Beberapa Pertemuan Saya dan Daniel Dhakidae

In Memoriam


“Blog

Daniel Dhakidae dan Thung Ju Lan dalam acara diksusi membahas buku Seri Hak Minoritas dan Multikulturalisme terbitan Yayasan Interseksi tahun 2007 di Hotel Santika, Jakarta Barat, 4 September 2007.



Tadi pagi, Selasa, 6 April 2021, puluhan pesan WA mengantarkan kabar duka lagi. Daniel Dhakidae, salah seorang intelektual publik dengan reputasi besar telah pergi menghadap illahi akibat serangan jantung pada pukul 3 dini hari. Seperti ribuan orang lainnya, saya tentu saja ikut merasakan sebuah kehilangan besar oleh kepergiannya itu. Sosok Daniel Dhakidae sudah menjulang tinggi di mata saya bahkan sejak saya masih kuliah S1 di akhir 1980an sampai awal 1990an. Meskipun saya tidak pernah benar-benar kenal dekat secara personal, tapi ada beberapa momen dalam hidup kami yang sempat bersisian dan membuat respect saya kepadanya semakin bertambah besar.

Bahwa saya menggunakan panggilan “Pak Daniel”, dan bukan “Bung Daniel” atau “Bang Daniel” saja itu menunjukkan saya memang tidaklah terlampau akrab dengannya. Tapi semua orang yang membaca ilmu sosial di Indonesia dengan cukup serius pasti mengenal akrab nama dan karya-karyanya. Saya ingin suatu saat bisa menulis tentang jejak-jejak pemikiran Daniel Dhakidae, seperti yang ditulis oleh kawan, kolega dan handai taulan Pak Daniel yang pintar-pintar itu, tapi sampai saat itu tiba, hari ini saya hanya ingin menulis hal yang sifatnya sedikit personal, semacam sebuah cerita tentang Pak Daniel dan saya. Mudah-mudahan jadi penglipur lara, paling tidak bagi hati saya sendiri.

Saya sudah pernah bertemu in person dengan Daniel Dhakidae sekitar pertengahan 1990an, ketika pada suatu hari ia bersama Ignas Kleden dan Aristides Katoppo mampir ke kantor tempat saya bekerja, Pusat Studi Kebudayaan UGM. Ini kantor yang didirikan oleh dan dulu identik dengan almarhum Umar Kayam. Waktu itu ketiganya baru saja mengikuti rangkaian acara penghormatan 70 tahun sosiolog Selo Sumardjan. Saya sendiri hanya menghadiri seminarnya di Hotel Santika Yogyakarta. Selain seminar acara tersebut juga meliputi beberapa aktivitas lain yang tidak saya ikuti.

Ignas Kleden, seorang intelektual pemikir ternama di Indonesia, mendorong-dorong mobil butut di bawah terik matahari Yogyakarta adalah sebuah pemandangan yang belum tentu terjadi setiap lima puluh tahun sekali.



Kalau ingatan saya tidak keliru, Pak Ignas Kleden datang lebih dahulu baru Aristides Katoppo dan Daniel Dhakidae menyusul beberapa saat kemudian. Senior saya Mas Sus (sekarang Profesor Susetiawan dari Fisipol UGM), teman kuliah Pak Ignas Kleden di Jerman, mengajak saya menjemputnya dengan mobil sedan tua bututnya itu.

Ada kejadian lucu: begitu kami melintasi kampus Univeristas Islam Indonesia di Jalan Chik Ditiro, mobil Mas Sus mogok. Tidak ada cara lain, saya dan Pak Ignas terpaksa harus mendorongnya. Ignas Kleden, seorang intelektual pemikir ternama di Indonesia, mendorong-dorong mobil butut di bawah terik matahari Yogyakarta adalah sebuah pemandangan yang belum tentu terjadi setiap lima puluh tahun sekali. Untuk Bang Tides, saya sudah mengenalnya cukup baik sejak saya masih mahasiswa dan beberapa kali mengundangnya ke Yogyakarta.

