Kampanye Massal, Ketidakhadiran (Ruang) Publik

Sosiologi, Politik



Share

Blog Picture

Menjelang pemilu, wacana tentang ruang publik (public sphere) kembali relevan paling tidak karena beberapa alasan. Pertama, ruang publik terlanjur diidentikkan dengan proses pembentukan opini publik, dan opini publik dianggap penting karena diasumsikan bisa mendesakkan putusan-putusan politik. Dalam pemilu, idealnya program-program politik kontestan dibawa ke lingkar publik, dan dijadikan wacana terbuka untuk dievaluasi di dalam pasar suara pemilih. Pertanyaannya, bisakah publik mendesakkan perubahan politik melalui suara mereka dalam pemilu kali ini.

Kedua, prosesi pemilu yang paling menarik perhatian adalah karnaval atau pawai kampanye parpol di tempat-tempat umum seperti jalan raya atau lapangan terbuka. Tempat-tempat seperti itu niscaya mengantarkan kita pada asosiasi konseptual tentang ruang publik. Dalam konteks semacam itu, wacana tentang ruang publik patut diangkat karena justru disitulah kita bisa mempersoalkan apakah eksistensi “publik” sebagai domain politik identik dengan kerumunan orang banyak yang berkumpul untuk sebuah agenda politik, atau ada kriteria-kriteria lain yang masih harus dipenuhi.

Konsepsi tentang ruang publik sebagai bagian dari tubuh sosial pertama-tama perlu dilihat dalam konteks yang spesifik masyarakat Barat terutama Eropa. Tempat-tempat seperti Agora di Yunani Kuno, balai kota di New England, taman kota, bahkan sudut-sudut jalan menjadi arena untuk melakukan debat-debat terbuka tentang masalah-masalah kemasyarakatan (Poster, 1995). Tempat-tempat tersebut, dalam kalimat lain, menjadi ruang bagi proses social intercourse.

Karena dilakukan terus-menerus, apa yang mendekati sebuah opini publik lambat laun mulai terbentuk. Opini publik, dengan demikian, bukan kumpulan pendapat yang bisa dibangun serentak seperti sebuah polling atau survey. Ia membutuhkan proses dan waktu, sehingga masyarakat menjadi makin memahami politik karena terlibat dalam wacana yang senantiasa dibangun dan dibagi bersama.

Ruang publik semacam itu tidak perlu dipercaya bisa benar-benar melibatkan semua orang tanpa kecuali. Opini yang dihasilkannya juga tidak pernah benar-benar sepenuhnya bisa mendeterminasi hasil-hasil putusan parlemen. Keutamaan ruang publik terletak pada fungsinya dalam pemeliharaan semangat berbeda pendapat (dissent). Tanpa itu, satu sistem demokrasi perwakilan pasti sedang berada dalam masalah besar.

Sebuah tempat menjadi ruang publik sama sekali bukan karena bentuk fisiknya, melainkan oleh diskusi dan isu-isu yang didiskusikan di dalamnya. Meskipun model-model ruang publik di Eropa masa lampau itu merupakan konsep spasial tapi penekanan konsep “ruang” atau “lingkar” (sphere) tidak harus melulu dirujuk pada konsepsi tentang tempat (place) fisikal, melainkan lebih pada kemungkinan produksi simbolik melalui debat publik oleh orang banyak. Ruang publik semacam ini muncul ketika orang berkumpul dan secara bersama-sama mendiskusikan isu-isu politik. Ketika tempat-tempat fisikal tadi semakin langka, media massa kemudian sering dianggap sebagai ruang publik baru yang bisa menjadi substitusinya.

Dua Gagasan Akademis

Studi tentang ruang publik yang dibentuk oleh media massa di Eropa, antara lain, dipelopori oleh sosiolog Prancis, Gabriel Tarde. Dalam konsepsi Tarde, eksistensi “publik” hanya mungkin bila ada fungsi dari teks atau wacana yang dibagi bersama (shared text), diterbitkan secara regular, dan bisa diakses oleh umum. Dengan demikian, konsep ruang publik a la Tarde diletakkan di atas dasar asumsi bahwa “publik” sebagai sebuah kategori eksistensinya dijelaskan oleh keberadaan wacana terbuka dalam ruang-ruang media massa.

