Postscript Untuk Diskusi Forum Interseksi [*]
- Hikmat Budiman |
- The Japan Foundation, Jakarta
Share
Komunalisme sebagai Konsep
Apakah komunalisme adalah ancaman yang secara inheren memang berbahaya bagi upaya-upaya penguatan proses demokratisasi yang, dalam konteks Indonesia, baru saja dimulai sejak kekuasaan Suharto dipaksa berhenti? Kalau dipraasumsikan sebagai ancaman, konsekwensinya muncul asumsi berikutnya bahwa untuk memajukan demokrasi maka komunalisme pada titik terjauhnya harus disingkirkan. Asumsi-asumsi semacam itu tentu saja berpijak pada keyakinan (sesuatu yang sebenarnya tidak pantas menjadi landasan sebuah penelitian sosial yang baik) bahwa demokrasi mensyaratkan warga yang lebih mengutamakan aspek-aspek rasional dalam politik daripada unsur-unsur ikatan primordial. Di samping itu, modernisasi melalui pembangunan ekonomi, proses pendidikan modern, dan intensitas hubungan antar kelompok sosial dalam skala ruang yang jauh lebih luas selama ini diasumsikan akan mendorong orang semakin jauh meninggalkan ikatan-ikatan komunalnya menjadi sebuah bangsa di atas apa demokrasi bisa ditegakkan.
Masalahnya adalah semua pengandaian tersebut tidaklah sepenuhnya terbukti dalam kenyataan. Bukti-bukti dari berbagai peristiwa paling kontemporer memperlihatkan kepada kita bahwa alih-alih melemahkan apalagi meruntuhkan ikatan-ikatan lama tersebut, perkembangan dunia sosial yang didorong oleh kemajuan dalam perekonomian, hubungan antarmanusia, sains dan teknologi, itu dalam banyak kasus justru tampak melahirkan dorongan balik kepada semakin banyak orang untuk menguatkan kembali ikatan-ikatan tradisional. Ini seperti mengingatkan kita kepada Vilfredo Pareto, ekonom yang menulis risalah sosiologi dan bersimpati kepada fasisme Musolini, yang mengemukakan bahwa tindakan manusia pada dasarnya hanya meliputi residu (
residue--sentimen-sentimen tidak logis) dan derivasi
(derivation) untuk memberi legitimasi pada tindakan-tindakan tersebut setelahnya.
Singkatnya, menurut Pareto, kalau sumber-sumber sentimen tidak logis adalah X, dan teori (yang logis) tentang tindakan tertentu adalah Y, sedangkan tindakannya sendiri adalah Z, maka menurut Pareto X secara mandiri lebih berpengaruh terhadap Y dan Z daripada Y terhadap Z. Ini mungkin akan sedikit menjelaskan mengapa yang terjadi dalam masyarakat Indonesia saat ini adalah alihalih makin susut sentimen-sentimen komunal seperti etnisitas dan agama sekarang justru cenderung makin menguat dalam ruang-ruang demokrasi. Modernisasi pendidikan, pembangunan ekonomi nasional dan kemajuan transportasi yang menghubungkan berbagai lokasi geografis tidak lantas menghilangkan batas-batas kultural dan sentimen negatif antarkelompok sosial yang telah lama ada.
Isu-isu seperti komunalisme dan fundamentalisme adalah bagian dari arus besar modal, informasi, kriminalitas, narkotika, AIDS, teror, orang, dan gagasan intelektual dalam globalisasi. Untuk banyak hal isu-isu semacam itu tidak bisa dipisahkan dari dinamik pasar kapitalisme dunia. Menarik perhatian bahwa isu-isu ini sering menghasilkan reaksi balik cukup unik pada tingkat diskursif. Di Indonesia, setiap saat kita dituduh oleh Amerika, Inggris atau Singapura sebagai sarang teroris atau tempat persembunyian muslim fundamentalis, misalnya, respon kita senantiasa tampil dalam bentuk penjelasan bahwa "kita tidak selalu seperti itu". Kalau orang atau para ilmuwan sosial Eropa-Amerika menyebut orang Indonesia lemah, pemalas, konsumtif, tidak demokratis, respon kita adalah upaya untuk memberikan penjelasan historis sehingga kita bisa mengajukan argumen meyakinkan bahwa pada dasarnya kita tidak selamanya seperti itu.
Singkatnya, setiap kali kita berhadapan dengan tuduhan, kecurigaan atau kebencian pihak lain yang dipicu oleh stereotipe, nyaris secara instingtif respon kita selalu merupakan upaya, meminjam gagasan Fredric Jameson (1981),
"to always historicise", untuk selalu memberikan eksplanasi bahwa kalau pun kita seperti itu ada banyak alasan historis mengapa kita bisa seperti itu: kalau pun orang Indonesia malas dan konsumtif, atau kalau pun sebagian orang Islamnya cenderung fundamentalis, misalnya, itu semua bukanlah kejadian yang berdiri sendiri, melainkan memiliki akar yang menghunjam sangat dalam pada perjumpaan-perjumpaan kita dengan sejarah. Melalui cara itu pada dasarnya kita sedang berusaha merelatifkan segala hal secara kontekstual. Sejarah, dan itu berarti juga sejarah kolonialisme, dengan demikian, menjadi sebuah entitas yang tidak bisa dilampaui
(untranscendable), ia jadi horison mutlak setiap interpretasi.
Karena keterbatasan jangkauan pada data empirik, untuk kepentingan karangan singkat ini saya akan menghadapi komunalisme dalam dua cara yang saling berhubungan. Yang pertama, komunalisme akan diperlakukan sebagai sebuah konsep dalam teori sosial tentang kenyataan sosial, tapi bukan kenyataan sosial itu sendiri. Karangan ini berada pada posisi teoritis untuk menyatakan bahwa pada dasarnya bukan tidak mungkin ada masalah serius dengan komunalisme sebagai sebuah konsep. Cara yang kedua, komunalisme akan dibatasi sejauh mencakup manifestasinya dalam bentuk-bentuk kekerasan fisikal yang berakibat langsung pada kehidupan sosial. Sambil tetap menyadari problematik etimologis dan implikasi filosofis yang mungkin timbul, saya akan menggunakan istilah "radikal" dan "agresif" secara bergantian untuk merujuk bentuk-bentuk komunalisme yang memilih menggunakan kekerasan fisikal
vis à vis lingkungan di luarnya.
Kalau pun komunalisme tampil dalam bentuk fundamentalisme agama, misalnya, perhatian terutama diberikan bukan karena ia berusaha mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sosial, atau karena kecenderungan eksklusivisme relasi sosial dan purifikasi ajaran, melainkan karena dan sejauh kelompok-kelompok tersebut melakukan praktek-praktek kekerasan terhadap orang atau kelompok lain. Posisi politis saya kira-kira bisa dirumuskan dalam ungkapan klise bahwa orang boleh saja menjadi seorang fundamentalis, tidak demokratis atau bersikap anti demokrasi, tapi jangan pernah menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak. Karena itu, skandal besar demokrasi di zaman kita, yang bahkan jauh lebih memalukan daripada tragedi Socrates dalam demokrasi Athena di zaman Antik (Stone, 1991) , adalah ketika Amerika Serikat bahkan bisa membunuh ribuan rakyat sipil di Irak, Afganistan atau tempat-tempat lain justru dengan dalih penegakan demokrasi. Dua cara tadi dipakai tidak untuk menjawab komunalisme radikal sebagai problem sosial, melainkan lebih sebagai problem sosiologis. Kalau sebagai problem sosial komunalisme radikal adalah masalah yang harus dicarikan metode tepat untuk mengatasinya, sebagai problem sosiologis ia perlu dijelasan mengapa bisa terjadi.
Dalam teori sosial, komunalisme lebih kurang bisa dipahami sebagai produk dari proses identifikasi sosial dalam relasi-relasi sosial. Teori sosiologi Weber (1980: 91), misalnya, membedakan dua bentuk relasi sosial didasarkan pada orientasi tingkahlaku individu-individu dalam interaksi sosialnya menjadi komunalisasi dan agregasi. Komunalisasi adalah bentuk relasi-relasi sosial yang terjadi jika dan sejauh orientasi tingkahlaku individu-individu di dalamnya didasarkan pada rasa solidaritas. Artinya, ia dipahami lebih sebagai kecenderungan sosial yang dihasilkan dari ikatan tradisional atau emosional.
