Mengenang Mudik yang Kini Dilarang
- Hikmat Budiman |
- Pendiri, Peneliti Senior Yayasan Interseksi
Share
Tidak ada yang membantah bahwa puasa memiliki dimensi etis dan sosial yang sangat relevan bagi kehidupan modern. Selama ramadhan orang diajak untuk bisa mengendalikan diri, mengasah asketisme menghadapi problem sistemik yang makin berat. Pada sisi sosial, puasa melatih toleransi, menajamkan kepekaan sosial dan empati pada penderitaan sesama. Kalau empati sosial produk renungan filosofis muncul dari sebuah jarak antara subjek yang merenung dan objek yang mengalami penderitaan, kepedulian sosial kita selama ramadhan muncul dari pelibatan diri dalam perih luka menanggungkan lapar dan dahaga yang sehari-hari kerap dialami kaum papa.
Tapi dalam prakteknya, ritual puasa ramadhan, paling tidak di kota-kota, justru menampilkan dua sisi yang kontradiktif. Ia memang berhasil mengendalikan nafsu makan orang yang menjalankannya, tapi pada saat yang sama ia juga telah memicu luapan nafsu yang lain: hasrat konsumtif. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa selama ramadhan, orang bisa membelanjakan uang lebih besar dari bulan-bulan biasa. Pusat-pusat jual beli kebutuhan sehari-hari di perkotaan tidak lantas menjadi sepi karena orang tidak makan dan minum di siang hari, melainkan justru bertambah ramai didatangi konsumen.
Singkatnya, kalau kota adalah neraka tempat kerja menjadi penjelas utama eksistensi manusia, desa adalah firdaus yang damai dan sumber kebahagiaan…desa adalah tempat orang tua mereka tinggal… Bukankah syurga konon berada di bawah telapak kaki ibu? Kembali ke desa, dalam kalimat lain, adalah kembali ke kedamaian firdaus sekaligus proses rejuvenasi spiritual, dan rekreasi jiwa.
Kalau makan dan minum adalah pemenuhan kebutuhan biologis, aktivitas konsumtif dalam berbelanja adalah penyaluran impulsa-impulsa psikologis. Artinya, selama ramadhan yang terjadi adalah pengekangan biologis dibarengi oleh pelepasan psikologis. Ini menjelaskan mengapa setiap tahun ramadhan dan lebaran selalu ditandai oleh instabilitas harga-harga barang konsumsi. Luapan hasrat konsumtif itu tumpah ruah ketika jutaan orang bergerak bersama menyerbu kampung halaman saat mudik lebaran.
Geografi Kemiskinan
Jumlah pemudik tahun 2004 diperkirakan akan mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Data dari pemerintah DKI Jakarta, misalnya, menyebutkan bahwa prediksi kenaikan jumlah penumpang musim mudik tahun ini mencapai 2.257.675 orang. Selama masa mudik lebaran perputaran uang juga berlangsung sangat fantastis. Secara total diperkirakan para pemudik itu akan membelajakan uang dalam jumlah yang sangat besar. Ini mengindikasikan terjadinya pergerakan dalam perekonomian. Yang menjadi persoalan adalah karena sebagian terbesar angka perputaran tersebut terjadi di sektor konsumsi. Apakah ini merupakan sebuah gejala ekonomi yang sehat atu tidak, biarkan para ahli ekonomi yang membahasnya.
Tentu saja di mana pun di dunia, bukan hal aneh kalau masa libur panjang ditandai oleh pergerakan manusia dari satu titik geografis ke titik geografis lain. Orang Amerika atau Eropa juga masih banyak yang suka berbagi kebahagiaan bersama keluarganya di desa saat natal atau tahun baru. Tapi gerak serempak jutaan manusia dalam prosesi mudik lebaran di Indonesia jelas memiliki distingsi sosiologis yang sangat menonjol.
Konkretnya, mudik lebaran secara gamblang memperlihatkan bagaimana geografi kemakmuran dan kemiskinan yang nyaris tidak mengalami perubahan berarti selama beberapa dekade terakhir ini. Prosesi tersebut, dalam kalimat lain, adalah juga sebuah pekabaran pahit tentang makin lemahnya infrastruktur perekonomian di desa-desa akibat kebijakan pembangunan ekonomi nasional, sehingga ia tidak lagi memiliki kemampuan untuk menopang kehidupan masyarakatnya. Faktanya, arus terbesar pergerakan penduduk selama musim mudik lebaran berjalan satu arah, dari pusat-pusat produksi pembangunan ekonomi di kota-kota menuju kantong-kantong keterbelakangan, yang kemudian selalu ditandai oleh arus balik pergerakan penduduk dalam jumlah yang lebih besar dari kantong-kantong tersebut ke kota-kota pasca lebaran.