Tokoh yang gagasan normatifnya tentang ruang publik paling banyak dirujuk tentu saja adalah Jürgen Habermas. Model historis Habermas adalah kedai-kedai kopi (café) dan salon di Eropa yang pernah menjadi pusat perdebatan warga pada abad 17 dan 18. Ia kemudian menempatkan model histrois tersebut menjadi tipe ideal bentuk-bentuk partisipasi dalam ruang publik yang dianggapnya tengah mengalami kemunduran pada abad 20. Ia sepenuhnya merasa yakin bahwa ruang publik (seharusnya) adalah satu-satunya ruang yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan negara.

Seperti Tarde, Habermas memberi tekanan kuat pada peran kritis media massa dalam pembentukan ruang publik. Ia secara tegas membedakan antara pers awal yang sangat kritis di satu pihak, dan media massa kontemporer yang lebih sibuk dengan komodifikasi berita di pihak lain. Pers yang kecil dan independen pada permulaan abad 17, dianggapnya merupakan organ yang benar-benar kritis dari masyarakat yang sedang terlibat dalam perdebatan kritis tentang isu-isu politik. Singkatnya pers, dalam bahasa Habermas (1989: 60), waktu itu benar-benar bisa menjadi pilar keempat demokrasi

Akan tetapi proses komersialisasi media massa dan perluasan intervensi negara telah membawa kita pada apa yang oleh Habermas (1989: 195-96) disebut sebagai satu bentuk “refeodalisasi” ruang publik. Satu hal patut segera dicatat: model ideal ruang publik Habermas sangat tipikal konsepsi kaum borjuis Eropa. Terlepas dari beberapa kelemahannya, Habermas ingin mengajak kita untuk merebut kembali, merevitalisasi ruang publik sebagai bagian dari tubuh sosial kita, agar esensi demokrasi bisa sedikit demi sedikit dimanifestasikan.

Publik dalam Kampanye?

Adakah pemilu kita nanti membuka peluang untuk revitalisasi ruang publik? Kalau ukuran normatif Habermas yang dipakai, tentu saja jawabannya negatif. Tapi pertumbuhan sebagian pers komersial kita yang semakin kritis saat ini, dan karena itu pula seringkali ia makin banyak dibaca, itu paling tidak memberi kita sebuah harapan bahwa kekuasaan bukan lagi sebuah wilayah yang hidup melulu untuk dan dalam dirinya sendiri. Komersialisasi adalah bagian tak terpisahkan dari industri media massa. Tapi bukan berarti ia bisa sepenuhnya melumpuhkan seluruh potensi kita berbuat baik bagi hidup kita sendiri.

Persoalan yang jauh lebih mencemaskan bagi kita sekarang adalah justru eksistensi publiknya itu sendiri. Masihkah kita punya publik kritis, kalau metode yang paling diandalkan dalam kampanye adalah arak-arakan massal? Dalam pawai kampanye yang hadir bukan publik dengan kriteria eksistensial berupa teks yang dibagi bersama seperti kriteria Tarde, bukan pula publik yang terdorong untuk mendiskusikan problem politik secara rasional mengatasi kepentingan pribadi atau golongannya seperti gambaran ideal Habermas, melainkan kelimun massa pendukung, para partisan yang lebur dalam histeria.

Para juru kampanye hanya mengajak mereka berpesta, bersorak untuk retorika, bukan berdebat kritis tentang politik. Kampanye pemilu, dengan demikian, tidak pernah diletakkan dalam perspektif lebih luas sebagai peluang untuk membentuk kerangka pemahaman kritis rakyat tentang politik, yang sangat penting artinya bagi masa depan politik bangsa, melainkan sebatas mobilisasi untuk tujuan jangka pendek perolehan suara.

Di lain pihak, debat kandidat malah akan dilakukan secara tertutup. Kalau pun disiarkan secara langsung melalui televisi, debat-debat semacam itu tetap saja hanya akan menjadi tontonan di antara sederet tontotan lain yang bisa jadi jauh lebih menarik. Televisi tidak pernah menuntut pemirsanya menjadi publik kritis, melainkan cukup sebagai penonton yang haus informasi dan hiburan. Bagi jutaan rakyat pemilih di jalan atau lapangan terbuka, yang ada hanya buih kata-kata juru kampanye, dan lenggak-lenggok penyanyi dangdut.

Jakarta, 11 Maret 2004. Pernah dimuat pada Koran Tempo, 13 Maret 2004.