Imlek dan Gandrung Kita pada Timur

Menyambut Imlek 17 tahun silam

Share


“Blog

Pada mulanya adalah warna kulit. Batas antara “yang sama” dan “yang lain” ditarik begitu tegas: aku “pribumi”, Indonesia asli, muslim, dan kau orang-orang keturunan, bukan asli, nonmuslim, nonpri. Kemudian kita ramai-ramai mendefinisikan dosa-dosa orang lain. Melalui KTP, atau surat keterangan lain. Dalam bisnis atau perhelatan-perhelatan politik, dan birokrasi yang gendut. Setelah itu proses-proses sejarah memunculkan pembedaan lain: aku miskin, kau kaya raya, aku papa sedangkan kau begitu berlimpah. Tanpa harus membaca Proudhon, aku tahu milikmu adalah hasil curian, hasil persekutuan sesat dengan kekuasaan yang menindasku. Dan karena itu, satu saat aku harus mencurinya kembali.



Persoalannya kemudian adalah, kalau sikap anti-Cina itu melulu bersumber dari perbedaan warna kulit, asalusul historis, dan geografis, mengapa hal yang sama tidak terjadi pada warga keturunan lain?


Mengapa kewarganegaraan seakan berkait begitu saja dengan warna kulit? Mengapa Arief Budiman, misalnya, betapa pun orang percaya atas integritas pribadi dan kecintaannya pada Indonesia sulit ditandingi, tetap dianggap sebagai bukan pribumi asli, nonpri. Seakan karena itu seluruh upayanya untuk menjadikan negeri ini lebih baik, muspro belaka. Ada sekian banyak proses politik bersembunyi di balik itu, yang membetot kita pada pelbagai pertanyaan tentang asalusul historis orang atau kelompok orang. Ini adalah problem identitas-diri yang bukan semata bersifat kultural, ekonomi, dan politis, melainkan juga eksistensial. Beberapa dekade silam, tepatnya pada 1962, melalui Oxford Town Bob Dylan menggugat dengan lirik tegak lurus: Come to the door, he couldn't get in. All because of the color of his skin. What do you think about that, my friend? Dylan menulis lirik itu sebagai respons atas peristiwa kerusuhan rasial yang dipicu oleh kasus mahasiswa kulit hitam, James Meredith, di University of Mississippi.

Tentu saja ada banyak jawaban atas pertanyaan Dylan di atas. Tapi di Indonesia kita tidak bertemu dengan Meredith. Yang ada di sini dari satu era ke era berikutnya adalah kasus-kasus rasisme pada mereka yang dianggap berkulit kuning dan bermata sipit. Salah satu yang paling resen tentu saja adalah peristiwa rusuh rasial di bulan Mei 1998 lalu.

Diciptakan Secara Sosial

Dibandingkan dengan warga keturunan lain seperti India, Arab, Eropa, dan Amerika, warga etnis Tionghoa adalah kelompok masyarakat yang posisinya paling problematis di Indonesia. Mereka seperti berdiam dalam dua kemungkinan hidup yang bertolakbelakang: antara kemudahan meraih kemakmuran ekonomis (bagi sebagian dari mereka) di satu sisi, dan kemungkinan besar jadi kurban paling mengenaskan dalam banyak huruhara massal di sisi lain.

Banyak penjelasan tentang diskriminasi rasial terhadap warga Tionghoa di Indonesia. Tapi intinya, praktek semacam itu disepakati sebagai produk politik Orde Baru, sebuah rejim yang didirikan di atas landasan rawan: politik menciptakan dan memelihara ketegangan rasial, mengabaikan perbedaan melalui asimilasi sepihak. Singkatnya, heterogenitas tidak pernah dikembangkan menjadi sumber pembentukan masyarakat pluralis dan terbuka.

Mudah diduga bahwa terjadinya tindakan-tindakan biadab terhadap warga etnis Tionghoa berkait erat dengan konteks praktik kekuasaan rezim politik Orde Baru. Sebuah rezim yang didirikan di atas landasan rawan: politik menciptakan dan memelihara ketegangan rasial justru melalui serangkaian operasi upaya menutupi perbedaan, membiarkan potensi konflik dipendam tanpa penyelesaian terbuka. Oleh karena itu, kebersamaan seluruh rakyat makin tampak sebagai ‘unity of disunity’, kesatuan dari ketakbersatuan.

