Mengenang Mudik yang Kini Dilarang
Tidak ada yang membantah bahwa puasa memiliki dimensi etis dan sosial yang sangat relevan bagi kehidupan modern. Selama ramadhan orang diajak untuk bisa mengendalikan diri, mengasah asketisme menghadapi problem sistemik yang makin berat. Pada sisi sosial, puasa melatih toleransi, menajamkan kepekaan sosial dan empati pada penderitaan sesama. Kalau empati sosial produk renungan filosofis muncul dari sebuah jarak antara subjek yang merenung dan objek yang mengalami penderitaan, kepedulian sosial kita selama ramadhan muncul dari pelibatan diri dalam perih luka menanggungkan lapar dan dahaga yang sehari-hari kerap dialami kaum papa.
Read More…Sosiologi
Museum Tsunami, Kota Banda Aceh. Foto oleh: Julianto Saputra (https://unsplash.com/photos/8Z0Q_K8I7Tc)
Hamburan informasi (visual, tekstual, dan audio) tentang bencana tsunami belakangan ini memberi impresi seolah sejarah Aceh sedang hendak ditulis ulang. Pekabaran media massa tentang tragedi ini benar-benar melahirkan horor di setiap kepala. Aceh kini mengalami sebuah disrupsi besar-besaran dalam seluruh dimensi. Begitu banyak korban, demikian banyak soal rumit yang harus diselesaikan. Puluhan ribu orang meninggal dalam hitungan hari, dan kemungkinan ribuan lain menyusul akibat komplikasi penyakit yang menyertai bencana tesebut.
Read More…Menyambut Imlek 17 tahun silam
Pada mulanya adalah warna kulit. Batas antara “yang sama” dan “yang lain” ditarik begitu tegas: aku “pribumi”, Indonesia asli, muslim, dan kau orang-orang keturunan, bukan asli, nonmuslim, nonpri. Kemudian kita ramai-ramai mendefinisikan dosa-dosa orang lain. Melalui KTP, atau surat keterangan lain. Dalam bisnis atau perhelatan-perhelatan politik, dan birokrasi yang gendut. Setelah itu proses-proses sejarah memunculkan pembedaan lain: aku miskin, kau kaya raya, aku papa sedangkan kau begitu berlimpah. Tanpa harus membaca Proudhon, aku tahu milikmu adalah hasil curian, hasil persekutuan sesat dengan kekuasaan yang menindasku. Dan karena itu, satu saat aku harus mencurinya kembali.
Read More…Politik
Banyak peristiwa konyol yang lewat begitu saja di wilayah panca indera kita belakangan ini. Orang ramai mengumpat kemacetan jalan-jalan raya di Jakarta, tapi ketika gubernur DKI memberi sebuah solusi dengan introduksi Busway, yang dilakukan banyak orang hanya memaki. Tapi di situlah letak soalnya, kalau kepentingan orang kaya terganggu, dan politik sudah terlalu lama identik dengan manipulasi.
Read More…Politik
Negara didaulat memiliki wewenang mutlak penguasaan atas mesin-mesin kekerasan yang paling menghancurkan, konkretnya militer, karena ia didirikan justru untuk memenuhi rasa aman warganya. Konkretnya, di tangan negara secara ideal orang membayangkan bahwa kekerasan tidak akan melela tanpa kendali. Penggunaan mesin kekerasan dalam perspektif semacam ini terutama ditujukan untuk kepentingan keselamatan warga dari kemungkinan ancaman kekerasan pihak lain.
Read More…Politik
Almarhum Nietzche menuding demokrasi tidak lebih dari “a mania of counting nose”. Nietzche mungkin terlampau berlebihan, tapi bukan berarti aforismanya itu sama sekali tidak relevan untuk konteks politik kita sekarang. Setelah tgl. 20 September 2004, eksistensi kita dalam demokrasi akan dikonversikan menjadi angka-angka. Ketika sudah menjadi barisan angka, rakyat pada dasarnya menjadi sebuah entitas yang sangat (trans)portable, bisa dibawa ke mana-mana, sangat mudah dimanipulasi menjadi tampilan grafik visual di layar TV atau pagina media cetak. Angka-angka statistik hasil sebuah Pemilu adalah bukti dukungan politik yang paling dipercaya dalam demokrasi.
Read More…Politik
Dalam Pemilu presiden putaran kedua, peluang pasangan Megawati/Muzadi dan Yudhoyono/Kalla bisa diasumsikan lebih kurang sama. Lantas apa yang harus dilakukan setelah kartu suara dicoblos, dan angka-angka kemenangan ditetapkan. Salah satu kelemahan kita sejauh ini adalah karena sebagian terbesar energi kita habiskan untuk mengurusi pemilu, seolah demokrasi melulu identik dengan itu. Sekarang, ketika pilihan yang tersisa hanya tinggal dua kandidat dan Golput, sudah saatnya fokus perhatian kita digeser pada proses demokrasi pasca Pemilu.
