Kisah Dua Forum

Mengenang Forum Interseksi



“Blog


Tahun 2000 yang lalu, ketika saya pertama kali merencanakan serial diskusi dua bulanan di kantor the Japan Foundation (JF), Jakarta, yang di kemudian hari menjadi Forum Interseksi itu, saya tidak pernah membayangkan bahwa forum tersebut akan bertahan cukup lama. Sampai tahun 2007 ini. Seri diskusinya sendiri baru dimulai menjelang akhir tahun 2001, karena selama tahun 2000 ada beberapa aktivitas lain yang lebih mendesak, dan saya masih harus beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru saja saya masuki waktu itu.

saya putuskan untuk melibatkan seluruh peserta sebagai pengatur lalulintas acara. Maka jadilah workshop itu sebuah forum yang sepenuhnya diatur oleh para pesertanya sendiri. Dari situ saya mulai merasa bahwa format semacam itu mungkin lebih cocok untuk kalangan LSM atau kelompok intelektual publik pada umumnya. Format forum seperti inilah yang kelak kemudian saya gunakan pada Forum Interseksi.


Sebelum menyelenggarakan diskusi serial tersebut, pekerjaan pertama ketika saya baru masuk bekerja di JF tahun 2000 adalah mengorganisir sebuah workshop nasional beberapa LSM yang bergerak di bidang kebudayaan. Ini adalah aktivitas pertama JF Jakarta di luar kantor sebagai inisiator dan penyelenggara sekaligus, karena biasanya JF hanya membatasi peran sebagai pendukung (sponsor). Lokakarya diadakan di Hotel Puncak Pass, di kawasan Puncak, Bogor. Pesertanya merentang dari Aceh, ke Nias, Jambi, Padang, Yogyakarta, Mataram, Pontianak, Makasar, Maumere, sampai Jayapura. Sebagian peserta bahkan saya datangi sendiri ke tempat kerjanya sebelum dipilih menjadi peserta.

Dalam satu hal tradisi di Japan Foundation sangat perlu dicontoh. Superefisien. Mengurus sebuah program dengan cakupan nasional, saya tidak dibantu dengan berderet-deret anggota panitia, melainkan sendirian. Sorangan. Alone. Dewekan. Betul-betul sendirian mengurus dan mempersiapkan A-Z. Saya pegawai baru, dan sebelumnya hanya berpengalaman sebagai peneliti junior zonder pengalaman manajerial, tapi saya benar-benar menikmati cara kerja seperti itu. Tidak ada kesulitan berarti yang menghambat pekerjaan saya. Saya hanya meminta bantuan kepada kolega saya untuk membantu urusan administrasi dan keuangan pada hari-H acara berlangsung. Dari pengalaman interaksi yang terbatas, saya membayangkan kalau ini adalah sebuah acara di sebuah departemen pemerintah Indonesia, mungkin bisa lebih dari 20 orang panitia yang dilibatkan. Bukan karena pekerjaannya berat dan susah, tapi karena iklim birokrasi dan hal-hal lain yang tidak sepenuhnya saya pahami. Tapi orang bisa juga menggunakan itu sebagai ungkapan sinis untuk jiwa dan semangat gotong-royong.

Karena saya praktis bekerja sendirian (dibantu satu orang teman staf Japan Foundation lain yang mengurusi administrasi), saya jelas kewalahan kalau harus memandu seluruh acara workshop seorang diri. Bisa jebol mulut saya kalau terus-menerus ngoceh selama hampir lima hari. Padahal saya melihat bahwa para peserta workshop banyak yang sudah sangat mumpuni di bidangnya masing-masing. Karena itu secara spontan saya memutuskan untuk melibatkan seluruh peserta sebagai pengatur lalulintas acara. Maka jadilah workshop itu sebuah forum yang sepenuhnya diatur oleh para pesertanya sendiri. Dari situ saya mulai merasa bahwa format semacam itu mungkin lebih cocok untuk kalangan LSM atau kelompok intelektual publik pada umumnya. Format forum seperti inilah yang kelak kemudian saya gunakan pada Forum Interseksi.

Di akhir workshop, teman-teman peserta sepakat membuat sebuah jaringan kerja multikulturalisme, yang lantas disebut Jaringan Keanekaragaman Budaya Nusantara (JKBN). Penggerak utama jaringan ini adalah Mas Tom Ibnur, seniman senior dari Jambi yang pernah menjadi direktur Dewan Kesenian Jakarta, Halilintar Latief dari Makasar, Nico Andasputra dari Dayakologi, Edy Utama, pelanglang budaya dari Sumatra Barat, Markus Binur dari Papua, dan beberapa teman dari Yayasan Kelola (waktu itu masih berkantor di Solo). Selain lewat milis, JKBN pernah mengadakan beberapa pertemuan yang menghasilkan beberapa agenda kerja cukup menarik. Salah satunya adalah rencana mengadakan festival budaya pesisir Nusantara.

