Dr. Faust dan Dr. Fulan: Gremengan tentang Intelektual

Untuk Mas Heru Nugroho





“Blog

Intelektual dan kaum intelektual sudah menjadi subjek ribuan diskusi. Lisan dan tulisan. Dikunyah dan dimamah biak. Terus-menerus. Berbilang masa. Tapi tetap saja ada satu dua hal yang terasa tertinggal, dan sedikit mengganjal. Seperti remah makanan menyisip di sela-sela gigi. Tidak terkunyah. Bukan bongkah besar. Hanya cuil kecil saja. Tapi ia menghadirkan rasa tidak nyaman di mulut kalau tidak lekas dicungkil. Slilit kata orang Jawa. Ceuhil dalam bahasa Sunda. Seperti grenengan sekaligus geremengan kecil berikut:



Sekitar bulan-bulan awal tahun 1994, saya sempat ngobrol dengan sosiolog Dr. Heru Nugroho (sekarang Pofesor Heru Nugroho) di ruang kerjanya di Kantor Pusat Studi Kependudukan UGM. Mas Heru, begitu biasanya kami, mahasiswanya, memanggilnya, kebetulan adalah dosen pembimbing skripsi saya. Secara formal saya tidak pernah kuliah di bawah ampuan mas Heru. Relasi akademik kami terbentuk karena hubungan antara seorang mahasiswa yang sedang menulis skripsi dengan dosen pembimbingnya. Kebetulan Mas Heru belum lama menyelesaikan studi S3 di Jerman. Ini adalah relasi yang benar-benar harus dijaga dengan baik, karena sangat menentukan keberhasilan seseorang lulus kuliah atau tidak. Demi malam dan embun pagi saya bersaksi bahwa mas Heru adalah dosen pembimbing yang sangat menyenangkan, dan membebaskan. Proses bimbingan selalu berlangsung sangat rileks, lebih terasa seperti obrolan antar-kolega daripada antara mahasiswa dengan dosennya.

Pagi hari itu, sekitar jam 10 atau 11, waktu itu jam kerja masih sampai jam 2 siang, saya datang ke kantornya sebenarnya ingin konsultasi tentang skripsi. Tapi seperti biasa, pembicaraan meluas karena kami sama-sama sedang terbawa antusiasme pada pemikiran-pemikiran sosial yang berkembang di dunia. Di Yogya waktu itu orang sedang dilanda haru-biru diskusi tentang postmodernisme. Saya agak sedikit beruntung karena waktu itu masih sedikit bisa membaca literatur berbahasa Prancis. Beberapa orang kawan mengira saya bisa paham tulisan-tulisan Lyotard, Derrida, Foucault, Baudrillard dalam bahasa aslinya. Padahal tidak. Yang saya baca, kalau pun saya membaca tentang postmodernisme, itu hampir seluruhnya literatur berbahasa Inggris. Mas Heru juga beruntung karena ia lulusan Jerman, sehingga omongannya tentang Habermas atau Hegel, misalnya, dianggap lebih otoritatif.

Mas Heru adalah sosiolog yang inspiratif bukan hanya karena penguasaannya atas teori-teori sosial mutakhir, untuk ukuran waktu itu tentu saja, tapi juga sikapnya yang sangat rendah hati dan egaliter. Ia tidak pernah menempatkan dirinya sebagai orang yang serba paling tahu, dan bisa sangat apresiatif kepada siapa pun bahkan kepada orang-orang yang lebih muda darinya, termasuk saya waktu itu. Kelebihan lainnya adalah karena mas Heru selalu memberi ruang luas bukan hanya untuk berbeda pendapat dengannya tapi juga kemungkinan merobohkan tradisi yang sudah berlangsung lama: beliau bisa dengan mudah memenuhi permintaan saya agar untuk kebutuhan pemeriksaan naskah skripsi, saya bisa memberikannya dalam bentuk file digital dalam disket (floppy disk), bukan manuskrip yang sudah dicetak. Alasan saya karena biaya mencetak naskah cukup mahal untuk ukuran anak kos yang jauh dari orang tua, dan karena saya melihat mas Heru selalu membawa komputer laptop setiap ke kampus. Agar tidak kehilangan konteks zamannya, perlu dipahami bahwa pada awal 1990an, internet yang di Amerika Serikat penggunaannya meledak sejak 1992, itu praktis belum jadi bagian dari kehidupan akademik, dan praktis hampir belum digunakan, dan komputer laptop masih jadi barang langka di kampus-kampus. Tapi suatu hari di depan beberapa mahasiswa lain sambil berseloroh beliau berujar, “kalian jangan meniru cara mahasiswa gila itu ya”, sambil menunjuk ke arah saya yang berdiri dalam jarak sepelemparan puntung rokok, “mosok ngasih skripsi buat konsultasi dalam disket”. Saya hanya bisa nyengir kuda.

Pagi hari itu, di ruang kerjanya di Kantor Pusat Studi Kependudukan UGM itu, salah satu topik obrolan kami adalah soal intelektual di kampus. Tentu saja yang digunjingkan adalah soal tidak banyaknya karya-karya akademik yang dihasilkan oleh dosen-dosen UGM waktu itu, bahkan setelah mereka lulus dari program S3 di luar negeri. Mereka adalah kelompok super elite yang bisa dianggap orang-orang super pinter, tapi karya-karyanya jarang bisa ditemukan di toko-toko buku. Beberapa di antaranya sudah merasa puas kalau tulisannya dimuat di surat-surat kabar. Dimuat entah karena kualitasnya memang bagus atau hanya karena pamor gelar akademis di depan namanya belaka. Dengan ringannya saya sempat melontarkan ide agar sebaiknya orang-orang yang sudah lebih dari 3 tahun lulus S3 tapi tidak menghasilkan tulisan atau buku yang bisa memancing diskusi lebih baik gelarnya dikembalikan. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau hanya ingin kaya? Kalau mau kaya jadilah pengusaha. Saya ingat mas Heru tertawa, seperti biasa. Mas Heru mungkin menganggap saya sedang kumat karena tekanan psikis mengerjakan skripsi. Tapi karena selalu menghargai pendapat kawan bicara ia tidak begitu saja menepisnya. Karena itu sampai hari ini hati saya selalu menjura kepadanya.

Sampai sekarang Mas Heru termasuk yang konsisten bersikap kritis terhadap gejala umum kalangan akademisi yang beramai-ramai memasuki lingkaran kekuasaan politik maupun terlibat dalam proyek-proyek pembangunan ekonomi semata-mata untuk meraih penghasilan ekonomi. Berangkat dari pengalamannya ia juga sangat kritis terhadap apa yang disebutnya banalitas intelektual (the banality of intellectual). Ini jargon yang pasti akan mengingatkan kita kepada tulisan Hannah Arendt, the banality of evil, yang lengkapnya berjudul Eichmann in Jerusalem. A Report on the Banality of Evil untuk The New Yorker (1963). Tapi kalau Arendt menulis tentang Eichmann yang menurutnya bukanlah seorang penjahat meskipun ia terbukti melakukan kejahatan perang, Mas Heru protes terhadap kenyataan rendahnya kualitas intelektual dan dangkalnya tingkat pemikiran para akademisi yang beberapa di antaranya merupakan sejawatnya satu profesi.

Sekarang kalau saya mengingat lagi perbincangan entre nous kami pagi itu, rasa malu sering langsung terbit. Betapa naifnya pemahaman saya tentang intelektual dan sosok intelektual waktu itu. Saya membayangkan kalau orang-orang yang sudah lulus S3 itu pasti memiliki semacam obligasi moral harus menulis karya yang menjadi perdebatan luas. Saya membayangkan mereka seperti Habermas, Lyotard atau Derrida, dan Foucault versi lokal yang akan mengguncang dan menyodok-nyodok otak orang banyak dengan tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah ilmiahnya yang sangat cemerlang, bukan tukang nyadong proyek-proyek pemerintah.