Di lain pihak, agregasi relasi sosial dihasilkan dari proses rekonsiliasi dan penyeimbangan kepentingan yang dimotivasi oleh value-judgment rasional atau pertimbangan akan kegunaan. Pembedaan yang sama bisa ditemukan dalam dikotomi Ferdinand Tönnies tentang
Gemeinschaft (komunitas) yang didasarkan pada kehendak alamiah
(Wessenwille) dengan apa individu memandang dirinya sebagai alat untuk mencapai tujuan kelompok , dan
Gesselschaft (asosiasi) yang didasarkan pada kehendak rasional
(Kürwille) atau kehendak arbitrer melalui apa individu melihat pengelompokan sosial sebagai cara untuk melanjutkan tujuan individualnya. Secara singkat, komunalisasi bisa dikembalikan pada status manusia sebagai
"homo sociologicus", sedangkan agregasi relasi sosial biasanya dikembalikan pada status kita sebagai
homo eoconomicus (Dahrendrof, 1968: 19-106)
. Menjadi jelas bahwa persepsi negatif tentang komunalisme muncul karena klaim rasionalitas senantiasa secara kategoris menempatkan hal-hal yang non dan irasional pada posisi inferior bahkan salah. Ke dalam bentuk-bentuk dikotomi konseptual tadi juga termasuk distingsi superlatif, yang satu secara kualitatif lebih tinggi dari yang lain, tentang modern dan tradisional. Ketika dikaitkan dengan klaim rasionalitas/modernitas, dalam prakteknya pembedaan tadi juga menghasilkan separasi antara Barat yang rasional dan modern, dan Timur yang tradisional dan tidak rasional.
[1] Bahaya komunalisme, pada konteks semacam itu, sebenarnya bisa dilihat dari kecenderungannya mengancam atau menolak status-quo tatanan yang dibangun oleh rasionalitas dengan mengembalikannya pada bentuk paling alamiah dari relasi-relasi sosial. Anggapan buruk tentang komunalisme, dengan kalimat lain, biasanya didasarkan pada pemahaman dan
judgement rasional tentang proses-proses identifikasi sosial ke dalam dan ke luar yang menghasilkan sentimen-sentimen dan tindakan-tindakan emotif
(afectual action) di antara para anggota kelompok komunal dalam relasinya dengan lingkungan di luar komunitasnya. Tentang problem indentifikasi sosial dan relasinya dengan komunalisme agresif akan dibahas pada bagian berikutnya dalam tulisan ini.
Untuk sekedar sebuah perbandingan, kalau nasionalisme, misalnya, secara sederhana bisa dirujuk sebagai paham yang berakar pada keterikatan orang pada bangsa, sebagai sejenis
"l'amour sacre de la patrie", dalam cara yang sama komunalisme bisa dilacak dari keterikatan orang pada
commune. Marx pernah mengajukan kehidupan komunal (saintifik), konkretnya masyarakat komunis, untuk menjawab problem ontologis dalam teori sosial tentang bagaimana kehidupan masyarakat setelah kapitalisme. Karena itu, paling tidak pada level gagasan, komunalisme merupakan alternatif paling kuat dari tatanan kapitalisme yang didasarkan pada gagasan kebebasan individu (liberalisme). Tapi obsesi Marx pada sorga kehidupan komunal di zaman primitif berbeda dengan apa yang sekarang saya maksud dengan komunalisme, terutama karena pada yang terakhir penekanan diberikan pada keterikatan dan ketundukan sejumlah orang di bawah nilai-nilai religius dalam relasinya dengan demokrasi dan demokratisasi. Komunalisme, sampai pada batas tersebut, hanya dipahami dalam konteks hadirnya makna yang dibagi bersama, boleh jadi bahkan sebuah pandangan dunia, oleh sekelompok orang karena ketundukan mereka pada satu agama formal yang sama. Konsekwensinya, bentuk-bentuk kehidupan komunal lain dalam komunitas-komunitas seperti Samin/Sedulur Sikep, Baduy, Sasak, Kubu dan Lubu, atau kelompok massa pendukung setia Megawati berada di luar kategori komunalisme yang dimaksud dalam karangan ini.
Satu hal yang juga penting dalam konteks komunitas bersendi agama adalah karena ia bisa menjadi satuan kecil tapi sekaligus juga sangat besar, bersifat transnasional, ketika terbentuk jaringan sosial dengan komunitas-komunitas sejenis di seluruh dunia. Komunalisme berbasis agama saat ini, dengan demikian, merupakan kombinasi antara
rootedness dalam arti ia memiliki akar yang menghunjam pada basis komunitas lokal, dan universalisme dalam konteks terdapatnya sebuah makna yang dibagi bersama oleh penghayat ajaran yang sama di seluruh dunia, dan klaim bahwa kebenaran di dalamnya berlaku bagi seluruh umat manusia tanpa kecuali. Karena itu, berbeda dengan ikatan-ikatan komunal berbasis etnik seperti Samin atau Baduy, klaim lokal dan global selalu problematis jika diterapkan dalam konteks komunitas keagamaan.
Perebutan Dominasi Simbolik:
Komunalisme dan Demokrasi
Menghadapi komunalisme sebagai sebuah konsep tentang kenyataan sosial bisa juga berarti memperlakukannya semata-mata sebagai bagian dari kecenderungan produksi wacana dalam diskusi-diskusi tentang pelbagai isu sosial. Dengan demikian komunalisme adalah sama dengan terma-terma lain yang sekarang begitu banyak diperbincangkan, dan disponsori oleh lembaga-lembaga dana internasional, seperti fundamentalisme, terorisme, radikalisme, pluralisme atau multikulturalisme. Semuanya menjadi terma-terma yang sangat
fashionable, dan perhatian kita terhadapnya cenderung digiring oleh sebuah keyakinan (ideologis) bahwa semuanya memiliki relasi, positif atau negatif, dengan demokrasi dan demokratisasi, dan tentu saja stabilitas pasar kapitalisme.
Debat tentang dan klasifikasi teoritis atas terma-terma tersebut bukan hanya, meminjam konsep Bourdieu tentang relasi seni dan sastra, perjuangan perebutan kata-kata, melainkan juga perebutan dominasi simbolik (Bourdieu, 1987:171). Di balik beberapa diskusi serius tentang terma-terma tadi, terdapat upaya-upaya sistematik untuk memenangkan kuasa atas penggunaan secara khusus kategori-kategori partikular tentang tanda-tanda dan, sebagai konsekwensinya, kuasa atas sebuah visi tentang dunia fisik dan dunia sosial. Dengan kerangka ini kita bisa memahami mengapa kutukan "teroris" bertubi-tubi datang kepada Imam Samudra dkk, tapi tanpa pernah dibarengi oleh kutukan yang sama kerasnya kepada pengusaha beberapa tempat hiburan di Bali (atau Jakarta) yang secara sangat rasis telah lama melarang masuk warga pribumi ke tempat yang dikelolanya. Atau tentang mengapa orang-orang kelas menengah begitu antusias dan hiruk-pikuk mengadakan malam seribu lilin dan bentuk-bentuk refleksi lain untuk mengekspresikan simpati atas korban
Bali bombing, tapi tidak satu pun lilin pernah dinyalakan untuk keprihatinan pada puluhan TKI yang mati mengenaskan di Nunukan.
Dalam kaitan dengan hal di atas, hampir tidak ada isu dalam ilmu sosial yang memiliki implikasi besar pada politik global yang tidak dilandasi kepentingan perebutan dominasi simbolik, kuasa atas sebuah visi tentang dunia, tentang bagaimana dunia harus dibentuk. Ketika berlangsung perang dingin, misalnya, sosiolog konservatif Amerika, Daniel Bell (1960), melontarkan isu tentang matinya ideologi (komunis) dalam bukunya yang bertajuk
The End of Ideology. Untuk kepentingan yang sama, ekonom Amerika W.W. Rostow menulis tentang tahap-tahap pertumbuhan ekonomi yang jadi acuan banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Kepentingan ideologisnya terbaca jelas dari anak kalimat judul bukunya,
The Stages of Growth, A Non Communist Manifesto. Ketika blok komunis Uni Soviet hanya tinggal reruntuhan kota mati, perhatian ilmu sosial digeser ke wilayah lain, Islam. Isu besar yang disebarkan ke seluruh dunia kali ini bukan tentang tabrakan ideologi (dengan kemenangan kapitalisme), melainkan tentang benturan antar peradaban dengan penekanan pada ancaman Islam terhadap peradaban Barat seperti dalam
The Clash of Civilizations yang ditulis Huntington.
[2] Pemahaman standar kita tentang dan pengunaan terma-terma tadi secara diskursif dibentuk oleh produk-produk intelektual Eropa-Amerika atau, dengan ungkapan yang berbeda, kolonialisme diskursif. Secara keseluruhan karangan ini juga memperlihatkan kesulitan saya mengatasi problematik produksi sosiologi di negara-negara poskolonial dalam relasinya dengan tradisi intelektual Eropa-Amerika.