Dalam pertemuan itu saya tidak sempat berinteraksi dengan Pak Daniel langsung karena yang hadir adalah para senior sedangkan saya hanya anak bawang yang baru masuk sekitar setahun sebelumnya. Saya hanya mendengar dan mengikuti saja apa yang diobrolkan oleh para senior itu, termasuk ikut-ikutan tertawa ketika mendengar ulah konyol mereka di Kraton Yogya yang mereka ceritakan. Maka berlalulah yang harus berlalu. Tanpa ada apa pun yang bisa dicatat.

Tahun 2006, untuk membahas buku yang diterbitkan oleh Yayasan Interseksi tentang hak minoritas dan multikulturalisme, kami mengundang Daniel Dhakidae sebagai salah satu pembahas buku tersebut. Waktu itu yang resmi diluncurkan sebenarnya adalah volume kedua buku Seri Hak Minoritas yang disunting oleh kolega saya di Interseksi, Nurkhoiron, Mashudi Noorsalim dan Ridwan Al-Makassary. Sebelumnya saya sudah menyunting volume pertama dan karena sudah habis terjual, pihak sponsor, Yayasan Tifa, menyetujui dilakukan cetak ulang buku volume pertama bersamaan dengan penerbitan buku volume kedua. Maka jadilah seolah-olah hari itu kami meluncurkan dua buah buku sekaligus.

Acara diadakan di Hotel Santika di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Sebagai pimpinan Yayasan Interseksi tugas saya hanya sepele saja untuk hari itu: memberikan sambutan peluncuran buku dan membagikan beberapa buah buku kepada beberapa orang perwakilan lembaga sahabat. Hanya itu.

Sebelum acara dimulai, kami mengadakan jamuan prasmanan makan siang. Ketika makan siang itulah, salah seorang peserta mendatangi saya. Laki-laki. Saya sudah tidak ingat lagi siapa namanya. Tapi dia memanggil saya dengan langsung menyebut nama, berarti dia sudah mengenal saya cukup akrab. Dia berkata, “Hikmat Pak Daniel ingin kenal dengan kau”. Tentu saja saya terkejut dan merasa sangat terhormat.

Mereka yang mengenal saya cukup lama mungkin tahu salah satu sikap saya adalah tidak suka berkenalan dengan orang-orang hebat dan terkenal. Kalau tidak ada kebutuhan yang mengharuskan kenal, saya tidak akan pernah sengaja mendatangi dan memperkenalkan diri kepada siapa pun tokoh-tokoh hebat semata karena ingin kenal dan dikenal oleh mereka. Kalau pun ada beberapa nama besar yang saya kenal secara personal, itu terjadi karena keharusan. Bisa oleh alasan pekerjaan atau karena alasan-alasan lain.

Keengganan itu bukan karena ada alasan ideologis, idealis atau segala macam yang aneh-aneh. Hanya tidak suka. Belagu. Memang. Hubris. Bisa jadi. Semua predikat buruk bisa saya sandang dengan senang riang. Tapi itu mungkin sudah ditulis pada baris-baris kode dalam DNA saya. Dan itu pula mungkin yang menyebabkan saya tidak pernah jadi siapa-siapa. Kalau sampai orang sekelas Pak Daniel minta dikenalkan, itu membuktikan kerendahan hati milik beliau, dan saya berada di pihak yang merasa rendah diri sebenarnya. Tapi keinginan Pak Daniel juga wajar saja karena saya adalah pimpinan lembaga yang mengundangnya, dan saya belum sempat menyambut kedatangannya di acara itu. Singkat cerita, ditemani kawan satu itu saya pun mendatangi Pak Daniel dan kami berbasa-basi berkenalan. Saya tetap merasa rikuh karena beliau adalah raksasa dalam karya dan pemikiran sedangkan saya hanya penulis dengan lingkup pengaruh sangat kecil. Berhadapan dengan Pak Daniel saya benar-benar nobody.

