terlalu perlu dipersoalkan. Sebutan “Serambi Mekah” yang pada dasarnya sedikit, kalau bukan tidak ada sama sekali, hubunganya dengan kondisi kehidupan dan ketaatan masyarakat Aceh pada ajaran Islam, misalnya, oleh orang non-Aceh seringkali dilihat sebagai indikasi tentang senyawa antara Aceh dan Islam. Julukan yang semula hanya merujuk pada gagasan tentang jarak spasial dalam rute jamaah haji Indonesia menuju tanah suci di Mekah Saudi Arabia, belakangan telah berubah menjadi ekpresi atau bahkan testimoni sosial tentang kehidupan religius masyarakat Aceh dalam naungan nila-nilai dan ajaran Islam: Aceh adalah Islam (meskipun mungkin tidak berlaku sebaliknya). Dipahami dalam konteks seperti itu, klaim kota Manokwari di Papua Barat sebagai “Serambi Yerusalem” atau “kota Injil”, semacam usaha untuk meraih status distingtif dalam versi Nasrani, yang merujuk pada Aceh sebagai preseden historisnya, misalnya, memperlihatkan berlangsungnya (kekeliruan) konotasi konseptual yang terlanjur terbentuk di tengah masyarakat non-Aceh tentang senyawa tadi.
Read More…