Indonesia pasca Orde Baru Suharto antara lain ditandai oleh terjadinya rentetan konflik sosial yang sumber-sumbernya dipercaya bisa dilacak dari diversitas nilai, identitas, etnik dan agama. Dimulai dengan apa yang lebih dikenal sebagai konflik etno-religius di Ambon tahun 1997-2000 yang lalu, kemudian disusul konflik Poso di Sulawesi, dan konflik Dayak-Madura di Kalimantan, konflik-konflik lain terus terjadi silih berganti. Meskipun beberapa kalangan akademisi cenderung menyatakan bahwa yang terjadi pada dasarnya bukanlah konflik antaragama, tapi tetap tidak bisa dimungkiri bahwa konflik-konflik tersebut menempatkan para pelaku yang berbeda agama atau berbeda etnis (atau kedua-keduanya) berhadap-hadapan sebagai musuh satu sama lain.
Studi di wilayah Kalimantan Tengah yang dilakukan Gerry van Klinken (2002: 68) menunjukkan bahwa hal semacam itu bisa dilacak dari peran-peran baru elit lokal setelah rezim otoritarian berakhir. Merujuk hasil penelitian Jack Snyder, van Klinken mencatat bahwa konflik etnis atau ultra nasionalisme bisa pecah pada saat sebuah negeri keluar dari rezim autoritarian. Ruang demokrasi yang terbuka kemudian lebih banyak dikuasai oleh elit-elit anti-demokrasi daripada yang pro demokrasi. Kelompok anti-demokrasi inilah yang memanipulasi sentimen etnik untuk membelokkan tuntutan rakyat atas demokrasi.
Telah banyak didiskusikan bahwa ketika negara Orde Baru secara gradual mulai terbentuk setelah 1966, ketegangan antara proses-proses pembentukan bangsa (nation building) dan keterikatan-keterikatan primordial tidak lagi dianggap sebagai ancaman bagi negara-bangsa Indonesia. Riset-riset akademik kemudian bergeser dari isu-isu semacam itu dan lebih dikosentrasikan pada kajian-kajian tentang negara (Nordholt and van Klinken 2007: 3). Setelah Suharto mundur, kebijakan otonomi daerah telah menciptakan apa yang secara luas dikenal sebagai “kerajaan-kerajaan kecil” dengan “raja-raja lokal”-nya yang menambah rumit problematik hubungan antara negara pusat dengan negara lokal. Situasi ini diperparah oleh munculnya elit-elit etnik baru (van Klinken 2002: 68-72) yang saling berkompetisi satu sama lain untuk memperebutkan supremasi politik di daerah, untuk menjadi raja di masing-masing kerajaan kecilnya.
Menjadi jelas bahwa sampai sebelum Suharto turun, kajian-kajian politik oleh ilmuwan politik Indonesia sebagian besarnya adalah kajian tentang negara, di Jakarta. Kajian politik lokal di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, misalnya, baru dibuka pada awal abad ke-21. Dengan resiko melakukan beberapa simplifikasi secara umum dapat dikatakan bahwa di lapangan akademis di Indonesia, perhatian pada lokalitas berlangsung secara lebih ekstensif setelah kuasa Suharto surut ke latar belakang dan yang muncul adalah apa yang sering disebut ledakan identitas. Sejak itu, meminjam judul terjemahan memikat dari novel penulis Afrika, Chinua Achebe, Things Fall Apart, ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Pustaka Sinar Harapan (1986), segalanya berantakan. Apa yang sering dibangga-banggakan sebagai harmoni bangsa Indonesia oleh rezim Orde Baru terbukti sebagian besarnya semu belaka. Memasuki abad ke-21 sebagian dari Indonesia kita itu terbukti masih merupakan urusan yang tidak pernah kunjung usai.
Beberapa Konsep Dasar
Dalam Terms of Reference (ToR) yang dikirimkan panitia workshop, berulang kali saya membaca penggunaan ungkapan komunitas lokal (local community) yang kadang-kadang dipertukarkan tapi juga sering digunakan terpisah dari ungkapan lokalitas (locality). Untuk memperkeruh suasana, mungkin ada baiknya kita mendiskusikan ungkapan-ungkapan tersebut dengan merujuk pada konsepsinya di dalam ilmu-ilmu sosial, terutama disiplin yang pernah secara formal saya pelajari, yakni sosiologi.
