Anak dan Pasar, dan Analogi dalam Politik Kita Itu

Sosiologi, Politik


“Blog

Gibran, penyair romantik dari awal abad ke-20 itu, kita tahu, pernah menulis liris tentang anak. Bagi saya yang tidak tekun membacanya, kata-kata Gibran sering terasa lebih mirip parabel atau, kalau bukan itu, sebut saja alegori sentimentil. Menyayat sesaat kadang menggugat di lain tempat, tapi tak cukup kuat untuk mengguncang. Mungkin, karena ia hidup dalam lingkungan yang tak banyak dikotori bau ompol, dan rengekan tengah malam yang bikin kesal. Pria kelahiran Bishari, bagian utara Lebanon, ini sebenarnya lebih suka mengaku dirinya seorang pelukis. Karya penulisannya cukup popular dan banyak terjual, termasuk di Indonesia sampai dekade 1990an, tapi tidak pernah benar-benar disambut hangat atau dianggap serius oleh kalangan kritikus sastra. Tapi sampai hari ini, sepotong kalimatnya, “anakmu bukan anakmu, tapi anak sang Mahahidup”, itu tak pernah gagal menghadirkan gema. Orang banyak mengenang itu dengan hati penuh takjub. Di Indonesia kalimat ini cukup sering dikutip menjadi sejenis inspirasi untuk banyak soal. Mungkin hanya karena ia terdengar begitu tak galib di telinga. Waktu itu.

Kalimat-kalimat itu ditulis pada satu masa, ketika orang banyak tengah memacu harapan di dekade-dekade awal abad 20. Harapan yang kemudian terpangkas oleh perang, depresi ekonomi, dan Musollini di Italia, dan Hitler di Jerman. Sejak itu ia seperti tak berhenti menghasilkan gema, bunyi yang terdengar begitu agung tapi sekaligus tidak mudah, bahkan ketika kita mendengarnya sekarang. Ada semacam ketakberdayaan sekaligus rasa jengkel yang bisa kita tangkap dari situ. Yakni ketika dalam hidup kita belakangan ini, konsep orang tua ternyata tak cukup memberi kita pijakan yang kukuh untuk menguasai bahkan anak kita sendiri.

Tapi di situlah letak soalnya. Menjadi orang tua, kadang seolah dengan sendirinya kita mendapat maklumat untuk berkuasa penuh atas hidup manusia lain. Konsep itu seolah memberi kita sejenis taklimat untuk memaklumkan masa depan anak yang, secara kebetulan saja sebenarnya, lahir dari salah satu momen berahi kita. Anak lahir seolah betul-betul bersumber mutlak dari rumusan kita. Ia menjadi semacam bangunan yang dimulai dengan peletakan batu pertama, dan berakhir pada tebakan arsitektur yang tepat. Padahal, “mereka lahir lewat engkau tapi bukan dari engkau. Mereka ada padamu, tapi bukanlah milikmu,” tulis Gibran dalam edisi bahasa Indonesia hasil alihbahasa oleh almarhumah Sri Kusdiyantinah dalam buku kecil, Sang Nabi, terbitan Pustaka Jaya tahun 1981.

Kita tak persis tahu dari mana sebenarnya kekuasaan seperti itu bermula. Anak mungkin memang belahan nyawa yang kita inginkan, tapi adakah ia melulu sesobek jiwa tanpa kedaulatan? Ia mungkin memang darahdaging kita, tapi haruskah ia juga berhenti sebagai sebuah definisi yang dimutlakan? Literatur tentang anak di Eropa, misalnya, menyebutkan bahwa pada dasarnya kategori anak sebagai si upik yang bisa diidentifikasi kebutuhan makanminum, pakaian, jam tidur, kesukaan sampai pendidikannya, itu adalah fenomen yang, secara sosial, diciptakan oleh kelas menengah borjuis. Bukan keharusan (religius) yang turun dari langit.

Tepatnya ketika di Barat kelompok ini mulai tumbuh makin membesar, dan mereka merasa cukup pintar untuk tahu kebutuhan anak, serta sanggup menciptakan pasar yang mendukungya. Dengan kata lain, perhatian yang kelewat sistematis terhadap anak adalah bagian dari obsesi masyarakat borjuis--sebuah kelas sosial yang kelewat sarat aturan, dan hipokrisi. (Kita, di sini, barangkali, akan berpaling pada beberapa petitih lama, dan seperangkat postulat suci). Tapi di luar itu, bisakah kita menerima sebuah jiwa bebas, meskipun ia hanya sebatang tubuh yang kita sebut anak? Pada baris-baris yang lain Gibran menulis, “berikanlah mereka kasih sayangmu, namun jangan sodorkan pemikiranmu, sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri”.

