Wacana Kekerasan, Teror Politik

Politik



Share

“Blog

Negara didaulat memiliki wewenang mutlak penguasaan atas mesin-mesin kekerasan yang paling menghancurkan, konkretnya militer, karena ia didirikan justru untuk memenuhi rasa aman warganya. Konkretnya, di tangan negara secara ideal orang membayangkan bahwa kekerasan tidak akan melela tanpa kendali. Penggunaan mesin kekerasan dalam perspektif semacam ini terutama ditujukan untuk kepentingan keselamatan warga dari kemungkinan ancaman kekerasan pihak lain. Ketika dalam prakteknya bahkan negara pun sering menyalahgunakan otoritasnya tersebut, itu semakin menunjukkan bahwa mesin kekerasan memang niscaya merupakan bahaya di dalam dirinya sendiri, tidak peduli siapa pun yang diberi atau memiliki otoritas untuk menguasainya.

Di luar konteks negara, kekerasan sering digunakan sebagai sebuah instrumen pemaksa yang semena-mena. Cukup banyak pihak yang memiliki mesin-mesin kekerasan dalam bentuk gerombolan orang yang sengaja dibayar dan dilatih untuk melakukannya. Semua yang membaca koran atau nonton berita TV mengetahui betapa orang-orang semacam ini berubah menjadi mesin kekerasan dalam pengertian yang sebenarnya, karena mereka hanya menjalankan perintah. Tidak pernah berpikir, karena berpikir adalah proses yang secara diametral bertolak belakang dengan praktek kekerasan. Berpikir adalah musuh utama kekerasan.

Kekerasan tentu saja bukan hanya berbentuk praktek atau tindakan yang membawa akibat langsung pada fisik manusia atau objek fisik yang lain. Pada level yang jauh lebih subtil, kekerasan juga bisa bersifat simbolik (symbolic violence) yang justru bersembunyi di balik praktek-praktek yang secara fisik bisa saja sangat halus. Pelembagaan pendidikan dalam bentuk sekolah-sekolah klasikal, yang pada dasarnya menyembunyikan praktek pemeliharaan batas kelas, misalnya, juga bisa dipandang sebagai sebentuk kekerasan simbolik yang akibat-akibatnya bisa jauh lebih kompleks daripada kekerasan fisikal.

Untuk konteks politik kita saat ini, kekerasan mungkin bisa pula dilihat sebagai sebuah aktivitas produksi dan reproduksi, bukan hanya bentuk perversi atau aktualisasi dari dorongan psikologis individu atau kumpulan individu tertentu. Dengan demikian, ia bukan pelampiasan emosional, tapi justru sebuah upaya rasional untuk meraih tujuan yang spesifik. Ia bisa tampil dalam bentuk fisik, seperti bentuk-bentuk kekerasan yang memang sengaja dirancang untuk kepentingan tertentu oleh pihak tertentu pula, tapi juga bisa berbentuk serangkaian praktek-praktek penciptaan wacana tentang kekerasan yang secara terus menerus mendorong orang banyak melakukan preokupasi dengan wacana tersebut.

Karena merupakan aktivitas produksi, kekerasan sekarang memang tidak lebih dari sebuah komoditi. Artinya, ia akan dievaluasi di dalam pasar, diperjualbelikan seperti orang atau kelompok orang yang menawarkan jasa kekerasan fisik kepada pihak yang merasa membutuhkannya sebagai sebuah solusi-antara. Dalam konteks politik di Indonesia, model produksi kekerasan melalui praktek wacana menemukan salah satu ceruk pasarnya dalam setiap momentum politik yang krusial. Akibatnya, orang akan mudah sampai pada kesimpulan bahwa di Indonesia setiap momen politik pasti mengundang resiko keamanan yang sangat tinggi. Persis itulah bahaya dari produksi wacana tentang kekerasan, karena di dalam dirinya ia potensial mengakibatkan munculnya rasa tidak aman bagi warga. Rasa tidak aman adalah kesengsaraan dalam kehidupan masayarakat sebuah negara modern, sehingga wacana tentang kekerasan sebenarnya merupakan salah satu sumber kesengsaraan warga.

Teror

Teror kekerasan ternyata bisa muncul bukan hanya dari pihak yang potensial berbuat kekerasan, tapi juga dari mereka yang memposisikan dirinya sebagai pihak yang mengklaim dirinya berkepentingan mecegahnya.

Sebelum Pemilu 2004 yang lalu, misalnya, banyak pula pihak yang berspekulasi tentang kemungkinan besar akan terjadinya konflik dengan kekerasan di banyak tempat di Indonesia. Asumsinya sederhana, Pemilu 2004 adalah pemilu pertama yang dilakukan secara langsung, sehingga perbedaan aspirasi pilihan bisa menimbulkan gesekan politik yang lebih langsung pada level masyarakat. Logikanya, kalau dalam pemilu-pemilu sebelumnya saja banyak terjadi praktek kekerasan, apalagi dalam Pemilu 2004. Pemilu, dengan demikian, terlanjur diasumsikan sebagai momen politik yang secara inheren dipercaya niscaya menimbulkan kekerasan fisik.