Sayangnya, karena penggiatnya tinggal berjauhan di segenap pelosok tanah air, jaringan ini tidak bisa efektif. Meskipun Mas Tom Ibnur bahkan sudah mempersilakan teman-teman JKBN menggunakan rumahnya di Ciledug untuk dipakai sebagai sekretariat, tapi tidak ada yang bisa memanfaatkan tawaran baik tersebut. Karena kesibukan kerja di kantor, saya sendiri tidak bisa terlalu banyak terlibat tentu saja. Singkatnya, jaringan itu sampai sekarang mungkin masih ada gunanya, karena konon beberapa teman anggotanya masih sering kontak satu sama lain. Mas Tom saya dengar sempat bekerjasama dengan Mas Halilintar dalam mengekplorasi khasanah tari Melayu. Milisnya juga sempat sangat ramai dengan diskusi kebudayaan. Tapi ia gagal dikembangkan menjadi sebuah pelembagaan yang mapan.

Forum Interseksi tidak dirancang sebangun dengan workshop LSM kebudayaan tadi. Kantor JF juga tidak memberi beban muluk-muluk bahwa program diskusi ini akan menjadi sesuatu yang lebih besar. Kebetulan salah seorang teman lama yang saya kenal di Jepang empat tahun sebelum saya kerja di JF, Maho Sato, ditugaskan dari kantor pusat JF di Tokyo untuk kantor JF Jakarta mulai tahun 2001. Ia sangat antusias mendengar rencana program ini. Maka jadilah, bulan Oktober 2001 seri diskusi ini dimulai. Peserta waktu itu, kalau tidak salah ingat, mungkin tidak sampai 20 orang. Sebagian besar peserta menulis makalah kecilnya masing-masing. Tema pertama diskusi adalah tentang posisi organisasi masyarakat sipil (CSO) setelah era kekuasaan Abdurahman Wahid berakhir. Narasumber yang diundang adalah Muji Sutrisno dan Hermawan Sulistyo (waktu itu seri diskusi ini masih menggunakan konsep narasumber dari luar). Tapi karena Hermawan Sulistyo berhalangan hadir, dia merekomendasikan koleganya, Juni Thamrin dari IPGI Bandung.

“Blog


Dari Bandung Thamrin membawa serta seorang anak muda yang kelak sangat ikut menentukan kelanjutan hidup Interseksi, Sapei Rusin. Saya juga mengundang teman dari CSIS, Landry Subianto. Karena kebetulan Landry sedang harus bertugas ke luar negeri, dia merekomendasikan seorang kolega barunya yang kelak menjadi salah satu tokoh penting gerakan intelektual ini, Philips J. Vermonte. Anak muda ini pula yang berulang-ulang mengucapkan kata "Interseksi" untuk menjelaskan konsepnya tentang CSO. Landry sendiri bergabung dengan Interseksi mulai dari putaran diskusi di Bandung. Dari seorang sahabat lama semasa di Yogyakarta, saya juga mendapat satu nama yang di kemudian hari menjadi orang yang paling berdedikasi, M. Nurkhoiron dari yayasan Desantara. Dari LIPI saya mengundang Gutomo Bayu Aji, peneliti muda yang sempat menggantikan posisi saya di sebuah pusat penelitian di UGM beberapa tahun sebelumnya.

Ketika pertama bertemu Sapei, misalnya, saya sangat terkesan dengan logat bahasa Indonesianya yang "Sunda" banget. Yang lebih lucu adalah kenangan tentang Philips. Ketika pertama bicara di telefon, mendengar nama lengkapnya saya pikir dia orang atau Flores dan Kristen. Tapi ketika sudah bertemu, bayangan saya amburadul seketika. Yang muncul adalah seorang muda dengan rambut belah pinggir, dan paling banyak tanya soal letak tempat sholat dzuhur di kantor JF.


Ada beberapa kesan yang menempel kuat di otak saya tentang orang-orang muda ini. Ketika pertama bertemu Sapei, misalnya, saya sangat terkesan dengan logat bahasa Indonesianya yang "Sunda" banget. Yang lebih lucu adalah kenangan tentang Philips. Ketika pertama bicara di telefon, mendengar nama lengkapnya saya mengira dia orang Ambon dan Kristen. Tapi ketika sudah bertemu in person, bayangan saya amburadul seketika. Yang muncul di hadapan saya adalah seorang muda yang imut-imut, rambut belah pinggir, dan paling banyak tanya soal letak tempat sholat dzuhur di kantor JF. Mereka masih terkesan, atau mungkin berusaha mengesankan diri, sebagai orang-orang yang "serius" waktu itu. Sikap kocak dan ulah dogol mereka baru muncul setelah pertemuan Bandung.

