Sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan calon presiden dan wakil presiden secara definitif tgl 22 Mei 2004, pemeo Latin mens sana in corpore sano sudah harus dibaca secara kritis. Ungkapan “jiwa sehat dalam tubuh sehat” tersebut tampaknya telah mengimposisi nalar kita dengan sebuah commonsense bahwa, dalam konteks Pemilu presiden kali ini, hanya mereka yang fisiknya sempurnalah yang bisa jadi (calon) presiden. Artinya, commonsense seperti ini telah melahirkan cara berpikir yang potensial menjadi praktek diskriminasi seperti sinyalemen Komnas HAM tentang kasus Abdurahman Wahid.
Padahal commonsense sama sekali bukanlah kebenaran di dalam dirinya sendiri. Ia adalah produk dari proses habituasi pikiran oleh sebuah makna dominan, sehingga pada dasarnya ia bisa digolongkan ke dalam praktek hegomoni. Dalam kerangka ini kita bisa memahami upaya perlawanan Wahid melalui kampanyenya di media massa: menunjukkan betapa orang yang secara fisik lemah atau bahkan cacat, terbukti mampu menjadi tokoh-tokoh berpengaruh dalam sejarah manusia. Artinya, tidak ada hubungan antara jiwa yang sehat, kalau kepemimpinan diasumsikan sebagai kemampuan rohani, itu dengan fisik yang sempurna. Pesannya: membatasi hak Wahid menjadi calon presiden adalah bentuk penganiayaan atau diskriminasi. Melalui cara itu Wahid, mungkin tanpa disadarinya sendiri, sedang membongkar kepercayaan kita pada commonsense dan kepatuhan kita pada hegemoni makna.
Distorsi Realitas
Perseteruan KPU dan Wahid belum akan berakhir. Kalau pun benar Wahid akan membawa masalah ini ke pengadilan, hampir tidak ada konsekwensi dan skenario politik baru yang besar pengaruhnya pada proses Pemilu. Sebab KPU tetap akan kukuh pada keyakinannya sendiri. Lantas, akankah Indonesia dicatat sejarah sebagai satu negeri yang melarang orang dengan disabilitas jadi calon presiden?
Apa yang sering dilupakan dari problema di atas adalah kecenderungan terjadinya beberapa distorsi realitas. Salah satu di antaranya adalah penyederhanaan isu seolah-olah yang terjadi melulu pertentangan antara Wahid dan KPU. Sejak jauh-jauh hari, Wahid selalu menarik masalah ini pada konteks personalnya, melalui tuduhan bahwa KPU sengaja ingin menjegalnya dalam bursa calon presiden. Selain terkesan mengada-ada, tuduhan semacam itu hanya mengaburkan peta persoalan yang sebenarnya.
Respon KPU juga tidak kalah cupetnya: menolak tuduhan Wahid tapi tidak pernah mempublikasikan isi lengkap surat keputusannya itu kepada publik agar bisa didiskusikan secara kritis. Sampai saat ini, misalnya, tidak banyak yang tahu apakah isi SK KPU itu hanya ditujukan bagi penyandang disabilitas penglihatan ataukah ia berlaku juga untuk segala jenis disablitas jasmani tanpa kecuali. Apakah pencalonan presiden di Indonesia memang tertutup bagi semua penyandang disabilitas?
Distorsi isu yang sama terjadi ketika sebagian kalangan menganjurkan Wahid menerima putusan KPU tanpa perlawanan. Padahal soalnya tidak terletak pada terus atau berhentinya pencalonan Wahid, melainkan adanya kepastian hukum tentang hak politik seluruh penyandang disablitas di Indonesia. Artinya, perkara hak dipilih warga negara penyandang disabilitas atau kaum difabel (different ability) perlu dipastikan, sedangkan kasus Wahid hanya salah satu sampelnya saja. Himbauan semacam itu, dengan demikian, sebangun dengan ajakan untuk melupakan soal fundamental dalam hidup bernegara: jaminan indiskriminasi negara terhadap warganya. Tidakah putusan KPU itu bisa menjadi preseden buruk ketika ada kandidat lain di masa depan yang juga menyandang ketidaksempurnaan fisik? Haruskah jiwa-jiwa agung yang mungkin muncul dihempaskan hanya karena disabilitas fisiknya?
Cara KPU menjustifikasi keputusannya juga cenderung menerbitkan kecurigaan: berlindung di balik argumen hasil pemeriksaan medis Ikatan Dokter Indonesia. Pertanyaan yang kemudian bisa diajukan adalah, mengapa untuk persyaratan lain KPU tidak meminta rujukan legitimasinya kepada otoritas lain yang terkait. Tentang hal ini, ada satir pahit yang luas beredar di kalangan para pendukung Wahid: mengapa KPU tidak minta rujukan Majelis Ulama untuk mengukur ketakwaan para kandidat kepada Tuhan yang mahaesa. Meskipun terdengar menggelikan, tapi lelucon tersebut benar-benar bisa mengguncang argumen bahwa KPU hanya melaksanakan Undang-Undang.