Padahal orang-orang Indonesia lulusan S3, termasuk yang gelarnya didapat dari kampus-kampus di luar negeri, kebanyakan tidaklah berasal dari silsilah sosial yang sama dengan nama-nama besar itu. Aspirasi mereka kemungkinan besar juga berbeda dengan apa yang mendorong orang-orang hebat itu mendedikasikan hidupnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan modern. Asal-usul historis seseorang, termasuk kelas sosialnya, akan berpengaruh besar pada aspirasi masing-masing orang. Saya juga naif karena orang-orang lulusan S3 langsung dimasukkan ke dalam keranjang kategori “intelektual”, padahal intelektual bukan melulu soal gelar akademis bahkan mungkin tidak berhubungan sama sekali dengan itu.

Di bait terakhir puisi yang disiarkan pada 12 Juli 1975 di Taman Ismail Marzuki, “Seonggok Jagung di Kamar”, Rendra menulis:

Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi
asing di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran
atau apa saja
bila pada akhirnya
ketika ia pulang ke daerahnya lalu berkata
Di sini aku merasa asing dan sepi!


Kesepian, keterasingan, kerinduan pada alam adalah salah satu tema yang banyak diminati orang Indonesia dalam diskusi-diskusi sampai dekade 1970 berakhir. Indonesia di bawah komando Suharto sedang berada pada moda Gigi 1, sebelum membakar semua silinder mesin pembangunan. Orang kota makin familiar dengan merek-merek Jepang dan sandal jepit. Sebagian orang tiba-tiba menjadi kaya raya karena bonanza oil boom atau karena bersekutu dengan penguasa. Para intelektual yang dulu terlibat menumbangkan Sukarno menyerbu masuk ke dalam struktur-struktur kekuasaan, dan merelakan dirinya menjadi, dalam bahasa para aktivis waktu itu, kacung-kacung penguasa. Bagi orang-orang seperti Rendra, yang memiliki kemampuan melihat realitas dari sisi yang tidak banyak dilihat orang, di sekolah sampai kampus-kampus perguruan tinggi orang muda dididik dengan berbagai ilmu pengetahuan yang justru membuat mereka tidak bisa lagi mengenal bukan hanya lingkungan di sekitarnya tapi bahkan dirinya sendiri. Keterasingan yang tuntas.

Sebelum “Seonggok Jagung di Kamar” disiarkan, pada Oktober 1971, Rendra mengadakan apa yang disebutnya Perkemahan Kaum Urakan di Pantai Parang Tritis, Yogyakarta. Rendra dan kawan-kawannya merancang perkemahan itu untuk mengguncang yang mapan atau apa yang biasa disebut stagnasi kebudayaan. Sebutan “Perkemahan Kaum Urakan” sendiri bukan berasal dari Rendra tapi dari aktor Azwar AN yang kelak, setelah Bengkel Teater Rendra pindah ke Cipayung, mendirikan Teater Alam dan memilih tetap tinggal di Yogyakarta. Meskipun menyebut gerakan itu dengan label “urakan”, Rendra tetap cukup hati-hati karena ia tidak ingin alternatif yang disampaikan melalui gerakan urakan itu kemudian terjebak menjadi “mannerisme,” atau mapan kembali.

Di era Rendra kaum terdidik kita terasing dari dunianya yang nyata, dan sampai ketika Heru Nugroho menulis kritiknya pada awal dekade kedua abad ke-21, ternyata bahkan pemikiran mereka pun sebagian besarnya dangkal belaka. Tapi kalau ketika mas Heru menuliskan kritiknya itu para akademisi UGM baru sebatas “ngasong proyek” di Jakarta, sekarang mereka sudah memenuhi lingkaran istana negara. Tidakkah dengan itu banalitas intelektual semakin menjadi-jadi? Dalam hal pemikiran intelektual saya cenderung melihat kondisinya memang sangat mungkin menjadi lebih buruk. Pemerintahan Jokowi mungkin unggul dalam eksekusi proyek-proyek infrastruktur ekonomi, tapi dalam hal pengembangan pemikiran atau dukungan terhadap kemajuan pemikiran muncul kesan kuat bahwa ini adalah rezim yang paling banal dalam sejarah Indonesia modern. Mungkin karena Jokowi sendiri lebih suka jalan-jalan memeriksa proyek pembangunan infrastruktur, tapi sangat jarang tafakur. Karena itu kita melihat beberapa kebijakannya cenderung hanya bersifat reaksioner dan diselenggarakan dalam moda adhocracy, daruratisme. Efisien untuk satu pekerjaan dalam jangka pendek, tapi tidak berkontribusi sama sekali kepada perbaikan sistemik. Di sisi lain kesukaan Jokowi melakukan kunjungan ke berbagai pelosok permukiman warga (blusukan) memang pernah memberi angin segar terhadap pola relasi rakyat dan pemerintah, tapi ketika itu terus-menerus dilakukan selama tujuh tahun ini, dan pasti diliput besar-besaran oleh media massa, selain cepat merasa bosan orang mulai banyak juga yang meragukan efektivitasnya sehingga ia dianggap hanya makin memperlihatkan ketidakmampuannya bertindak dalam skala dan kerangka sistem melainkan hanya melalui model-model adhocracy tadi.


Terminologi “intelektual” pada dasarnya adalah sebuah sebutan yang kerap membuat jengah orang yang mendengarnya. Sudah ribuan kali diungkapkan bahwa istilah tersebut lebih sanggup mendatangkan kebingungan daripada pengertian yang jelas. Bagi sebagian orang selalu ada nada pongah yang, meskipun samar-samar, sering bisa ditangkap setiap kali mendengar kata tersebut diucapkan. Konotasinya mengarahkan kita kepada hal ihwal yang berurusan dengan status dan fungsi yang istimewa dari orang atau kelompok orang tertentu yang karena pengetahuannya memiliki kemampuan lebih dalam mengenali masa lalu, menemukan masa kini, dan melihat dengan jelas ke masa depan, sehingga karena itu ia (intelektual) diasumsikan memiliki kedudukan sosial yang distingtif daripada anggota masyarakat lainnya. Dalam sebuah wawancara Pierre Bourdieu, misalnya, mengaku sering merasa bingung dengan istilah ini. Tapi wacana tentangnya niscaya menjadi demikian riuh hampir dalam semua periode sejarah modern. Ironisnya, beberapa pendekatan studi sosial tentang masyarakat tidak pernah tegas menempatkan kategori orang atau kelompok orang yang dirujuk oleh terminologi “intelektual” tersebut ke dalam struktur sosial.

Tradisi sosiologi memiliki tiga pendekatan yang secara fundamental berbeda dalam menjelaskan hal ini. Kaum Dreyfusard, Julien Benda, para teoritisi “new class”, dan Pierre Bourdieu memperlakukan intelektual potensial menjadi kelas sosial di dalam dirinya sendiri, yakni orang-orang yang memiliki berbagai kepentingan yang membedakan mereka dari kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Antonio Gramsci, Michel Foucault, dan para teoritisi “otentisitas” memperlakukan intelektual sebagai kelompok yang terikat oleh kelas (class-bound), yakni sebagai representasi dari kelompok asal mereka sendiri. Karl Mannheim, Edward Shills, melihat intelektual sebagai kelompok orang yang relatif tak berkelas (class-less), yakni orang-orang yang memiliki kemampuan melampaui kelompok asalnya untuk meraih cita-cita mereka sendiri (Kurzman dan Owens, 2002: 63-90).

Yang sering dilupakan adalah kenyataan bahwa kita tidak memiliki basis sosial dan ekonomis yang bisa menopang kemungkinan munculnya sosok-sosok super asketis seperti para begawan dan resi dalam fiksi-fiksi di masa lalu itu.


