Politik
Almarhum Nietzche menuding demokrasi tidak lebih dari “a mania of counting nose”. Nietzche mungkin terlampau berlebihan, tapi bukan berarti aforismanya itu sama sekali tidak relevan untuk konteks politik kita sekarang. Setelah tgl. 20 September 2004, eksistensi kita dalam demokrasi akan dikonversikan menjadi angka-angka. Ketika sudah menjadi barisan angka, rakyat pada dasarnya menjadi sebuah entitas yang sangat (trans)portable, bisa dibawa ke mana-mana, sangat mudah dimanipulasi menjadi tampilan grafik visual di layar TV atau pagina media cetak. Angka-angka statistik hasil sebuah Pemilu adalah bukti dukungan politik yang paling dipercaya dalam demokrasi.
Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentu saja telah menorehkan sejarah baru yang patut dicermati baik-baik. Ia dipilih oleh lebih dari 60% total jumlah suara pemilih yang syah. Persentase tersebut merepresentasikan legitimasi politik dari puluhan juta penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, di seluruh titik geografis yang membentangi Sabang sampai Merauke. Artinya, sumber rujukan legitimasi politik tidak lagi sebatas simbolik, melainkan benar-benar saintifik, bisa dihitung, diverifikasi dan, karenanya, tidak bisa diragukan. Tampaknya bukan kebetulan pula bahwa SBY adalah presiden Indonesia pertama yang bisa memanfaatkan industri statistik, dan rekomendasi para ahli survey untuk meraih legitimasi.***
Di awal 1980an, Bud Tribble, seorang programer komputer di Amerika, menggunakan ungkapan “reality distortion field” untuk melukiskan kemampuan pemimpinnya meyakinkan dia bahwa proyek teknologi baru yang digagasnya, yang secara teknis mustahil dilakukan, itu bisa dikerjakan, dan ternyata memang telah membuahkan hasil yang cemerlang. Ungkapan tersebut lebih kurang merujuk pada kemampuan unik seseorang dalam mendorong kemampuan orang lain sampai di batas tertingginya, dan dengan cara itu ia sekaligus meyakinkan bahwa orang tersebut mampu mewujudkan sebuah gagasan yang kebolehjadian empirisnya sangat kecil. Pada titik ekstrem positifnya, kapasitas personal seperti itu sanggup menjadi penggerak kemajuan peradaban manusia seperti yang dilakukan oleh atasan Bud Tribble tadi. Tapi pada titik esktremnya yang lain, orang semacam itu potensial menjadi seorang halusionis politik, karena ia sanggup memberikan ilusi menyesatkan kepada khalayak yang mengaguminya seperti dilakukan para diktator akbar sepanjang sejarah manusia.
Kalau angka-angka statistik hasil pemilu kamarin itu bisa dipercaya, berarti SBY telah sanggup menghimpun semua sumberdaya untuk meyakinkan mayoritas populasi pemilih bahwa negeri ini membutuhkan perubahan. Kita akan melihat apakah ia juga memiliki kemampuan mengerahkan seluruh energi positif bangsa ini untuk mengerjakan proyek perubahan yang secara teknis benar-benar sangat sulit: memerangi korupsi, mengembalikan supremasi keadilan di bidang hukum, menghentikan pembusukan moral, dan membangun kembali perekonomian nasional di tengah perkembangan arsitektur perekonomian dunia. Pendeknya, membetot kita ke luar dari pusaran multikrisis berkepanjangan. Satu hal yang sudah berhasil dilakukannya sejauh ini adalah memompakan harapan besar bahwa peluang untuk itu kini terbuka lebar.
Tapi harapan yang terlalu besar akan serentak menjadi ilusi yang berlebihan. Segera setelah resmi dilantik sebagai presiden, SBY akan berhadapan dengan realitas obyektif yang tidak sejalan dengan harapan masyarakat. Mendekati lebaran, natal, dan tahun baru, misalnya, ia butuh formula khusus untuk bisa menjelaskan sekaligus meyakinkan rakyat bahwa kenaikan temporer harga-harga kebutuhan pokok sama sekali tidak menegasikan gagasan tentang trajektori perubahan yang dipasarkannya itu. Artinya, bagaimana ia bisa mengajak rakyat untuk secara bertahap melucuti selubung ilusi politik yang menyelimuti citra politik SBY sebagai pemimpin baru: bahwa perubahan bukan berarti harga-harga akan serta-merta menjadi lebih murah dan segalanya menjadi lebih mudah. Ia harus bisa membunyikan visi politik bahwa kita memilih perubahan bukan karena ia mudah tapi justru karena sangat sulit. Sebab bangsa yang tidak berani dan tidak punya ketabahan keras kepala menghadapi kesulitan besar ditakdirkan hanya akan menjadi pecundang sejarah.
Tanpa kesanggupan melakukan sendiri pelucutan ilusi politik, SBY akan mengulang kisah tragis pendahulunya: dihantam krisis legitimasi politik karena rakyat mengalami disilusi terhadap harapan yang dijanjikan. Disilusi politik akan berlangsung sangat cepat, jika SBY gagal memelopori sendiri upaya untuk mengubah potensi ilusif janji-janji politiknya itu menjadi kebijakan-kebijakan konkret yang bisa diterima akal sehat masyarakat. Singkatnya, bagaimana SBY sendiri mencegah dirinya menjadi seorang ilusionis politik yang hanya bertumpu pada kesanggupan presentasi diri dan topangan rezim statistik, itu akan sangat menentukan relasi antara dirinya dengan rakyat yang memberinya legitimasi politik. Janji tentang perubahan terbukti telah memikat hati mayoritas pemilih dalam Pemilu, tapi ia juga paling sulit diukur keberhasilannya. Ia mudah dijual tapi belum tentu mudah diterjemahkan ke dalam langkah-langkah politik yang sepadan.
SBY patut bersyukur bahwa ia muncul sebagai presiden di zaman yang lain. Salah satu hasil amandemen UUD 1945 menjadikan presiden tidak bisa dipecat hanya karena kesalahan kebijakan politiknya. Tapi munculnya disilusi rakyat terhadap pemimpinnya adalah awal dari remuknya legitimasi politik sebuah rezim, tidak peduli sekokoh apa pun ia ditopang oleh rekayasa statistik. Setelah jadi presiden, SBY memang tidak cukup hanya bersandar pada rekomendasi para ahli survey.
Jakarta, 18 Oktober 2004.
Pernah dimuat dalam KoranTempo, 21 Oktober 2004.