Jika demikian maka persoalannya seolah kemudian terkait begitu saja dengan proses-proses ekonomi yang ruwet. Cara kita membesarkan anak, nyatanya, hanya salah satu cerita tentang bagaimana sebuah lembaga ekonomi membentuk dirinya sedemikian tangguh, sehingga ia sanggup menuntun kita dalam beberapa soal paling penting. Pasar konon memang bukan melulu sebuah institusi yang tunduk pada pelbagai kekuatan eksternal, melainkan justru merupakan pengatur masyarakat seluruhnya. Ia bahkan pernah dianggap sebagai hakim yang adil sekaligus kuasa, dipercaya sanggup mengendalikan bangunan sosial agar tidak dibetot ketimpangan. Singkatnya, ia adalah keharusan yang, seperti keyakinan Adam Smith, tidak boleh absen, kalau relasi sosial ingin tampak sedikit lebih jujur, dan orang bisa sedikit menawar agar tak diperas tanpa perlawanan sama sekali. Di dalamnya orang percaya ada nilai yang bisa dipakai pijakan tingkah laku individual atau kolektif.

Kemudian kita tahu bahwa pasar juga bisa dilihat dari sudut yang lain. Sekurang-kurangnya, kita bisa melihat pasar bukanlah melulu malaikat kebajikan, melainkan juga hantu raya anarkhi yang bengis. Ia dihuni para raksasa yang menelan apa saja. Konsep laissez-faire kapitalisme klasik telah dipermalukan oleh tabiat para pengusaha besar yang begitu rakus. Karena itu, tesis Weber tentang kapitalisme jadi tampak tidak lengkap. Kapitalisme, kata Werner Sombart, bukan hanya digerakkan oleh sebuah etik, panggilan suci untuk kerja keras demi kebesaran Tuhan, melainkan juga oleh ketamakan yang dikelola secara rapih. Hasilnya, semakin susut jumlah si kecil yang bertahan, semakin masam muka orang memandang pasar kapitalisme. Beberapa di antaranya kemudian memilih sosialisme, dan sebagian yang lain kemudian berbulat hati menjadi komunis.

Mungkin karena itu pula, sekarang masih saja ada orang yang begitu cemas akan masa depan anak-anak, ketika ekspansi pasar kapitalisme terasa demikian kencang. Terutama ketika setiap negeri tak lagi memiliki pilihan selain lebur ke dalam pasar internasional. Dunia lantas berubah menjadi pasar yang bengkak, tempat lalat, bau bacin, Lamborghini, BMW, McDonalds, MTV, dan seks tentu saja, menciptakan sebuah ras manusia baru. Agama, budaya tradisional, dan nasionalitas akhirnya, longsor. Antara Diana Krall, Lary Page, banker, programer komputer, atlit olahraga, dan Mandra dan Basuki, membagi tingkahlaku yang sama di seluruh dunia: gaya hidup kota kosmopolitan. Hidup seperti tak putus didesak masuk ke dalam sebuah wacana yang secara empirik sebenarnya tidak pernah hadir: citra.

Kita boleh saja melihat itu sebagai bencana. Tapi tidakah kita memang hidup di zaman yang salah? Zaman ketika segala hal menuntut peremajaan-diri, dan kita tetap tinggal sebagai kitab lapuk yang kelewat ngotot minta terus dibaca, dan didengar. Kecemasan kita, dengan demikian, bukan saja menunjukkan betapa kita tetap melihat anak sebagai seonggok daging tanpa kecerdasan untuk mengelak dan menentang, tapi juga bagaimana sebenarnya kita begitu tidak percaya diri. Berhadapan dengan pasar, kita seperti menerima sebuah takdir yang berujung pada kekalahan pahit. Seperti orang lumpuh yang tidak sanggup lagi mengelak dari bongkah besar yang akan melindasnya. Menjadi kurban tanpa perlawanan.