Meskipun tidak semua warga merayakannya, tapi mudik lebaran adalah sebuah peristiwa kultural tahunan terbesar di Indonesia. Apalagi, sejak tahun lalu pemerintah memberlakukan kebijakan cuti bersama selama hampir satu minggu.Tidak ada penjelasan skriptural tentang obligasi suci bagi setiap orang untuk pulang ke kampung halaman ketika puasa berakhir dan gema takbir bersahutan di setiap bubungan mesjid. Kemudian, kalau mudik juga bisa diasumsikan memberi beban ekonomis bagi pelakunya, mengapa setiap tahun jumlah pemudik selalu bertambah? Peristiwa tersebut memberi gambaran yang jelas tentang begitu besarnya gravitasi kultural keluarga dan tanah (kelahiran) dalam masyarakat kontemporer kita. Gravitasi semacan itu akan semakin membesar kalau orang mengalami diskrepansi sosial di tempat baru, akibat kehidupan kota yang tidak sepenuhnya mereka terima.
Nostalgia
Makna leksikal terdekat kata jadian “mudik” sebenarnya tidak lebih dari “menuju udik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), “udik” antara lain berarti desa, dusun, kampung (lawan kota). Karena itu, orang juga biasa memakai ungkapan “pulang kampung”. Udik memiliki konteks spesifik karena maknanya juga dijelaskan atau menjelaskan tempat yang ditinggalkan yang berkonotasi superlatif: kota.
Tapi “udik” dalam konteks mudik lebaran ternyata bukan hanya berkonotasi pada hal-hal yang secara sosial dan ekonomis inferior berhadapan dengan kota. Kalau lebaran bisa dianggap sebagai sebuah prosesi ritual melalui apa manusia yang menjalankan puasa ramadhan menjadi fitri kembali, ia merefleksikan sebuah konsepsi yang sangat unik dalam apa (jiwa) manusia diandaikan bisa kembali ke titik awal. Karena itu kita juga sering mendengar amsal bahwa pada saat Idul Fitri manusia secara spritual seperti bayi yang baru lahir. Bayi adalah perlambang jiwa yang suci, tanpa nila sehingga, mutatis mutandis, puasa juga bisa dimaknai sebagai rahim suci yang akan melahirkan manusia-manusia baru. Mungkin ini mirip konsepsi “renaissance”, tapi dalam konteks personal yang, sayangnya, tidak pernah memiliki implikasi sosial besar setelah lebaran lewat dan orang kembali ke rutinitas semula.
Prosesi mudik sebenarnya juga mengandaikan sebuah kesadaran atau konsepsi yang hampir sejalan. Udik sering secara romantis diandaikan sebagai kutub ekstrem yang lain yang kontras dengan kota. Bukan karena secara ekonomis ia berkonotasi pada kepapaan dan kemiskinan, atau karena secara sosiologis kota menjadi simbol kemajuan dan udik representasi keterbelakangan, melainkan karena secara psikologis ia sering melahirkan persepsi standar: bahwa udik atau desa adalah ruang dan waktu yang masih murni, belum dikotori oleh polusi peradaban kota yang dekaden. Meskipun secara ekonomis udik inferior vis a vis kota, secara moral dan spiritual banyak yang masih beranggapan bahwa desa superior. Ini adalah bentuk lain dari nostalgia yang khas menyertai proses modernisasi.
Singkatnya, kalau kota adalah neraka tempat kerja menjadi penjelas utama eksistensi manusia, desa adalah firdaus yang damai dan sumber kebahagiaan. Gambaran ilusif semacam itu ditopang oleh kenyataan bahwa bagi sebagian cukup besar pelaku mudik, desa adalah tempat orang tua mereka tinggal, dan sebagian waktu kecil mereka dilewatkan. Bukankah syurga konon berada di bawah telapak kaki ibu? Kembali ke desa, dalam kalimat lain, adalah kembali ke kedamaian firdaus sekaligus proses rejuvenasi spiritual, dan rekreasi jiwa.
Momentum mudik lebaran, dengan demikian, adalah proses pertemuan antara harapan yang dimaktub dalam postulat sakral tentang kelahiran kembali, dan nostalgia manusia-manusia modern yang diobsesi oleh kemurnian. Merayakannya orang memang pantas berhenti berproduksi dan berkonsentrasi pada konsumsi. Karena saat itulah kekangan berakhir, dan orang hanya butuh pelepasan psikologis untuk satu momen paling menggembirakan. Selamat Idul Fitri.
Jakarta, 7 November 2004
Pernah dimuat pada Koran Tempo, 13 November 2004.
BACA JUGA
Sosiologi | Teknologi
Sosiologi | Budaya
Sosiologi | Media