Banyak peristiwa konyol yang lewat begitu saja di wilayah panca indera kita belakangan ini. Orang ramai mengumpat kemacetan jalan-jalan raya di Jakarta, tapi ketika gubernur DKI memberi sebuah solusi dengan introduksi Busway, yang dilakukan banyak orang hanya memaki. Tapi di situlah letak soalnya, kalau kepentingan orang kaya terganggu, dan politik sudah terlalu lama identik dengan manipulasi.
Hal paling konyol tapi sekaligus paling menggeramkan tentu saja adalah berita tentang para calon anggota legislatif (Caleg) yang mencalonkan diri pada Pemilu 2004 ini. Setiap hari kita membaca kabar tentang mereka, setiap hari pula muka kita dibuat merah karenanya. Dari Pemilu ke Pemilu, selalu saja ada persoalan yang mendorong kita mempertanyakan itikad baik penyelenggaraan sebuah republik.
Di tengah begitu ramai orang berdiskusi tentang keutamaan Pemilu bagi perbaikan nasib bangsa--sebuah ilusi yang tentu saja terlalu berlebihan sebenarnya--, kita mendapat kabar bahwa sebagian dari para Caleg itu menderita sakit jiwa, sebagian lagi terindisikasi sebagai pelaku kriminal: pemalsu ijazah pendidikan. Dua hal ini seharusnya memang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya, sebab hanya orang tidak waras yang berani memalsukan ijazah untuk bisa menjadi calon anggota sebuah dewan legislatif yang (seharusnya) sangat terhormat.
Bukan Soal Moral
Para pengamat biasanya mencari jalan mudah dengan lari pada diskusi tentang moral. Penjelasan mereka tidak akan jauh dari tuduhan klasik, bahwa hal itu menunjukkan hancuranya moral atau bangkrutnya etika dalam masyarkat kita. Saya tidak tahu bagaimana mengukur kehancuran atau kebangkrutan seperti itu. Saya hanya tahu bahwa secara sederhana moral pada dasarnya adalah ajaran atau pengetahuan tentang baik dan buruk. Jadi tidak mungkin kalau mereka tidak tahu bahwa memalsukan ijazah itu merupakan hal yang buruk. Kalau sudah tahu buruk tapi masih juga dilakukan, itu sudah bukan lagi problem moral melainkan problem prilaku.
Dari kaca mata ilmu sosial, orang berprilaku baik tidak selalu hanya karena ia tahu tentang baik dan buruk, tapi bisa juga karena ada sistem penghargaan (reward), dan sanksi (punishment) yang tegas terhadap setiap prilaku buruk. Artinya, ada mekanisme sistemik yang memaksa seseorang untuk, tidak ada pilihan lain, berbuat baik kalau tidak ingin mendapatkan sanksi. Demikian pula sebaliknya, orang berbuat tidak baik tidak niscaya karena ia tidak tahu tentang baik dan buruk melainkan bisa karena sebab-sebab sosial yang lain. Pencegahan prilaku buruk dalam politik kenegaraan, dengan demikian, tidak bisa disandarkan pada itikad baik (moral) masing-masing individu seperti pernah dibayangkan oleh sebagian dari para pendiri republik ini.
Di samping itu, paling tidak menurut saya, penjelasan (berbau) moralis terlalu cepat mengundang rasa bosan. Ia menjadi sejenis vonis yang sudah terlanjur pasti, tanpa perlu penyelidikan yang jeli. Kalau setiap masalah dalam hidup kita selalu dicari rujukannya pada postulat-postulat moral, hidup akan tampak terlampau mudah diadili, dan kerontang. Sejarah tidak pernah mencatat ada satu masa ketika ajaran-ajaran moral bisa sepenuhnya diimplementasikan. Selalu saja ada pengingkaran. Dan yang lebih penting, kalau moral sudah hancur, mengapa ia masih harus dipakai acuan? Karena itu, mari kita melihatnya dari kaca mata lain.
