Dua mobil VW (Volkswagon) tua mungkin bisa sedikit bercerita tentang komitmen Bisri Effendi (BE) dalam upaya panjangnya untuk rekonsiliasi kultural di banyak tempat di Indonesia.
BE adalah pencinta mobil VW tua. Seingat saya ia memiliki dua VW tua di rumahnya, tapi saya tidak persis tahu keluaran tahun berapa masing-masing mobil itu. Yang satu sebuah VW Kodok (VW Beetle), dan satu lagi sebuah VW Kombi (Combi). Dua-duanya adalahmodel VW yang saya kira paling ikonik, yang bukan hanya digemari di Indonesia tapi juga di tempat-tempat lain di dunia. Ketika butuh modal untuk mendirikan perusahaan yang sekarang menjadi perusahaan terkaya di bumi, Apple Computer, yang belakangan berubah nama menjadi Apple Inc, Steve Jobs menjual barang miliknya yang dia anggap paling berharga waktu itu, sebuah VW Kombi.
BE tentu saja tidak menjadikan VW kodok dan Kombi miliknya itu modal ekonomi untuk membangun usaha komersial, tapi lebih sebagai sebuah pernyataan. Mungkin karena dengan cara itu ia berusaha mengikatkan dirinya pada sesuatu yang terkesan timeless, tidak dekaden. Sederhana tapi keren, spartan. Kalau bukan sedang melakukan penyangkalan pada konsepsi linieritas waktu, paling tidak ia seperti sedang mencoba melakukan rekonsialiasi antara masa lalu dan masa kini. Tapi itu juga bisa berarti BE secara alamiah memang memiliki ketertarikan pada sesuatu yang minor, yang bukan mainstream, seperti kegemarannya mendatangi komunitas-komunitas kecil yang lokasinya nun jauh di sana.
Pada dasarnya BE adalah juga orang yang cenderung tidak merasa diburu-buru oleh waktu. Dia punya totalitas dengan apa yang menjadi passion-nya, tapi ia juga bisa sangat rileks dalam banyak hal yang membuat banyak orang justru cenderung mudah panik atau tersinggung, seperti soal yang besangkut-paut dengan isu-isu agama. Ia jadi seperti sebuah VW Kodok keluaran awal 1950an atau 1960an yang melaju di keramaian Jakarta abad ke-21. Sedikit anakronis tapi tetap saja mengagumkan. BE orang yang sedikit canggung dan tidak fasih kalau diajak bicara soal kota dan budaya kota, karena ia lebih tertarik pada soal-soal yang tidak banyak dianggap penting oleh orang lain, yakni orang dan budaya pinggiran. Dan BE terus merawat dua-duanya, baik mobil-mobil VW di garasinya maupun komitmennya pada kelompok-kelompok kecil yang mengalami sekslusi ke pinggiran wilayah kesadaran intelektual orang banyak.
Saya kenal Mas BE mungkin sekitar akhir tahun 2001 atau awal 2002 yang lalu. Usia kami mungkin terpaut sekitar 15 tahun. Ketika pertama kali bertemu BE saya hanya bisa cengar-cengir, antara bangga dan malu, karena dia ternyata sudah membaca beberapa tulisan saya, termasuk makalah lama yang saya tulis hampir sepuluh tahun sebelumnya, tahun 1993. Kalau pertemuan itu diumpamakan sebuah pertempuran, saya jelas sudah kalah sejak sebelum dimulai, karena sementara BE sudah cukup tahu banyak tentang saya, tapi saya sendiri tidak tahu apa pun tentang BE selain bahwa ia direktur Desantara. Tapi mungkin itu pula gambaran awal yang bisa menjelaskan hubungan saya dengan almarhum. Antara saya yang cenderung serba sok tahu bertemu orang yang sudah sangat matang dalam pemikiran dan luas pengalaman hidupnya.