Dari inkonsistensi logika tadi, kita juga akan sulit memahami apa dan di mana sebenarnya posisi KPU. Kalau para kandidat presiden disamakan dengan para pelamar pekerjaan, rakyat pemilih adalah kumpulan orang yang akan memutuskan apakah para kandidat itu diterima atau tidak untuk posisi yang dilamarnya. Pertanyaannya, dari mana KPU mendapatkan hak untuk menolak seorang kandidat sebelum rakyatnya sendiri memilih?
Simplifikasi pekerjaan seorang presiden melalui beberapa analogi yang disampaikan oleh beberapa anggota KPU atau mereka yang mendukung putusannya juga sangat menyesatkan. Salah satunya adalah analogi tentang seorang pilot pesawat terbang. Dari analogi ini kemudian dipaksakan lahir sebuah asumsi bahwa seorang presiden harus memiliki indera penglihatan yang sempurna. Analogi seperti itu jelas memperlihatkan sebuah logika yang jungkirbalik. Kalau pilot dijadikan perumpamaan untuk seorang presiden, itu artinya ia bukan pilot yang sebenarnya melainkan sebatas sebuah umpama. Konsekwensi logisnya, penglihatan dalam konteks tersebut juga tidak lebih dari sebuah umpama. Pilot mutlak butuh penglihatan sempurna untuk mengendalikan gerak fisik pesawat. Presiden tidak mengendalikan gerak fisik sebuah bangsa sehingga, kalau perumpamaan tadi dibaca dengan benar, yang mutlak perlu dimilikinya adalah visi yang jelas tentang arah orientasi bangsanya. Visi politik seorang (calon) presiden jelas tidak ada hubungannya dengan indra penglihatan jasmani. Ketika penglihatan pilot dideduksikan secara harafiah menjadi indra penglihatan (calon presiden), jelas telah terjadi falasi logika.
Di samping itu, terjadi inkonsistensi tentang alasan kualifikasi pekerjaan. Argumen yang sering dipakai kurang lebih adalah: untuk setiap pekerjaan dibutuhkan syarat dan kualifikasi tertentu. Orang cacat memang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pekerjaan, tapi ada beberapa pekerjaan yang menuntut kesempurnaan panca indera. Katakanlah bahwa posisi presiden merupakan sebuah posisi pekerjaan seperti jenis-jenis pekerjaan lain. Lantas logika apa yang bisa dipakai untuk menerima kenyataan bahwa posisi pekerjaan paling prestisius di muka bumi ini hanya butuh ijazah SMA? Padahal untuk posisi seorang resepsionis di kantor-kantor di wilayah segitiga emas saat ini dibutuhkan ijazah S-1.
Obsesi Ragawi
Modernitas ditandai oleh bentuk-bentuk kontrol yang makin lengkap dan sistematis terhadap tubuh. Berkembanganya pengetahuan tentang tubuh mendorong lahirnya aneka bentuk pengendalian fisik manusia. Kemudian lahir aneka macam mitos yang bermuara pada obsesi atas kesempurnaan ragawi. Resikonya adalah berlangsungnya pemujaan pada penampilan fisik, seperti orang memuja bintang film atau biduan bukan karena kualitas aktingnya dalam memainkan sebuah peran atau suaranya, melainkan karena kecantikan atau ketampanannya. Singkatnya, orang akan lebih menghargai bentuk daripada substansi. Pada saat yang sama obsesi ini melahirkan rasa takut orang yang luar biasa pada kekurangsempurnaan fisik.
Implikasi kulturalnya, orang akan cenderung berusaha habis-habisan membuat bungkus atau kemasan tapi tidak memperhatikan isi. Ini menjelaskan mengapa dalam proses Pemilu kita saat ini, seluruh kontestan lebih sibuk mengemas penampilan ketika berkampanye daripada merumuskan program visional yang akan dikerjakannya. Konkretnya, para kandidat lebih sibuk mengasah retorika politik untuk mempercantik janji ketimbang benar-benar memikirkan agenda perubahan apa yang akan dilakukannya. Dalam cara yang sama kita bisa mempertanyakan mengapa sampai sekarang belum ada calon yang mengungkapkan rancangan struktur dan personalia kabinet yang akan dipimpinnya. Padahal rancangan seperti ini penting untuk melihat sejauhmana janji-janji kampanye politik seorang kandidat doable secara struktural.