Dalam tradisi sosiologi saya diajari bahwa konsep komunitas dipakai untuk membedakan konteks yang lebih terbatas daripada konsep tentang “masyarakat” (society). Berikut akan saya kutipkan secara panjang lebar kalimat-kalimat dalam karya sosiologi pertama dari sosiolog pertama di Indonesia, Selo Sumardjan, tentang perbedaan konseptual antara masyarakat dan komunitas. Dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta (2009), yang aslinya merupakan disertasi untuk Universitas Cornell tahun 1962, Sumarjan menulis:
Konsep “community” (masyarakat) yang digunakan dalam studi ini perlu diperhatikan. Di sini, istilah tersebut digunakan sehingga berbeda dengan istilah “society” (masyarakat) yang dipandang sebagai suatu pengelompokan dari orang-orang yang telah cukup lama hidup bersama untuk mengembangkan kebudayaan yang sama. Istilah “community” di sini berarti suatu bagian masyarakat yang berdiam di dalam suatu lokasi geografis dengan batas-batas daerah yang jelas. Ciri utama dari konsep ini adalah lebih besarnya frekuensi interaksi di kalangan para warganya dibanding dengan kalangan lain di luar lokasi itu. Dalam pengertian ini, kita berbicara tentang masyarakat pedesaan. Mereka adalah bagian dari masyarakat Jawa yang berdiam di dalam batas-batas suatu desa.
Perhatikan bahwa dalam kutipan di atas Selo Sumardjan masih menggunakan terminologi masyarakat sebagai padanan bahasa Indonesia baik untuk konsep sosiologi tentang “society” maupun “community”. Dalam diskusi-diskusi akadamis saat ini, padanan bahasa Indonesia untuk konsep “community” yang sering digunakan adalah “komunitas”. Almarhum Pak Selo Sumardjan tentu saja bukan penemu konsep-konsep di atas. Sosiolog Jerman abad 19, Ferdinand Tonnies, yang dijuluki bapak pendiri teori komunitas, itu telah menarik garis pembeda antara apa yang disebutnya “gemeinschaft” dan “gesellshaft”. Yang pertama menunjuk pada relasi-relasi dalam komunitas yang dicirikan oleh kedekatan atau intimitas abadi di antara sesama anggota komunitas yang seringkali juga masih memiliki hubungan kekeluargaan satu dengan lainnya di dalam sebuah teritori yang terbatas. Hubungan-hubungan di antara mereka menjadi bermakna karena semua orang membagi bersama sebuah kebudayaan yang mereka anggap miliknya (a shared culture). Sementara gesellshaft dicirikan oleh relasi-relasi yang lebih impersonal, temporer, dan kontraktual. Kalau dalam gemeinschaft relasi sosial bersifat afektif, dalam gesellschaft bersifat kalkulatif dan rasional.
Distingsi yang hampir sama juga dibuat oleh sosiolog Prancis abad 19, Emile Durkheim tentang dua bentuk solidaritas sosial: solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Yang pertama didasarkan pada kesamaan-kesamaan antar individu, yang umumnya dapat ditemukan pada masyarakat-masyarakat yang belum terlampau maju secara sosial. Sementara solidaritas organik didasarkan pada pembagian kerja dan hubungan saling melengkapi antar individu, yang biasa terjadi dalam masyarakat yang dianggap sudah lebih maju.