BE adalah santri, sedangkan saya tumbuh dari lingkungan keluarga muslim yang baik-baik saja, tanpa pretensi sofistikasi semantik dan teologis seperti teman-teman yang berakar dalam tradisi pesantren. Leluhur saya sering memberi nasihat dengan cerita bahwa dahulu leluhur mereka hanya bermodal bisa baca bismillah sudah bisa napak sancang (berjalan di atas air). Karena itu, kata mereka, saya tidak perlu banyak menghafal ajaran tapi lakukan yang sudah diketahui sebaik-baiknya. Tentu saja mereka hanya mencoba memberi saya sebuah amsal, bukan menginginkan saya menjadi seperti tokoh Naruto Uzumaki dalam serial manga karya Masashi Kishimoto. Ketika teman-teman sebaya saya kebanyakan sekolah madrasah di sore hari, saya dan semua anak di keluarga kami tidak pernah dianjurkan apa lagi diwajibkan menempuh pendidikan serupa. Dari sekolah dasar sampai kuliah di zaman Orde Baru praktis saya hanya belajar formal di sekolah-sekolah negeri.
Sampai saya diajak BE dan Pak Suaedy bergabung mengurus Yayasan Desantara, saya tidak pernah benar-benar ambil pusing dengan tradisi NU atau Muhammadiyah atau kelompok-kelompok keagamaan yang lain. Saya beragama Islam tapi dalam hal organisasinya saya sepenuhnya agnostik. Entah apa yang merasuki dua orang itu sehingga keduanya mau mengajak saya mengurus sebuah lembaga yang wilayah dan sasaran kerjanya sama sekali tidak pernah saya akrabi sebelumnya: masyarakat kalangan pesantren dan komunitas-komunitas etnis/budaya di luarnya. Sampai beberapa bulan setelah menjadi bagian dari keluarga Yayasan Desantara, saya bahkan tidak paham apa artinya kata “halaqah” yang menjadi salah satu metode andalan BE dan teman-teman Desantara dalam menyelenggarakan perjamuan kultural antara kalangan pesantren dengan komunitas-komunitas di luarnya tadi.
Dari aktivitas-aktivitasnya tersebut tampak jelas bahwa BE menolak tegas pengandaian bahwa persoalan (pembangunan) bangsa Indonesia sudah selesai. Orde Baru Suharto membangun simbol harmoni bangsa Indonesia dalam bentuk tempat wisata Taman Mini Indonesia Indah. Di sana soal bangsa jadi perkara yang tampak cukup mudah dan ringkas: ribuan ragam dan perbedaan dirampingkan dan diringkas menjadi anjungan-anjungan wilayah provinsi, dan ditundukkan menjadi satu di bawah sebuah kuasa yang tidak bisa dibantah, menjadi bhinneka yang disubordinasikan di bawah penekanan berlebihan atas tunggal ika.
Saya kira ini adalah tema yang sudah sangat banyak dibicarakan, dan sebagiannya cenderung menjadi klise pada dasarnya. Tapi saya ingin menggarisbawahi satu hal: yakni bahwa politik miniaturisasi, kalau bisa disebut begitu, yang dilakukan Orde Baru Suharto melahirkan konsekwensi diingkarinya sekian banyak, jauh lebih banyak dari yang ditampilkan dalam versi bentuk kompaknya di TMII, budaya yang ada di sebarannya seluruh pulau-pulau di Indonesia. BE melihat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang belum sepenuhnya sudah. Kesatuan (unity) yang dipaksakan negara Orde Baru adalah sebuah pseudo harmony, satu kesatuan dari ketidakbersatuan (unity of disunity), yang manifestasi konfliktualnya kelak akan terasa ketika Orde Baru sudah bankrut.
Tumpukan persoalan yang tidak pernah benar-benar diselesaikan negara merentang panjang dari soal sejarah, politik sampai relasi-relasi antarkelompok warga. Salah satu persoalan yang dengan tekun dikerjakan BE, melalui Desantara atau jalan lain, adalah pola-pola relasi eksklusioner antar-komunitas warga termasuk, tapi bukan satu-satunya, persoalan yang dihadapi oleh mereka yang berasal dari keturunan orang-orang bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau orang-orang yang hanya terlanjur dilabeli keturunan PKI. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam situasi yang selalu terkepam, mencekam dan sangat mudah robek karena sejarah yang tidak kunjung dibuat terang-benderang.
Hampir tanpa hiruk-pikuk BE bekerja mengupayakan berlangsungnya rekonsiliasi kultural di antara bekas anggota dan keturunan PKI tersebut dengan komunitas-komunitas lain, terutama saya kira dengan komunitas-komunitas pesantren. Dengan cara ini BE menjadi seorang pejalan olang-alik yang bekerja untuk dua tujuan sekaligus, ke luar dan ke dalam: ke luar ia ingin mengajak keturunan-keturunan eks-PKI untuk bisa lepas dari stigma politik dan melihat Indonesia sebagai arena yang masih memberi harapan baik, dan ke dalam, BE mencoba mendorong komunitas pesantren juga bisa keluar dari kepompong kulturalnya agar bisa menerima praktik-praktik kultural di luar lingkungannya. Ini tentu saja bukan metode yang tanpa risiko, sebab BE seperti mendorong kalangan pesantren untuk mengalami guncangan dan gegar budaya.
Tapi mungkin itu memang metode yang dibutuhkan untuk bisa mendorong orang keluar dari batas-batas fiksional tentang keutamaan-keutamaan kultural kelompoknya masing-masing berhadapan dengan hamparan ragam dan beda di luarnya. BE sendiri kemungkinan besar adalah orang yang pernah mengalami peristiwa guncangan kultural itu pada level personal, ketika ia mengalami bermacam-macam perjumpaan dengan berbaga tradisi di luar kehidupan para santri. Yang kemudian dilakukan BE adalah membuka lokawicara, ruang-ruang untuk berbincang, ber-halaqah, yang memungkinkan ragam dan beda itu saling bicara dan belajar saling menghormati. Perbincangan tentang bangsa, dengan demikian, oleh BE ditarik menjadi relevan kembali dengan kenyataan aktual bukan sekadar praktik intelektual.
Dari sekian banyak pertemuan dan obrolan santai selama bertahun-tahun saya mulai sedikit bisa memahami BE. Meskipun ia lahir, tumbuh dan terus hidup dengan nilai-nilai pesantren yang sangat kuat, tapi sejauh yang saya ingat BE tidak pernah menampakkan itu dalam perbincangan kami, dan Islam yang dibincangkannya kepada saya adalah Islam yang bagi saya selalu historis dan masuk akal, tidak terlampau elusif dipahami dari perspektif ilmu sosial yang saya baca. BE bahkan tidak segan meragukan pengetahuannya sendiri, sehingga ia seperti mengalami momen ketika cara berpikirnya mengarah kepada pikirannya sendiri, dan lantas melahirkan sikap skeptis tiada berpenghabisan. Mungkin ini jadi semacam sebuah momen yang mirip “lompatan keyakinan” Kierkegaardian mungkin juga bukan. Tapi meskipun demikian, saya jelas melihat bahwa tradisi membaca yang kuat yang membesarkannya di pesantren memberinya modal besar untuk juga sangat kuat membaca literatur-literatur ilmu sosial.
Secara terbalik ini juga bisa dibaca bahwa mungkin saja kombinasi antara bacaan-bacaan kitabiah dan ilmu-ilmu sosial itulah yang menghasilkan karakter unik BE dalam memahami dan menghayati Islam secara lebih rileks, kritis sekaligus jujur. Saya bisa bersikap rileks dalam beragama karena keterbatasan pemahaman atas skripsi-skripsi suci, sedangkan BE bersikap rileks justru karena hasil pergumulannya dalam dua tradisi yang sama kuatnya: ilmu-ilmu sosial dan tradisi pesantren. Yang satu rileks karena ignoransi yang lain rileks justru karena bermodal erudisi yang mumpuni.
Kami sering berdiskusi dari soal-soal remeh temeh seperti tanaman hias dan mobil-mobil VW milik BE, sampai yang terlampau muluk-muluk seperti tema kebudayaan atau filsafat, sehingga sering kali pada satu titik tertentu kami sama-sama mengalami kebingungan sendiri. Ketika momen itu terjadi, mas BE biasanya berkata “embuh piye, mengko ta golek neh jawabane” sambil terkekeh. Kalau pada pertemuan berikutnya dia sudah tahu jawabannya, dia biasanya langsung ngajak saya diskusi lagi. Begitu berulang-ulang, sehingga saya merasa saya sedang berhadapan dengan seorang pencari pengetahuan yang benar-benar tangguh. Tidak mudah lelah, berjarak sangat jauh dari kata menyerah. BE mungkin memang seperti mobil-mobil VW tua yang digemarinya itu. Sederhana, awet dan tidak mudah goyah.
Sikap tidak mudah lelah, bahkan cenderung keras kepala, itu pula yang saya lihat dalam langkah-langkah mas BE mengupayakan rekonsiliasi kultural antarkelompok warga di berbagai lokasi di Indonesia. Pembawaannya yang sangat ramah dan supel di balik pengetahuannya yang sangat luas, mungkin menjadi salah satu hal yang memudahkannya melakukan pendekatan kepada bermacam-macam pihak. Tapi kunci utamanya saya kira terletak pada sikapnya yang selalu gembira menghadapi perbedaan. BE tidak punya pretensi menundukkan yang berbeda melainkan mengajaknya berbagi ruang hidup sebagai sesama yang sederajat. BE sangat persisten dengan gagasan dan upayanya membangun jaringan kultural lintas-lokalitas, mengadakan perjamuan-perjamuan kecil di antara komunitas-komunitas yang berlainan yang sebelumnya mungkin tidak pernah saling bertemu. Ada cukup banyak lokasi yang pernah saya datangi di pelosok negeri ini, dan sebagiannya adalah wilayah-wilayah yang juga pernah didatangi mas BE. Dari orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya saya menangkap kesan sangat kuat tentang betapa BE telah membekaskan jejak yang cukup dalam pada mereka.
Ketika suatu hari di akhir tahun 2004 saya cerita kepada BE bahwa saya sudah memutuskan berhenti dari pekerjaan saya, BE tertawa sambil berkata bahwa dia juga sudah memutuskan hal yang sama: keluar dari pekerjaannya sebagai peneliti LIPI. Waktu itu saya masih punya sisa 20 tahun masa kerja sebagai pegawai tetap di sebuah lembaga internasional, BE mungkin juga masih punya belasan tahun sisa waktu sebagai pegawai negeri sipil di lembaga milik negara. Kami sekali lagi bertemu dalam keputusan dan pilihan hidup yang hampir serupa, meskipun dasar-dasar pertimbangannya dan apa yang akan dilakukan setelah pilihan itu diambil mungkin saja berbeda. Dalam beberapa hal saya mungkin tidak sejalan dengan pemikiran BE, tapi itu pula yang mungkin justru menjadikan kami tetap berkawan dekat.
Terakhir bertemu di acara selamatan khitanan salah satu cucunya beberapa tahun lalu, waktu itu saya melihat BE kondisinya jauh lebih ramping dan lebih segar. Saya masih sempat nanya soal mobil-mobil VW tuanya itu, tapi obrolan kami tidak bisa berpanjang-panjang karena BE harus menyambut kawan dan kerabat-kerabatnya yang lain. Sampai satu pagi beberapa minggu lalu, orang-orang mengabarkan bahwa BE telah pergi untuk selamanya. Saya sedikit kalang-kabut, dan beberapa saat tepekur di kursi di bawah pohon kecapi di halaman belakang rumah. Persahabatan kami belumlah terlalu lama benar, dan tiba-tiba harus berakhir oleh satu sebab yang terlalu pasti dan tidak bisa ditolak, kematian. Seperti kerang-kerang laut meninggalkan serakan cangkang yang cantik di pantai, BE pergi meninggalkan jejak-jejak yang indah dalam kenangan kita.
Dan dua mobil VW tua itu sekarang mungkin teronggok murung dan merindu. Tuannya yang baik sudah pergi. Selamat jalan Mas Bisri. Saya akan selalu mengenangmu dalam doa.