Di lain pihak, tampaknya cukup beralasan untuk mengatakan bahwa manifestasi kekerasan yang diidentikan dengan komunalisme radikal menjadi perhatian karena ia senantiasa dihadapkan dengan demokrasi dan agenda-agenda demokratisasi. Tanpa melalui sebuah penyelidikan mendalam bisa dikemukakan bahwa meskipun jumlah korban dan peristiwa kekerasan dalam kriminalitas atau perang (antar negara) secara kumulatif pasti jauh lebih besar, tapi kekerasan dalam kasus-kasus seperti itu jarang menjadi problem yang dianggap langsung berhubungan dengan proyek demokratisasi. Konkretnya, keberatan terhadap Laskar Jihad atau Laskar Kristus Raja, untuk menyebut dua contoh termudah, terutama karena dalam prakteknya relasi-relasi sosial mereka bersifat agresif satu terhadap yang lain, sehingga eksistensi kelompok-kelompok semacam itu dianggap tidak kompatibel dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Komunalisme secara apriori dianggap buruk karena sementara demokrasi mengandaikan adanya penghormatan pada perbedaan, komunalisme cenderung dianggap anti perbedaan dan secara sosial menciptakan pembedaan (distingsi) dengan anggota masyarakat lainnya.
Melawankan komunalisme dengan demokrasi, di sisi lain, merupakan sebuah cara untuk menghitung kemungkinan politik dari proses negosiasi antara cara hidup sehari-hari sebuah kelompok masyarakat dengan sebuah mekanisme sistemik sebuah pemerintahan yang jauh lebih besar. Komunalisme agresif, dalam kerangka tersebut, diasumsikan sebagai sejenis gangguan bagi demokrasi karena pengunaan metode-metode yang secara diametral berbeda bahkan berlawanan dengan metode-metode demokrasi dalam menghadapi kondisi-kondisi sosial politik. Komunalisme dianggap sebagai antiheterotopia, sedangkan demokrasi justru merayakannya.
Bahaya dari asumsi-asumsi seperti itu adalah karena selain telah mengabaikan kontribusi positif komunalisme bagi pengembangan demokrasi, di dalam dirinya sendiri ia mengingkari bahwa demokrasi juga melibatkan proses merebut kuasa dan dominasi di dunia simbolik, memenangkan kuasa atas visi tentang trajektori politik yang harus diikuti. Di samping itu, demokrasi juga sama-sama menciptakan "other", dan memberlakukan normalisasi: bahwa perbedaan diterima sejauh tidak ke luar dari batas-batas normatif demokrasi; bahwa orang bebas berbuat apa saja sejauh tidak melanggar aturan demokrasi. Dengan kalimat yang berbeda bisa dikatakan bahwa demokrasi juga menyembunyikan praktek-praktek dan bentuk-bentuk kekerasan yang lain. Tapi saya tidak sedang dalam posisi untuk mempersoalkan hal itu lebih jauh.
Indonesia, Setelah Sebuah Orde Habis
Membayangkan bangsa hari-hari ini sering merupakan sebuah perisiwa yang menjemukan. Setelah sebuah periode lewat di bawah otoritarianisme, kita persis sedang mengalami pecahnya sebuah utopia besar menjadi keping-keping kecil yang saling berebut kedaulatan. Menyusul kemerdekaan Timor-Timur, di Aceh, Papua, dan Riau orang ramai mengasah kembali ingatan sekaligus memacu harapan besar tentang sebuah bangsa baru. Kita sedang menyaksikan pendulum sejarah bergerak dari esktrem yang satu ke ekstrem yang lain: dari sebuah
pseudo-harmony a la Orde Baru ke
unity of disunity kelompok-kelompok sosial dan etnis di era kita sekarang; dari penekanan pada
“tunggal ika” dengan sedikit atau bahkan tanpa toleransi atas perbedaan ke penekanan ke-“
bhinneka"-an dengan integrasi nasional yang sedang terus-menerus dipertanyakan.
Robohnya kekuasaan formal Seoharto membuka lebar-lebar peluang bagi proses revaluasi masyarakat atas banyak hal yang sebelumnya dianggap benar dan dipertahankan melalui cara-cara represif dan militeristik. Pada level politik tumbuhnya institusi-institusi partai politik baru menjadi indikator perubahan yang paling mudah dilihat. Munculnya pers bebas telah membuka kanal-kanal informasi dari belenggu kontrol politik, membuka ruang-ruang bagi kritisisme sosial. Teknologi internet, misalnya, memungkinkan ruang-ruang sosial baru itu (secara mental) didatangi dan dipakai untuk membangun dan meremajakan relasi-relasi sosial baru. Keberadaan pers bebas menyediakan peluang bagi apa yang, dalam visi konservatif dan elitis Jürgen Habermas (1989), bisa disebut revitalisasi ruang publik melalui apa orang bisa berdebat dan menciptakan wacana politik secara terbuka tanpa intervensi dan restriksi politik negara. Produksi wacana politik yang terbuka, bebas, dan rasional dalam ruang publik merupakan bagian dari aksi-aksi emansipatoris ke arah proyek komunikasi bebas distorsi, demokrasi radikal impian utopis Habermas yang, pada level konseptual, bisa menjadi alternatif cukup meyakinkan dari konsepsi Marxian tentang kerja sebagai kriteria utama untuk menjelaskan basis eksistensial manusia.
Kita bisa menemukan pelbagai kelemahan ide normatif Habermas tentang ruang publik bahkan dari basis asumsi yang dipakainya, tapi untuk keperluan tulisan ini cukuplah dikatakan bahwa dalam konteks Indonesia setelah Soeharto, kondisi-kondisi seperti itu memberi impresi bahwa beban penderitaan rakyat akibat kehancuran ekonomi nasional seolah mendapatkan substitusi psikologisnya dalam arena politik. Namun pada sisi yang lain, kita juga sudah lama menyaksikan berlangsungnya pembelokan energi-energi libidinal ke dalam ranah politik dalam bentuk praktek-praktek kekuasan, dan munculnya individu-individu pelaku politik yang demikian rakus, kotor, juga korup melela ke segala sektor, seperti luapan berahi tanpa katup. Setelah periode kolonial Eropa, kalau pada wilayah ekonomi global kita bisa membicarakan kolonialisme baru dengan merujuk pada bentuk-bentuk dominasi ekonomi oleh firma-firma multi dan transnasional dalam globalisasi, di arena politik ekonomi nasional pada dasarnya kita juga bisa melihat dengan jelas berlangsungnya apa yang belakangan ini disebut
endo-colonialism (Birch, Shirato, dan Srivastava, 2001: 48). Ini adalah bentuk kolonialisme di negara-negara poskolonial yang ditujukan ke dalam, dilakukan oleh dan diarahkan kepada bangsa sendiri.
Dalam terang gejolak sosial, ekonomi, politik seperti itulah proses-proses komunalisasi relasi-relasi sosial dalam masyarakat kembali menguat mengambil manfaat dari momentum keterbukaan politik. Bersandar pada pengakuan dan jaminan atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat dalam demokrasi politik yang baru saja dimulai, sambil memperjuangkan kepentingan politiknya sendiri para penganjur komunalisasi berbasis agama melakukan mobilisasi makna melalui artikulasi konsep-konsep keagamaan untuk mempromosikan sebuah alternatif tatanan masyarakat. Sampai di sini menguatnya kembali komanalisme antara lain bisa dilihat sebagai salah satu konsekwensi dari pilihan atas demokrasi untuk menggantikan otoritarianisme.
Klaim Ganda Sebuah Utopia,
Bangsa sebagai Proyek Kekerasan
Saya sering terperangkap membayangkan proses kita menjadi bangsa sebagiannya merupakan proses denaturalisasi dalam arti terlucutinya ilusi-ilusi lama tentang kehidupan komunal dengan alam sebagai kuasa yang tidak bisa dilampaui, untuk sebuah soal yang diasumsikan jauh lebih besar sekaligus lebih penting: kepentingan rasional untuk ke luar dari apa yang oleh Sutan Takdir Alisjahbana disebut zaman
"jahiliyah prae-Indonesia" (Alisjahbana, 1986). Kepentingan rasional untuk melakukan penjarakan
(detachment) dengan alam agar politik bisa disikapi secara objektif, lepas dari mitisme, dan kolonialisme bisa lebih efektif dilawan. Dinyatakan dalam kalimat lain, menjadi bangsa sering harus pula berarti proses peluruhan komunalisme ke dalam wadah nasionalisme. Padahal kita tahu apa yang dimaksud Sutan Takdir dengan zaman jahiliyah prae-Indonesia adalah ungkapan lain untuk apa yang di Eropa disebut zaman kegelapan abad pertengahan. Ke luar dari zaman itu berarti kita memasuki era Pencerahan
(Aufklarung), melepaskan diri dari belenggu irasionalitas, merayakan modernitas. Dalam kalimat-kalimatnya yang deras dan terang, Takdir berseru mengajak orang-orang pada zamannya untuk menanggalkan selubung mitos dari setiap glorifikasi sejarah masa lampau, sebab dalam pandangannya hanya dengan cara itu Indonesia bisa meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan bangsa, menolak kolonialisme asing dengan metode-metode rasional.