Dalam perkembangannya ungkapan “komunitas” juga sering dipakai sebagai sebentuk eufimisme untuk terminologi-terminologi yang dianggap derogatif seperti “masyarakat adat” yang diubah menjadi “komunitas adat”, “masyarakat tertinggal” yang diubah penyebutannya menjadi “komunitas adat terpencil”, dan “suku terasing” menjadi “komunitas lokal”. Dengan demikian, konsep komunitas bukan hanya deskriptif tapi juga cenderung normatif dan ideologis. Didorong oleh romantisme abad 19 para sosiolog, bahkan sampai sekarang, cenderung melihat komunitas sebagai bentuk-bentuk relasi sosial yang lebih bermanfaat bagi kebaikan warga. Beberapa sosiolog perkotaan bahkan menyimpulkan (Gans, 1982; Harvey, 1990), bahwa komunitas lebih aman di dalam lokalitas tapi selalu berada dalam ancaman di dalam kota. George A. Hillery (1995) pernah menganalisa tidak kurang dari 94 definisi tentang konsep komunitas, dan menyimpulkan bahwa hanya satu elemen saja yang bisa dijadikan basis pada semua konsep-konsep tersebut tanpa kecuali. Yakni bahwa semua definisi itu berhubungan dengan orang (people). Di luar itu, tidak ada kesepakatan lain.
Sumpah Pemuda 1928 sering dirujuk sebagai indikasi awal semangat multikulturalisme di Indonesia. Tapi anggapan atau pemahaman tersebut keliru karena kesepakatan untuk mengutamakan satu kepentingan bersama melampaui sekian banyak ragam dan beda justru telah melampaui apa yang belakangan menjadi bahasan dalam berbagai diskusi tentang multikulturalisme di banyak tempat di dunia.
Penting pula dicatat bahwa selain dalam konsep tentang orang, dalam sebagian besar konsep komunitas juga pasti mengandaikan lokalitas, yakni sebuah teritori geografis dengan batas-batas yang jelas. Dalam kajian-kajian tentang komunitas (community studies), istilah “lokalitas” merujuk pada konsepsi tentang ruang geografis dalam apa relasi-relasi tatap muka merupakan bentuk relasi sosial yang paling dominan. Asumsinya, ruang-ruang dengan batas yang jelas berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan komunitas karena ruang seperti itu dapat memberikan rasa aman, komitmen, dan rasa memiliki (Blackshaw, 2010: 96). Maka saya bisa menyebut komunitas Wetutelu untuk menunjuk salah satu bagian dari masyarakat Sasak di Lombok, yang menganut ajaran Islam wetutelu, dan tinggal di lokasi-lokasi tertentu saja seperti di Segenter dan Wet Smokan. Dengan demikian penggunaan ungkapan komunitas lokal sebenarnya cukup problematik secara konsptual karena cenderung tautologis.
Perhatian pada komunitas dan lokalitas juga menjadi penting di dalam perkembangan apa yang disebut kajian-kajian tentang subaltern (subaltern studies). Subaltern, arti awalnya kurang lebih berarti “pangkat rendahan” (inferior rank), digunakan oleh Antonio Gramsci (1971) untuk menunjuk kelompok-kelompok dalam masyarakat yang tunduk di bawah hegemoni kelas yang berkuasa. Ke dalamnya termasuk para petani, buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses pada kekuasaan hegemonik. Istilah ini kemudian diadopsi ke dalam khasanah teori-teori post-kolonial, pertama-tama dalam konteks kajian tentang kelompok-kelompok subordinan di Asia Selatan (terutama India), dan kemudian menyebar ke beberapa bagian dunia lainnya.
Terlepas dari beberapa perbedaan di antara mereka, Ranajit Guha (1982), Gayatri Spivak (1985), Partha Chatterjee, dkk., mencoba menyeimbangkan kepincangan pada kajian-kajian akademik yang terjadi karena kecenderungan hanya fokus kepada kelompok elit dalam historiografi Asia Selatan. Ciri utama kelompok subaltern adalah resistensi terhadap kelompok elit. Dengan demikian, kajian subaltern bertujuan untuk melakukan penilaian objektif atas peran-peran para elit sekaligus melakukan kritik tajam terhadap interpretasi elitis atas peran-peran tersebut. Nasionalisme India (atau bisa juga Indonesia), misalnya, bukanlah semata-mata petualangan idealis dalam apa para elit pribumi memimpin rakyatnya keluar dari penindasan menuju kebebasan.