Yayasan Interseksi, Jakarta,bersama beberapa lembaga mitranya melakukan sebuah riset aksi selama hampir satu tahun di empat daerah pascakonflik di Indonesia, untuk menguji akurasi prediksi politik orang Jakarta tentang kemungkinan terjadinya konflik dengan kekerasan selama pemilu tadi. Asumsinya, konflik bukan niscaya harus ditakuti, tapi justru harus dilawan dengan upaya-upaya damai. Temuannya, bertolak belakang dengan bayangan para komentator politik di Jakarta, di daerah-daerah pascakonflik justru banyak orang yang sama sekali tidak pernah membayangkan kalau pemilu akan menimbulkan konflik kekerasan baru. Gesekan-gesekan sosial kecil memang masih tetap muncul, tapi intensitas dan skalanya jauh lebih kecil daripada apa yang sebelumnya dibayangkan akan terjadi oleh orang di Jakarta.

Bisa dibayangkan berapa dana yang harus dikeluarkan untuk membiayai rasa aman yang terganggu hanya oleh bentuk-bentuk kekerasan yang sebenarnya hanya ada dalam kepala para komentator atau pengamat politik. Ironisnya, tidak satu pun dari mereka yang berani meminta maaf kepada publik. Mereka cukup aman berlindung di balik dalih bahwa wacana yang mereka kembangkan lebih merupakan sebuah peringatan (dini) terhadap kemungkinan pecahnya peristiwa kekerasan yang sebenarnya. Setelah itu mereka akan kembali memproduksi hal yang sama untuk momen politik yang berbeda. Tampaknya peringatan (dini) yang disampaikan itu lebih didasarkan pada impresi, tidak didukung data yang terpercaya.

Yang terbaru tentu saja adalah kekhawatiran tentang akan terjadinya konflik dengan kekerasan pada saat pemilihan kepala daerah. Orang kini mulai ramai diajak mencemaskan kemungkinan bahwa pada pertengahan tahun ini, di banyak daerah di Indonesia akan muncul kekerasan yang dipicu oleh pemilihan kepala daerah masing-masing. Asumsi dasarnya tetap sama, bahwa karena Pilkada kali ini merupakan yang pertama menggunakan sistem pemilihan langsung, potensi konflik antar elemen masyarakat pendukung masing-masing kandidat akan jauh lebih besar daripada biasanya. Kesimpulannya juga simplistis: bahwa kalau potensinya lebih besar, maka aktualisasinya juga pasti lebih besar.


Ignoransi

Berkembangnya wacana tentang potensi konflik yang penuh kekerasan pada setiap momen politik besar tentu saja ada gunanya sebagai bagian dari upaya pencegahan. Tapi produksi wacana semacam itu secara massal dan suksesif dalam media massa nasional, adalah hal lain sama sekali. Di samping itu, tanpa disadari setiap kemungkinan konflik secara serampangan direduksi menjadi bentrokan kekerasan.

Di atas itu semua, reproduksi wacana tentang kekerasan semacam itu pada dasarnya mengabaikan beberapa dinamik yang terus berlansung dalam masayarakat. Pertama, munculnya kelelahan sosial (social fatigue) dalam masyarakat-masyarakat yang dalam jangka waktu cukup lama telah menderita akibat konflik. Kelelahan yang sama juga bisa dialami oleh masyarakat-masyarakat lain yang tidak langsung mengalami konflik tapi sedikit banyak mengalami imbasnya.

Kedua, meningkatnya kesadaran kritis warga dalam memperhitungkan setiap momen politik. Bermacam-macam prakek busuk politik selama ini telah mendorong rakyat bersikap sangat pragmatis tapi sekaligus juga kritis. Mereka akan mengukur setiap kontestasi politik dengan standar kepentingannya sendiri. Karena itu politik uang, misalnya, mungkin efektif dilakukan pada level lembaga legislatif, tapi belum tentu efektif dalam konteks pemilihan langsung presiden dan kepala daerah.

Ketiga, munculnya upaya dari elemen-elemen masyarakat sipil untuk melawan konflik kekerasan dengan aksi-aksi atau praktek-praketk pemeliharaan perdamaian secara berkesinambungan. Keempat, yang sering dilupakan, kepentingan negara untuk memberi jaminan bahwa proyek-proyek politiknya berhasil dilaksanakan tanpa gangguan keamanan yang berarti. Ini bisa dalam bentuk penyuluhan kepada warga, pemberlakukan regulasi, atau pelibatan pasukan untuk mengeksekusi kebijakan pengamanan proyek politik tersebut. Dalam konteks ini, ancaman potensial kekerasan dihadapi dengan kekuatan produksi kekerasan yang lebih besar.

Kelima, dan ini yang paling merisaukan, momen politik pemilihan pemimpin politik baik tingkat nasional maupun daerah, itu niscaya dibayangkan sebagai proyek politik yang inheren mengandung bahaya kekerasan. Potensi konflik dalam sebuah kontestasi politik yang sebenarnya sangat wajar, mengalami dramatisasi di kepala para produsen wacana kekerasan sehingga terbentuk lingkaran kecemasan yang benar-benar menjengkelkan.

Jakarta, 27 Februari 2005.
Pernah dimuat dalam KoranTempo bulan Maret 2005. Tapi saya lupa mencatat tanggal persisnya.