Karl Mannheim, sosiolog dan filsof dari Budapest, misalnya, memasukkan intelektual ke dalam kategori entitas yang secara sosial tidak berada pada kelas sosial mana pun (socially free-floating intellectual). Kadang dilupakan bahwa pengandaian tentang ketakberkelasan secara sosial itu dengan sendirinya mengandaikan bahwa masyarakat yang dirujuknya adalah sebuah masyarakat kelas seperti di Eropa. Tesis Julien Benda tentang kelancungan intelektual (la trahison de clercs) hendaknya juga dipahami dalam konteks masyarakat kelas yang sama. Yang menarik, setiap kali berlangsung perdebatan wacana tentang intelektual di Indonesia, terutama dalam relasinya dengan kekuasaan, orang hampir selalu merujuk pada karya Benda ini tanpa memperhatikan konteksnya yang sangat spesifik Eropa.

Ditulis pada 1927, dalam La Trahison de Clercs Benda membuat divisi yang tegas antara yang temporal, materialis, duniawi, dan emosional di satu sisi; dan yang universal, uniter, dan, di atas segalanya, rasional di sisi lain. Nilai-nilai dari kaum “klerikal” dianggapnya bersifat statis dan tidak memiliki kepentingan (disinterested). Nilai-nilai inilah yang harus dipertahankan melawan pasi (passions) kepada ras, kelas, dan bangsa, yang sebelumnya telah bisa meraih kuasa sangat besar tapi yang kemudian juga menjadi lebih koheren dan disiplin di abad ke-20. Benda adalah seorang yang secara alamiah tumbuh menjadi esais dan moralis. Para pengritiknya sering menganggap ia hampir seperti seseorang yang didatangkan ke abad ke-20 dari masanya Montaigne dan para moralis Prancis.

Benda sendiri melihat dirinya sejajar dengan Plato, Descartes, Spinoza, dan Kant atau yang lebih kemudian seperti Renan dan Renouvier. Dua tokoh yang terakhir ini bagi Benda adalah para rasionalis yang sangat loyal dan penuh komitmen, revolusioner dan republikan. Di matanya mereka adalah sosok-sokok “kaum klerikal” ideal, yaitu orang-orang yang telah berhasil menolak godaan-godaan kehidupan duniawi. Benda memberi penekanan bahwa salah satu yang harus dilawan adalah godaan untuk menikah dan memiliki terlalu banyak “kepentingan-kepentingan praktis” sebagai “ayah-ayah dalam keluarga”. Bagi Benda, bahkan kaum cendekiawan moderen pun secara literer harus tetap selibat.

Cukup banyak orang di Indonesia yang terbius oleh gagasan bahwa secara normatif kaum intelektual (seharusnya) tidak boleh dekat dengan apalagi terlibat di dalam kekuasaan, seolah kita pernah memiliki sejarah yang mendukung norma semacam itu. Ideal orang tentang intelektual, dengan demikian, bercampur dengan ilusi tentang sosok begawan atau pandita di masa lampau yang dibayangkan hidup menyepi seperti bulan, jauh dari bara godaan harta benda, kerontang tanpa pamrih sosial ekonomi, dan hanya terlibat dalam kehidupan orang banyak ketika terjadi krisis. Sosok intelektual, dengan demikian, beraduk dengan heroisme dan sang penyelamat sekaligus. Kita seperti segera melupakan bahwa semua tokoh yang terlibat dalam pendirian dan pengelolaan negara Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan adalah kalangan intelektual belaka.

Kita bisa menyebut Hatta, Sjahrir, Sukarno, Cipto Mangunkusumo, Mochammad Yamin, M. Natsir, dan orang-orang segenerasinya adalah kaum cendikiawan seperti kita bisa melabelkan predikat yang sama kepada Kuntowijoyo, Umar Kayam, Nurcholis Madjid, Ignas Kleden, Gunawan Mochammad, Daniel Dhakidae dan sederet nama-nama lain. Apakah jika demikian Sukarno, Hatta, Sjahrir dan lain-lainnya itu telah melakukan une trahison, semacam justa kaum klerikal terhadap norma-norma dan etika intelektual? Orang tidak bisa mengatakan Sukarno bukan intelektual hanya karena ia seorang presiden persis seperti orang tidak bisa menganggap Joko Widodo seorang intelektual hanya karena ia menduduki posisi tertinggi dalam hierarki kekuasaan negara dan pemerintahan.

Yang sering dilupakan adalah kenyataan bahwa kita tidak memiliki basis sosial dan ekonomis yang bisa menopang kemungkinan munculnya sosok-sosok super asketis seperti para begawan dan resi dalam fiksi-fiksi di masa lalu itu dalam jumlah besar. Resi, begawan dan makhluk-makhluk sejenis itu bisa hidup dalam kondisi splendid isolation, memisahkan diri dari keramaian duniawi tapi tetap tidak akan hidup sengsara. Ini seperti kebijakan yang diambil Inggris di Eropa pada akhir abad ke-19, yang memutuskan untuk seminimal mungkin terlibat dalam kancah politik Eropa. Tapi mengisolasi diri dalam keserbacukupan justru memperlihatkan betapa untuk bisa berjarak dari hiruk-pikuk politik kaum intelektual membutuhkan topangan ekonomis yang luar biasa besar. Bagaimana seseorang bisa berada dalam isolasi yang nyaman dan berlimpah kalau tidak memiliki kemampuan ekonomis yang memadai? Dari mana orang-orang semacam itu bisa mendapatkan sumber ekonomis untuk kehidupannya? Kita tidak punya pasar yang sanggup melahap habis karya-karya intelektual dalam skala yang cukup besar, yang memungkinkan seseorang berkonsentrasi penuh pada praksis intelektual.

Pramoedya Ananta Toer di hari tuanya memang bisa hidup relatif berkecukupan dari hasil publikasi karya-karyanya yang dibaca khalayak ramai. Pelukis Joko Pekik juga hidup cukup sejahtera karena lukisan-lukisannya terjual dengan harga tinggi. Tapi itu terjadi setelah mereka sendiri tidak lagi produktif berkarya. Beberapa profesor yang sudah pensiun juga ada yang hidupnya cukup makmur, tapi itu karena mereka bekerja di luar jalur-jalur murni akademis seperti menjadi birokrat dalam pemerintahan atau menjadi penasihat perusahaan yang membutuhkan keahliannya. Gambaran tentang masa depan, hari tua, hidup dalam kondisi ekonomi pas-pasan adalah mimpi buruk yang menghantui para sarjana kita. Secara kolektif oleh berbagai sebab kita memang telah makin kehilangan kemampuan menghadapi ketidakpastian. Karena itulah mereka merasa menumpuk harta adalah jalan terbaik untuk memastikan hidup di hari tua dalam kelimpahan. Kalau bisa bahkan diwariskan kepada keturunannya.

Dalam hal ketakutan besar menghadapi ketidakpastian mereka, atau bahkan kita, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang terpesona dan lantas menjadi pengikut ajaran-ajaran dan kampanye kelompok ultra-konservatif dalam agama, yang mampu (berjanji) memberi kepastian tentang jalan hidup menuju surga setelah kematian termasuk melalui cara-cara brutal dan aksi-aksi teror terhadap sesama manusia. Yang satu butuh kepastian masuk surga dengan segala cara kalau perlu bahkan dengan cara meledakkan bom bunuh diri dalam kerumunan orang banyak yang tak berdosa, yang lain butuh kepastian hidup di hari tua dengan menumpuk harta bahkan kalau perlu melalui jalan korupsi yang membuat hidup rakyat banyak tambah sengsara.

Satu-satunya sumber ekonomis yang cukup besar yang barangkali dapat memenuhi kebutuhan semacam itu adalah sumber-sumber yang dikuasai oleh negara. Tapi mengapa pula negara harus membuang-buang anggaran besar hanya untuk membiayai para intelek yang hidup menyendiri dan hanya sibuk mengurus pikirannya sendiri, sementara pemerintah bekerja keras mengumpulkan pajak dari warga negara? Sejak Suharto sampai Jokowi watak pemerintah Indonesia tidak berubah dalam hal ini: dukungan bagi pengembangan pemikiran intelektual bukan tugas dan kewajiban pemerintah. Sebab pemerintah tugasnya hanya melakukan pembangunan untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi. Negara hanya membiayai produksi pengetahuan yang bermanfaat untuk menopang tujuan pembangunan. Bergabung masuk ke dalam lingkar kekuasaan negara, dengan demikian, memiliki manfaat ganda bagi kalangan berpendidikan tinggi: mendapatkan akses pada sumberdaya ekonomi dan meraih martabat sosial tinggi di tengah masyarakat yang masih cenderung feodal.