Negosiasi antara Bangsa dan Etnik
Perhatian pada problematik lokal dalam konteks nation-state Indonesia bisa dilacak dari proses-proses negosiasi yang belum kunjung selesai antara apa yang dalam bahasa Indonesia disebut "bangsa", yang oleh para antropolog lantas dikategorikan sebagai ”etnis” atau suku bangsa, dan apa yang belakangan disebut ”nasion”, yang sering dianggap lebih tepat untuk menerjemahkan kata ”nation” dalam bahasa Inggris. Bangsa-bangsa yang berbeda-beda, dengan pengalaman dan ingatan kolektif masing-masing yang berbeda tentang penjajahan oleh bangsa-bangsa Eropa, itu memutuskan untuk (atau diklaim) bergabung ke dalam sebuah gagasan tentang kebangsaan yang baru, nasion Indonesia.
Bangsa-bangsa tersebut (diajak), melalui narasi-narasi tentang penjajahan dan kemerdekaan, menyepakati bersama bahwa sebagai kesatuan bangsa, Indonesia memiliki nasib eksistensial yang sama, yakni sebagai korban kolonialime, dan karena itu memiliki satu kepentingan yang juga sama, yakni memerdekakan diri dari cengkraman kekuasaan penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa itu ikut terlibat dalam pendirian nation-state baru, sebagian yang lain diasumsikan secara otomatis masuk ke dalam wilayahnya sebagai sebuah resiko karena pernah masuk ke dalam wilayah jajahan Belanda. Pendirian Indonesia, dengan demikian, melibatkan proses perluasan imajinasi bangsa-bangsa melampaui klaim teritorial dan kultural lamanya, mencapai tingkat nasional.
Ada banyak tokoh pendiri negara-bangsa Indonesia tentu saja, tapi karena keterbatasan ruangan saya ini hanya akan membahas salah satu di antaranya saja, yakni Sukarno. Proklamator kemerdekaan Indonesia ini menggunakan ungkapan atau jargon ”Natie” untuk memberi penekanan bahwa konsep bangsa yang dipakai dalam frase ”bangsa Indonesia” berbeda dengan konsep bangsa yang dipakai untuk merujuk kesatuan-kesatuan teritorial dan kultural sebelum Indonesia. Kata ”natie” dalam kalimat Sukarno kira-kira sepadan makanya dengan kata ”nasion” yang sekarang sering dipakai untuk menerjemahkan kata dalam bahasa Inggris ”nation”. Pada bagian lain Sukarno lebih jauh mengemukakan konsepnya tentang negara-kebangsaan dalam kalimat-kalimat berikut:
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di zaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokrokesumo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Ageng Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Gagasan Sukarno tentang sebuah nationale staat dalam dua kutipan di atas mengandaikan sebuah negara kebangsaan yang melampaui bentuk-bentuk bangsa merdeka yang pernah ada sekaligus mengintegrasikan bangsa-bangsa tersebut ke dalamnya. Dalam kalimat lain, Sukarno menarik relasi superlatif antara Indonesia dengan bangsa-bangsa subnasional. Konsepsi Indonesia sebagai kesatuan sebuah bangsa, dengan demikian, mengalahkan kepentingan-kepentingan ”bangsa-bangsa subnasional” tersebut dan menurunkan status mereka hanya menjadi, dalam bahasa Sukarno, ”sebahagian kecil” dari kesatuan itu atau, dalam bahasa Antropologi, menjadi suku bangsa-suku bangsa (ethnics) yang eksistensinya sebagai bangsa hanya bisa dijelaskan dengan merujuk pada konsepsi tentang ke-Indonesiaan yang melingkupinya. Untuk bangsa baru itulah Sukarno berusaha keras menemukan a platform layer yang bisa menengahi bermacam-macam perbedaan dengan memberinya sebuah landasan, sebuah welthanschauung yang disebutnya Pancasila. Obsesinya pada kesatuan bangsa bahkan tercermin dari pencatuman sila ”kebangsaan Indonesia” sebagai sila pertama dari naskah Pancasila yang diusulkannya.