Persoalannya kemudian adalah, kalau sikap anti-Cina itu melulu bersumber dari perbedaan warna kulit, asalusul historis, dan geografis, mengapa hal yang sama tidak terjadi pada warga keturunan lain? Mengapa tidak pernah ada protes sosial antibule, anti-Arab atau anti-India, misalnya? Di lain pihak, bukankah rakyat yang diam di rangkaian kepulauan Nusantara memiliki sejarah panjang keterbukaan sikap terhadap para pendatang asing? Pertanyaan-pertanyaan ini akan membawa kita pada sebuah simpul hipotetik: sebagian rakyat membenci etnik Tionghoa bukan karena mereka Cina melainkan karena sebab-sebab sosial yang lain. Artinya, untuk konteks Indonesia saat ini, dikotomi antara pribumi dan nonpribumi (terutama etnis Tionghoa) tidak bisa lagi hanya dilihat sebagai sebuah realitas yang dengan sendirinya ada, melainkan lebih sebagai realitas yang secara sosial memang sengaja diciptakan (socially constructed reality).

Kebijakan tentang SARA yang selama ini kita kenal, misalnya, diberlakukan bukan dengan maksud agar sekian banyak perbedaan itu tidak menimbulkan konflik-konflik horisontal, melainkan bagaimana agar melalui itu proses komunikasi antar para penyandang perbedaan tadi tidak pernah bisa simetris. Konsep SARA justru menjadi batas yang secara definitif menjaga perbedaan-perbedaan tadi tetap terpelihara, dan mencegah dialog antar beragam perbedaan itu berlangsung secara alamiah. Tujuannya jelas, agar rezim penguasa bisa menciptakan ketegangan antar etnik yang secara kultural tetap bisa dikendalikan, dan sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan secara politis. Upaya ini secara sangat sophisticated ditopang oleh penekanan pemerintah atas penciptaan stabilitas nasional secara keseluruhan. Ancaman-ancaman disintegrasi bangsa menjadi argumen resmi untuk keperluan tersebut.

Kerukunan yang kemudian tercipta adalah satu bentuk pseudo-harmony, yang di dalamnya secara akumulatif tersimpan benih-benih konflik. Potensi-potensi konflik horisontal yang bisa dipelihara dengan baik sewaktu-waktu bisa digunakan untuk menggeser atau membelokkan arah ancaman konflik vertikal rakyat versus pemerintah. Dinyatakan secara langsung, rambu-rambu SARA telah secara sangat rapi menyembunyikan pelbagai manipulasi politik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Ada proses habituasi pikiran rakyat yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk membuat pikiran-pikiran dan langkah-langkah alternatif lain tentang pemecahan masalah antaretnik, terutama antara pribumi dan nonpribumi (istilah ini tetap saya gunakan sekadar untuk memudahkan diskusi) Cina, menjadi tidak mungkin. Kebijakan negara tentang SARA, misalnya, diberlakukan bukan untuk menyelesaikan relasi konfliktual dalam kemajemukan bangsa, melainkan malah menjadi cultural block yang justru menghambat komunikasi simetris antarpara penyandang perbedaan tadi.

Di lain pihak, kombinasi antara faktor ekonomi, diskriminasi sosial dan politik, dan preferensi religius sebagian besar warga Tionghoa, itu telah mendorong proses identifikasi secara bolak-balik, dari luar dan dari dalam. Dari luar, mereka diidentifikasi oleh orang-orang pribumi sebagai minoritas kaya, eksklusif, dan non muslim. Dari dalam etnis Tionghoa juga melakukan identifikasi melalui penemuan “other” yang mengacu pada mayoritas masyarakat di luarnya sebagai pribumi miskin, dominan secara politis dan sosial, dan muslim. Ini adalah proses penciptaan identitas yang beresiko besar bagi terjadinya tabrakan yang keras. Celakanya, konsep SARA dalam konteks tersebut justru melegitimasi proses-proses identifikasi semacam itu.