Setelah diskusi selesai, kami ngobrol di ruang VIP kantor JF, sekaligus membicarakan putaran kedua diskusi. Beberapa hari sebelum itu, kebetulan saya sempat ngobrol dengan teman lama saya, Sugeng Bahagijo dari INFID, dan kami sempat nyinggung soal radikalisme dan prospek demokrasi di Indonesia. Saya mengundang Sugeng datang ke diskusi, tapi ia berhalangan. Ketika ngobrol soal rencana diskusi putaran kedua, saya mengusulkan tema tentang komunalisme dan demokrasi, dan teman-teman setuju. Karena diskusi di Jakarta cenderung sulit konsentrasi, peserta usul diadakan di luar Jakarta. Ada yang usul agar dilakukan di Bandung. Semua setuju. Di Bandung pulalah nama "Interseksi" mulai disepakati sebagai panggilan-akrab untuk forum diskusi serial ini: Forum Interseksi. Dari Bandung ada pula satu peserta termuda yang di belakang hari menjadi salah satu andalan Interseksi, Diding Sakri. Dari hampir setiap kota lokasi diskusi, Interseksi niscaya mendapat tambahan sumberdaya yang memperkuatnya: di Sukabumi Interseksi mendapatkan Ridwan Al-Makassary dan Jojorohi; di Kuningan ikut bergabung Irene H. Gayatri, Mashudi Noorsalim, Astara Amantya, Adriana Venny, dan Sobar Harsini. Selebihnya, seperti kata orang, adalah sejarah.

Kalau workshop JKBN banyak berisi tokoh-tokoh senior dan mumpuni di bidangnya, Forum Interseksi justru berisi tokoh-tokoh yang masih sedang dalam masa pembentukan. Tahun 2001 Sapei dan Diding belum lama lulus dari ITB, Philips baru beberapa bulan lulus S2 dari Australia, dan Khoiron juga belum lama lulus dari UGM. Tapi mungkin karena itu forum ini bisa lebih panjang usianya. Hanya tiga orang yang termasuk golongan cukup tua waktu itu: saya sendiri (33), Didik Supriyanto (35) dari Detik.com, dan Chaedar Bamualim (35) dari Pusat Bahasa dan Kebudayaan UIN Jakarta. Selebihnya rata-rata berusia di bawah tiga puluh tahun (antara 25 - 29 tahun).

Enam tahun kemudian, tahun 2007. Anak-anak muda tadi sudah menjadi tokoh-tokoh terpenting di lembaganya masing-masing. Beberapa dari mereka ada yang kini usianya lebih tua daripada saya sendiri ketika Forum Interseksi dimulai. Sebagian dari mereka, untungnya, tetap bisa ikut dalam Forum Interseksi 2007 kali ini. Selebihnya adalah para peserta baru, masih sangat muda dan, seperti generasi peserta sebelumnya, penuh antusiasme. Para peserta baru bahkan bisa disebut lebih unggul dalam satu hal: mereka sanggup menulis paper 15 halaman untuk diskusi. Dulu saya hanya mensyaratkan makalah 3-5 halaman saja untuk setiap peserta. Saya penasaran ingin melihat bagaimana interaksi antar generasi berlangsung dalam forum yang niscaya penuh kegembiraan merayakan perbedaan pendapat itu.

Sebelum kelupaan, saya ingin menyampaikan selamat bergabung kepada para peserta baru Forum Interseksi 2007. Terima kasih untuk semua yang telah mengirimkan makalah untuk ikut seleksi yang, karena satu dan lain hal, belum bisa berpartisipasi tahun ini.


Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di situs web Yayasan Interseksi (sekarang sudah almarhum), dan dipersiapkan sebagai semacam sambutan untuk para peserta baru Forum Interseksi Tahun 2007 di Bandung. Forum Interseksi adalah cikal-bakal berdirinya Yayasan Interseksi, yang dimulai pada 2001, dan sempat vakum sejak 2003. Baru tahun 2007 forum tersebut bisa diselenggarakan kembali atas kerjasama Yayasan Interseksi, Perkumpulan Inisiatif Bandung, dan Perkumpulan Pergerakan, Bandung. Sekarang baik Forum Interseksi maupun Yayasan Interseksi sama-sama dalam kondisi hibernasi, tidur panjang. Setahun belakangan beberapa tokoh perintis Forum Interseksi mulai berkumpul kembali dalam kelompok aplikasi berbagi-pesan WhatsApp, meskipun belum menuju ke arah reaktivasi kegiatan.




BACA JUGA

Sosiologi | Teknologi

Bill Gates dan Burung Hantu

Sosiologi | Media

Kuasa dan Kebebasan