Oktober 1928, tujuh belas tahun sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, beberapa perkumpulan Pemuda dari berbagai bangsa tadi menyatakan tekad mereka untuk bernaung di bawah sebuah imajinasi atau sebuah fiksi yang sama, Indonesia. Mereka berikrar ”satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia”. Para pemuda itu menyepakati terbentuknya sebuah bangsa yang lebih besar, sebuah Indonesia Raya, yang menghimpun sekaligus melampaui bangsa-bangsa (kecil) dari mana mereka berasal. Bangsa Indonesia lahir mendahului kelahiran negara Indonesia. Pada hari itu pula, sebuah karya komponis W.R. Supratman, Indonesia Raya, pertama kali dikumandangkan di depan publik, dan kelak diresmikan sebagai lagu kebangsaan negara Indonesia merdeka. Mereka bahkan memberi sebutan ”Indonesia” pada rangkaian kepulauan yang sejak lama dikenal sebagai Nusantara. Dipilihnya bahasa Indonesia yang berakar pada bahasa Melayu, dan bukan bahasa etnis dominan, sebagai medium yang diasumsikan menjadi pemersatu bangsa, dengan alasan bahwa bahasa tersebut telah lama menjadi lingua-franca di kepulauan Nusantara, merupakan putusan yang sangat krusial dalam peletakan dasar-dasar penyikapan masyarakat Indonesia terhadap diversitas bangsanya.
Peristiwa Kongres Pemuda II 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda di atas sering dirujuk sebagai indikasi awal semangat multikulturalisme di Indonesia karena para pemuda tersebut tidak menjatuhkan pilihan untuk bangsa baru itu pada bangsa dengan jumlah populasi penduduk terbesar, yakni bangsa Jawa atau bangsa Sunda. Tapi anggapan atau pemahaman tersebut keliru karena penemuan kesatuan atau kesepakatan untuk mengutamakan satu kepentingan bersama melampaui sekian banyak ragam dan beda justru telah melampaui apa yang belakangan menjadi pokok-pokok bahasan dalam berbagai diskusi tentang multikulturalisme di banyak tempat di dunia. Para pemuda itu sudah melampaui pertanyaan atau gugatan yang sering muncul tentang bahasa nasional yang dalam praktiknya di banyak negara memang biasanya berasal dari bahasa yang dipakai oleh etnik dominan. Mereka juga bisa menemukan atau paling tidak menyepakai penggunaan “Indonesia” sebagai penyebut bersama baik untuk merujuk pada bangsa maupun kepada himpunan teritori-teritori geografis yang berbeda dan terletak berjauhan secara fisikal. Kesepakatan tentang Indonesia sebagai “masa depan” yang “dibayangkan” itu sudah jauh meninggalkan perdebatan dan gugatan terhadap ikatan-ikatan konsensual yang dicurigai merupakan upaya manipulatif kelompok dominan di tempat-tempat lain.
Apakah, kalau demikian, Indonesia merupakan kelanjutan dari bangsa-bangsa (tua) tadi? Dalam wilayah diskursif lain, menjadi bangsa Indonesia dianggap sebagai proses historis untuk ke luar dari kegelapan masa lalu, yang oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA) disebut zaman "jahiliyah prae-Indonesia". Dalam “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang dimuat dalam Pujangga Baru bulan Agustus 1935, STA antara lain menulis:
Sangat perlu dinyatakan dengan tegas, bahwa sejarah Indonesia dalam abad kedua puluh, ketika lahir suatu generasi yang baru di lingkungan Nusantara ini, yang dengan insaf hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan negerinya. Zaman sebelum itu, zaman sehingga penutup abad kesembilan belas, ialah zaman prae-Indonesia, zaman jahiliyah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin dan lain-lain.
Kata Arab “jahiliyah” yang dipakai STA dalam kutipan di atas merujuk pada periode masyarakat Arab sebelum Islam. Ungkapan tersebut berkonotasi negatif dalam arti bahwa masyarakat Arab sebelum Islam sering digambarkan sebagai masyarakat yang rendah tingkat peradabannya, dan belum tercerahkan akal budinya. “Zaman jahiliyah prae-Indonesia” adalah ungkapan lain untuk apa yang di Eropa disebut zaman kegelapan pada Abad Pertengahan. Ke luar dari zaman itu berarti orang Indonesia memasuki era Pencerahan (Aufklarung), melepaskan diri dari belenggu irrasionalitas, merayakan modernitas. STA berseru mengajak orang-orang pada zamannya untuk tidak melakukan glorifikasi sejarah masa lampau, sebab menurutnya masa lalu tersebut tidak memberi kontribusi pada penemuan bangsa Indonesia di abad keduapuluh. Kalau Sukarno memperlakukan “bangsa-bangsa tua” tadi sebagai bagian dari proses pembentukan nationale staat Indonesia, STA justru merekomendasikan agar masyarakat Indonesia membebaskan diri dari ikatan-ikatan tradisional tersebut.