Dimanipulasi Secara Politis

Penciptaan distingsi pribumi dan nonpri, antara lain, tampak jelas dalam praktik ekslusi, pengucilan etnis Tionghoa dari dunia sosial masyarakat Indonesia. Orde Baru mengekslusikan etnis ini justru dengan memberi sebagian kecil dari mereka peluang yang begitu besar untuk meraih sukses di lapangan bisnis ekonomi. Mereka dibiarkan bahkan diberi fasilitas untuk tumbuh menjadi para kapitalis besar, sambil pada saat yang sama dicampakkan hak-hak sipilnya sebagai warga negara. Maka sekali pun berhasil membangun kerajaan-kerajaan bisnis ekonomi, secara sosial dan kultural mereka mengalami dislokasi spasial sehingga pada dasarnya mereka hanya menempati kasta terendah dalam strata kultural masyarakat yang ada. Artinya, warga etnik Tionghoa tidak lebih dari, meminjam bahasa Richard Robison, sekumpulan para kapitalis paria (pariah capitalists). Ketidaksimetrisan ekonomi muncul sejajar dengan ketimpangan rasial. Kapital ekonomi gagal meraih kapital kultural.

Strategi semacam itu dengan sendirinya telah memakan dua korban sekaligus: yakni mereka yang merasa pribumi dan nonpribumi. Dalam lapangan ekonomi, warga pribumi menjadi kurban untuk melambungkan sukses segelintir kapitalis paria melalui praktik-praktik bisnis yang mengundang kecurigaan rakyat banyak. Di lapangan politik, warga etnis Tionghoa dikurbankan justru agar kekuatan ekonomisnya tidak bisa menyediakan basis sosial bagi upaya-upaya perongrongan kekuasaan. Pribumi yang memiliki basis akar politik tapi tidak memiliki kekuatan ekonomi yang memadai, dan warga nonpri yang memiliki kekuatan ekonomi tapi mandul secara politis, sejauh tidak berhasil menggalang kekuatan bersama, keduanya adalah gerombolan massa yang dengan mudah bisa dikendalikan. Karena itu, menciptakan dan memilihara ketegangan laten di antara pribumi dan nonpribumi menjadi syarat penting untuk menciptakan kondisi yang senantiasa relatif stabil secara politis tapi yang justru menyembunyikan timbunan potensi konflik yang siap meledak.

Kondisi seperti itu diperparah oleh kenyataan bahwa mayoritas warga etnis Tionghoa memeluk agama yang berbeda dengan mayoritas pribumi muslim: Protestan atau Katolik atau Budha. Kombinasi antara sukses ekonomi, dislokasi spasial secara sosial dan politik, dan preferensi religius, itu telah membentuk sebuah proses identifikasi etnis Tionghoa secara bolak-balik, dari luar dan dari dalam. Dari luar, mereka diidentifikasi oleh orang-orang pribumi sebagai “yang lain”: minoritas orang kaya, cukong yang eksklusif, dan non muslim. Dari dalam warga etnis Tionghoa juga menciptakan proses identifikasi melalui penciptaan “otherness” yang khususnya mengacu pada lingkungan luarnya sebagai mayoritas miskin, berkuasa secara sosial, kultural, dan politik, dan muslim. Ini adalah proses penciptaan identitas yang memiliki resiko besar bagi terjadinya tabrakan satu dengan lainnya.