Tapi sosok raksasa Daniel Dhakidae yang mau ndelosor menawarkan itu membuat perasaan dan pikiran saya kalangkabut.



Acara peluncuran dan diskusi buku berlangsung sangat lancar, dengan peserta membludak melebihi daya tampung ruangan. Sukses. Pak Daniel membahas buku-buku yang kami terbitkan itu dengan sikap kritis tapi sekaligus juga penuh apresiasi. Sanjungannya kepada para penulis muda yang menjadi kontributor di buku-buku itu pasti membuat hati mereka melambung ke langit ketujuh. Dipuji tinggi-tinggi oleh seorang yang terkenal sangat tajam dan kritis dalam membaca tulisan orang, siapa yang tidak akan merasa sangat bangga? Saya juga jelas merasakan kebanggaan itu untuk diri sendiri karena saya ikut berproses bersama mereka. Setelah itu, semua berjalan seperti biasa. Saya sudah tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Daniel Dhakidae.


DSC_0242

Daniel Dhakidae dalam salah satu workshop Pelatihan Penelitian Yayasan Interseksi tahun 2013 di GG House, Bogor, Jawa Barat.



Satu hari di tahun 2011 saya menerima SMS di handphone saya dari nomor yang tidak saya kenal. Setelah dibaca ternyata pengirimnya adalah Daniel Dhakidae. Rupanya beliau mendapatkan nomor telepon saya dari sahabat saya, Adi Jebatu, orang Flores, kawan muda Pak Daniel, yang mengelola Jurnal Masyarakat Departemen Sosiologi Universitas Indonesia. Dalam SMS itu pak Daniel minta waktu untuk bisa bicara via telepon. Sangat santun dan bermartabat. Saya langsung menjawab OK. Beberapa menit kemudian handphone saya berdering, dan suara Pak Daniel terdengar dari ujung sana. Setelah sedikit prolog, beliau kemudian menyampaikan maksudnya mengajak saya bertemu di kantor LP3ES di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Pada tanggal yang sudah disepakati, saya datang dan bertemu langsung dengannya di kantor lembaga yang dulu begitu mashur namanya tapi yang sekarang terlihat sudah kisut.

Dalam pertemuan itu kami ngobrol tentang banyak hal. Tapi intinya hanya satu: Pak Daniel meminta saya membantunya mengelola Prisma Resource Center dan Jurnal Prisma. Posisi yang ditawarkan pada saya waktu itu adalah managing director. Sampai sekarang saya tidak tahu apa alasan pasti Pak Daniel memilih saya untuk pekerjaan itu. Dugaan saya juga tidak muluk-muluk: mungkin Pak Daniel hanya butuh orang yang mau kerja keras dan memiliki kemampuan menulis sedikit di atas rata-rata. Sedikit saja. Untuk dua hal sederhana itu saya kira saya cukup memenuhi persyaratan. Kecurigaan saya berikutnya adalah pada sahabat saya Adi Jebatu itu. Mungkin saja dia yang merekomendasikan nama saya kepada beliau. Saya belum sempat menanyakan ini pada Jebatu karena sampai sekarang belum sempat bertemu lagi dengannya.

Pak Daniel juga cerita tentang bagaimana kondisi LP3ES saat itu, termasuk rencana menyewakan tanah tempat kantornya ke perusahaan pembuat perlengkapan sanitary, Toto. Untuk Prisma Pak Daniel tidak terlalu tertarik mencari bantuan dana kepada lembaga-lembaga donor internasional, katanya, “saya ingin menghimpun dana dari kekuatan para kapitalis dalam negeri”. Di bagian ujung Pak Daniel meyakinkan saya, “dengan kapasitasmu, Budiman, kau tidak perlu meninggalkan pekerjaanmu di Interseksi. Kau pasti bisa menghandle dua-dua pekerjaan ini”. Saya tidak tahu apakah beliau pernah mendiskusikan soal tawaran pada saya ini dengan kolega-koleganya di Prisma. Mungkin sudah, mungkin juga belum. Kalau belum bagaimana? Tapi nama Daniel Dhakidae separuhnya memang sudah hampir identik dengan jurnal Prisma.