Perkataan bebas bukan berarti tidak tahu seluk beluknya, perkataan bebas hanya berarti tidak terikat. Sebabnya siapa yang belum dapat melepaskan dirinya dari kebudayaan jawa akan berdaya upaya akan memasukkan semangat kejawaan ke dalam kebudayaan Indonesia, siapa yang belum terlepas dari kebudayaan Melayu akan berdaya upaya memasukkan semangat kemelayuan ke dalam kebudayaan Indonsia dan demikian seterusnya. Bagi mereka yang demikian kebudayaan Indonesia itu ialah kebudayaan Jawa atau kebudayaan Melayu yang berubah sedikit.
Dengan gagasannya tersebut, STA telah memancing perdebaan intelektual yang sering dianggap paling cemerlang dalam sejarah pemirkiran di Indonesia, yakni apa yang secara luas lebih dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan”. Berbeda dengan beberapa lawan polemiknya waktu itu, yang cenderung merekomendasikan agar Indonesia meletakkan orientasi perkembangan kebudayaannya dengan mengambil inspirasi dari khasanah kebudayaan Timur dan keluhuran budaya leluhur, STA melihat Indonesia modern harus sepenuhnya membentuk kebudayaan baru, kebudayaan Indonesia Raya. Ia, dengan demikian, bukan penganjur kebijakan memilih kebudayaan etnis dominan sebagai budaya nasional, tidak pula memilih menghimpun kebudayaan-kebudayaan yang ada ke dalam wadah Indonesia modern, bukan pula penganjur mosaik kultural seperti para multikulturalis kontemporer, melainkan penganjur penciptaan kebudayaan (nasional) baru. Menjadi jelas bahwa nasion Indonesia bagi STA bukanlah hasil penjumlahan bangsa-bangsa yang ada, bukan pula merupakan kelanjutan dari bangsa-bangsa itu, melainkan sebuah invensi yang khas abad ke-20, sesuatu yang semula tidak pernah ada dalam sejarah pra-Indonesia sampai akhir abad 19. Kerajaan-kerajaan pra-Indonesia, termasuk Majapahit dan Sriwijaya, bukanlah pendahulu negara dan bangsa Indonesia modern. Indonesia modern adalah bangsa yang kebudayaannya didasarkan pada temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti negara-negara Eropa modern.
Karangan ini tidak dalam posisi membenarkan atau menyanggah gagasan Sukarno, para penggagas Sumpah Pemuda, dan STA, melainkan berusaha melihat bagaimana proses menuju sebuah nationale staat dalam tiga kasus sejarah tadi sebagian atau seluruhnya melibatkan proses pengingkaran terhadap masa lalu untuk sebuah utopia tentang masa depan. Bangsa, dengan demikian, adalah sebuah entitas yang meronta terhadap sejarah yang sudah lewat, proyek rasionalitas yang melakukan khianat atas masa lalu dan melakukan perampasan masa depan. Sukarno merasa perlu membuat apologi kepada raja-raja lama karena peran sejarah mereka harus segara diganti aktor-aktor baru dalam sebuah nationale staat yang baru, sedangkan STA telah menetapkan bahwa zaman pra-Indonesia harus sepenuhnya ditinggalkan juga untuk tujuan yang sama. Baik Sukarno maupun STA (bahkan termasuk lawan polemik STA) dalam Polemik Kebudayaan pada dasarnya sama-sama melihat bangsa-bangsa itu berada di bawah level sebuah negara kebangsaan. Bedanya terletak pada penyikapan mereka terhadap peran bangsa-bangsa tersebut di dalam Indonesia merdeka.