Pada gagasan-gagasan prismatik Takdir tentang (manusia) Indonesia modern kita melihat reinkarnasi gagasan-gagasan para filsuf Eropa abad 18 tentang manusia baru, manusia pencerahan, bukan saja karena sampai akhir hayatnya Takdir sendiri suka menyebut dirinya manusia Renaissance, melainkan terutama karena keyakinannya bahwa kesatuan rasio dan kebebasan harus menjadi kriteria utama untuk memerikan tatanan sosial, politik, kebudayaan, dan sejarah sebagai objek kajian rasional. Bagi Takdir, Barat modern bukan lagi merupakan kategori geografis dan temporal, melainkan sebuah kategori psikologis. Belanda, Eropa, dan Barat menjadi apa yang oleh Ashis Nandy (1983) disebut
"the intimate enemy" , musuh yang secara psikologis justru begitu dekat, sehingga upaya-upaya perlawanan terhadapnya juga diletakkan di atas dasar-dasar kedekatan tersebut. Semangat anti-kolonialisme konvensional a la Takdir, dengan demikian, pada dasarnya adalah sebuah apologia untuk berlangsungnya kolonisasi pikiran yang akibat-akibatnya terus kita rasakan sampai sekarang.
Merujuk pada spektrum pemikiran klasik Weber tentang rasionalisasi, yang di dalamnya juga mencakup terbentuknya negara modern dan perluasan serta diferensiasi ekonomi kapitalis, misalnya, proses peluruhan itu merupakan bagian dari apa yang dengan getir ia sebut
disenchanment of the world, rontoknya pesona dunia. Mochtar Pabottingi memiliki terjemahan yang saya kira paling memikat untuk ungkapan tersebut, "penghambaran dunia". Konsep ini mendenotasikan proses lepasnya dunia dari rengkuhan mitos, disilusi atas gambaran mitis dunia lampau dengan segenap gairahnya. Dari perspektif ini, permulaan menjadi rasional memang tampak lebih mirip peristiwa seorang individu yang mulai meronta dari buaian dunia masa kanak-kanak karena ia, seperti keyakinan Kant tentang manusia (Eropa) dewasa, mulai menghargai keutamaan otak di kepalanya sendiri. Dalam proses seperti itu dunia di mata Weber menjadi begitu hambar, dan membosankan, karena dunia telah dibuat menjadi demikian terjelaskan secara rasional, tidak lagi menyisakan kabut mitis yang misterius tapi sekaligus penuh pesona.
Bangsa, dengan demikian, adalah sebuah entitas yang meronta, proyek rasionalitas yang melakukan khianat atas masa lalu dan perampasan masa depan. Kita bisa melihat itu sebagai dualitas dari rasionalitas: bahwa rasionalitas menggabungkan sifat-sifat progresif dan agresif sekaligus, karena selain mempromosikan kemajuan (progress), ia juga merebut dengan paksa masa depan justru untuk memungkinkan kemajuan terjadi hari ini. Kredonya yang terkenal adalah ungkapan oksimoronis tentang penghancuran kreatif
(creative destruction), merusak yang lama agar yang baru bisa diciptakan. Diterjemahkan ke dalam konteks penciptaan bangsa berarti mencampakkan ikatan-ikatan tradisional, komunal, agar bangsa yang modern bisa didirikan dengan megah. Kalau secara sistematik rasionalisasi bisa dirangkum ke dalam tiga pola proses denaturalisasi manusia (dalam arti lepasnya keterikatan manusia terhadap alam), desosialisasi alam (dipisahkannya alam dari kehidupan sosial manusia), dan demagifikasi sistem kepercayaan menjadi sistem-sistem monotheisme, proses-proses tersebut berlangsung penuh guncangan. Kekerasan menjadi sebuah keniscayaan, ketika rasionalisasi juga melibatkan imperialisme dan kolonialisme (Young, 2002: 15-19).
Tapi bangsa memang tidak pernah dibangun dari susunan fondasi yang gampang jadi, melainkan lebih sering dari serangkaian tindakan merengkuh sekaligus membuang dengan kasar. “Kesatuan”, termasuk kesatuan sebuah bangsa, kata Ernest Renan (dalam Bhabha, 1994:11), “selalu terjadi melalui cara-cara brutal”. Artinya, menghidupkan bayangan tentang bangsa itu tidak bisa dipahami sebagai satu kejadian yang langsung tuntas dan bersih, melainkan mungkin lebih sebagai serangkaian tindakan salah kaprah yang dibenarkan (baik dalam arti bahwa ia secara politis dijustifikasi, maupun dalam konteks bahwa ia sedang terus-menerus diperbaiki). Narasi bangsa, dengan demikian, sebagiannya adalah juga kisah-kisah yang sengaja dibangun di atas proyek-proyek kekerasan.
Saya selalu tergoda untuk menempatkan kecenderungan menguatnya kembali dorongan ke arah komunalisme juga dalam konteks penetapan utopia sebuah bangsa, dan proses-proses sosial disilusi masyarakat tentangnya. Pada saat yang sama, perhatian kita terhadap komunalisme radikal bisa dilihat dalam konteks penetapan ideal-ideal demokratisasi yang sebagiannya juga utopis. Dalam konteks menguatnya kecenderungan komunalisasi relasi-relasi sosial, konflik-konflik antar satuan komunalisme agresif, dan ketidakmampuan institusi-institusi politik negara meletakkan dasar-dasar pijakan untuk ke luar dari periode krisis, dan melewati transisi demokrasi tanpa kekerasan, salah satu pertanyaan eksistensial yang menghadang kita sebagai bangsa saat ini adalah, apakah Indonesia sudah akan habis? Pertanyaan seperti itu mengguncang paling tidak dua fundamen yang sejauh ini dianggap kokoh.
Pertama ia adalah serangan pada satu bentuk utopia tentang bangsa sebagai sebuah jalan ke luar yang paling mungkin dari sisi gelap sejarah masa lalu wilayah-wilayah koloni Eropa. Soekarno selalu mengibaratkan dekolonialisasi Indonesia sebagai jembatan emas yang akan membawa kita ke seberang, pada sebuah tatanan yang jauh lebih baik di seberang topia yang ada. Nasionalisme anti-kolonial Soekarno, dan para pemikir politik lain waktu itu bahkan sampai sekarang, untuk meminjam tesis kritis Chatterjee (1986:30) tentang India, pada dasarnya adalah klaim ganda yang kontradiktif terhadap modernitas: ia menginginkan pengakuan bahwa Indonesia sama dan sederajat dengan bangsa-bangsa modern di Eropa, tapi pada saat yang sama ia juga ingin menegaskan bahwa Indonesia sama sekali berbeda.
Dalam gagasan Seokarno, kemerdekaan hanyalah sebuah syarat atau jalan, bukan tujuan. Yang ingin ditujunya adalah sebuah tatanan baru setelah kemerdekaan direbut. Ini mirip dengan gagasan Kant tentang Pencerahan sebagai sebuah Ausgang, jalan ke luar dari ketidakdewasaan/kegelapan. Tidaklah terlalu mengherankan ketika dalam prakteknya upaya revolusioner Soekarno meraih utopia itu seringkali secara tragis ditempuh justru dengan mengorbankan kemerdekaan politik rakyatnya sendiri, seperti semangat Pencerahan yang, dalam argumen Horkheimer dan Adorno (1979), secara dialektis menikam kebebasan manusia. Hal yang sama di kemudian hari juga dilakukan Soeharto. Keduanya tidak pernah melihat kemerdekaan sebagai sebuah kategori yang memiliki martabatnya sendiri, melainkan selalu diletakkan dalam rangkaian teleologis menuju sesuatu yang jauh terletak dalam imajinasi tentang masa depan.
Kedua, ia menjadi sejenis pemakluman atas pahitluka proses mengingat kembali masa depan setelah sebuah utopia besar itu runtuh. Narasi tentang kehidupan di seberang itu ternyata lebih dari separuhnya adalah ilusi semata. Jembatan emas kemerdekaan Seokarno itu terbukti tidak mengantarkan kita ke mana pun selain pada keruntuhan ekonomis, tumpukan hutang luar negeri, fragmentasi politik, konflik antar kelompok komunal, eskalasi pertumbuhan jumlah kriminalitas berikut akibat-akibat susulannya yang begitu panjang. Di lain pihak, tahap-tahap pertumbuhan ekonomi atau proyek modernisasi/pembangunan Soeharto juga menemui akhir yang sama-sama merontokkan utopisme tentang sebuah bangsa dan nasionalisme yang dibangun di atas luruhan ikatan-ikatan komunal itu.