Read More…Politik
Sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan calon presiden dan wakil presiden secara definitif tgl 22 Mei 2004, pemeo Latin mens sana in corpore sano sudah harus dibaca secara kritis. Ungkapan “jiwa sehat dalam tubuh sehat” tersebut tampaknya telah mengimposisi nalar kita dengan sebuah commonsense bahwa, dalam konteks Pemilu presiden kali ini, hanya mereka yang fisiknya sempurnalah yang bisa jadi (calon) presiden. Artinya, commonsense seperti ini telah melahirkan cara berpikir yang potensial menjadi praktek diskriminasi seperti sinyalemen Komnas HAM tentang kasus Abdurahman Wahid.
Read More…Politik
Tahun 2004 ini, sebagian besar rakyat pemilih akan disergap kebingungan menghadapi Pemilu beberapa bulan ke depan. Bukan hanya karena Pemilu sekarang berlangsung dalam cara baru yang jauh lebih rumit, tapi terutama karena untuk pertamakalinya dalam periode enam tahun belakangan ini, kompetisi antara kekuatan lama dan baru akan muncul lebih terbuka dalam kontestasi politik formal.
Read More…Politik
Beberapa hal membuat banyak pihak mulai mencemaskan jalannya Pemilu yang akan datang. Jumlah partai peserta Pemilu kali ini memang lebih kecil dari jumlah kontestan tahun 1999 yang lalu. Tapi itu bukan berarti masalah yang akan kita hadapi menjadi lebih mudah. Problem kotak dan kertas suara, misalnya, bukan hanya menunjukkan tidak profesionalnya kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU), tapi juga dikhawatirkan akan merepotkan masyarakat pemilih. Tapi jauh-jauh hari, anggota KPU malah lebih sibuk dengan program sosialisasi ke luar negeri daripada membenahi banyak masalah ruwet infrastuktur pemilu di dalam negeri.
Read More…Sosiologi, Teknologi
Antara praktek politik dan praktek bisnis industri pasti bertaut kepentingan. Lebih dari itu, dalam banyak kasus di Indonesia, misalnya, baik pebisnis dalam industri maupun politisi dalam politik, keduanya memiliki tujuan akhir yang sering sama: kemakmuran ekonomis bagi dirinya. Industri mengerahkan modal raksasa untuk teknologi pemasaran dengan tujuan meraih keuntungan yang jauh lebih besar. Teorinya jelas: makin besar modal yang dikeluarkan, makin besar kemungkinan pasar bisa dikuasai, dan makin besar pula keuntungan yang diproyeksikan akan diraih. Metode konvensional yang paling banyak dipakai adalah melalui iklan. Dalam politik, kita juga sering mendengar kabar tentang begitu besarnya kapital yang harus dikerahkan oleh seorang politisi untuk mendapatkan dukungan politik dalam sebuah plebisit. Bedanya, kalau profit dalam industri mengindikasikan bisnis yang sehat, profit ekonomis yang ingin diraih politisi justru mengindikasikan politik yang sakit.
Sosiologi, Politik
Dari mana sebenarnya masa depan bermula? Di masa kanak-kanak kita, masa depan dikurung dalam kerangkeng pemahaman konseptual tentang cita-cita: harapan yang belum (tentu) datang. Tapi masa depan ternyata memang tidak lebih dari sekedar sebuah ide. Bagi peziarah kultural seperti Octavio Paz, misalnya, masa depan pada dasarnya bukanlah periode historis yang membentang dalam horison, sudah ada di sana dan, seperti gadis remaja yang belum disunting, menunggu kita mendatangi dan meminangnya dengan wajah gemilang. Sebaliknya, ia adalah sebuah konsep yang secara partikular diperkenalkan oleh modernitas. Tepatnya, ketika tradisi Judeo-Kristian masyarakat Eropa mengintervensi proses pemetaan sejarah sekular, dan menawarkan sebuah historisitas yang khas miliknya: sejarah sebagai sebuah rangkaian teleologis linear yang diderivasikan dari konsep-konsep biblikal. Ada awal yang bisa dilacak, dan akhir yang bisa dinubuat. Ada awal penciptaan, dan sorga sebagai sebuah akhir.
Read More…Sosiologi, Politik
Menjelang pemilu, wacana tentang ruang publik (public sphere) kembali relevan paling tidak karena beberapa alasan. Pertama, ruang publik terlanjur diidentikkan dengan proses pembentukan opini publik, dan opini publik dianggap penting karena diasumsikan bisa mendesakkan putusan-putusan politik. Dalam pemilu, idealnya program-program politik kontestan dibawa ke lingkar publik, dan dijadikan wacana terbuka untuk dievaluasi di dalam pasar suara pemilih. Pertanyaannya, bisakah publik mendesakkan perubahan politik melalui suara mereka dalam pemilu kali ini.
Read More…