Saya tergoda untuk menempatkan kecenderungan menguatnya kembali dorongan ke arah penemuan kembali identitas-identitas lokal, dan komunalisme pada beberapa kasus sepesifik, di Indonesia belakangan ini ke dalam konteks penetapan utopia sebuah bangsa dan proses-proses sosial disilusi masyarakat tentangnya. Pertama ia adalah serangan pada satu bentuk utopia tentang bangsa sebagai sebuah jalan ke luar yang paling mungkin dari sisi gelap sejarah masa lalu wilayah-wilayah koloni Eropa seperti tampak pada gagasan Sukarno dan STA di atas. Bagi Seokarno kemerdekaan, dan pembentukan bangsa, hanyalah sebuah syarat atau jalan, bukan tujuan. Yang ingin ditujunya adalah sebuah tatanan baru setelah kemerdekaan direbut. Tidaklah terlalu mengherankan ketika dalam prakteknya seruan “revolusi belum selesai” yang dipakai Sukarno untuk menggalang kesatuan rakyat demi meraih utopia itu seringkali secara tragis ditempuh justru dengan mengorbankan kehidupan ekonomi dan politik rakyatnya sendiri.
Hal yang sama di kemudian hari juga dilakukan Suharto dengan proyek-proyek pembangunan untuk sebuah otopia tentang Indonesia yang makmur sentausa. Jalan yang ingin ditempuh Suharto adalah jalan yang bebas dari gangguan, aman dan stabil, dan untuk itu ia, seperti Sukarno, memilih mengorbankan kebebasan warganya sendiri. Sukarno bereksperimen dengan demokrasi terpimpin (guided democracy), sedangkan Suharto memperkenalkan konsep demokrasi Pancasila. Dalam prakteknya, dua bentuk demokrasi ini dipakai untuk menyatukan bangsanya tidak dalam kemakmuran dan keadilan tapi dalam penderitaan dan penindasan. “Kesatuan”, termasuk kesatuan sebuah bangsa, kata Ernest Renan (1994:11), memang “is always effected by means of brutality”.
Kedua, ia menjadi sejenis pengakuan atas pahitluka proses mengingat kembali masa depan setelah sebuah utopia besar itu runtuh oleh krisis ekonomi dan huruhara politik. Kehidupan rakyat yang gemah ripah loh jinawi (adil makmur sentausa) yang dinarasikan oleh Sukarno itu ternyata sebagian besarnya adalah ilusi semata. Jembatan emas kemerdekaan itu terbukti tidak mengantarkan masyarakat Indonesia ke mana pun selain pada keruntuhan ekonomis, tumpukan hutang luar negeri, fragmentasi politik dan akibat-akibat susulannya yang begitu panjang. Di lain pihak, tahap-tahap pertumbuhan ekonomi atau proyek modernisasi/pembangunan Suharto juga menemui akhir yang lebih kurang sama. Jadi di samping kemunculan elit-elit lokal di dalam ruang demokrasi pasca otoritarianisme, yang berusaha memanipulasi sentimen etnis untuk merebut posisi kepemimpinan daerah seperti tesis van Klinken (2002:70), faktor disilusi masyarakat terhadap ideal-ideal kesatuan Indonesia yang dipromosikan negara (Orde Lama dan Orde Baru) ikut pula berperan dalam proses muncul dan menguatnya kecenderungan-kecenderungan di atas.
Sekarang kita seperti sedang terus diburu oleh hantu bangsa-bangsa tua yang dulu dipaksa masuk kubur oleh gagasan tentang kesatuan nasional negara Orde Baru. Dalam era demokratisai dan otonomi daerah saat ini, bangsa-bangsa tua itu seperti bangkit dari kuburnya masing-masing, mendorong lahirnya tuntutan untuk melakukan renegosiasi dengan negara pusat di Jakarta, dan memaksa semua orang berpikir ulang tentang lokalitas. Tapi bersamaan dengan itu pula perasaan sebagai anggota sebuah komunitas besar yang lebih abstrak, sebuah bangsa, bangsa Indonesia terus-menerus diragukan.
Pernah disajikan sebagai makalah dalam sebuah Workshop yang diselenggarakan oleh Forum Lenteng, Jakarta, di GG. House, Bogor. Saya lupa waktu persisnya kapan.