Jika dikaitkan pada konteks yang jauh lebih besar, globalisasi ternyata tidak membawa kita pada sebuah peradaban global yang tunggal seperti diprediksikan oleh kelompok
hyperglobalizers, melainkan justru merangsang makin berkembangnya fundamentalisme (dan nasionalisme) agresif (Held, dkk., 1999: 2-14) . Komunalisme radikal, dengan demikian, merupakan reaksi balik, dorongan sentrifugal yang bukan hanya menolak aspek-aspek negatif globalisasi, tapi juga merupakan sebuah kemurkaan pada tatanan nasional yang makin memburuk dengan mempromosikan visi religius sebagai sebuah jalan ke luar.
Dilema Kebebasan,
Merebut Kembali Kuasa atas Visi Dunia
Persoalannya kemudian adalah, apakah komunalisme agresif harus dihadapi sebagai gejala sekumpulan individu yang bisa dijelaskan secara psikologis, ataukah ia merupakan persoalan yang akan lebih memuaskan jika dihadapi sebagai problem ekonomi-politik? Jika dilihat dari sisi psikologis, komunalisme mungkin bisa dipahami sebagai dorongan-dorongan menyerahnya psikologi individu pada lingkaran komunalnya yang sangat terbatas. Tapi sebagai sebuah gejala sosial, ia pasti memiliki relasi dengan dinamik ekonomi politik. Salah satu dugaan yang bisa dikemukakan di sini antara lain adalah bahwa perkembangan komunalisme radikal juga bisa dijelaskan dari sisi ketimpangan distribusi ekonomi dan problem ketenagakerjaan.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menjelaskan pilihan metode kekerasan oleh ikatan-ikatan komunal radikal dalam relasinya baik dengan negara maupun dengan lingkungan lain di luarnya. Pada level individual, kekerasan mungkin bisa dipahami sebagai aktualisasi dari predisposisi psikologis yang biasa disebut agresivitas. Tapi dalam konteks kehidupan sosietal, agresivitas sebuah kelompok (komunal) tidak bisa semata-mata dilihat sebagai sebuah kecenderungan psikologis kolektif, melainkan lebih sebagai bentuk-bentuk relasi sosial yang beroperasi dalam ruang-ruang yang secara sosial dan politik memang diciptakan. Kalau pun mereka dianggap sebagai kumpulan orang yang mengalami frustasi sosial, seperti pernah terungkap dalam diskusi forum Interseksi di Bandung, misalnya, ada banyak variabel sosial yang perlu dipertimbangkan.
Salah satu yang menarik dalam politik Indonesia saat ini adalah fakta bahwa, walaupun tidak secara eksklusif karena kecenderungan yang sama, dalam gradasi yang berbeda, juga sudah banyak terjadi sejak Soeharto bahkan Soekarno masih berkuasa, munculnya dorongan kembali kepada komunalisme radikal itu semakin menguat, sekurang-kurangnya bisa diperkirakan begitu, setelah periode Orde Baru secara resmi berakhir. Menyatakan kecenderungan seperti itu semata bagian dari euphoria politik yang mengiringi kebebasan dari belenggu otoritarianisme pasti merupakan pilihan eksplanasi yang paling mudah.
Tapi penjelasan yang paling mudah pasti juga yang paling tidak memiliki acuan jelas. Oleh karena itu sebuah hipotesa bisa diajukan di sini: bahwa kecenderungan seperti itu memiliki relasi dengan proses dislokasi spasial yang dialami sebagian masyarakat dalam stuktur sosial setelah sebuah tatanan sosial runtuh. Artinya, perubahan posisi spasial individu-individu dalam struktur sosial merupakan salah satu pendorong sebagian dari mereka kembali berpaling pada bentuk-bentuk komunalisasi relasi sosial yang terutama didasarkan pada nilai-nilai religius tertentu.
Dirunut jauh ke belakang, sistem mencukupi diri di desa-desa pada masa lampau Nusantara telah banyak dilaporkan oleh para penjelajah Eropa. Disrupsi sistem tersebut oleh kekuasaan asing, dan lantas oleh beberapa bentuk kekuasaan Indonesia modern setelah kemerdekaan 1945, itu telah membebaskan mereka dari ikatan-ikatan adat, kemudian dari para penjajah asing, tapi sekaligus meningkatkan rasa tidak aman dalam kehidupan rakyat. Cukup menarik bagaimana sebagian rakyat sering menggunakan ungkapan superlatif "zaman normal" justru untuk merujuk kondisi pada tatanan sebelumnya yang lebih baik dalam perbandingannya dengan kondisi yang sedang dialaminya. Pada periode Orde Baru, "zaman normal" bisa merujuk pada tatanan Orde Lama bisa pula pada zaman kolonial Belanda. Ironisnya, pada tahun-tahun pertama abad 21 ini, ungkapan "zaman normal" justru bisa juga dipakai sebagian masyarakat untuk mengenang tatanan Orde Baru. Ini mungkin sedikit membantu menjelaskan kecenderungan munculnya komunalisasi pada hampir setiap periode modern politik Indonesia.
Pada era kekuasaan Soeharto, dislokasi sosial sebagian anggota masyarakat terjadi sebagai akibat dari timpangnya proyek-proyek modernisasi/pembangunan nasional. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan tatanan yang ada saat ini, tatanan sosial Orde Baru telah memberi tempat yang relatif lebih pasti kepada sebagian besar anggotanya dalam struktur sosial. Di samping itu Soeharto juga memiliki kemampuan efektif mengerahkan instrumen kekuasaannya untuk secara represif menekan potensi munculnya komunalisme agresif dalam skala besar. Tapi dimulai sejak Soeharto masih bertahta pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya, kejatuhan ekonomi setelah Orde Baru berakhir merupakan peristiwa yang paling banyak bisa menjelaskan perubahan-perubahan di bidang lain sejak beberapa tahun belakangan ini. Guncangan pada tatanan ini oleh perubahan arsitektur perekonomian kapitalis dunia, dan oleh gejolak politik nasional yang menyusulnya, memberi rakyat kebebasan politik luar biasa besar tapi sekaligus ketidakpastian.
Setelah Soeharto mundur, rakyat mungkin memang menjadi lebih leluasa untuk meluapkan ekspresi-ekspresi politik, tapi pada saat yang sama mereka semakin sulit mencari dan banyak yang kehilangan pekerjaan. Buruh-buruh memang lebih bebas membentuk serikat pekerja di pabrik-pabrik, tapi itu berjalan paralel dengan semakin meningkatnya jumlah pabrik yang berhenti beroperasi. Pada sisi kehidupan yang lain, seorang petani atau guru SD mungkin memang tidak lagi harus memilih Golkar, tapi ia juga semakin tidak memiliki kepastian partai politik mana yang harus dipilihnya, dan apakah hasil panennya atau penghasilan bulanannya bisa mencukupi kebutuhan pokok hidup minimal keluarganya. Para mahasiswa sekarang memang semakin bebas berdemonstrasi, tapi mereka pasti semakin kebingungan menghadapi prospek hidupnya setelah tamat kuliah karena lapangan pekerjaan semakin sempit.
Demokratisasi, dalam kalimat lain, muncul sejajar dengan problem kelaparan, turunnya derajat kesehatan, pertumbuhan jumlah penduduk, meroketnya biaya pendidikan dan hidup sehari-hari, peningkatan jumlah anak putus sekolah, dan membengkaknya peristiwa kejahatan. Sejumlah besar anak muda, yang berpendidikan maupun yang tidak, menjadi pengangguran, dan jumlah keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan terus meningkat setiap tahun. Apa yang oleh pemikir Amerika Serikat, Francis Fukuyama (2000), disebut sebuah disrupsi besar
(great disruption), dalam beberapa hal mungkin juga sedang terjadi di sini. Kebebasan akhirnya berbalik menjadi sebuah beban politik dan ekonomi yang sangat berat, sesuatu yang sangat menakutkan secara psikologis.