Akal Sehat Sosial
Pada kasus ijazah palsu para Caleg, bukan hanya kualifikasi dan kewarasan mereka yang semakin meragukan, tapi kewarasan akal sehat kolektif kita juga berada dalam tanda tanya besar. Dari sekian juta rakyat yang berhak memilih dan dipilih dalam Pemilu, ke mana perginya mereka yang masih berjiwa sehat dan berijazah asli? Kalau setiap kali sebuah departemen pemerintahan membuka lowongan kerja ada ribuan pelamar cerdas dan waras berijazah asli, bagaimana menjelaskan fenomena begitu banyaknya kasus ijazah palsu (dan sakit jiwa) yang terjadi pada mereka yang melamar untuk menjadi Caleg dari partai politik?
Di tengah begitu besarnya jumlah pengangguran saat ini, kejadian semacam itu benar-benar sulit dicerna nalar sosial kolektif kita. Menjadi anggota dewan legislatif, tidak peduli pada tingkat mana pun itu, adalah sebuah peluang pekerjaan yang sulit ditandingi pekerjaan jenis apa pun. Bukan hanya karena jabatan itu menyediakan sumber-sumber kemakmuran berlimpahruah, tapi juga karena di dalamnya terbuka peluang untuk menjadi patriot negeri yang mulia berkilau-kilau.
Menjadi anggota DPR, dengan kalimat lain, sebenarnya sama dengan merengkuh kesempatan untuk secara langsung mengawinkan asketisme dan kelimpahan: dengan gaji bulanan dan tunjangan kesejahteraan yang melekat pada jabatannya, tanpa harus korupsi sama sekali, seorang anggota DPR sebenarnya sudah bisa hidup nyaman dan, kalau mereka cukup beradab, karena itu punya waktu untuk memikirkan nasib bangsa secara serius.
Lantas ke mana putra-putri terbaik negeri ini pergi, sampai segerombolan para pelamar lancung (dan sakit jiwa) bisa masuk dalam daftar Caleg yang diajukan partai politiknya masing-masing? Cukup jelas bahwa kalau kita menempatkan tugas legislatif sebagai sebuah pekerjaan profesional, ia tidak cukup mengundang minat orang-orang dengan kualifikasi terbaik. Dalam kalimat lain, ia cenderung dijauhi sebagian terbesar orang yang merasa dirinya masih waras, dan memiliki basis pendidikan formal yang bisa dipertanggungjawabkan.
Tapi apakah kaum sarjana berijazah asli yang bergopoh menjadi Caleg Parpol semuanya berkualifikasi rendah? Jawabannya benar-benar tidak mudah.
Pertanyaan berikutnya yang menarik bukan mengapa itu sampai terjadi. Sebab jawabannya hampir pasti: kalau sebuah jabatan atau pekerjaan tidak diminati lagi oleh orang-orang waras (dan cerdas) dan jujur, pasti ada yang sangat tidak beres dengan jabatan atau pekerjaan tersebut saat ini. Kalau anggota legislatif yang ada sekarang melupakan seluruh janji politik kepada konstituennya segera setelah mereka terpilih, tidakah itu merupakan indikasi bentuk ketidakwarasan: lupa ingatan.
Soal pelik yang harus dijawab justru adalah apa yang sesungguhnya ada di balik kenyataan tersebut. Dikaitkan ke dalam konteks yang lebih luas, fenomen seperti itu merefleksikan sebuah kenyataan pahit yang lain: praktek-pratek politik kenegaraan tetap saja menjadi sebuah domain yang tidak pernah benar-benar disadari sebagai bagian dari hidup rakyat sehari-hari. Itu berarti ada komunikasi politik yang senantiasa tidak nyambung, tidak klop antara para politisi Parpol dengan masyarakat yang diajak untuk memilihnya. Akibatnya, mengukur partisipasi publik dalam demokrasi menjadi sangat muskil. Bagaimana sebuah partisipasi bisa ditentukan kadarnya, ketika rakyat tidak pernah benar-benar merasa politik merepresentasikan kepentingannya sendiri?
Jelas bahwa ini bukan soal moral. Orang yang tidak waras secara medis tidak bisa diukur dengan standar moral. Tapi orang yang selalu ribut soal moral, belum tentu pula waras secara medis dan sosial.
Catatan: Tidak ada tanggal penulisan dan publikasi yang bisa dilacak dari tulisan ini. Ingatan saya juga tidak bisa membantu kapan dan dalam media massa mana artikel ini pernah dimuat.