Beberapa hal membuat banyak pihak mulai mencemaskan jalannya Pemilu yang akan datang. Jumlah partai peserta Pemilu kali ini memang lebih kecil dari jumlah kontestan tahun 1999 yang lalu. Tapi itu bukan berarti masalah yang akan kita hadapi menjadi lebih mudah. Problem kotak dan kertas suara, misalnya, bukan hanya menunjukkan tidak profesionalnya kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU), tapi juga dikhawatirkan akan merepotkan masyarakat pemilih. Tapi jauh-jauh hari, anggota KPU malah lebih sibuk dengan program sosialisasi ke luar negeri daripada membenahi banyak masalah ruwet infrastuktur pemilu di dalam negeri.
Semula Pemilu 2004 banyak diharapkan akan menjadi salah satu tonggak kemajuan demokrasi perwakilan. Banyak pihak berharap agar peristiwa tersebut bisa dijadikan momentum historis untuk menapaki lebih jauh proses transisi menuju demokrasi yang lebih rasional. Setelah enam tahun kekuasaan formal rezim Soeharto berakhir, dan rentetan penggantinya tidak satu pun sanggup memperbaiki kehidupan rakyat banyak, semula orang berharap bahwa melalui Pemilu 2004 nanti bisa dihasilkan sebuah tata pemerintahan yang jauh lebih baik. Karena itu tidak banyak yang keberatan ketika Pemilu mensyaratkan anggaran biaya yang sangat besar.
Akal Sehat Demokrasi
Idealnya, Pemilu tahun 2004 bisa dianggap sebagai sebuah momen sejarah untuk merayakan akal sehat demokrasi. Sebab kalau pemilu-pemilu terdahulu kita hanya diberi opsi memilih tanda gambar partai politik kontestan, sekarang kita juga diberi opsi memilih nama calon yang berkompetisi. Perkembangan tersebut paling tidak merefleksikan mulai tumbuhnya apresiasi terhadap tingkat kecerdasan politik masyarakat yang makin tinggi. Di samping itu, opsi semacam itu juga jelas merupakan salah satu peningkatan kualitas praktek demokrasi perwakilan, karena memilih langsung nama calon akan secara bertahap mengembangkan kemampuan nalar rakyat dalam menentukan pilihan wakil-wakilnya di parlemen.
Pemilu, dengan demikian, tidak lagi merupakan proses penetapan pilihan-pilihan asosiatif atas simbol-simbol seperti di jaman primitif, melainkan sebuah peristiwa melalui apa kita mempercayakan aspirasi politik kepada subjek-subjek yang kita kenal kualifikasinya. Idealnya, karena pilihan dijatuhkan kepada subjek-subjek yang dikenal, pertanggungjawaban politik setiap anggota legislatif kepada konstituennya juga menjadi relatif lebih jelas.
Salah satu konsekwensi logisnya adalah, anggota parlemen tidak lagi menjadi keledai helaan bagi suara partai politik yang mencalonkannya. Kalau itu terjadi, mereka akan benar-benar pantas menyandang predikat “wakil rakyat”. Logikanya, dalam demokrasi partai politik pada dasarnya hanya sebuah kendaraan politik, sehingga karena itu ia bukanlah entitas yang pantas untuk direpresentasikan oleh subjek-subjek anggota parlemen.
Pembalikan Logika
Tapi politik di Indonesia memang tidak pernah benar-benar disandarkan pada logika akal sehat. Belakangan dipastikan bahwa opsi memilih nama calon bukanlah kriteria keabsahan pilihan. Suara seorang pemilih baru dinyatakan absah jika atau ia memilih keduanya dari gambar partai dan nama calon, atau ia memilih gambar partai. Artinya, memilih nama calon tapi tanpa disertai coblosan pada tanda gambar dikategorikan tidak syah. Sebaliknya, orang boleh hanya memilih tanda gambar partai tanpa harus memilih nama calon. Kesimpulannya, nama calon bisa sepenuhnya diabaikan, tanpa pengaruh sedikit pun pada keabsahan suara pemilih.
Argumen standar tentang hal itu umumnya berkisar pada beberapa hal. Pertama, asumsi bahwa tidak semua rakyat pemilih memiliki kemampuan membaca. Kedua, kalau pun bisa membaca, memilih salah satu nama calon pilihan di antara deretan nama-nama calon lain akan memakan waktu lebih lama daripada sekedar memilih tanda gambar. Singkatnya, rakyat pemilih dianggap belum siap melakukan pilihan berdasarkan nalar.
Saya tidak punya data tentang berapa persisnya jumlah pemilih yang tidak melek baca dalam pemilu tahun ini. Dengan asumsi pendidikan nasional telah berlangsung puluhan tahun, cukup aman untuk membuat estimasi bahwa jumlah mereka pasti bukan mayoritas. Opsi menusuk tanda gambar partai dan nama calon legislatif saja sebenarnya tidaklah terlalu rumit, jika sosialisasinya dilakukan dengan baik. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi beberapa kesulitan yang mungkin timbul dari pemberian opsi seperti itu. Banyak pula orang-orang baik yang bisa dimintai bantuan untuk mengatasi masalah tersebut.
Klaim bahwa rakyat akan mengalami kebingungan dalam soal ini, sebenarnya lebih merupakan satu bentuk manipulasi politik yang menyembunyikan bukan hanya ketidakmampuan sosialisasi tapi juga fakta tidak nyambungnya komunikasi antara calon wakil rakyat itu dan konstitutennya. Manipulasi semacam ini telah makin menjauhkan Pemilu dari substansi sebuah perayaan akal sehat demokrasi.
Sebuah simbol visual, seperti tanda gambar partai, itu memang jauh lebih mudah dipahami orang banyak karena ia tidak membutuhkan tingkat pemahaman yang rumit. Ungkapan klasik a picture worth a thousand words dipakai untuk meyakinkan bahwa simbol-simbol piktorial akan sanggup meringkas sekian banyak informasi ke dalam satu format yang sangat sederhana. Simbol piktorial tidak menuntut logika, melainkan relasi konotatif dengan entitas yang direpresentasikannya. Manusia di goa-goa di zaman purba menggunakan simbol-simbol gambar untuk mendepiksikan informasi agar bisa dipahami oleh sesamanya.
Sistem-sistem operasi komputer modern menggunakan ikon-ikon kecil sebagai representasi dari jutaan kode rumit komputasi di baliknya. Nicolas Negroponte, misalnya, mengenang bahwa dengan temuan sistem operasi berbasis tampilan grafis seperti itu, hal pertama yang harus dilakukan terhadap buku petunjuk pemakaian komputer adalah justru membuangnya jauh-jauh. Singkatnya, simbol piktorial meniadakan keharusan menyediakan petunjuk yang rinci. Logika semacam inilah yang tampaknya dipakai oleh beberapa pengurus partai politik peserta Pemilu 2004 ini.
Tapi jangan dilupakan bahwa dibalik itu tersembunyi sebuah asumsi yang berbahaya: bahwa si penerima pesan komunikasi hanya memiliki tingkat intelektualitas sangat rendah. Lagi pula, memberikan suara di tempat pemungutan suara pasti tidaklah serumit menggunakan teknologi komputer. Dalam konteks pemilu kita nanti, itu artinya rakyat pemilih, tanpa kecuali, diasumsikan sebagai sederet jumlah manusia-manusia bodoh semata. Hewan-hewan primata di kebon binatang Ragunan konon memang akan lebih mudah memahami simbol visual daripada bahasa tertulis. Siapkah kita diasumsikan hanya secerdas mereka?
Mengembalikan tusukan tanda gambar sebagai penentu keabsahan suara pemilih, dengan demikian, sama saja dengan membetot kembali adab demokrasi kita ke tahap terendah ketika simbol piktorial dijadikan bahasa komunikasi (politik) yang lebih efektif daripada bahasa verbal.
Secara finansial, putusan untuk lebih mengutamakan pilihan atas lambang partai juga jelas telah memboroskan keuangan negara. Kalau nama-nama calon dalam kertas suara pada dasarnya bisa diabaikan oleh setiap pemilih, untuk apa KPU harus mencatumkannya dalam kertas suara? Pencatuman tersebut hanya menambah jumlah biaya pembuatan kartu suara, tapi untuk kebutuhan yang sebenarnya tidak pernah ada sama sekali. Demokrasi memang membutuhkan biaya besar, tapi tidak untuk putusan bodoh seperti ini.
Jakarta, 18 Februari 2004. Pernah dimuat dalam KoranTempo, 28 Februari 2004.