Kalau kita membaca kembali praktek-praktek kekerasan dalam sejarah abad 20 yang baru saja lewat, fasisme baik yang muncul di Jerman, Itali, maupun Jepang, mungkin masih merupakan contoh dari kulminasi kekerasan yang didorong oleh ikatan-ikatan solidaritas ke dalam satuan komunitas besar sebuah bangsa kemudian berkembang menjadi kekuatan agresif dan destruktif bagi peradaban dunia. Dalam
The Fear of Freedom (1995), Erich Fromm , antara lain, berusaha mencoba menjelaskan asal-usul fasisme Nazi dan penyebab keagresifannya dalam relasinya dengan kebebasan sebagai dilemma. Meskipun Fromm adalah ahli teori psikologi, tapi kerangka analisanya jelas memperlihatkan bagaimana ia berusaha memadukan dua paradigma yang secara tradisional dianggap bertolak belakang: antara penjelasan psikologis dan penjelasan materialis dari tradsi Marxian.
Keterlibatannya pada masa-masa awal formasi Frankfurt School, walau pun di kemudian hari ia memutuskan ke luar dari aliran pemikiran tersebut, mungkin menjadi salah satu penjelas dari orientasi teoritis semacam ini. Analisa Fromm memberi penekanan pada bagaimana perubahan dalam struktur sosial yang didorong oleh dinamik ekonomi sebuah tatanan masyarakat mendeterminasi perubahan pada psikologi individu memandang dunianya. Dalam konteks berkembangnya fasisme a la Hitler dan Musolini di Italia, ia melihat bahwa proses penyerahan diri individu-individu yang nyaris total di bawah panji nasionalisme merupakan gejala yang bisa dilacak akar historisnya dari pergeseran posisi atau dislokasi sosial individu-individu dalam struktur sosial.
Tatanan masyarakat feodal di Eropa, yang dikemudian hari dikacaukan oleh kapitalisme, memberi setiap orang anggotanya sebuah tempat yang sudah ditentukan dalam struktur sosial. Tempat yang diberikan kepadanya dalam struktur sosial memberinya rasa aman dalam kehidupan. Seorang buruh tani hanyalah seorang budak, tapi posisi sosial dan sarana kehidupannya dijamin oleh tata sosial yang berlaku. Para seniman yang bekerja di kota adalah anggota masing-masing guildanya dan mereka memiliki posisi aman sebagai anggota guilda. Ketika tatanan feodal diguncang oleh pertumbuhan kapitalisme, para buruh tani dibebaskan dari perbudakan, dan para seniman dimerdekakan dari guildanya. Tapi kebebasan telah merenggutkan mereka dari keamanan hidup yang diberikan oleh tatanan feodal. Para buruh tani dan seniman memang bebas untuk mencari pekerjaan, tapi kebebasan mereka bisa mengakibatkan pengangguran dan kelaparan. Kebebasan, dengan demikian, menjadi sebuah beban berat yang harus mereka tanggungkan karena bersamanya hadir keserbatidakpastian dalam hidup.
Dilema kebebasan sebagai sebuah beban makin memberat, ketika rezim-rezim politik yang berkuasa tidak memiliki kemampuan mengurangi proses dislokasi sosial yang demikian massif dengan memulai kembali pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja dan investasi. Kebebasan yang muncul tidak bisa lagi dipikul individu-individu secara keseluruhan dengan mengandalkan institusi-institusi sosial, politik, dan ekonomi yang ada. Rasa takut akan kebebasan
(fear of freedom) seperti itulah yang, kalau kita merujuk pada argumen Erich Fromm (1995: 179-206), membawa mereka pada proses identifikasi sosial dengan lingkungan di luar dirinya pada dua tingkatan yang, dalam prakteknya, bisa berlangsung secara bolak-balik.
Pada tingkat yang pertama identifikasi individu berlangsung antara dirinya dengan komunitas terdekatnya, dalam banyak kasus berarti komunitas religiusnya. Fase ini bisa disebut proses komunalisasi. Pada tingkat berikutnya, identifikasi sosial berlangsung antara individu dengan satuan komunitas yang lebih besar, yakni bangsanya, menjadi bentuk-bentuk nasionalisme. Dalam dua tingkat identifikasi sosial ini, orang yang merasa lemah sebagai individu bisa memperoleh kekuatan psikologis dari penyerahan-diri secara total ke dalam kolektivitas yang lebih besar, seperti agama atau sebuah bangsa. Pada kasus-kasus munculnya komunalisme dan/atau nasionalisme agresif seperti fasisme Jepang, Italia, dan Jerman pada era Perang Dunia II, karakteristik mereka pada dasarnya cenderung "menyerah di dalam tapi agresif di luar". Komunalisme agresif berbasis Islam seperti yang belakangan banyak terjadi di Indonesia mendapatkan tambahan kekuatan dari kebencian mereka terhadap Barat sebagai kafir dan musuh Islam, sedangkan nasionalisme agresif seperti kasus Nazi di Jerman kekuatannya menyerap kebencian besar terhadap Yahudi.
Di era Habibie, Wahid, dan Megawati kasus-kasus munculnya beberapa kelompok sosial militan berbasis agama, itu memperlihatkan proses identifikasi sosial yang berlangsung terbalik dari satuan yang lebih besar, bangsa, ke satuan yang lebih kecil, komunal. Ketika negara tidak memiliki kemampuan menghadapi arsitektur baru kekuatan ekonomi dunia, dan tidak bisa lagi memberi jaminan bahwa bagian terbesar populasi bisa hidup layak, dan politik tidak bisa memberikan sebuah visi utopia tentang masa depan yang secara terukur, dan meyakinkan bisa didekati, agama selalu menjadi ladang terakhir ke mana para pemeluknya menyemaikan benih-benih utopia paling puncak.
Komunalisme radikal berbasis agama, jika demikian, kemungkinan besar bisa dianggap sebagai bentuk ekstrem dari kesangsian/ketidakpercayaan terhadap sebagian besar proyek rasionalisasi. Kalau agama monotheistik pada mulanya adalah bagian dari proses rasionalisasi, dan dalam tesis terkenal Weber tentang etika Protestan dianggap memiliki relasi yang hampir bersifat kausal dengan pertumbuhan kapitalisme, dalam perkembangannya kapitalisme mutakhir justru menjadi salah satu sebab merosotnya fungsi dan peran agama dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Ada ungkapan mengiris yang diparafrasekan oleh Weber ketika ia mengatakan bahwa "orang Kristen mencari Tuhan, tapi malah dengan menciptakan syetan". Agama dalam konteks masyarakat modern, kata Peter L. Berger (1992), tidak lebih dari sekedar "kasak-kusuk tentang para malaikat", sebuah seruan dari langit yang nun jauh di sana, tanpa keterhubungan yang jelas dengan dunia aktual. Komunalisme radikal atau, secara lebih spesifik, fundamentalisme agama, mencoba mendekatkan yang jauh itu menjadi lebih dekat, lebih bisa dipakai untuk menjawab problem-problem kehidupan aktual.
Meskipun mungkin bisa saja dijelaskan bahwa menguatnya komunalisme berbasis agama sebagiannya diberi peluang oleh makin besarnya jumlah posisi-posisi politik penting yang dipegang para pemuka dan kaum cendekia muslim, misalnya, tapi penjelasan seperti itu hanya menyentuh sisi luar persoalan. Yang terjadi di balik itu adalah proses disilusi pada versi sekular utopia sebuah bangsa telah mengalihkan individu-individu dalam jumlah cukup besar ke rengkuhan ilusi utopia yang lebih transendental dan sakral: pembangunan kerajaan Tuhan di bumi. Ketidakpuasan pada politik, ketidakpastian ekonomis, kemurkaan pada tatanan sekular, mendorong proses
recentering agama dari pinggiran ke pusat, dari sekedar “kabar angin dari langit” dalam masyarakat sekular menjadi satu-satunya pemberi harapan yang pasti dalam bentuk masyarakat baru yang ingin mereka dirikan. Kebutuhan integrasi nilai dan norma religius ke dalam tatanan kehidupan sosial, yang mencirikan gerakan-gerakan fundamentalisme agama, itu bisa dilihat dalam kerangka visi atau ilusi utopia seperti ini.
Membangunkan kuasa Tuhan juga berarti mengidentifikasi, secara radikal menemukan sesuatu yang
"other than itself", menciptakan musuh yang diasumsikan berbahaya bagi visi semacam itu. Bagi yang Islam, musuh itu pertama-tama adalah kaum kafir dan sistem-sistem sekular di Barat, atau sistem lain yang dianggap merupakan derivasi diskursif darinya.
Raison d'etre komunalisme radikal, dengan demikian, tidak pertama-tama fanatisme pada ajaran atau fundamentalisme, melainkan lebih sebagai sebuah respon atas kondisi sistemik yang tidak sesuai dengan harapan. Eksistensi gerakan-gerakan radikal berbasis komunalisme, karena itu, bisa pula dilihat sebagai upaya untuk merebut kembali kuasa atas visi tentang dunia, sebuah visi kebenaran oposisional yang berusaha menentang status-quo dengan metode yang juga dipakai oleh rezim-rezim kebenaran rasionalitas untuk menghancurkan nilai dan norma-norma tradisional: kekerasan. Maka tanpa harus mengutip Chomsky bisa dikatakan bahwa ketika kekerasan digunakan atas nama rasionalitas ia diberi nilai sebagai harga atau resiko untuk kemajuan, tapi ketika ia dipakai untuk menolak proyek-proyek rasionalisasi ia dikutuk sebagai tindakan biadab.
Lantas adakah ia merupakan gerakan yang secara total anti-modernitas? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan seperti itu, karena beberapa bentuk gerakan komunalisme agama yang radikal sekalipun tidak pernah benar-benar menolak ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan beberapa produk kemajuan industri kapitalis. Dalam banyak kasus para anggota kelompok komunal radikal, seperti halnya para bankir, atlit olahraga, bintang film Holywood, atau para hackers program komputer, pada dasarnya merupakan spesies baru umat manusia yang dengan nyaman bisa memanfaatkan produk-produk kemajuan industri, ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Tapi karangan ini tidak ditujukan untuk maksud spesifik membahas fenomena seperti itu.
Modal Sosial yang Dirampok?
Kalau untuk konteks Indonesia penemuan bangsa adalah hasil dari proses valuasi atas sejarah kolonialisme secara rasional, sebagai respon-ganda terhadap rasionalisasi/modernitas, apakah komunalisme mutlak tidak diperlukan? Apakah, untuk sekedar mengingatkan pada diksusi forum Interseksi di Bandung, semakin menguatnya keterikatan orang pada komunitasnya, secara spesifik bentu-bentuk komunalisme radikal, berarti prospek demokrasi sudah tidak bisa lagi diharapkan? Salah satu cabang teori sosial yang belakangan mencoba menjawab pertanyaan tentang relasi antara jaringan sosial komunitas-komunitas masyarakat dengan keberhasilan pembangunan ekonomi dan demokratisasi adalah teori tentang modal sosial
(social capital). Kalau untuk sementara kita bisa meminjam penjelasan model teori sosial tentang modal sosial yang sering dipakai oleh para pemikir Amerika, dan banyak diminati lembaga donor seperti Bank Dunia atau IMF, serta secara luas mulai diminati kalangan lembaga swadaya masyarakat, misalnya, kondisi yang terjadi saat ini mungkin sedikit lebih mudah dijelaskan dari sisi bagaimana modal sosial bisa berbalik menikam pemiliknya sendiri.
[3] Secara sederhana, teori tentang modal sosial mengandaikan terdapatnya seperangkat nilai, norma, dan kepercayaan
(trust) yang dijaga bersama dalam relasi-relasi sosial sebuah komunitas, dan diasumsikan bisa dikonversikan menjadi modal bagi pertumbuhan ekonomi dan pengembangan demokrasi. Penjelasannya kira-kira seperti ini: Pada kelompok-kelompok komunal (yang berkonflik) pasti terdapat seperangkat nilai dan norma yang kuat disepakati dan dibagi bersama di antara para anggotanya. Munculnya rasa tersatukan, dan kerjasama di antara mereka pasti karena ada faktor kepercayaan di lingkungan internal kelompoknya. Itu semua adalah modal-modal sosial yang sangat penting.
Problemnya terjadi ketika radius atau jarak dari rasa percaya
(radius of trust) tersebut hanya terbatas pada kelompoknya masing-masing, dan tidak pada orang-orang lain di luar kelompoknya sehingga kemungkinan kooperasi, bukan kontradiksi, menjadi hilang karenanya. Ikatan kepercayaan
(bonds of trust) antar sesama anggota kelompok yang terlampau kuat, dengan demikian, ternyata mencegah lahirnya ikatan kepercayaan kepada lingkungan di luar kelompok atau lingkungan sosial yang lebih besar
(social bond) seperti sebuah bangsa. Malah sebaliknya, yang sering terjadi adalah tampilnya beberapa kelompok yang, seperti muncul di Poso, Ambon, Sampit, dan Maluku beberapa tahun terakhir ini, secara aktif mempromosikan intoleransi, kebencian, dan anjuran melakukan kekerasan kepada orang-orang di luar kelompoknya.
Kalau sinyalemen bahwa konflik-konflik tadi justru dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk kepentingan politis tertentu, misalnya, itu sedikit memiliki kebenaran, atau kalau benar bahwa dalam beberapa kasus konflik justru dipicu oleh kebijakan politik negara, maka yang terjadi pada dasarnya adalah perampokan modal sosial masyarakat oleh negara dan aktor-aktornya. Dalam kondisi seperti itu institusi-institusi masyarakat warga
(civil society) tidak bisa lagi berfungsi dengan baik, karena landasan kepercayaan sudah tidak ada dan, akibatnya, masing-masing kelompok bukan hanya berhadapan langsung dalam relasi konfliktual dengan musuhnya melainkan juga dalam relasinya dengan negara.
Di lain pihak, rendahnya kepercayaan atas institusi-institusi politik negara, dan munculnya ketidakpuasan terhadap pemerintah menjadi penjelas mengapa modal sosial Indonesia sebagai keseluruhan mengalami penurunan terus-menerus. Dalam prakteknya, alih-alih mengembangkan modal sosial, birokrasi dan aparat pemerintah yang korup justru melakukan perampokan bukan hanya atas modal sosial tapi juga modal ekonomi untuk membiayai kekuasaan. Padahal, salah satu premis dalam teori modal sosial adalah bahwa kalau sebuah masyarakat dicirikan oleh kecilnya modal sosial, maka masyarakat tersebut tidak pernah bisa menyelesaikan persoalannya secara mandiri dari negara tapi justru begitu bergantung kepadanya. Didasarkan pada kenyataan seperti itu, sebuah proposisi bisa diajukan bahwa, semakin sebuah masyarakat tidak puas terhadap pemerintahnya, dan semakin tidak percaya masyarakat tersebut kepada institusi-institusi politik yang ada, semakin kecil modal sosial masyarakat tersebut, semakin ia tidak bisa lepas dari intervensi negara, dan semakin tidak demokratis masyarakat tersebut.
Deskripsi di atas memberikan gambaran tragis tentang bagaimana modal sosial yang terlalu kuat, bukan menciptakan kekuatan-kekuatan yang bisa dijadikan modal masyarakat dalam proses negosiasi dengan negara melalui wadah masyarakat warga dalam sebuah ruang politik demokrasi, melainkan justru memberikan alasan politis bagi tampilnya kembali negara sebagai kekuatan dominan dalam relasinya dengan komunitas-komunitas masyarakat.
Kenyataan seperti itu jelas melahirkan tanda tanya besar tentang prospek demokrasi dan pertumbuhan ekonomi dalam kehidupan politik Indonesia paska Soeharto. Sebab meskipun demokrasi pada dasarnya adalah sebuah sistem yang dicirikan oleh kontestasi, di sisi lain ia juga merupakan sistem yang mempromosikan toleransi dan ikatan kepercayaan satu pihak kepada pihak lain, satu kelompok kepada kelompok yang lain melalui rangkaian perjanjian atau kontrak politik antar warga negara. Kalau selain mempromosikan nilai-nilai etis modal sosial, seperti diyakini oleh Fukuyuma (2000: 14), juga memiliki nilai ekonomis bagi perekonomian nasional sebuah bangsa, sulitnya Indonesia ke luar dari krisis ekonomi berkepanjangan kali ini boleh jadi juga bisa dijelaskan dari sudut pandang terlalu besarnya modal sosial dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat, tapi tanpa pernah bisa dikembangkan menjadi potensi kooperasi dalam kehidupan sosial yang lebih luas untuk kepentingan bersama yang lebih besar.
Tapi tidakah kooperasi untuk kehidupan publik yang lebih luas otomatis berarti melemahnya keteritakatan pada satuan-satuan komunal kecil? Sejauh ini banyak kegagalan terjadi ketika sesuatu yang dianggap baik dalam lingkungan terbatas dijadikan model untuk sesuatu yang jauh lebih besar, dan rumit. Ironi modal sosial di Indonesia mungkin sedikit mirip hukum
diminishing return dalam ekonomi: bahwa meskipun pada konteks satuan-satuan komunal kita memiliki modal sosial cukup besar, tapi pada konteks satuan sebuah bangsa modal sosial kita justru mengalami kemerosotan. Modal sosial sebuah komunitas besar, bangsa, ternyata bukanlah
resultante dari modal-modal sosial yang dimiliki oleh satuan-satuan komunal yang lebih kecil.