Era orang-orang yang bisa tinggal di dalam hutan berbulan-bulan atau bertahun-tahun dengan sokongan dari negara sudah lewat. Lagi pula empu, begawan, resi atau orang-orang bijak lainnya itu, yang sering menjadi acuan ideal kaum cendikiawan di Indonesia, kalau pun secara historis benar-benar pernah ada, itu sebagian besarnya kemungkinan adalah orang-orang yang berlatarbelakang kelas penguasa atau memang mendapat sokongan dari penguasa. Mereka mungkin adalah orang-orang yang berasal dari kelompok super elite di dalam kerajaan yang, karena alasan-alasan yang spesifik, memilih mengasingkan dirinya dari politik praktis di dalam kraton. Mereka pergi bertapa di hutan atau gunung, dan lantas mendirikan padepokan-padepokan di sana karena sudah tidak perlu memikirkan kebutuhan dasar yang sudah dipenuhi oleh posisi mereka sebagai bagian dari kalangan elite tadi. Di era modern, posisi-posisi semacam itu hanya mungkin dinikmati oleh orang-orang dengan jumlah kekayaan sangat berlimpah. Di luar itu, para cendikiawan sebagian besarnya hanya kumpulan orang-orang dengan tingkat kemakmuran sedikit saja di atas garis kemiskinan. Untuk mendapat gelar akademik tertinggi, di dalam maupun di luar negeri, mereka harus mengandalkan bantuan finansial dari berbagai pihak. Apakah kita juga dipaksa harus percaya bahwa pemberi modal itu semata-mata orang atau lembaga suci tanpa pamrih?

Padahal kita juga tidak mudah mengidentifikasi sosok intelektual hanya berdasarkan jenjang pendidikan formal yang ditempuhnya, karena intelektual justru nyaris tidak berhubungan dengan pendidikan formal, melainkan dengan kapasitas seseorang untuk membaca dan menafsirkan dunia. Anda boleh hanya berpendidikan SMP, SMA atau tidak tamat kuliah tapi Anda adalah intelektual ketika apa yang Anda lakukan dalam hidup seperti apa yang dilakukan almarhum Sujatmoko, Ajip Rosidi, dan Gunawan Mohammad atau Abdurrahman Wahid. Tapi Anda juga bisa memiliki berderet gelar akademis tinggi sampai Ph.D dan tetap tidak dianggap intelektual kalau yang Anda kerjakan hanya kerja-kerja administratif, jongos pejabat atau orang kaya, menumpuk-numpuk kekayaan, dan tidak menghasilkan karya apa pun yang pantas didiskusikan sehingga berharga secara intelektual.

Bagi sebagian kaum berpendidikan tinggi di Indonesia gelar akademis, dengan demikian, tidak jauh berbeda dengan pesugihan, bisa mendatangkan kemakmuran dalam tempo sangat singkat.


Yang cukup menyedihkan adalah karena ada banyak dari kaum terpelajar kita yang menemui akhir nasib seperti itu setelah mereka menamatkan studi. Banyak dari mereka yang bingung mencari pekerjaan, apa lagi yang tamat S3 di bidang-bidang non-sains dan teknologi seperti ilmu sosial. Dengan spesifkasi teknis yang sangat tinggi, pada dasarnya hampir tidak ada pekerjaan di bidang non-sains dan teknologi yang membutuhkan latar belakang tingkat pendidikan seperti yang mereka miliki kecuali sebagai dosen dan/atau peneliti. Sebagian dari mereka akhirnya memilih bekerja pada orang-orang kaya,yang tingkat pendidikannya sering jauh lebih rendah darinya. Sebagian yang lain memilih masuk ke dalam lingkungan kuasa negara. Ada yang dapat posisi cukup terhormat tapi ada juga yang hanya jadi pegawai kelas kerani versi baru, yakni tenaga-tenaga administratif yang diberi sebutan mentereng dan membuat mereka merasa seolah-olah sudah menjadi pejabat tinggi yang sebenarnya. Kita tidak bisa menyebut mereka intelektual seperti ketika kita membayangkan sebutan itu melekat kepada orang-orang seperti Romo Mangunwijaya, Afief Budiman, atau Sutan Takdir Alisjahbana. Mereka lebih tepat dibayangkan seperti para opsir dan juru ketik di zaman kolonial. Di atas itu karena penambahan kekayaan yang entah dari mana, sebagian dari mereka mungkin akan menyerupai para ambtenaar, atau pangrehpraja yang congkak tapi tanpa wilayah kekuasaan yang jelas.

Dr. Faust dalam versi karya Goethe menggadaikan jiwanya kepada iblis Mephistopeles agar bisa menguasai seluruh ilmu pengetahuan secara tak terbatas dan kesenangan hidup, sedangkan Dr. Fulan, andaikan saja nama itu ada, di Indonesia menjual jiwanya kepada orang kaya dan/atau orang berkuasa agar bisa ikut menjadi kaya raya. Almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dulu menyebutnya “intelektual tukang”. Meskipun Dr. Faust konon merujuk pada sosok historis, tapi sejauh merujuk karya Goethe kita bisa memperlakukannya sebagai perlambang belaka. Fiksi. Dr. Fulan adalah representasi dari sekian banyak Fulan (plural), bukan sosok tunggal (singular). Juga fiksi semata. Yang satu ingin menjadi sangat pintar dan hidup senang, yang satunya lagi ingin menjadi sangat kaya saja karena merasa dirinya sudahlah teramat pintar dengan bukti gelar akademiknya. Dua-duanya ingin meraih tujuan dengan cara cepat, instan. Kalau menjadi sosok historis, selain kuasa dan hidup senang, Dr. Faust mungkin juga terobsesi memiliki karya besar, sedangkan Dr. Fulan boleh jadi terobsesi memiliki motor besar sebagai simbol orang dengan jumlah kekayaan besar.

Dr. Fulan, seperti cukup banyak orang berpendidikan sangat tinggi di Indonesia, kemungkinan hanya berasal dari kelas masyarakat menengah ke bawah seperti petani, guru negeri, pedagang kecil atau buruh, sehingga perbaikan nasib ekonomi menjadi motif utama mereka dalam menempuh pendidikan tinggi. Karena terbiasa hidup dalam kekurangan, Dr. Fulan justru sangat terobsesi dengan harta dan kekayaan. Mereka harus menjadi penyangga utama perbaikan ekonomi keluarga besarnya. Dengan sistem keluarga meluas (extended family) yang berlaku di Indonesia, mereka bertanggungjawab memperbaiki ekonomi keluarga besarnya ke atas, ke bawah, ke kiri dan ke kanan sekaligus.

Bagi sebagian kaum berpendidikan tinggi di Indonesia gelar akademis, dengan demikian, tidak jauh berbeda dengan pesugihan, bisa mendatangkan kemakmuran dalam tempo sangat singkat. Atau sekurang-kurangnya dapat dikatakan bahwa obsesi orang Indonesia pada gelar akademis tertinggi sebagiannya bukan karena ingin menghidupkan dan mengembangkan tradisi pengembangan ilmu pengetahuan, melainkan karena ingin mendapatkan kedudukan tinggi dalam hierarki sosial, dan meraih kekayaan. Tapi ini bukan hanya terjadi di Indonesia, karena di mana pun pendidikan modern memang salah satu anak tangga sosial untuk mencapai kedudukan lebih tinggi. Di Indonesia dulu itu bisa diraih dengan laku-laku memerih diri dan menguasai jimat-jimat sakti, seperti pesugihan itu, sekarang (sebagian) orang percaya pada kesaktian dan aura gelar-gelar akademis untuk kebutuhan yang sama.