Dalam konteks pencalonan presiden dan wakilnya, fenomen ini bisa dilihat dari beberapa argumen yang biasa dibangun tentang syarat kesempurnaan fisik seorang kandidat. Rakyat didorong untuk percaya bahwa untuk mengurus sebuah negeri dengan bentang geografis demikian besar, dan dengan problem krisis multidimensi yang begitu kompleks seperti Indonesia, itu dibutuhkan figur pimpinan yang fisiknya prima. Karena fisik prima berarti kemampuan prima. Lebih mengharukan lagi adalah argumen dalam editorial sebuah harian nasional bahwa kita tidak ingin presiden yang, karena disabilitas fisiknya, selalu menjadi bahan olok-olok. Kalimat seperti itu membuat kita tercekat mengetahui betapa rendahnya martabat kemanusiaan kita, dan betapa rendahnya hormat kita terhadap para penyandang disablitas selama ini.
Dari perseptif tersebut, KPU tampaknya memang terjebak ke dalam obsesi yang sama. Kalau kita menarik isu ini lebih luas, bukan sekedar sengketanya dengan Wahid, KPU seperti sedang ingin menyakinkan kita bahwa kandidat yang fisiknya tidak sempurna jauh lebih berbahaya daripada siapa pun. Karena itu, ia merasa perlu untuk menjustifikasi obsesinya itu dengan merujuk hasil pemeriksaan medis. Hasilnya, proses politik yang demikian panjang bisa dipangkas oleh putusan yang didasarkan pada sebentuk pengetahuan tentang tubuh. Kredo KPU, dengan demikian, sama dengan para artis debutan dalam industri hiburan: “kesempurnaan fisik lebih dahulu, kemampuan belakangan”.
Dihadapkan pada bukti historis bahwa kelemahan atau bahkan cacat fisik sama sekali tidak menghambat seseorang menjadi pemimpin yang baik, masyarakat membutuhkan penjelasan terbuka tentang alasan dibalik pembuatan SK KPU yang kontroversial tadi. Alasan prosedural bahwa KPU “hanya menjalankan Undang-undang”, itu adalah gaya khas birokrat yang sama sekali tidak cerdas. Kasus ini juga tidak bisa dilihat melulu sebagai sebuah perbedaan pendapat atau penafsiran atas Undang-undang antara KPU dan Wahid. Ini adalah sebuah problem relasi kekuasaan. Sebab sementara KPU memiliki kuasa untuk mengeksekusi pendapatnya menjadi sebuah produk politik yang mengikat, Wahid sama sekali tidak memiliki kuasa semacam itu. Pelanggaran HAM memang senantiasa muncul dalam relasi kuasa yang timpang.
KPU tentu saja sepenuhnya berhak membuat aturan main secara independen, tapi ketika aturan main tersebut membawa konsekwensi luas pada publik, ia wajib dijelaskan secara gamblang. Harus pula dijelaskan di mana sebenarnya posisi kategoris KPU dalam konteks hubungan antara para kandidat, partai politik, dan masyarakat calon pemilihnya. Ketika ia memiliki kewenangan untuk menolak calon resmi sebuah partai politik yang memenuhi persyaratan batas perolehan suara, sebelum rakyatnya sendiri menetapkan pilihan, tidakah itu merupakan satu bentuk perampokan bukan hanya hak sang kandidat melainkan juga hak politik rakyat?
Seperti isu militerisme, kasus Wahid kali ini semakin besar gaungnya. Tapi di luar sebagian kalangan NU dan Partai Kebangkitan Bangsa, tidak banyak orang yang menaruh perhatian serius pada masalah ini. Salah satu sebabnya kemungkinan besar adalah karena sosok Wahid sendiri yang eratik, kontroversial. Sebagian orang pasti menganggap Wahid memang tidak seharusnya ngotot karena era dia sudah berakhir. Tapi kenyataan seperti itu juga menjadi ujian bagi kita: sampai sejauhmana sebenarnya kita serius dengan cita-cita penghormatan pada hak asasi manusia? Ketika kita riuh berteriak tentang masa lalu kasus pelanggaran HAM salah seorang kandidat presiden, bisakah kita membiarkan (kemungkinan) pelanggaran yang sama dialami saat ini oleh seorang kandidat lain?
Sekali lagi isu ini bukan hanya menyangkut seorang Abdurrahman Wahid, melainkan semua warga negara yang, karena sebab-sebab di luar kehendaknya, mengalami nasib tidak seberuntung mereka yang sempurna fisiknya. Wahid mungkin pernah gagal menjadi seorang presiden, tapi haruskah karena itu negeri ini menjadi sebuah republik yang diobsesi oleh kesempurnaan ragawi belaka?
Jakarta, 23 Mei 2004 Pernah dimuat pada KoranTempo, 26 Mei 2004.