Seorang teman, sosiolog dari Yogyakarta, pernah memberikan perbandingan yang terasa menjengkelkan. Di Jerman, kata sang sosiolog, kontras dengan di sini, anak-anak memang diberi bermacam-macam alat permainan yang lengkap. Mereka dibebaskan bermain sesuka hatinya di siang hari. Tapi bila malam tiba dan jam dinding berdetak lebih nyaring, orang-orang tua di sana akan mengunci anak-anaknya di dalam kamar dengan satu perintah yang tak bisa dibantah: belajar! Dengan demikian, masih kata si empunya cerita, meskipun hidup dalam iklim yang lebih liberal, masyarakat di sana tetap masih memegang beberapa imperatif tradisional yang bisa memberi anak sebuah perisai. Barangkali agar mereka tak hanya jadi kunyahan yang lezat bagi para penyamun pasar kapitalisme.

Saya tak persis tahu, adakah ceritanya itu benar atau tidak. Kalau pun benar, ada beberapa soal yang belum memuaskan. Pertama, sampai sejauh mana sebenarnya kontrol bisa dilakukan oleh orang tua, ketika perangkat teknologi modern mampu menciptakan begitu banyak lubang untuk menjual dan menggoda? Malam hari anak bisa diperintah masuk kamar dan belajar. Tapi adakah sebuah kontrol atau teknologi pengawasan atas tubuh yang benar-benar bisa mutlak seperti gagasan Panopticon-nya Jeremy Bentham? Bukankah keharusan belajar sekarang juga merupakan bagian dari desakan, dengan kalimat lain berarti kontrol, pasar?

Kedua, apa sebenarnya substansi rasa cemas itu? Tampaknya kita terlampau lama dibesarkan untuk selalu hanya bisa menuduh. Menuding mereka yang lebih muda telah terjerumus, seolah kultur dan (gaya) hidup baru mereka bukan lain kecuali sebuah sumur maut. Adakah TV, misalnya, benar-benar merupakan ancaman bagi masa depan manusia? Adakah generasi yang dibesarkan oleh komputer dan internet merupakan cikalbakal aib umat manusia nanti? Tidakkah sebenarnya seluruh krisis peradaban sekarang diciptakan justru oleh mereka yang tidak dibesarkan oleh TV, komputer dan internet? Hitler di Jerman, Musolini di Italia, atau para perampok kekayaan negara dan para pengusaha pembakar hutan Kalimantan, tak satu pun yang pernah mengarungi internet di masa kecilnya.

Jangan-jangan apa yang kita cemaskan adalah bagian tak terpisahkan dari rasa bersalah kita sendiri. Sebagai semacam sebuah mekanisme membuang kotoran ke muka orang lain, agar aib itu tak menerbitkan rasa malu kita lebih dahulu. Artinya, boleh jadi ini adalah sebuah problem psikologis yang dihadapi oleh mereka yang peran dan fungsinya mulai terancam oleh mereka yang lahir lebih kemudian. Dari sini lantas muncul banyak lembaga yang membuat tarik-tolak itu jadi mapan, dan muncul banyak tradisi konyol.

Tradisi paling konyol muncul ketika sebagian orang masih merasa perlu memelihara hubungan dominatif orangtua-anak, itu dalam pembentukan sebuah partai politik, atau negara dan pemerintahan. Pada level yang lebih abstrak, kita telah lama mengenal konsep “Bapak bangsa” dan “ibu negara”. Pada konteks yang lebih kecil, Megawati Soekarnoputri selalu menempatkan dirinya sebagai “Ibu” konstituen politik Partai Demokrasi Indonesai Perjuangan.

Orde Baru adalah contoh paling tipikal ketika kekuasaan kepala negara menjadi demikian personal. Ia telah menghidupkan sebuah dunia kekuasaan yang demikian rumit, tempat urusan dapur dan rakyat campuraduk. Kepentingan anak dintegrasikan menjadi bagian dari kebijakan-kebijakan publik, dan berujung keruntuhan yang pahit. Sampai hari ini kita masih belum ke luar dari petaka yang dibuatnya. Lantas kapan kita akan mampu mengangkat seorang kepala negara, dan bukan kepala keluarga mahabesar dengan kuasa mahamutlak? Seorang presiden yang tidak lebih istimewa dari seorang CEO sebuah perusahaan. Bisa diganti tanpa harus lewat kericuhan politis.

Karena itu, hari-hari ini, mungkin kita memang perlu mengenang Gibran penuh khidmat. Ia menawarkan sebuah moral: Anakmu (saja) bukan anakmu, apalagi rakyat!

Sukabumi, 4 Juni 1998