Kalau anda sekolah tinggi untuk membalas dendam kepada kemiskinan, Anda mungkin akan berhasil menjadi orang kaya tapi tidak dengan sendirinya Anda menjadi seorang yang pantas diberi label intelektual. Anda mungkin malah akan segera terkena waham dan menjadi pelaku tingkah norak kaum parvenu, orang-orang kaya baru yang asal-usul kekayaannya tidak jelas itu, yang membeli konsumsi dan gaya hidup yang biasa dipraktikkan oleh orang-orang dari kelas atas. Di Perancis orang-orang kaya kelas atas itu disebut para Patricians. Kalangan parvenu akan mengemulasi, menjiplak kebiasaan orang-orang yang sudah kaya sejak lahir. Karena hanya meniru mereka butuh diakui. Untuk diakui mereka harus memamerkannya kepada khalayak luas. Eksibisionis, pongah, dan menyedihkan, karena bagaimana pun mereka tetap akan dipandang rendah oleh orang-orang dari kelompok kaya kelas atas. Ini akan semakin mendorong mereka menambah kekayaan lebih banyak sebanyak upaya mereka untuk melakukan disasosiasi dengan orang-orang yang kondisi ekonominya lebih buruk, bahkan termasuk kepada kerabat, sahabat dan handai taulannya sekalipun. Karena ingin menjadi bagian kelas atas ia akan berusaha keras menampik keterhubungannya dengan asal-usul ekonomisnya yang miskin.

Tapi tidak semua bentuk disasosiasi selalu berarti buruk. Karena itu kita bisa memaknainya dalam dua kepentingan. Pertama, orang melakukan disasosiasi dengan masa lalunya yang sengsara sebagai sebuah tindakan sadar-diri agar ia tidak dipandang rendah oleh orang lain. Artinya disasosiasi merupakan bentuk pernyataan bahwa karena kepemilikan materialnya saat ini orang-orang yang berlimpah harta benda tidak bisa lagi memandangnya sebelah mata seolah ia mudah dibeli dengan harga murah. Ini adalah proses elevasi martabat sosial untuk menepis dugaan bahwa yang mereka lakukan semata-mata hanya menjadi tukang-tukang bayaran orang-orang berharta. Orang-orang seperti ini telah meninggalkan masa lalunya tapi tidak pernah membencinya bahkan ada yang masih berusaha memperbaikinya. Kedua, orang melakukan disasosiasi bukan hanya dengan kemiskinan masa lalunya tapi juga dengan sikap dan kepedulian kepada orang lain yang hidup dalam kemiskinan. Ia atau mereka sudah tidak ingin ada sangkutpautnya dengan apa pun dari asal-usul historisnya. Secara sosial orang-orang kaya baru tipe seperti inilah yang biasa disebut “lupa diri”.



Satu hal lagi yang sering dilupakan adalah perbedaan raison d'être pendidikan modern antara di Indonesia dengan di negara-negara Eropa. Di sana sistem pendidikan dibangun untuk meneruskan tradisi intelektual dan pengembangan ilmu pengetahuan yang secara historis terpisah atau independen dari kelahiran negara. Sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan gereja di Eropa mungkin sudah dibangun bahkan sejak negara-bangsa belum ditemukan, dan negara masih sepenuhnya merupakan teritori dari etnis tertentu atau merupakan perpanjangan dari kuasa tahta suci Sang Paus. Lebih lama dari itu kita tahu bahwa Plato sudah mendirikan Akadēmeia pada abad ke-4 Sebelum Masehi, yang juga berakar pada penggunaan Gymnasia oleh para filsuf dan para sofis di abad ke-5 Sebelum Masehi. Meskipun tentu saja cukup problematis jika kita begitu saja menarik hubungan langsung antara apa yang terjadi di zaman Antik itu dengan tradisi pengembangan dan pewarisan pengetahuan di Eropa sepuluh abad kemudian, misalnya, tetap ada lintasan sangat panjang tradisi diskusi, eksplorasi dan penerapan disiplin intelektual dalam proses-proses produksi dan pengembangan (ilmu) pengetahuan di sana. Ada pula inkuisisi pada setiap pemikiran, dan insisi pada leher yang harus ditebus ketika ilmu pengetahuan yang dikembangkan dianggap bertentangan dengan ajaran dan norma gereja. Pada umumnya itulah masa yang biasa disebut Abad Pertengahan, yang kurang-lebih berlangsung antara abad ke-5 sampai abad ke-15 di Eropa. Tapi mereka tidak pernah berhenti berpikir dan berkarya sampai pada saatnya kuasa lalim bersandi kitab tuhan itu roboh oleh filsafat, dan pertumpahan darah. Setelah itu mereka mengalami kelahiran kembali, renaissance, menjadi manusia-manusia pencerahan (aufklarung), dan lantas menguasai dunia. Sampai hari ini.

kaum intelegensia Indonesia yang menggunakan kesadaran kritisnya untuk mulai berpikir tentang nasib bangsanya yang dinistakan oleh penjajahan, itu adalah anak-anak haram dari sistem pendidikan modern yang diintroduksi sistem kapitalisme kolonial Belanda. Mereka adalah para Malinkundang dari kapitalisme kolonial.


Di Indonesia, di lain pihak, institusi-institusi pendidikan modern muncul lebih sebagai sebuah disrupsi kultural pada tradisi pewarisan pengetahuan yang telah ada. Tradisi akademik kita, dengan demikian, dari awal tumbuh bukan untuk melanjutkan estafet ilmu pengetahuan dari nenek moyang tapi justru untuk meninggalkan dan menggantinya dengan yang baru, yakni yang dipelajari dari Eropa. Pendidikan modern di Hindia Belanda sejak awal didesain bukan untuk melanjutkan tradisi intelektual Nusantara melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan akan para pekerja kelas kerani. Orang-orang Jawa, Sumatra, Manado dan lain-lainnya itu memasuki lembaga-lembaga pendidikan modern (sekolah) tidak pertama-tama diarahkan untuk melanjutkan tradisi para empu atau begawan di masa silam, melainkan hanya untuk mengisi posisi-posisi pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan sederhana pada perusahaan-perusahaan kapitalisme Belanda. Politik Etis (Ethische Politiek) atau politik balas budi Belanda tidak pernah dimaksudkan untuk membuat rakyat Hindia Belanda menjadi masyarakat yang sama pandainya dengan masyarakat Belanda di Netherlands, melainkan agar memiliki pendidikan yang cukup untuk kerja-kerja administratif melalui apa eksploitasi tanah jajahan bisa dilakukan secara lebih efektif.

Tapi dari alasan rudin Politik Etis seperti itulah pada awal abad ke-20 kita menyaksikan munculnya fajar harapan baru, yakni ketika introduksi sistem pendidikan modern itu melahirkan tokoh-tokoh penyangkal kuasa Belanda dan penyulut semangat perlawanan, sedangkan gagasan mereka menjadi suluh api kebangsaan yang semula kecil tapi terus merambat membesar. Dengan demikian, selain merupakan sebuah disrupsi terhadap dan menandai keterputusan dari sistem pewarisan pengetahuan tradisional, sistem pendidikan modern juga merupakan disrupsi terhadap gagasan-gagasan penguasaan dan dominasi orang asing terhadap penduduk Hindia Belanda. Muncul dan merebaknya semangat nasionalisme di kalangan kaum terdidik di Indonesia sejak awal abad ke-20 secara sosiologis bisa disebut sebagai unintended consequency dari Politik Etis. Konsekwensi tak-disengaja adalah terminologi dari Robert K. Merton yang dalam versi aslinya semula berbunyi “uninteded results”, hasil tidak terduga dari sebuah proyek yang ditujukan untuk mendorong perubahan sosial.