Dalam diskusi di Bandung, misalnya, ada contoh kasus tentang arisan sebagai benih-benih sebuah sistem kredit yang berjalan baik di desa-desa, atau dalam perkumpulan ibu-ibu dan anggota-anggota keluarga di perkotaan. Tapi ketika ia dikembangkan dalam skala yang sedikit lebih besar, sistem kredit simpan pinjam, misalnya, mekanisme tersebut ternyata tidak lagi bisa diandalkan. Meskipun saya tidak memiliki data yang baik tentang itu, tapi data anekdotal dalam berita-berita media massa cukup memperlihatkan bagaimana sebagian terbesar sistem koperasi, apa pun bentuknya, tidak bisa berjalan efektif. Pada level perekonomian nasional, hancurnya modal sosial kepercayaan
(trust) antara lain bisa dilihat dalam problem kredit macet pada sistem perbankan komersial yang melibatkan skandal ekonomi politik.
Ilustrasi yang lain juga bisa dikemukakan di sini: kalau sistem pengelolaan pertanian tradisional yang lebih banyak didasari oleh ikatan kekeluargaan sejauh ini merupakan sistem yang paling masuk akal di desa-desa, dasar-dasar seperti itu hanya akan menjadi sumber kolusi, nepotisme, dan korupsi besar-besaran ketika dipakai untuk mengelola pemerintahan negara (mungkin karena itu sistem ekonomi kekeluargaan dalam konstitusi sekarang makin banyak menjadi bahan sindiran banyak orang). Modal sosial sebuah masyarakat bangsa ternyata tidak bisa digali dari sumber-sumber kultural lokal, seperti mitos tentang penggalian Pancasila oleh Seokarno, melainkan, kalau saya masih berhak mengajukan hipotesa lain, dari upaya-upaya struktural untuk menciptakan sistem dengan institusi-institusi politik yang bisa dipercaya, dan sebuah rezim kekuasaan yang bisa memuaskan harapan rakyat yang memilihnya. Jika diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia saat ini, institusi politik yang bisa dipercaya, dan rezim kekuasaan yang bisa memuaskan adalah institusi dan rezim yang tidak merampok modal sosial dan modal ekonomi rakyat untuk membiayai kekuasaan yang sangat korup.
Dalam cara yang sama bisa dikatakan bahwa solusi untuk masalah-masalah dalam lingkup nasional tidak bisa disandarkan pada apa yang sering disebut kearifan lokal, karena itu hanya merefleksikan ketidak mampuan politik mengatasi nostalgia. Kearifan lokal pasti terikat oleh lokalitasnya, sehingga menjadikannya model bagi sebuah bangsa merupakan praktek manipulasi politik seperti ketika sistem desa-desa di Jawa diberlakukan untuk seluruh Indonesia. Tapi ilustrasi-ilustrasi tadi juga mengandaikan tidak adanya pemaksaan solusi-solusi sentralistik untuk hal-hal yang memiliki karakteristik sangat lokal, karena itu hanya memperlihatkan ketidakmampuan politik melampaui tendensi dominasi represif.
Jakarta, 6 - 26 Januari 2003
Versi awal tulisan sebuah pengantar untuk buku Komunalisme & Demokrasi: Negosiasi Rakyat dan Negara. Jakarta: Forum Interseksi dan the Japan Foundation, 2003. Dimuat lagi di sini dengan penyesuaian penulisan referensi yang semula semuanya berupa catatan kaki menjadi sitasi dalam tubuh tulisan.
ANDA MUNGKIN TERTARIK JUGA
Multikulturalisme | Kewarganegaraan
Sosiologi | Multikulturalisme
Sosiologi | Multikulturalisme
End Notes
[*] Catatan ini didasarkan pada impresi personal saya atas diskusi tentang Komunalisme dan Prospek Demokratisasi di Indonesia, yang secara kolaboratif diadakan oleh Forum Interseksi, The Japan Foundation Asia Center, dan Desantara, Institute for Cultural Studies, di hotel Panorama, Lembang, Bandung, 15 - 17 Januari 2002.
[1] Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa “rasionalitas” dan “rasionalisasi” pada dasarnya bukanlah konsep-konsep yang netral dan egaliterian dalam dirinya sendiri. Dalam wacana filsafat dan ilmu sosial modern, misalnya, dua terma tersebut niscaya disosiasikan dengan kemajuan peradaban masyarakat Barat (terutama Eropa) dibanding peradaban masyarakat-masyarakat yang lain. Sebagian besar filsuf dan ilmuwan Barat, bahkan sampai saat ini, cenderung percaya bahwa rasionalitas, dan karena itu juga berarti rasionalisasi, hanya ada dalam masyarakat Eropa-Amerika dan tidak di tempat lain. Gagasan seperti itu secara umum muncul dalam dua bentuk. Yang pertama muncul dalam bentuk tradisi humanis klasik yang melihat diri mereka sebagai pewaris rasionalitas Yunani, khususnya dalam invensi sistem logika. Bentuk yang kedua lebih memusatkan perhatiannya pada periode yang lebih kemudian, yakni zaman Renaisance atau Pencerahan (Aufklarung), dan lebih mengacu pada bentuk-bentuk rasionalitas yang memungkinkan Barat unggul dalam perkembangan ekonomi dan ilmu pengetahuan yang biasanya diasosiasikan dengan dunia modern. Sebuah kajian kritis tentang klaim rasionalitas masyarakat Barat disajikan secara sangat menarik dalam Jack Goody, The East in the West (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), terutama hal. 11-81.
[2] Edward Said, misalnya, melihat Huntington terjebak pada pemahaman tentang konsep identitas peradaban yang stabil, tidak pernah berubah. Tesis tentang tabrakan (antar) peradaban, mengikuti logika Said, didasari oleh asumsi bahwa pelbagai kebudayaan dan peradaban bisa saja berubah, berkembang, mundur, atau lenyap sama sekali. Tapi identitasnya, dalam keyakinan orang seperti Huntington, secara misterius, tetap stabil, esensinya tetap bertahan seperti dipahatkan pada batu. Periksa, Edward E Said. Reflections on Exile and Other Essays (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), hal. 584.
[3] Untuk keperluan tulisan ini saya hanya akan mengambil contoh gagasan yang dikembangkan oleh Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity (New York: Free Press, 1995), dan Fukuyama, Op.Cit., 2000.
Acuan
Adorno, Theodore, dan Mark Horkheimer. Dialectic of Enlightenment, (London: Verso, Third Impression, 1979).
Alisjahbana, Sutan Takdir. "'Menuju Masyarakat Baru dan Kebudayaan Baru', Indonesia-Prae-Indonesia", dalam Bonus Ulang Tahun ke-20 majalah Horison, Juli, 1986.
Bell, Daniel. The End of Ideology, On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties. New York: Free Press, 1960.
Berger, Peter L. Kabar Angin dari Langit, Makna Teologi Dalam Masyarakat Modern, Kata Pengantar oleh M. Sastrapratedja. akarta: LP3ES, 1992.
Birch, David, Tony Shirato, and Sanjay Srivastava. Asia, Cultural Politics in the Global Age. NSW: Allen & Uniwin, 2001.
Bourdieu, Pierre. Choses Dites. Paris: Minuit, 1987.
Chatterjee, Partha. Nationalist Thought and The Colonial World: A Derivative Discourse. London: Zed Books, 1986.
Dahrendorf, Ralf. Essays in the Theory of Society. California: Standford University Press, 1968.
Fromm, Erich. The Fear Of Freedom.London: Routledge & Kegan Paul Ltd., Fifth Impression, 1950.
Fukuyama, Francis. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York: Free Press, 1995.
Fukuyama, Francis. The Great Disruption, Human Nature and the Reconstruction of Social Order. New York: A Touchstone Book, published by Simon & Schuster, 2000).
Habermas, Jürgen. The Structural Transformation of the Public Sphere, An Inquiry into A Category of Bourgeois Society, translated by Thomas Burger with the assistance of Frederick Lawrance. Cambridge: Polity Press, 1989.
Goody, Jack. The East in the West. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
Held, David, et.al. Global Transformations, Politics, Economics and Culture. California: Stanford University Press, 1999.
Jameson, Fredric. The Political Unconscious: Narrative as a Socially Symbolic Act. NewYork: Cornell University Press, 1981.
Nandy, Ashis. The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self Under Colonialism. New Delhi: Oxford University Press, 1983.
Renan, Ernst. "What is A Nation?", dalam Homi K. Bhabha (ed), Nation and Narration, (London: Routledge, 1994.
Said, Edward E. Reflections on Exile and Other Essays. Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000.
Stone, I.F. Peradilan Socrates, Skandal Terbesar dalam Demokrasi Athena. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991.
Weber, Max.Basic Concept in Sociology, diterjemahkan dan diberi pengantar oleh H.P. Secher. Secaucus: The Citadel Press, 1980.
Young, Robert J.C. Postcolonialism, An Historical Introduction. Oxford: Blackwell Publishing, 2002.