Praktik eksklusi di atas, paling tidak, telah memberi pemerintah Orde baru tiga hal penting. Pertama, pemisahan sosial politis antara warga nonpri dengan pribumi telah menjadikan posisi yang pertama senantiasa problematik dan rawan. Akibatnya mereka selalu memiliki ketergantungan politik kepada pemerintah. Ini membuka jalur bagi praktik-praktik kolusi antara pelaku bisnis nonpri dan penguasa politik pribumi. Kedua, kesenjangan ekonomi yang, secara politis, sengaja diciptakan telah menempatkan warga keturunan Cina sebagai objek yang selalu diawasi, senantiasa dicurigai dengan penuh cemburu oleh pribumi. Kemiskinan pribumi, dengan demikian, juga tidak bisa hanya dilihat sebagai sebuah realitas yang dengan sendirinya ada, melainkan sebuah realitas yang secara politik memang sengaja diciptakan. Ketiga, strategi pemiskinan pribumi secara kultural telah pula melahirkan sikap-sikap eksklusif warga etnis Tionghoa, dan menampatkan mereka pada posisi yang selalu harus menaruh curiga buruk terhada penduduk pribumi. Perpaduan tiga hal ini berhasil menjebak seluruh masyarakat Indonesia untuk selalu hidup dalam titik-titik potensi ketegangan sosial.

Politik penciptaan dan pemeliharaan ketegangan tadi, antara lain, dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru sebagai sebuah cara untuk melanggengkan kekuasaan. Konkretnya, ia bisa dipakai sebagai counter issues untuk mengalihkan arah tuntutan rakyat. Untuk menghindarkan tuntutan rakyat atas keharusan reformasi politik sebagai syarat utama agar bisa ke luar dari krisis ekonomi, misalnya, pernah ada skenario mengurbankan Sofian Wanandi, dan isu tentang permainan sekelompok kecil konglomerat nonpri yang dengan sengaja membuat bankrut ekonomi nasional. Apa yang kemudian tampak jelas adalah upaya untuk mereproduksi simpul-simpul ketegangan antaretnik dengan dua tujuan.

Pertama, beralihnya perhatian rakyat dari aktivitas politis menggugat dan mengguncang status quo kekuasaan ke potensi-potensi kebencian yang memang sengaja dibiarkan tanpa penyelesaian tadi. Kedua, mencari legitimasi untuk membenarkan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat justru dengan dalih karena rakyat telah melakukan pelbagai tindakan yang melanggar rambu-rambu SARA. Melalui cara ini pemerintah mencoba menghindari posisi berhadapan secara frontal dengan rakyat dalam konflik vertikal, karena bisa menimbulkan krisis legitimasi, tapi justru menghantamnya dari belakang melalui penciptaan konflik horisontal. Kita bersyukur bahwa skenario tersebut tidak bisa diteruskan. Tapi rasa syukur ini ternyata tidak berlangsung lama. Sebab dikotomi pribumi dan nonpri tetap mendudukkan warga etnis Tionghoa pada posisi yang sangat lemah sebagai minoritas vis a vis penduduk pribumi.

Prahara 14 Mei 1998 lalu adalah bukti akhir tentang bagaimana sebuah mekanisme politik manipulatif Orde Baru telah memangsa sekian banyak korban. Setelah itu kita juga bisa melihat adanya upaya mengalihkan isu-isu tuntutan reformasi kepada soal-soal lain di luar isu kekuasaan melalui reproduksi citra tentang kerusuhan. Melalui reproduksi citra itu pula, Orde Baru berusaha memberikan gambaran tentang betapa berbahayanya aksi-aksi reformasi bagi keselamatan bangsa, dan upaya pemulihan kondisi ekonomi nasional. Kekuasaan yang telah di ambang bankrut mencoba mengulur waktu kematian.

Rindu Kita pada Timur

Tapi apakah warga Tionghoa harus tetap dianggap sebagai bagian dari isu minoritas saat ini? Lagi pula, petaka yang menimpa warga Tionghoa tahun 1998 yang lalu, itu tidak bisa hanya dilihat sebagai problem rasial per se. Setelah Soeharto mundur, banyak hal berubah.Warga Tionghoa sekarang sudah bisa menjadi menteri atau anggota DPR yang sangat kritis, bukan hanya identik dengan cukong kaya dan pemain badminton. Setelah zaman keemasan Ivana Lie surut, kini kita menyaksikan era Alvien Lie yang berjaya dalam pelbagai manuver politik. Jumlahnya memang sedikit, tapi masih banyak etnik lain yang bahkan tidak pernah mendapatkan kedudukan politis terhormat seperti itu.

Di sisi lain, Imlek sudah beberapa tahun ini resmi menjadi hari raya nasional. Ia adalah hari raya kita bersama. Berbeda dari Tahun Baru Nasrani, Hijriyah, Waisak, atau Nyepi, Imlek tidak melekat secara spesifik pada agama tertentu. Tionghoa Islam, Kristen, Budha, Konghucu, semua merayakannya. Di Mall dan hotel-hotel, dan infotainment televisi ia disambut lebih antusias, dan dirayakan bahkan lebih meriah dari tahun baru Muharam—yang persis bersamaan dengan Suronan masyarakat Jawa. Tidak ada kelompok etnik lain yang secara nasional diakui memiliki ritual tahun barunya sendiri.

Berbagai praktek diskriminasi pasti masih terus terjadi, tapi hal yang sama, dalam bentuk-bentuk yang berbeda, juga dialami oleh kelompok warga yang lain. Warga Tionghoa mungkin diperlakukan diskriminatif ketika mengurus KTP di kelurahan. Tapi diskriminasi juga bisa dialami petugas kelurahan itu ketika ia hendak meminjam modal usaha di Bank, misalnya. Praktek diskriminasi bisa terjadi pada dan dilakukan oleh kedua belah pihak. Artinya, daripada melihat itu melulu sebagai isu kultural dan psikologis pribumi dan nonpri, jauh lebih masuk akal menempatkannya sebagai problem relasi kuasa yang lebih luas.

Pada konteks yang lebih besar, Cina sekarang justru persis berada di tengah pusaran arus recentering budaya-budaya pinggiran dalam budaya massa dunia. Ia menjadi bagian terpenting proses pemuasan kerinduan orang pada Timur. Kalau karya-karya seni sejak lama telah mempraktekkan sinkretisme melalui penyerapan ekspresi-ekspresi simbolik berbagai ranah budaya di dunia, budaya popular menarik praktek tersebut pada level yang jauh lebih luas, massal. Yang lebih menggembirakan, proses tersebut terutama terjadi pada generasi termuda dalam dekade kita saat ini.

Anak muda sekarang, Cina, Jawa, atau Mestizo, tidak lagi malu menjadi duplikat ikon-ikon budaya massa dari Hongkong atau Taipei, seperti dulu kita begitu bangga mengidentifikasikan diri dengan simbol-simbol budaya popular Amerika. Kelompok F-4 disambut sama antusiasnya dengan boy-band Amerika sekelas WestLife. Fery Salim dan Roger Danuarta menggantikan posisi ikonis Roy Marten dan Roby Sugara.

Tidak ada relasi satu arah dalam politik representasi budaya popular, melainkan melingkar-lingkar tanpa ujung. Bercampur total seperti darah yang mengaliri para idola layar kaca kita, menepiskan konsep kemurnian genetik atau asal-usul historis. Ia bisa bermula dari mana saja, dari New York, Tokyo, Bombay, atau Bangkok. Semuanya menyerbu masuk ke dalam spasi-spasi paling pribadi kita di ruang keluarga, kamar tidur, bahkan kamar mandi. Mengaduk-aduk wilayah persepsi kita tentang identitas.

Kalau persepsi tentang sebuah realitas pada dasarnya adalah realitas itu sendiri, persepsi kita tentang etnis Tionghoa sebagai bagian dari problem minoritas yang harus terus dibela itulah yang telah menempatkan mereka selalu pada posisi rawan. Persepsi semacam itu bisa terjebak pada kecenderungan terlalu membesar-besarkan isu tentang mereka. Padahal kepedulian yang terlampau sering diteriakkan akan cepat kehabisan tenaga, sulit dipercaya karena cepat jatuh menjadi slogan, dan lantas kempis di jalan.

Diskriminasi di negeri ini dialami oleh sembarang orang, tidak peduli itu Tionghoa atau Jawa atau Batak. Teruslah berjuang bersama, melawan. Gong Xi Fa Cai!

Jakarta, 22 Januari 2004.
Versi awal artikel ini pernah dimuat di Koran Tempo, 25 Januari 2004