Dalam pemandangan semacam itu, kaum intelegensia Indonesia yang menggunakan kesadaran kritisnya untuk mulai berpikir tentang nasib bangsanya yang dinistakan oleh penjajahan, itu adalah anak-anak haram dari sistem pendidikan modern yang diintroduksi sistem kapitalisme kolonial Belanda. Mereka adalah para Malinkundang dari kapitalisme kolonial. Tapi bahkan dengan catatan seperti itu pun, mereka tetaplah bukan dengan sendirinya merupakan kelompok orang yang menjadi pembawa tongkat estafet tradisi pewarisan pengetahuan tradisional. Mereka adalah generasi pertama manusia-manusia modern Indonesia, dan celakanya penentangan terhadap penjajahan itu sendiri dimaknai sebagai bagian dari semangat modern, bukan penerus tradisi nenek moyangnya. Untuk menggunakan perumpamaan yang dipakai dalam Polemik Kebudayaan tahun 1933, mereka adalah para pewaris Dr. Faust, bukan penerus ksatria Harjuna. Saya menggunakan Dr. Faust di sini bukan untuk menyatakan bahwa semua kaum terdidik kita telah menjual jiwanya kepada iblis, melainkan untuk menempatkannya dalam posisi kontras antara upaya mendulang ilmu pengetahuan yang bersumber dari tradisi pendidikan di Barat (Faust) melalui institusi-institusi pendidikan modern, dan upaya tradisi pewarisan pengetahuan warisan tradisi nenek moyang kita yang berporos menghunjam dalam di Timur (Harjuna) dengan metode yang sama sekali berbeda.

Kelompok elite nasionalis berpendidikan modern ini, yang dalam bahasa Sutan Takdir Alisjahbana disebut manusia-manusia Pencerahan itu, menemukan peran-peran intelektual mereka tidak di dalam struktur pekerjaan yang ada di dalam sistem kapitalisme kolonial melainkan di luar itu. Yakni melalui upaya-upaya pergerakan mendorong penentangan terhadap penjajahan yang telah mendidik mereka. Singkat cerita, Indonesia kemudian meraih kemerdekaan de facto dan de jure pada 1945. Indonesia menjadi bagian dari bangsa modern bukan karena kemajuan fisiknya tapi lebih karena kebangkitan jiwa merdeka sebahagian rakyatnya. Peristiwa kemerdekaan sendiri pada dasarnya dapat dimaknai sebagai bagian dari kerja-kerja intelektual elite-elite Hindia Belanda itu, sehingga secara alamiah dan otomatis mereka pulalah yang pertama-tama berhak dan bertanggungjawab untuk mengisi struktur-struktur kepegawaian negara baru merdeka tersebut.

Faktanya negara baru Indonesia tidak dipimpin oleh tokoh-tokoh tradisional seperti raja, sultan, ketua adat dan elite-elite lama semacamnya, melainkan oleh orang-orang lulusan sekolah modern. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya secara historis dan sosiologis memang hampir mustahil memisahkan kaum intelegensia Indonesia sepenuh-penuhnya dari kekuasaan negara, karena sejak awal justru mereka sendiri yang menciptakan ruang-ruang kuasa itu dan harus mengisinya sendiri pula. Fakta historis semacam itu pada akhirnya menentukan dasar-dasar pembentukan lembaga-lembaga pendidikan (tinggi) modern di Indonesia di era paska kolonial sampai sekarang. Menjadi pegawai negeri, artinya pegawai yang diupah oleh negara, sempat menjadi idaman sebagian besar orang tua dan anak-anaknya pula sekaligus. Sempat mereda sebentar mungkin sekitar dekade 1990an, tapi status pegawai negeri kembali menjadi favorit orang tua dan para sarjana beberapa dekade belakangan ini. Kawan saya, soerang wartawan di Makassar, pernah cerita bahwa kantor tempatnya bekerja pernah membuka lowongan pekerjaan untuk 6 orang wartawan, tapi yang mendaftar dan memenuhi kualifikasi hanya 4 orang. Tapi beberapa waktu kemudian, lowongan menjadi pegawai negeri diserbu beribu-ribu pelamar.

Sebagian besar peserta pendidikan modern tidak pernah, dan memang tidak bisa, diarahkan untuk melanjutkan tradisi pewarisan pengetahuan tradisional, melainkan untuk menjalankan agenda-agenda modernisasi sebuah negara-bangsa supaya tidak terlampau jauh tertinggal dari negeri-negeri lain yang sudah jauh lebih maju kondisinya. Institusi dan sistem pendidikan modern kita, dalam kalimat lain, bukan didirikan untuk melanjutkan tradisi intelektual warisan leluhur kita, itu pun kalau memang ada tradisi semacam itu, melainkan justru untuk mengingkarinya, menepiskannya sebagai residu dari khasanah pra-modern, pra-Indonesia. Khasanah pengetahuan di luar ilmu pengetahuan modern kemudian ditepis ke pinggir, dimasukkan ke dalam kategori non-ilmiah, non-akademis bahkan beberapa di antaranya dianggap hanya mitos, takhayul atau legenda belaka.

Pada saat yang sama tampaknya institusi dan sistem itu tetap mewarisi sifat darurat Politik Etis yang menetapkan output dari sistem dan lembaga tersebut terutama untuk memenuhi kebutuhan akan para pekerja yang cukup terdidik. Di era kolonial mereka diarahkan untuk menjadi tenaga kerja kelas kerani di lembaga-lembaga pemerintah dan perusahaan kolonial, dan di era paska kolonial mereka diharapkan akan mengisi posisi-posisi terpenting dalam struktur-struktur kuasa negara dari Jakarta sampai ke desa-desa. Pada masa Orde Baru tujuan itu semakin spesifik: kaum terdidik harus mengisi peran sebagai agen-agen pembangunan nasional dalam seluruh lini dan sektor. Di dalam maupun di luar kekuasaan negara. Mereka yang memiliki keinginan mulia menciptakan tradisi intelektual, seperti yang dibayangkannya tentang tradisi intelektual di Eropa dan Amerika, adalah kekecualian, anomali, bukan norma dari ouput sistem dan lembaga pendidikan di Indonesia.

Di luar tradisi pendidikan modern yang diperkenalkan ke dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda tadi, tentu saja tidak bisa diabaikan bahwa sebelum negara-bangsa Indonesia terbentuk kita sudah memiliki tradisi pewarisan pengetahuan non-Barat, yakni pesantren yang dirintis dan dikembangkan oleh organisasi massa Nahdatul Ulama (NU). Tapi kalau pun pesantren akan diperlakukan sebagai salah satu mode alternatif pendidikan Barat, ia tetaplah bukan penerus tradisi pewarisan pengetahuan Nusantara. Bentuk tradisi di luarnya mungkin saja sama dengan tradisi perguruan-perguruan di zaman Hindu dan Budha, tapi apa yang diajarkannya sama anti-tradisinya dengan apa yang diperkenalkan melalui jalur pendidikan modern Belanda. Dalam kalimat lain, pengetahuan yang dibawa oleh sistem pendidikan Belanda untuk kaum Bumiputra maupun yang diajarkan di pesantren adalah sama-sama pengetahuan modern yang melawan dan melampaui sistem pengetahuan tradisional sebelumnya.

Dalam hal metode, pendidikan pesantren memang sangat berbeda dengan sekolah-sekolah pendidikan model Belanda, karena pada umumnya pesantren menggunakan pendekatan yang relatif akrab dengan tradisi setempat, meskipun dalam beberapa hal mereka juga berseberangan seperti dengan kelompok-kelompok seni tradisional. Ini adalah metode yang menjadi terkenal sejak digunakan oleh sembilan orang suci (wali) dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa dengan menggunakan aspek-aspek tradisi budaya yang sudah dikenal oleh masyarakatnya. Secara metode mereka dengan sangat cerdas merangkul dan bahkan mengembangkan tradisi lama, untuk kemudian melakukan reinvensi tradisi, tapi secara substantif inti dari ajarannya adalah penolakan terhadap sistem-sistem kepercayaan lama. Dalam kasus para wali songo, tradisi lama dimanfaatkan sebagai medium untuk menyampaikan ajaran tapi bukan ajaran tradisional itu sendiri.