Mendapat tawaran seperti itu perasaan saya beraduk. Senang campur bingung. Bangga campur ragu-ragu. Bukan nama Prisma yang membuat saya bangga, karena saya tidak pernah terlalu peduli dengan nama sebuah lembaga. Saya bisa bekerja di mana saja, dan tetap akan bekerja maksimal sekapasitas yang saya punya. Tapi sosok raksasa Daniel Dhakidae yang mau ndelosor menawarkan itu membuat perasaan dan pikiran saya kalangkabut. Jawaban saya waktu itu adalah: saya masih punya hutang program penelitian tentang kota-kota di Sumatra. Jadi untuk saat ini saya belum dapat menerima tawaran pak Daniel. Entah kalau program riset Sumatra sudah selesai. Pak Daniel dapat menerima dengan baik jawaban saya, tapi sambil tetap berharap agar saya membantunya mengembangkan Prisma.


daniel_dhakidae_peluncuran

Daniel Dhakidae sedang menyampaikan Orasi tentang Indonesia Timur Masa Depan Kita, dalam rangka Peluncuran Buku Ke Timur Haluan Menuju, publikasi Populi Center, Jakarta, 2019, di Jakarta Design Center, Slipi, Jakarta Barat, 20 Juni 2019.



Saya kembali kepada pekerjaan saya. Riset kota-kota di Sumatra akhirnya selesai, dan salah satu hasilnya terbit dalam buku Kota-kota di Sumatra. Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi (Yayasan Interseksi: 2012). Setelah itu kami menyiapkan program lanjutan. Kali ini lokasinya berpindah ke jazirah Sulawesi. Mungkin karena kesibukan itulah saya lupa pada janji untuk mengabari Pak Daniel tentang jawaban saya atas tawaran beliau itu. Sampai saya bertemu lagi Pak Daniel dalam sebuah acara di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pak Daniel langsung menembak saya dengan pertanyaan, “jadi bagaimana ini Budiman?” Saya agak gelagapan mencari-cari jawaban: “apa masih dibutuhkan Pak?” itu yang saya ingat sebagai jawaban pembuka. Selebihnya saya tidak ingat bagaimana saya, dengan hormat (mudah-mudahan), menyampaikan bahwa saya tidak dapat menerima tawaran beliau itu. Tentu saja ada sedikit roman kekecewaan di wajah Pak Daniel, tapi beliau bisa memahaminya.

Yang saya suka dari tulisan-tulisan Pak Daniel adalah kesan yang selalu muncul dari kalimat-kalimatnya: sangat penuh rasa percaya diri, kosmopolit, menempatkan persoalan pada perspektif yang lebih luas, bertenaga, serba terus terang, dalam, dan bisa kejam menghantam gagasan orang lain.



Meskipun merasa sangat terhormat mendapatkan tawaran kesempatan itu, tapi saya berpikir bahwa Prisma adalah sebuah nama besar dengan sejarah panjang orang-orang besar. Kalau saja Pak Daniel mengajak membuat sebuah publikasi yang sama sekali baru, saya kemungkinan besar akan langsung menyanggupinya. Bergabung ke dalam tim Prisma saya harus berurusan bukan hanya dengan pekerjaan tapi juga beban sejarah. Pasti akan ada residu kebanggaan pada masa lalu, dan kesangsian pada apa yang terjadi saat ini. Orang yang terbiasa “bersolo karier” seperti saya, pasti akan kesulitan menjalani hal-hal seperti itu.

Di samping itu, di depan mata saya ada pekerjaan yang juga tidak bisa diabaikan atau dinomorduakan karena sudah saya impikan sejak beberapa tahun sebelumnya: lanjutan riset di kota-kota di Sulawesi. Kebetulan pihak sponsor, Hivos, bersedia melanjutkan kerjasama setelah melihat hasil kerja kami di Sumatra. Karena pekerjaan ini saya harus berkeliling di sepanjang jazirah Sulawesi dari mulai Manado dan Bitung di Utara, sampai ke Kota Buton di Sulawesi Tenggara. Dengan beban semacam itu, saya tidak yakin bisa bekerja sesuai harapan Pak Daniel paling tidak sampai dua tahun ke depan. Jadi pilihan yang paling masuk akal memang tidak menerima tawaran beliau.

Setelah peristiwa itu, hanya tiga kali saya berinteraksi lagi dengan Pak Daniel. Yang pertama tahun 2013, ketika saya mengundang beliau mengisi materi pelatihan penelitian untuk para peneliti muda pekerja lembaga masyarakat sipil dari Kalimantan dan Sulawesi. Acara diadakan di GG House, Bogor. Salah satu isi materi yang disampaikan Pak Daniel adalah tentang metode analisa atas berita-berita di surat kabar. Dalam kurang dari dua jam beliau bisa memberikan penjelasan yang sangat sistematis, dan sangat mudah dipahami. Saya berpikir ini materi kuliah satu bahkan bisa dua semester bisa dirangkum dalam dua jam dengan hasil yang jauh lebih baik.

Berikutnya saya bertemu lagi dengan Pak Daniel dalam sebuah diskusi membahas desain penelitian teman-teman peneliti LIPI sekitar tahun 2016 atau 2017. Selain Daniel ada juga Ahmad Fedyani Syaifuddin, profesor antropologi dari UI. Sekarang beliau juga sudah almarhum. Saya baru mengenal Pak Fedyani sekitar tahun 2005, setelah ia menulis sebuah review hampir satu halaman penuh di harian Kompas untuk buku Hak Minoritas volume pertama yang saya sunting.

Tapi tulisan-tulisan Kleden terlampau sangat rapi dan bersih dengan klariti tingkat tinggi, sehingga hampir tidak menyisakan ruang untuk salah tafsir. Daniel menulis cenderung lebih “liar” dan lantang, lebih memprovokasi pikiran dan memberi ruang bagi kemungkinan pemaknaan di luar yang standar dan baku.



Dalam diskusi dengan teman-teman di LIPI itu, Pak Daniel memang seperti biasa bicara dengan determinasi tinggi, dan kesanggupannya menarik tema diskusi ke hal-hal yang tidak banyak terpikirkan oleh kawan-kawan di LIPI yang mempersiapkan desain penelitian itu. Saya sendiri kemudian diajak masuk ke dalam tim penelitian tersebut, dan ditugaskan melakukan fieldwork di Yogyakarta. Hasil fieldwork saya tulis dalam bentuk draft laporan tentang Multikulturalisme dan Perubahan Sosial di Yogyakarta. Ketika tiba waktunya mempresentasikan draft laporan, Pak Daniel konon kembali diundang sebagai pembahas. Tapi saya sendiri kebetulan tidak bisa datang.

Momen pertemuan terakhir adalah ketika saya sudah bekerja di Populi Center. Setelah melakukan penelitian kualitatif di Kepulauan Maluku pada 2018, tahun 2019 Populi Center mempublikasikan hasil penelitian tersebut menjadi buku yang saya sunting dengan judul Ke Timur Haluan Menuju (KTHM), diterbitkan oleh Penerbit Obor. Untuk peluncuran buku saya tidak mau lagi dalam bentuk diskusi bedah buku tapi dalam bentuk orasi ilmiah dari tokoh-tokoh intelektual. Tema acaranya adalah “Indonesia Timur Masa Depan Kita?”. Kami kemudian meminta Pak Daniel untuk menjadi salah satu tokoh yang memberikan orasi. Salah satu pertimbangannya adalah karena beliau orang yang berasal dari kawasan Indonesia timur.

Pak Daniel bersedia, dan menulis naskah orasi yang cukup serius. Beberapa hal kocak terjadi dalam komunikasi saya dengan Pak Daniel lewat WA sebelum acara berlangsung. Saya tidak perlu menceritakannya di sini. Tapi momen-momen itu kembali mengakrabkan kami. Naskah orasi Pak Daniel sangat membesarkan hati para penulis yang terlibat dalam penulisan buku KTHM dan, seperti biasa, Pak Daniel tetap bisa menjangkau diskursus yang jauh melampaui apa yang kami ketahui. Secara formal beliau adalah ilmuwan politik. Jago survei juga. Tapi kepalanya menampung hamparan pengetahuan yang sangat luas mulai dari sastra, musik, filsafat, sosiologi, antropologi, dan sejarah. Mungkin ini yang membuatnya selalu bisa membuat narasi yang melampaui narasi standar para ilmuwan politik di Indonesia.

Yang saya suka dari tulisan-tulisan Pak Daniel adalah kesan yang selalu muncul dari kalimat-kalimatnya: sangat penuh rasa percaya diri, kosmopolit, menempatkan persoalan pada perspektif yang lebih luas, bertenaga, serba terus terang, dalam, dan bisa kejam menghantam gagasan orang lain. Kadang-kadang saya seperti sedang membaca kalimat-kalimat seorang pewarta (evangelist) karena begitu kuatnya keyakinan diri Pak Daniel dalam setiap diksi yang dipilihnya. Tidak selalu sepenuhnya presisi seperti tulisan Ignas Kleden, tapi punya daya desak yang lebih kuat ke dalam pikiran. Provokatif tapi bisa sekaligus reflektif. Itu pasti hasil dari proses puluhan tahun ia menerabas berbagai batas pengetahuan, yang sering membuat pola-pola narasi kita cenderung mudah menjadi seperti lidah yang kelu, baku kaku dan wagu. Membosankan. Karena itu posisi Daniel dalam lingkaran kehidupan intelektual Indonesia sangat sukar dicari penggantinya.

Waktu saya masih jadi anak bawang di Yogya, saya pernah ngobrol dengan senior saya yang lain, Mas Faruk (sekarang Profesor Faruk), tentang kesan saya membaca tulisan Kleden. Saya sampaikan bahwa waktu masih mahasiswa saya begitu terpukau oleh tulisan-tulisan Ignas Kleden di majalah Prisma. Tapi sekarang (maksudnya waktu obrolan itu terjadi) kesannya kok biasa saja. Mas Faruk menjawab, “mungkin karena kualitas tulisan Kleden sekarang memang menurun atau bisa juga karena kapasitasmu sudah jauh lebih tinggi”.

Sampai hari ini saya merasa Kleden adalah salah satu penulis ilmu sosial terbaik di Indonesia. Tapi tulisan-tulisannya terlampau sangat rapi dan bersih dengan klariti tingkat tinggi. Itu semua adalah cermin dari disiplin diri yang juga sangat tinggi, sehingga hampir tidak menyisakan ruang untuk salah tafsir. Daniel menulis cenderung lebih “liar” dan lantang, lebih memprovokasi pikiran dan memberi ruang bagi kemungkinan pemaknaan di luar yang standar dan baku.

Kabar kepergian Pak Daniel tadi pagi membentur keras ulu hati saya. Sedih. Perih seperti ketika asam lambung menyedak, sedang naik ke arah tenggorokan. Satu figur besar dalam pemikiran sosial di Indonesia telah pergi. Untuk selamanya. Saya sangat beruntung dan bangga sempat mengenalnya, meskipun tidak dekat-dekat amat.

Seperti telah diberkati selalu hidupmu, maka dimuliakanlah pula selalu kepergianmu Pak Daniel. Selamat jalan. Terima kasih untuk seluruh kebaikan dan laut luas pengetahuanmu melalui apa kau mengajariku, dan beribu-ribu yang lain, mengeja satu-satu untuk keluar dari kebodohan.

Jakarta, 6 April 2021.

Yang tertarik membaca orasi Pak Daniel dalam peluncuran buku Ke Timur Haluan Menuju dapat membaca/download di sini (PDF).



BACA JUGA