Pada level yang lebih tinggi Islam, seperti halnya agama-agama Judeo-Kristian, memperkenalkan monotheisme yang merupakan bagian dari proses modernisasi dalam bidang kehidupan beragama. Salah satu hal signfikan yang diusung oleh Islam dan agama-agama Judeo-Kristian adalah perampingan jumlah tuhan dan dewa yang sebelumnya berbilang banyak. Karena itu tidaklah terlalu mengherankan ketika ide-ide pencerahan atau modern seperti kemerdekaan bangsa juga mendapat sambutan sangat baik di kalangan orang-orang berlatar belakang pendidikan pesantren. Ke dalam kelompok non-Belanda ini tentu saja harus dimasukkan pula pendidikan yang digerakkan oleh organisasi Muhammadiyah. Seperti di pesantren, ajaran yang dibawa dan disebarkannya sama-sama bukan warisan tradisi nenek moyang orang Nusantara, melainkan ajaran dan paham tentang Islam yang sebagian besarnya mengacu kepada pengetahuan dari Timur-Tengah. Dalam hal metode yang digunakannya Muhammadiyah juga tidak menggunakan metode yang dipakai oleh pesantren, melainkan yang hampir menyerupai sistem pendidikan a la Belanda dalam bentuk sekolah.

Pendidikan modern yang dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara, yakni Taman Siswa, juga perlu ditempatkan pada ajang yang lebih kurang sama. Taman Siswa bukan sekolah modern a la Barat yang diperkenalkan oleh Belanda, bukan pula pesantren atau sekolah-sekolah modern Muhammadiyah, melainkan sistem pendidikan bagi kaum Bumiputra yang dikembangkan sebagai alternatif terhadap ketiganya. Taman Siswa merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem pendidikan yang dijalankan pemerintah kolonial yang mempraktikan diskriminasi berdasarkan kelas sosial warga Hindia Belanda: Rakyat jelata hanya bisa mengenyam pendidikan dasar, sedangkan para priyayi dan orang-orang Belanda bisa menempuh pendidikan lebih tinggi bahkan sampai ke luar negeri.

Taman Siswa juga menjadi anti-thesa pendidikan a la Belanda karena mendayagunakan budaya yang ada untuk menanamkan paham kebangsaan dan semangat kemerdekaan. Tapi ini pun tetap tidak bisa dianggap sebagai model sekolah dengan tujuan melanjutkan tradisi pengembangan pengetahuan para leluhur di masa lalu, melainkan sama-sama untuk menjadikan tradisi masa lalu pendorong ke arah kemerdekaan manusia. Inspirasi bagi Taman Siswa juga bukanlah berasal dari cara-cara pewarisan pengetahuan tradisional melainkan dari metode yang digunakan oleh penulis Gitanjali, Rabindranath Tagore di Bengali, India dan Montessori di Italia. Meskipun ditutup pemerintah tapi penghapusan batas kelas dalam pendidikan yang dipelopori Taman Siswa dilanjutkan oleh penguasa pendudukan Jepang setelah Belanda dikalahkan olehnya.

Khianat itu kalau dalam posisi mereka di dalam struktur kuasa negara kemudian hanya memperkaya diri sendiri, memanfaatkan posisinya untuk kepentingan-kepentingan di luar kepentingan pemerintah/negara, korupsi, tidak mempedulikan akibat buruk kebijakan negara yang ikut mereka rumuskan atau implementasikan, dan menjadi pemberi legitimasi bagi tindakan-tindakan atau kebijakan negara yang menyimpang dari kepentingan publik.


Kalau pendidikan yang dipromosikan pemerintahan kolonial Belanda target output-nya adalah orang-orang berpendidikan yang memiliki kecakapan sederhana dalam mengurus administrasi kapitalisme, pendidikan yang dipromosikan tradisi pesantren dan sekolah-sekolah Muhammadiyah memang bukan terutama untuk memenuhi kebutuhan semacam itu melainkan untuk menegakkan syiar atau ajaran Tuhan di bumi, sedangkan Taman Siswa lebih kepada upaya persemaian dialog tradisi dan modernitas. Dorongan bagi ketiganya bukanlah kepentingan meraih keuntungan ekonomis dari praktik kapitalisme ekstraktif Belanda, melainkan untuk menyebarkan ajaran dan kebesaran Tuhan, dan penghormatan terhadap kebudayaan milik sendiri. Empat kelompok tradisi ini menemukan titik berangkat (point of departure) yang sama dalam momentum pergerakan kemerdekaan bangsa dan pendirian negara-bangsa Indonesia yang dimulai sejak permulaan abad ke-20.

Namun meskipun berbeda riwayat kelahirannya, ketika negara-bangsa sudah didirikan, dan ruang-ruang yang tersedia oleh adanya struktur kekuasaan negara baru tersebut sudah terbentuk, keempatnya sama-sama menjadi penopang utama dari negara-bangsa yang baru merdeka tersebut. Seluruh posisi fungsional dan struktural yang tercipta oleh lahirnya negara modern hanya mungkin diisi oleh empat kelompok utama ini, karena hanya empat kelompok ini yang memiliki bekal pengetahuan modern untuk menjamin negara baru tersebut bisa terselenggara.



Tidak ada pengkhianatan intelektual kalau sebagian dari kaum berpendidikan tinggi, bahkan sangat tinggi, di Indonesia beramai-ramai menyerbu masuk ke dalam lingkaran kekuasaan negara. Pertama, karena belum tentu mereka merupakan intelektual. Mereka hanya orang-orang lulusan jenjang pendidikan tertinggi yang butuh pekerjaan berupah relatif tinggi. Kedua, di mana pun mereka menghabiskan waktu dan biaya untuk sekolah di luar negeri, ketika pulang mereka tetap merasa harus ada gunanya. Kalau bukan untuk kemaslahatan publik, minimal untuk anak dan istri atau suaminya. Sungguh malang kalau mereka lulus pendidikan sangat tinggi tapi tidak mengambil peran dan kesempatan apa pun dalam pasar tenaga kerja dan proyek-proyek pembangunan nasional secara luas. Mereka akan digugat apa kontribusinya bagi negeri. Ketiga, siapa tahu dari mereka kemudian lahir versi mutakhir dari Hatta, Sjahrir atau Sukarno. Saya ingat ucapan almarhum Eki Syachruddin kepada Tjahyo Kumolo (waktu itu Ketua KNPI) dalam Forum Indonesia Muda di gedung Kantor Harian Kompas di awal 1990an: “Seburuk-buruknya PETA di zaman Jepang, dia melahirkan Supriadi. Mudah-mudahan Anda adalah Supriadi itu sekarang.” Siapa yang tahu?

Khianat itu kalau dalam posisi di dalam struktur kuasa negara mereka kemudian hanya memperkaya diri sendiri, memanfaatkan posisinya untuk kepentingan-kepentingan di luar kepentingan pemerintah/negara, korupsi, tidak mempedulikan akibat buruk kebijakan negara yang ikut mereka rumuskan atau implementasikan, dan menjadi pemberi legitimasi bagi tindakan-tindakan atau kebijakan negara yang menyimpang dari kepentingan publik. Di lain pihak, praktik-praktik yang murni intelektual hampir bisa dipastikan tidak akan mendapatkan dukungan dari pemerintah/negara, baik finansial maupun infrastruktur, karena dianggap tidak akan memiliki ouput dan outcome yang berguna baik bagi tujuan pembangunan maupun bagi kepentingan kekuasaan itu sendiri. Dalam keserbaterbatasan pilihan semacam itu, kaum cerdik-pandai Indonesia memang berada dalam posisi yang harus dimaklumi. Kadang-kadang mereka bahkan harus dikasihani. Terdengar ironis memang, tapi itulah realitasnya.

Tapi seperti setiap desain strategi besar selalu menghasilkan penyimpangan, tradisi pendidikan modern di Indonesia juga tidak melulu hanya menghasilkan kaum poseur dan para parvenu. Selalu ada mereka yang memilih jalan sendiri, mencurahkan perhatian dan pasinya kepada pengetahuan. Menampik publisitas, memalingkan muka dari godaan menjadi selebriti, dingin di hadapan kekuasaan. Seperti dari Politik Etis kita kemudian menyaksikan lahirnya orang-orang sekelas Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Yamin, Sjahrir, dan yang lain-lain, orang-orang berpendidikan tinggi di Indonesia sekarang juga bukan hanya terdiri dari mereka yang menjulurkan lidah ke arah kekuasaan dan kekayaan tapi juga mereka yang bisa menghabiskan hidupnya untuk tujuan-tujuan yang jauh lebih mulia.

Sebagian yang lain, pindah ke luar negeri karena di sana mereka mendapati lingkungan yang lebih baik untuk minatnya pada pengembangan pengetahuan. Ada pula yang menjadi pendidik penuh dedikasi tanpa membiarkan dirinya jadi budak hasrat konsumsi. Yang lainnya ada yang masuk langsung ke dalam belantara rimba raya dan hidup bersama komunitas-komunitas kecil di sana. Bersama orang-orang setempat mereka mencoba berbagai ikhtiar untuk bersiasat, bernegosiasi dengan modernitas. Masih banyak intelektual Indonesia, berpendidikan tinggi atau tidak, yang statusnya ditentukan bukan oleh kelas tidak pula oleh asosiasinya dengan kalangan tertentu tapi oleh keberpihakannya kepada nasib buruk sesama.

Selalu ada yang sifatnya uninteded, yang “dari kumpulannya terbuang”, yang terbukti jauh lebih bermartabat dan bernilai daripada yang sebaliknya. Mereka adalah orang-orang yang cintanya kepada kemanusiaan dan peradaban lebih besar daripada kepada keluarga, harta benda bahkan dirinya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang merayakan hidup dan dunia bukan dengan limpahan harta benda tapi dalam kegembiraan yang bersahaja, sebagai ungkapan rasa syukur manusia yang fana belaka. Mereka adalah orang-orang yang masih punya posisi bermartabat di hadapan uang dan kuasa, dan tidak akan membiarkan keduanya mengatur hidupnya. Tapi sekali lagi mereka adalah kekecualian, penyimpangan, bukan output yang sengaja dirancang dari awal. Intinya, selalu ada yang menyelenggarakan hidup dalam kegembiaraan tanpa hiruk-pikuk tapi dalam ketenangan, harapan baik, kejujuran, dan kesetiaan kepada ide dan cita-cita. Dari sudut ini, kita bisa membaca kembali Julien Benda secara terbalik: mereka inilah justru yang melakukan une trahison, pengkhiatan kepada strategi dan kebijakan pendidikan modern di Indonesia.

Walt Whitman, pujangga terbesar Amerika,—yang di masanya kadang dianggap pengganti Homer, Virgil, Dante, dan Shakespeare— menulis perayaan dunia dalam kebebasan, kegembiraan dan optimisme demikian fasih dan mengalir deras dalam “Song of the Open Road” dari kumpulan puisinya yang teramat mashur, Leaves of Grass, yang terbit pertama kali pada 1836. Saya pertama kali membacanya pada awal-awal tahun perkuliahan di Yogya di akhir 1980an, setelah saya baca berkali-kali Soe Hok Gie menyitirnya dalam Catatan Harian Seorang Demonstran. Stanza ke-enam, setelah kuplet ketiga, adalah salah satu yang paling sering saya kutip sebagian. Ini versi yang sedikit lebih panjang:

….
Here is the test of wisdom,
Wisdom is not finally tested in schools,
Wisdom cannot be pass’d from one having it to another not having it,
Wisdom is of the soul, is not susceptible of proof, is its own proof,
Applies to all stages and objects and qualities and is content,
Is the certainty of the reality and immortality of things, and the excellence of things;
Something there is in the float of the sight of things that provokes it out of the soul.

Now I re-examine philosophies and religions,
They may prove well in lecture-rooms, yet not prove at all under the spacious clouds and along the landscape and flowing currents.

Here is realization,
Here is a man tallied—he realizes here what he has in him,
The past, the future, majesty, love—if they are vacant of you, you are vacant of them.

Only the kernel of every object nourishes;
Where is he who tears off the husks for you and me?
Where is he that undoes stratagems and envelopes for you and me?

Here is adhesiveness, it is not previously fashion’d, it is apropos;
Do you know what it is as you pass to be loved b
y strangers?
Do you know the talk of those turning eye-balls?



Dalam versi karya Goethe, Dr. Faust akhirnya bisa mati masyuk surga. Salah satu sebabnya adalah maaf dan permohonan ampunan dari Tuhan untuknya dari Gretchen, gadis polos yang diperdaya bujuk rayu dan hidupnya hancur setelah melahirkan anak hasil hubungannya dengan Faust. Lantas siapa yang akan menyelamatkan Dr. Fulan? Tapi apakah ia memang harus diselamatkan? Apakah ia pendosa seperti Dr. Faust? Tidak sesederhana itu.

Saya mencoba melakukan superimposisi tulisan Hannah Arendt tentang Adolf Eichmann dengan tulisan Heru Nugroho tentang banalitas intelektual di Indonesia yang sempat saya singgung di awal tulisan ini. Dibaca dari perspektif Arendt, kritik Heru Nugroho menyediakan alternatif penjelasan yang cukup menarik dan menjadikan argumen Arendt sedikit lunglai. Kalau kaum berpendidikan tinggi dan/atau intelektual Indonesia melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan imperatif-imperatif hidup intelektual seperti bergaya hidup mewah, memanipulasi data pajak, terlibat pencucian uang, tidak menghasilkan karya apa pun, mempublikasikan tulisan yang ditulis oleh bawahannya tapi diklaim tulisannya sendiri, misalnya, itu bukan karena mereka lancung atau jahat. Mereka melakukannya karena terpaksa oleh keadaan.

Kita bisa tarik persoalan ke titik yang cukup ekstrem agar soalnya menjadi sedikit lebih kelihatan. Katakanlah mereka adalah aktor-aktor korupsi yang telah menggarong kekayaan negara, bahkan ikut merancang regulasi-regulasi yang menyengsarakan rakyat. Mereka tetap hanya manusia biasa, pegawai yang taat aturan yang berada dalam cengkeraman struktur yang memaksa mereka berbuat hal-hal yang secara etis sebenarnya mereka tentang pula. Sistem dan struktur pemerintahan yang menjadikan mereka seperti itu, dan mereka hanya pegawai yang menjalankan tugas berdasarkan sistem itu. Mereka bukanlah penjahat. Dari sini kita bisa memanggil kritik Heru Nugro dan menyatakan bahwa mereka hanya kaum banal. Orang-orang berpendidikan sangat tinggi tapi yang pemikirannya dangkal dan komitmennya kepada produksi pengetahuan dan kebaikan bersama sangat rendah. Otaknya juga mungkin sudah banyak yang majal. Mereka bukan intelektual pengkhianat, karena mereka bahkan bukan intelektual. Bagaimana mungkin pengkhianatan intelektual dilakukan oleh mereka yang sama sekali bukan intelektual? Lagi pula mereka tidak menggadaikan jiwanya kepada iblis seperti Dr. Faust, melainkan hanya kepada orang kaya dan/atau orang yang punya kekuasaan. Ketika semakin kaya mereka cenderung semakin disiplin menjalankan ritual agama, kadang-kadang secara demonstratif seperti ulah para penguasa umumnya.

Itulah mengapa saya banyak tidak setuju dengan tulisan Arendt. Dalam beberapa hal argumennya tampak hanya didasarkan pada impresi superfisial, di permukaan. Dangkal. Banal.

Tanjung Barat, Jakarta, 5-10 Juni 2021



ANDA MUNGKIN TERTARIK JUGA

Multikulturalisme | Kewarganegaraan

Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas