- Hikmat Budiman |
- The Interseksi Foundation, Jakarta
Tendensi-tendensi pembangunan ekonomi ke arah pemangkasan multiplisitas program-program kultural masyarakat sudah banyak digugat di banyak tempat. Demi kepentingan ekonomi, beberapa aspek kebudayaan masyarakat sering terpaksa harus dikorbankan atau, pada level yang lebih rendah, mengalami komodifikasi menjadi objek yang bisa dijual agar bisa mendatangkan keuntungan ekonomi seperti dalam proyek-proyek turisme. Turunan dari komodifikasi adalah komoditisasi ketika budaya khas suatu daerah, misalnya, dikemas sedemikian rupa sehingga sebagai sebuah paket wisata pada dasarnya sulit dibedakan dengan paket wisata kultural dari wilayah lain. Kultur yang mengalami komoditisasi mengalami standarisasi sehingga menjadi seragam. Keragaman dan beda dianggap potensial mendatangkan ketidakteraturan, khaotik, dan bisa merugikan. Tema-tema seperti ini pernah menjadi pokok diskusi akademik yang cukup menarik dalam membicarakan proyek-proyek modernisasi melalui pembangunan ekonomi di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, paling tidak sejak pertengahan dekade 1990an, tanpa sebab yang jelas debat-debat teori pembangunan berangsur-angsur meredup.
Di sisi lain, kita sekarang menghadapi persoalan politik kewargaan yang bisa saja lebih rumit dibandingkan dengan apa yang terjadi sebelumnya. Kalau Gerakan Aceh Merdeka bisa dianggap sebagai bentuk-bentuk artikulasi kepentingan warga yang diterjemahkan ke dalam praktek perlawanan bersenjata, di banyak tempat lain pada dasarnya kita dengan mudah bisa menemukan berbagai bentuk persoalan kewarganegaraan yang tidak kalah pentingnya. Di kawasan Cagar Alam Morowali, di Sulawesi Tengah, misalnya, pernah ada artikulasi politik yang begitu keras yang berbunyi
“Tare Kampung, Tare Agama, Tare Pamarenta”. Semboyan yang lebih kurang berarti “Tidak ada Kampung, Tidak ada Agama, Tidak ada Pemerintah”, itu pasti bukan tanpa sebab yang sama kerasnya. Negasi rakyat terhadap tiga institusi sosial negara Indonesia modern itu adalah reaksi balik terhadap bermacam-macam program kebijakan yang pernah dilakukan selama beberapa dekade pembangunan ekonomi. Khusus dalam soal agama, warga di kawasan ini sudah mengalami upaya “normalisasi warga” bahkan sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda.
Kampung, agama, dan pemerintah adalah lembing-lembing kekerasan negara yang memaksa
To Wana, orang-orang yang tinggal di dalam kawasan Cagar Alam Morowali, itu untuk masuk ke dalam kerangkeng politik kewargaan yang mengabaikan multiplisitas kultural. Ketiganya adalah bagian dari teknologi kontrol sosial melalui apa negara mengkerangkai bangsa
(framing the nation). Kalau ingin menjadi warga negara dan bangsa Indonesia, seseorang harus tinggal dalam kampung yang dikontrol oleh negara (melalui camat, kepala desa, sampai RT/RW), masuk agama yang diakui dan didanai negara, dan mengakui bahwa apa pun yang dilakukan pemerintah adalah demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Eksistensi di luar bingkai itu berarti bukan warga negara, hanya manusia liar atau, dan ini yang sangat melukai akal sehat, manusia-manusia adat yang dilestarikan untuk kepentingan turisme belaka. Padahal
To Wana, seperti semua masyarakat manusia lainnya yang mampu bertahan hidup melintasi berbagai zaman sampai saat ini, telah memiliki pola pemukiman, agama, dan pranata-pranata sosial lainnya yang lengkap untuk mendukung hidup mereka. Ambisi untuk mengubah agama dan pola pemukiman mereka, dengan demikian, bukan lain adalah refleksi dari obsesi pada perampingan ajaran dan pola kultural.
To Wana, dan beberapa komunitas lainnya yang menghadapi problem serupa adalah kelompok minoritas dalam jumlah dibandingkan dengan sisa populasi lainnya dalam negara Indonesia. Bahkan kalau pun jumlah kelompok-kelompok ini disatukan dalam angka statistik, perbandingannya tetap jauh lebih kecil dibandingkan dengan sisa mayoritas yang ada. Problemnya kemudian adalah, apakah politik kewargaan kita bisa menjamin bukan hanya kelestarian eksistensi mereka, melainkan juga memasukkan mereka ke dalam kategori warga negara yang sama, meskipun mereka hidup dengan ajaran, kultur, dan nalar sosial yang sama sekali berbeda. Artinya, bisakah kita keluar dari mekanisme
framing the nation yang sudah ada, dan menempuh politik kewargaan yang berbeda yang memungkinkan diversitas bukan hanya bertahan hidup melainkan sama-sama memberi kontribusi pada cara bagaimana kita berbangsa. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membawa kita pada diskursus tentang hak minoritas dan multikulturalisme yang dibahas dalam buku ini.
Respon Kebijakan
Paling tidak sejak akhir dekade 1960an dan awal 1970an, gagasan tentang multikulturalisme mulai banyak dibicarakan di lingkungan internasional. Gagasan tersebut merujuk pada sebuah truisme bahwa masyarakat-masyarakat manusia niscaya memiliki budaya yang beragam. Diakui muncul sebagai gerakan sosial di Kanada, multikulturalisme sekarang menjadi isu penting paling tidak dalam dua tingkat. Pertama, ia menjadi bahan diskursus luas di kalangan akademisi yang melihatnya sebagai sebuah tantangan untuk melakukan kajian-kajian baru tentang subjek warga negara, dengan basis penekanan bukan lagi semata pada individu melainkan berbasis kolektif sebagai kelompok-kelompok sosial. Kecenderungan ini berjalan paralel dengan meluasnya gagasan poskolonial, berikut istilah-istilah derivatifnya seperti poskolonialisme, poskolonialitas, dan disrkusi/kritik poskolonial. Penekanan poskolonial pada otonomi lokal, dan hibrida kultural, itu dianggap sejalan dengan gagasan multikulturalisme yang mengedepankan diversitas kultural. Kedua, ia menjadi model alternatif kebijakan kultural yang mulai banyak diterapkan di sejumlah negara seperti Australia dan, dalam beberapa hal, bahkan Perancis.
Bhikhu Parekh (1999), proponen teori multikulturalisme yang paling banyak dikutip, merekomendasikan pemahaman multikulturalisme bukan sebagai sebuah doktrin politik dengan muatan programatik, tidak pula sebagai sebuah aliran falsafah dengan teori yang khas tentang tempat manusia di dunia, melainkan lebih sebagai sebuah perspektif atau cara melihat kehidupan manusia. Ada tiga pandangan mendasar multikulturalisme yang, menurut Parekh, sering disalahpahami bahkan oleh para pembelanya sendiri.
Pertama, manusia terikat secara kultural
(culturally embeded) dalam arti bahwa mereka tumbuh dan hidup dalam sebuah dunia yang telah terstruktur secara kultural, dan bahwa mereka menjalankan kehidupan dan relasi-relasi sosialnya dalam kerangka sistem makna dan pemaknaan yang diturunkan secara kultural. Tapi, demikian Parekh, hal itu bukan berarti bahwa manusia sepenuhnya dideterminasi oleh kebudayaannya dalam pengertian tidak bisa tumbuh di atas kategori-kategori pemikirannya dan secara kritis mengevaluasi nilai-nilai dan sistem maknanya, melainkan bahwa mereka memang secara mendalam dibentuk olehnya, bisa mengatasi sebagain tapi tidak seluruh pengaruhnya, dan dengan sendirinya memandang dunia dari dalam sebuah kebudayaan, apakah itu budaya yang telah mereka warisi dan secara tidak kritis mereka terima atau yang secara reflektif telah mereka perbaharui atau, untuk kasus-kasus yang jarang terjadi, sebuah budaya yang secara sadar mereka adopsi.
Kedua, budaya yang berbeda merepresentasikan sistem makna dan visi tentang kehidupan yang baik yang juga berlainan. Karena masing-masing menyadari keterbatasan kapasitas dan emosi manusia dan hanya mampu menangkap sebagian saja dari totalitas eksistensi manusia, ia membutuhkan budaya-budaya lain membantunya memahami dirinya secara lebih baik, mengembangkan cakrawala intelektualnya, merentangkan imajinasi, dan menyelematkannya dari narcisisma untuk menjaganya dari godaan untuk mengabsolutkan diri, dan sebagainya.
Ketiga, setiap budaya secara internal bersifat plural, dan merefleksikan sebuah perbincangan/dialog yang kontinu di antara tradisi-tradisi dan jalinan pemikiran yang berbeda. Ini bukan berarti bahwa ia tidak memiliki koherensi dan identitas, tapi bahwa identitasnya itu plural, cair dan terbuka. Budaya-budaya tumbuh dari bermacam-macam interaksi baik sadar atau tidak dengan yang lain, mendefinisikan identitasnya melalui yang lain dan, paling tidak sebagiannya, bersifat multikultural asal-usul dan pembentukannya. Setiap budaya membawa bagian-bagian dari budaya lain di dalam dirinya, dan tidak pernah benar-benar
sui generis. Parekh memang tidak merekomendasikannya menjadi doktrin politik, tapi praktek multikulturalisme jauh lebih mudah dilihat dan dipahami dalam konteks kebijakan politik sebuah negara. Pada hampir semua kasus negeri-negeri yang memberlakukannya sebagai kebijakan kewargaan, multikulturalisme pada dasarnya bisa dilihat sebagai sebuah respon kebijakan politik terhadap heterogenitas budaya warga yang cenderung semakin kompleks akibat makin intensif dan massifnya pola migrasi manusia dari satu titik ke titik lainnya dalam peta dunia global. Dengan kalimat lain, kebijakan multikultural dikembangkan sebagai sebuah model, di samping model-model lain, yang ditujukan pada politik pengelolaan perbedaan kultural warga negara.
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa diversitas kultural adalah ciri dari sebagian besar negara modern di seluruh dunia. Hasil studi Väyrinen (1994) dan Connor (1994) menunjukkan bahwa dari seluruh negeri di dunia, hanya 10% sampai 15% negara yang benar-benar bisa dikategorikan memiliki etnis yang homogen. Setiap negara memiliki metode atau pendekatan yang berbeda dalam mengelola keragaman kultural dan diversitas etnis. Dilihat dari perspektif sosiologis tentang relasi antara sebuah kebijakan negara di bidang tersebut dengan status individu sebagai bagian dari warga negara, secara garis besar, paling tidak kita bisa melihat tiga tipologi pendekatan yang sudah banyak dilakukan di banyak negara di dunia tentang hal ini. Pertama, pendekatan yang didasarkan pada prinsip nasionalitas
ius solis dan
civic concept of citizenship. Pendekatan ini mengesampingkan pengakuan atas keberadaan suku, bahasa atau agama minoritas dalam batas wilayah sebuah negara.
Argumen utama yang dipakai adalah bahwa tidak diakuinya kelompok minoritas merupakan sebuah cara untuk menjaga kesatuan Negara dan kohesi sosietal antar warga negara. Ini menjadi ciri khas pendekatan kebijakan integrasionis. Kebijakan ini juga dilandasi oleh adanya pemisahan yang ketat antara ruang privat dan ruang publik. Negara yang memberlakukan kebijakan ini adalah Prancis. Konkretnya, warga Prancis, apa pun latar belakang etnis, bahasa dan agamanya, dilindungi haknya sebagai warga negara secara individual, tapi tidak secara kolektif sebagai kelompok minoritas. Konstitusi Prancis bahkan sama sekali tidak pernah merujuk soal identitas kultural. Dalam konteks ini kita bisa memahami keputusan pemerintah Prancis yang melarang siswi-siswi Muslim menggunakan kerudung di sekolah umum Prancis beberapa waktu lalu.
Kedua, kebijakan yang dilandasi oleh prinsip nasionalitas
ius sanguinis, kewarganegaraan berdasarkan darah atau asal-usul etnis. Kalau Anda lahir di sebuah negara yang menganut prinsip ini, tapi Anda tidak memiliki asal-usul etnis yang sama dengan etnis pendiri atau pemilik negeri tersebut, sampai kapan pun Anda tidak akan pernah bisa menjadi warga negaranya. Sebaliknya, meskipun Anda lahir dan tinggal di negeri lain, bahkan kalau pun Anda sama sekali tidak menguasai bahasa negara tersebut, tapi jika Anda berasal dari keturunan etnis pendiri negeri tersebut, kapan pun Anda bisa mengajukan permohonan menjadi warga negaranya. Jepang dan Jerman adalah dua negara yang sampai sekarang memberlakukan prinsip ini. Generasi para imigran Turki di Jerman, misalnya, meskipun mereka merupakan penutur asli bahasa Jerman, tapi mereka tidak bisa menjadi warga negara Jerman. Orang-orang Korea dan etnis-etnis minoritas lain yang lahir dan sekian lama hidup di Jepang juga tidak akan pernah dianggap sebagai warga negara Jepang. Pembelaan terhadap hak-hak etnis minoritas di negara-negara tersebut biasanya ditujukan ke luar, bukan kepada kehidupan minoritas etnis di negerinya sendiri.
Ketiga adalah kebijakan yang didasarkan pada model multikulturalisme. Berbeda dengan Prancis yang meletakkan basis kebijakan publiknya pada satuan individual, model kebijakan multikultural justru mencoba mengakui hak warganya dalam status kolektif sebagai kelompok-kelompok etnis. Dengan kalimat lain, kebijakan ini menggeser penekanan yang semata-mata meletakkan hak sebagai wilayah properti individual menjadi bagian dari sebuah kolektivitas sehingga identitas atau asal-usul kultural warga tidak diabaikan. Umumnya kebijakan ini diambil oleh negara-negara yang menghadapi masalah antara populasi penduduk asli (
indegenious atau
First Nation populations), populasi pendiri negara
(Founding populations), dan para imigran yang datang di belakang hari. Praktek akomodasi identitarian ini diadopsi oleh pemerintah Kanada dan Australia.
Kanada memiliki beberapa populasi penduduk asli dan dua populasi pendiri, yakni mereka yang berbahasa Inggris dan mereka yang berbahasa Prancis. Meskipun sudah datang 100 tahun lebih awal, tapi warga berbahasa Prancis adalah minoritas dalam jumlah dibandingkan dengan warga berbahasa Inggris. Keterpisahan antara dua penutur bahasa ini memiliki implikasi politik yang sangat besar dalam wacana tentang multikulturalisme di negeri ini. Sementara Australia hanya memiliki satu populasi penduduk asli, yakni orang-orang Aborigin, dan satu populasi pendiri, yakni warga berbahasa Inggris. Sisanya adalah para imigran. Australia tentu saja tidak mengalami kompleksitas persoalan seperti Kanada, meskipun bukan berarti bahwa kebijakan multikultural yang diambilnya sama sekali tanpa hambatan.
Untuk lebih jelas melihat posisi kebijakan multikultural dalam konteks kebijakan politik kebudayaan sebuah negara, kita bisa pula melihatnya dari perspektif yang lain. Salah satu model yang selama ini banyak dirujuk sebagai sampel mutakhir tentang bagaiamana sebuah negara besar mengelola keragaman budaya warganya adalah konsep
melting pot. Banyak orang beranggapan bahwa model ini tepat digunakan dalam konteks kompleksitas persoalan yang muncul akibat konsentrasi demikian banyak latar belakang etnis dan kebudayaan warga, akibat migrasi antar-negara atau urbanisasi, dalam sebuah lokasi geografis. Kota-kota metropolitan dunia seolah dengan sendirnya harus menerapkan kebijakan kultural yang didasarkan pada konsepsi ini. Asumsi kebijakan
melting pot adalah bahwa budaya-budaya warga yang sangat beragam itu akan mengalami percampuran dengan sendirinya tanpa intervensi negara. Contoh paling sering disebut dari pendekatan tradisional ini tentu saja adalah Amerika Serikat.
Tapi asumsi pendekatan ini sekarang mulai dipertanyakan kembali. Logikanya sederhana, kalau konsep
melting pot mengandaikan terjadinya amalgamasi kultural berjalan secara alamiah, seperti logam atau material lain yang beraduk rata dalam sebuah wadah akibat pemanasan pada suhu yang sangat tinggi, pengandaian ini juga mengandaikan budaya-budaya yang ada mengalami pencairan atau pelelehan
(melting) terlebih dahulu. Budaya-budaya tersebut, dengan demikian, terlebih dahulu harus mengalami disintegrasi baru kemudian bisa mengalami reintegrasi bersama-sama ke dalam sebuah wadah besar yang menampungnya. Konkretnya, orang harus melepaskan karakteristik kulturalnya masing-masing untuk bisa menjadi bagian dari sebuah budaya yang baru. Itu artinya, dalam konsep
melting pot orang tidak bisa mempertahankan eksistensi kulturalnya masing-masing, melainkan harus hidup dalam sebuah budaya hasil pencampuradukkan tadi. Budaya nasional bukanlah
resultante dari budaya-budaya yang telah ada sebelumnya, melainkan sebuah produk dari proses peleburan dan pembentukan ulang.
Di sisi lain, kita juga bisa melihat kontras multikulturalisme dengan apa yang mungkin cukup aman disebut monokulturalisme, yakni ketika sebuah negara berusaha untuk, atas nama kesatuan dan stabilitas nasional, mengintegrasikan seluruh rempah ruah budaya yang ada ke dalam satu bentuk budaya dominan yang biasanya berasal dari satu etnik dominan tertentu. Negara-negara yang terobsesi oleh keinginan untuk memiliki satu kebudayaan nasional yang dibayangkan bisa meneruskan riwayat kebesaran masa lampau memiliki kecenderungan kuat ke arah ini. Dalam teori politik, misalnya, pernah ada rekomendasi yang cukup tegas bahwa bagi sebuah negara yang menghadapi problematik akibat terlampau beragamnya kebudayaan daerah atau etnis yang sama-sama memiliki kontribusi pada pembentukan negara tersebut, ada dua alternatif pilihan kebijakan: atau menobatkan kebudayaan salah satu etnis mayoritas-dominan sebagai budaya nasional atau berusaha keras menciptakan kebudayaan yang sama sekali baru dengan terlebih dahulu menumpas budaya-budaya yang sudah ada.
Untuk konteks Indonesia, tidak satu pun dari alternatif tersebut yang secara terang-terangan dipilih, meskipun dalam prakteknya kita bisa melihat terjadinya superimposisi kebudayaan etnik dominan melalui bermacam-macam kebijakan nasional. Tapi di sisi lain, Indonesia juga memiliki sejarah keberhasilan politik kebudayaan ketika para pendiri negara ini justru memilih mengembangkan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional (bahasa Indonesia) daripada memilih bahasa salah satu etnis terbesar, Jawa atau Sunda. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah pendekatan yang dilakukan melalui pentahbisan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional mengatasi bahasa Jawa atau Sunda, itu bisa dianggap sebagai manifestasi dari semangat awal multikulturalisme, atau, dinyatakan dalam cara lain, apakah multikulturalisme sebagai sebuah kebijakan politik identik dengan putusan memilih simbol-simbol kultural minoritas menjadi simbol nasional? Atau kalau pun putusan tersebut tidak merefleksikan semangat multikulturallisme, apakah ia telah mencederai keragaman kultural yang ada? Haruskah multikulturalisme, dalam konteks spesifik ini, berarti Indonesia memiliki lebih dari satu bahasa nasional seperti Kanada? Esai ini tidak dipersiapkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Berbeda dengan dua pola kebijakan kultural di atas, kebijakan multikultural mengandaikan masing-masing warga negara harus menjaga budayanya sendiri, dan hidup berdampingan secara damai bersama warga-warga lain dengan budayanya yang berbeda. Dalam konteks ini negara tidak memilih penumpasan keragaman kultural, tidak pula memilih kebijakan mengaduk potensi-potensi kultural bangsanya, melainkan menyediakan sebuah arena tempat perbedaan kultural menjadi azas, dan negara menjadi institusi yang berdiri tegak menjamin perbedaan itu tidak saling melumatkan. Alih-alih menepis habis ragam budaya atau meleburkannya menjadi satu, kebijakan multikulturalisme berusaha menciptakan kebudayaan nasional lebih sebagai sebuah mosaik kultural, bukan sebuah entitas tunggal dan utuh. Perumpaan lain yang juga sering dipakai untuk memberi gambaran visual pada gagasan multikulturalisme adalah “semangkuk salad”
(a salad bowl).
Kesalahan yang umum terjadi adalah pemahaman bahwa seolah-olah ketiga pendekatan yang berbeda itu masing-masing kongruen dengan kenyataan hasil implementasinya. Bahwa dalam sebuah negara yang menggunakan pendekatan monokultural, misalnya, kehidupan dan praktek-praktek kultural warganya sepenuhnya benar-benar monolit, tunggal dipayungi oleh nilai-nilai satu kebudayaan yang utuh. Demikian pula sebaliknya, seolah-olah di negara-negara yang menganut pendekatan
melting pot warganya tidak memiliki peluang untuk bertahan hidup dengan karakteristik kultural lamanya masing-masing. Atau bahwa di negara-negara yang memberlakukan kebijakan multikulturalisme kehidupan warganya niscaya tidak pernah tidak beragam, tidak pernah memiliki sebuah makna atau praktek kultural yang dibagi bersama oleh seluruh multiplisitas kultural itu. Padahal di sebuah Pecinan di Amerika Serikat, misalnya, sebagian orang Cina di sana bisa saja masih ada yang tetap hidup dengan sebanyak mungkin tradisi yang diturunkan oleh leluhurnya, sambil pada saat yang sama mereka hidup dalam kultur Amerika Serikat yang baru (kalau memang ada kultur di sana).
Minoritas Multikultural
Terminologi multikulturalisme dan hak minoritas bolehjadi merupakan sepasang konsep yang sangat mudah disandingkan, tapi pasangan keduanya sama sekali tidak mudah ditetapkan aplikasinya. Multikulturalisme sebagai sebuah kebijakan politik, di dalamnya memang melingkupi persoalan-persoalan tentang minoritas. Tapi pada saat yang sama, konsep minoritas sendiri tidak pernah benar-benar bisa ditetapkan standar pengertiannya. Dalam kalimat lain, konsep tentang minoritas di dalam dirinya sendiri cenderung problematik. Kalau sebuah kelompok secara numerik berjumlah lebih kecil dibandingkan dengan sisa populasi sebuah wilayah, tapi ia memiliki kekuatan dominan dalam pelbagai sektor seperti ekonomi dan politik, misalnya, adakah kelompok tersebut bisa dikategorikan sebagai kelompok minoritas? Sebaliknya, kalau sebuah etnis numerik jumlahnya jauh lebih besar dari etnis-etnis lain dalam sebuah negara, tapi mayoritas etnis tersebut hidup dalam kepapaan ekonomi dan ketidakberdayaan politik, misalnya, tidakah etnis tersebut bisa digolongkan ke dalam kelompok minoritas?
Pengandaian di atas bukan saja menggarisbawahi kenyataan bahwa isu minoritas tidak hanya sekedar merujuk pada jumlah atau cacah jiwa, tapi juga tentang hampir mustahilnya menetapkan sebuah batasan definitif tentangnya yang bisa diterima secara universal. Minoritas sejauh ini memang lebih merupakan sejumlah kriteria yang ditetapkan oleh pihak luar kepada kelompok orang tertentu. Sebagai ilustrasi, mari kita lihat dua definisi yang pernah diajukan kepada Perserikatan Bangsa-bangsa. Yang pertama dikemukakan oleh UN Special Rapporteur, Francesco Capotorti. Dalam laporannya Capotorti mencoba menerangkan minoritas sebagai:
A group, numerically inferior to the rest of the population of a State, in a non-dominant position, whose members- being nationals of the State- possess ethnic, religious or linguistic characteristics differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religion or language.
Study on the Rights of Persons belonging to Ethnic, Religious and Linguistic Minorities, UN Document E/CN.4/Sub.2/384/Add.1-7 (1977)
Definisi kedua diajukan oleh Jules Deschênnes:
A group of citizens of a State, constituting a numerical minority and in a non-dominant position in that State, endowed with ethnic, religious or linguistic characteristics which differ from those of the majority of the population, having a sense of solidarity with one another, motivated, if only implicitly, by a collective will to survive and whose aim is to achieve equality with the majority in fact and in law.
Proposal Concerning a Definition of the Term 'Minority' UN Document E/CN.4/Sub.2/1985/31 (1985)
Mengacu pada dua usulan definisi minoritas di atas, beberapa hal akan segera menggangu pikiran kita. Pertama, dalam kedua definisi tersebut minoritas pertama-tama ditunjukkan oleh perbandingan numeriknya dengan sisa populasi yang lebih besar. Artinya, sebuah kelompok bisa disebut minoritas kalau jumlahnya signifikan lebih kecil dari sisa populasi lainnya dalam sebuah negara. Ini adalah penegasan bahwa, berbeda dengan beberapa diskusi tentang minoritas yang sempat berkembang, minoritas mutlak harus dipahami dalam konteks jumlah. Kita bisa mempersoalkan atribut-atribut sosiologis lain tentang minoritas, tapi seluruhnya tetap harus diletakkan dalam konteks jumlah populasinya yang mengacu pada total populasi sebuah negara.
Kedua, berhubungan erat dengan yang pertama, minoritas mengandaikan sebuah posisi yang tidak dominan dalam konteks sebuah negara, tapi frase “tidak dominan” tersebut tidak dijelaskan secara spesifik. Artinya, pengandaian tersebut juga menuntut pengandaian lain: bahwa terma “dominan” bisa dipahami sebagai sebuah makna tunggal yang melingkupi seluruh sektor kehidupan sosial. Konkretnya, untuk kembali pada problematik sebelumnya, kalau sebuah kelompok minoritas dalam jumlah tapi ia dominan dalam sektor ekonomi sebuah negara, misalnya, ia tidak bisa dikelompokkan sebagai minoritas dalam batasan definisi tersebut. Sebaliknya, kalau sebuah kelompok tidak berada pada posisi dominan dalam sektor apa pun, tapi kelompok tersebut mayoritas dalam jumlah, ia juga bukan kelompok minoritas. Untuk sekedar membuat sebuah contoh ekstrem, kalau, katakanlah, etnis Jawa dalam negara Indonesia mengalami subordinasi politik terhadap etnis Dayak, sekali lagi untuk mengambil sekedar perumpamaan paling ekstrem, ia jelas tidak termasuk kelompok minoritas yang wajib dibela.
Ketiga, menjadi minoritas juga mengandaikan terdapatnya perbedaan salah satu atau semuanya dari tiga wilayah, yakni etnik, agama, dan linguistik, dengan sisa populasi lainnya. Batasan seperti ini sulit diterjemahkan ke dalam konteks multiplisitas identitas yang terdapat dalam beberapa kelompok etnis, agama, dan penutur linguistik tertentu di Indonesia. Pengaju definisi ini, dengan demikian, menggunakan sebuah cara pandang yang melihat karakteristik orang atau kelompok orang, yang jumlah anggotanya terbatas, itu sebagai sebuah konsep uniter, tunggal dan utuh. Etnis, agama, dan bahasa dilihat sebagai satuan terkecil yang secara bersama-sama menentukan karakteristik sebuah kelompok. Konkretnya, warga komunitas Sedulur Sikep di Jawa Tengah, misalnya, memiliki etnis dan bahasa yang sama dengan mayoritas etnis terbesar di Indonesia, Jawa. Secara formal, dalam data statistik negara, mereka juga pemeluk salah satu agama besar yang diakui di Indonesia, Budha—meskipun mereka memiliki rasional berbeda tentang pencantuman agamanya ini. Tapi kesamaan semacam itu tidak lantas membuat mereka menjadi “orang Jawa” seperti mayoritas etnis Jawa lainnya.
Keempat, menjadi minoritas mengharuskan orang atau kelompok orang memiliki rasa solidaritas antara sesamanya, dan membagi bersama keinginan untuk melestarikan agama, bahasa, tradisi, budaya, dan kepentingan untuk meraih persamaan di depan hukum dengan populasi di luarnya. Meskipun sekilas tampak cukup masuk akal, tapi batasan ini menetapkan minoritas menjadi sebuah kriteria yang sudah selesai disematkan kepada sekelompok orang, dan menutup kemungkinan adanya peluang reposisi hubungan sosial dengan kelompok-kelompok di luarnya. Batasan tersebut mengantarkan saya pada konotasi konseptual bahwa untuk menjadi minoritas sebuah kelompok harus tidak berubah, dan terus hidup dalam lingkungan pengaruh agama, bahasa, dan tradisi yang sama. Ia seperti merekomendasikan sejenis determinasi kultural pada kelompok minoritas, dan anggota-anggotanya dianggap selamanya tidak bisa mengatasi determinasi tersebut. Yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi pengunaan batasan tersebut untuk politik konservasi kultural dan imparsialitas hukum yang diberlakukan secara serampangan belaka.
Menarik diperhatikan bagaimana Negara (ditulis dengan N besar) menjadi sebuah lokus penting dalam konsepsi tentang minoritas pada dua usulan definisi di atas: bahwa konteks geografis dan geokultural untuk minoritas adalah sebuah wilayah yang berada dalam sebuah kedaulatan satu negara, dan tidak berlaku untuk konteks di luar itu. Bagi mereka yang menggemari teori konspirasi, peletakkan negara sebagai sebuah batas melalui apa sebuah definisi tentang minoritas ditentukan pasti akan menimbulkan kecurigaan buruk yang berlebihan. Orang, misalnya, bisa saja menduga bahwa definisi ini merupakan bagian dari sebuah lobi internasional oleh sebuah kelompok minoritas tertentu agar kelompok ini bisa dikategorikan sebagai minoritas yang harus dilindungi dalam sebuah negara, meskipun dalam konteks global kelompok ini memiliki keterikatan kultural bahkan kebangsaan dengan sesamanya di negara lain yang menghimpun sebuah jumlah yang cukup besar. Tapi teori konspirasi lebih sering meyakinkan sebagai pemantik kecurigaan yang naif daripada kritisisme yang sebenarnya. Mengesampingkan model pemikiran konspirasional seperti itu, kita bisa melihat betapa sebetulnya negara masih merupakan sebuah institusi yang sangat penting dalam zaman ketika sebagian orang percaya bahwa sains dan teknik telah merelatifkan batas-batas tradisional seperti bangsa dan/atau negara. Dalam konteks semacam itu, negara bisa dipahami sebagai otoritas yang mutlak harus ada agar perjuangan membela hak-hak minoritas menjadi punya alasan operasional.
Di lain pihak, formulasi konsep minoritas juga diikuti oleh pemisahannya dari apa yang disebut indigenous people. Mantan Special Raporteur PBB untuk Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas, Jose Martines Cobo, memberikan batasan berikut:
Indigenous communities, peoples and nations are those which, having a historical continuity with pre-invasion and pre-colonial societies that developed on their territories, consider themselves distinct from other sectors of the societies now prevailing in those territories or parts of them. They form at present non-dominant sectors of that society and are determined to preserve, develop and transmit to future generations their ancestral territories, and their ethnic identity, as the basis of their continued existence as peoples, in accordance with their own cultural patterns, social institutions and legal systems.”
Study on the Problem of Discrimination Against Indigenous Populations, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/Add.4
Untuk keperluan konseptual mungkin memang perlu membedakan kelompok minoritas dari kelompok-kelompok penduduk pribumi (indigenous people). Tapi dalam konteks multikulturalisme, kalau kita memeriksa realitas yang ada di Indonesia, pendirian batas konseptual semacam itu cenderung membingungkan. Melebihi Kanada, Indonesia memiliki begitu banyak indegenous atau First nation populations, dan founding populations. Di samping itu, status populasi pendiri juga tidak bisa dibatasi hanya pada etnis-etnis yang dianggap asli, tapi juga para pendatang seperti etnis minoritas Cina, Arab, atau India dan keturunannya yang sekarang resmi menjadi warga negara Indonesia. Mereka telah ada di sini bahkan jauh sebelum negeri ini terbentuk, dan para pejuang kemerdekaan bersepakat memiliki satu bangsa yang sama. Pada sisi yang lain, Indonesia mungkin termasuk salah satu negeri yang relatif tidak terlampau disibukkan menghadapi persoalan pelik akibat gelombang kedatangan imigran dalam jumlah besar dan tinggal permanen belakangan ini. Kegagalan demi kegagalan pembangunan ekonomi, itu menjadikan Indonesia bukan tujuan migrasi yang menarik bagi para pencari kerja internasional.
Translasi konseptual dari frase “indegenous people” ke dalam bahasa Indonesia juga ternyata masih cenderung membingungkan. Ada yang menerjemahkannya menjadi “orang-orang pribumi asli”, ada pula yang pernah menggunakan istilah “suku terasing”. Konsep “pribumi asli” banyak digugat karena pada dasarnya memang sangat sulit menetapkan batasan tentang siapa sesungguhnya yang benar-benar merupakan manusia-manusia pertama di Indonesia. Orang bahkan bisa mengatakan bahwa manusia asli Indonesia adalah kelompok kera-kera berjalan tegak seperti homo Soloensis atau Paleo Javanicus. Di luar itu, semua orang Indonesia pada dasarnya berasal dari para pendatang dari luar kepulauan Nusantara. Pada zaman penjajahan Belanda, konsep “pribumi” atau “bumiputra” berkonotasi pada orang atau kelompok orang yang inferior vis a vis warga Belanda di Hindia Belanda.
Pada masa kerusuhan di Jakarta bulan Mei 1998, menjelang dan beberapa saat setelah Soeharto mundur, kata “pribumi” dipakai untuk membedakan orang-orang Indonesia, Muslim terutama, dari warga minoritas Cina yang jadi sasaran pengrusakan. Sementara terminologi “suku terasing” sering melahirkan pertanyaan tentang makna kata “terasing” yang dimaksud dalam konsep tersebut. Kalau “terasing” dipahami sebagai sebuah kriteria eksistensialis dan diletakkan dalam konteks relasi manusia dengan dunianya, penggunaan istilah “suku terasing” bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang memilih jalan hidupnya sendiri yang berbeda dengan mayoritas warga, itu jelas tidak memiliki landasan konseptual yang kuat. Orang-orang Baduy di wilayah propinsi Banten, orang Sasak, orang Kubu dan Lubu, untuk mengambil beberapa contoh, misalnya, sama sekali bukanlah orang-orang yang terasing baik dari sesamanya maupun dari dunia kehidupan sosial yang mereka bentuk. Kalau predikat “suku terasing” dilekatkan pada mereka, maka hal sebaliknya juga bisa berlaku untuk kelompok mayoritas warga lainnya: bahwa kita semua adalah “suku-suku terasing” dari dunia mereka.
Pemerintah belakangan ini memilih istilah yang berbeda, yakni Komunitas Adat Terpencil (KAT). Penggunaan istilah “terpencil”, menggantikan istilah “terasing”, tampaknya tidak hanya merujuk pada jarak geografis tapi juga kultural. Kelompok-kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai bagian dari KAT bukan hanya karena secara kebetulan lokasi geografis tempat hidupnya terletak jauh dari pusat-pusat kehidupan kelompok mayoritas, tapi juga karena mereka dianggap terpisah dari mayoritas melalui program-program kultural proses modernisasi. Pusat adalah sebuah gagasan tentang teritori yang ditetapkan sepihak, oleh mayoritas untuk menghasilkan kontras dengan gagasan tentang areal-areal yang berada di luarnya. Terpencil bukan hanya berarti jauh secara fisik tapi juga psikologis, karena ia juga identik dengan status terbelakang dibanding mayoritas.
Definisi resmi pemerintah tentang KAT adalah “Kelompok sosial (budaya) yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik (Keppres No.111/1999 dan Kepmensos No.06/PEGHUK/2002). Ada pun karakteristiknya meliputi: (1) Berbentuk komunitas relatif kecil, tertutup, dan homogen; (2) Organisasi sosial I pranata sosialnya bertumpu pada hubungan kekerabatan (bersifat informal dan kental dengan norma adat); (3) Pada umumnya terpencil secara geografis dan secara sosial-budaya dengan masyarakat yang lebih luas; (4) Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten (berburu dan meramu, peladang berpindah, nelayan subsisten, dan kombinasi diantaranya); (5) Peralatan dan teknologinya sederhana; (6) Ketergantungan kepada lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA) setempat relatif tinggi, dan ; (7) Terbatasnya akses pelayanan sosial dasar, ekonomi dan politik.
Pada bagian lain penjelasan dari Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Departemen Sosial RI disebutkan bahwa tujuan pemberdayaan KAT adalah Memberdayakan KAT dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani dan sosial sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat setempat. Tujuan tersebut terkait dengan berapa isu yang dianggap strategis. Pertama, Hak Asasi Manusia (HAM), terutama hak tentang warga negara yang dalam naskah pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bunyi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 bahwa segenap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kedua, komitmen pemerintah pada konstelasi politik global yang telah menghasilkan beberapa kesepkatan penting terutama tentang
Declaration of Humman Right, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial, dan Konvensi
International Labour Organization (ILO) menyangkut isu tentang indigeneous people yang belum dirativikasi oleh pemerintah Indonesia. Ketiga,
environment scarcity, yakni kenyataan terdesaknya KAT karena perambahan hutant lingkungan permukiman mereka untuk kepentingan pembangunan. Dengan alasan ini pemerintah menganggap KAT harus diberdayakan sebagai upaya melindungi mereka secara aktif. Keempat, integrasi nasional. Asumsi pemerintah, termarginalisasinya kehidupan KAT dalam pembangunan nasional merupakan kondisi rentan terhadap isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi, serta disintegrasi bangsa (khusunya KAT yang berada di wilayah perbatasan dan rawan konifik). Kelima, nilai-nilai kearifan. Asumsinya, pada setiap kehidupan sosial-budaya KAT terdapat nilai-nilai kearifan yang merupakan potensi yang dapat dipertahankan atau dilestarikan dan dikembangkan.
Menjadi jelas bahwa kalimat-kalimat di atas adalah upaya pemerintah untuk melakukan kompromi dengan berbagai kritik. Kalau sebelumnya praktek pembangunan banyak dikecam sebagai proyek modernisasi yang mengabaikan keragaman kultural masyarakat, dalam upaya formulasi tujuan KAT pemerintah berusaha membalik kriteria pembangunan menjadi menyerupai apa yang dalam aforisme Seoharto disebut “membangun tanpa merusak”. Dengan cara itu pemerintah tetap berusaha mempertahankan pembangunan sebagai sebuah upaya sistematik untuk melakukan perubahan sosial, sambil pada saat yang sama berusaha menciptakan impresi bahwa pembangunan tidak selalu identik dengan pengabaian keragaman kultural lokal. Artinya, pembangunan tetap hanya satu-satunya pilihan, dan tidak ada alternatif lain di luar itu. Juga menjadi jelas bahwa KAT merupakan derivasi konseptual dari terma
“indigenous people” yang berlaku dalam politik internasional, dan bahwa teleologi pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia juga harus berkompromi dengan tekanan politik global. Tapi justru karena itulah, penetapan tujuan program KAT jadi tampak terlampau ideal dan sulit dicari terjemahan kebijakan konkretnya. Kritik konseptual terhadap program KAT akan dibahas oleh salah seorang kontributor buku ini dalam bagian lain, sehingga cukuplah mengatakan bahwa baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai sebuah program kebijakan seperti KAT, penggunaan terma “terpencil” di dalam dirinya cenderung membawa bias ideologis yang harus terus dikritik.
Kalau, paling tidak untuk sementara, kita bisa menerima penggunaan konsep KAT dengan segala implikasinya itu, pada konteks yang lebih spesifik, yakni beberapa tempat yang dijadikan lokasi penelitian Yayasan Inteseksi kali ini, ada hal yang tetap masih problematis. Pertama, dari lima lokasi yang diteliti, hanya satu tempat yang secara formal termasuk ke dalam kategori KAT, yakni komunitas Sedulur Sikep di lokasi penelitian di Desa Baturejo, kecamatan Sukolilo, kabupaten Pati, Jawa Tengah. Komunitas To Wana di Cagar Alam Morowali mungkin saja termasuk kelompok sasaran program ini, tapi karena tradisi sistem pemukiman mereka yang sering berpindah-indah, itu menyebabkannya sulit diidentifikasi dalam kategori sebuah wilayah administratif ( dalam database KAT Center, misalnya, hanya disebutkan bahwa program KAT di kabupaten Morowali meliputi wilayah kecamatan Bungku Tengah, Bungku Tengan, dan Bungku Utara). Padahal, dari kelima lokasi penelitian tersebut paling tidak empat di antaranya memiliki karakteristik yang, sebagian atau sepenuhnya, sebangun dengan batasan-batasan pemerintah di atas.
Kedua, berhubungan erat dengan yang pertama, kalau kita memeriksa database KAT dari Direktorat Pemberdayaan KAT, Departemen Sosial, seperti yang dipublikasikan dalam situs internetnya, penetapan kelompok sasaran KAT didasarkan pada lokasi spasial bukan pada komunitasnya itu sendiri. Yang menjadi persoalan adalah, kalau KAT menunjuk pada konsep komunitas dan program KAT ditujukan pada sasaran berbentuk komunitas, cukup mengherankan ketika yang dijadikan patokan adalah satuan lokasi wilayah administrasif desa. Meskipun dalam banyak kasus kelompok KAT memang sering melingkupi sebuah radius wilayah tinggal sebuah desa bahkan lebih, tapi hal itu justru makin memperlihatkan kelemahan kategorisasi yang dibuat pemerintah. Pada kasus lain, kelompok KAT bisa saja hanya merupakan salah satu bagian dari wilayah administrasi sebuah desa, dan karena itu pula menetapkan desa sebagai wilayah, dan bukan komunitasnya sendiri secara lansung, bisa mengundang resiko salah sasaran seperti program-program pemerintah di bidang lain. Kalau bukan karena database yang ada belum sempurna, kenyataan seperti itu memperlihatkan adanya kerancuan paradigma dalam program tersebut.
Minoritisasi Keragaman
Dipesh Chakrabarti, sejarawan India yang juga dikenal sebagai salah seorang proponen kajian poskolonial, pernah menuturkan sebuah cerita menarik tentang nasib historis dari pelajaran sejarah dalam pendidikan di salah satu negara bagian di India (Chakrabarti, 2000). Dalam cara tutur yang khas intelektual India, deras dan percaya diri, Chakrabarti memulai ceritanya dengan kisah kunjungan perdana menteri Singapura, Goh Chok Tong, ke Hyderabad, ibu kota Andhra Pradesh. Menteri utama, Chandrababu Naidu, kepala negara (Naravaripally) bagian tersebut, sedang berusaha untuk menjadikan Hyderabad sebagai pesaing utama Bangalore—yang sering dianggap Silicon Valley-nya India. Takjub oleh kemampuannya, Goh Tjok Tong secara terbuka memuji Naidu sebagai politisi paling dinamis dan berpandangan jauh ke depan di India.
Tapi pada minggu yang sama, demikian Chakrabarti, surat-surat kabar di negeri tersebut mengabarkan berita tentang kebijakan Naidu menghapus mata pelajaran sejarah dari program sarjana muda. Naidu menyatakan bahwa untuk selanjutnya pelajaran sejarah hanya akan menjadi bagian dari kajian tentang pariwisata, karena menurutnya, apa yang dibutuhkan oleh orang India tentang masa lalunya cukup sejauh yang mereka perlukan untuk menceritai wisatawan asing. Sebaliknya, yang benar-benar dibutuhkan untuk keperluan mereka sendiri adalah teknologi komputer dan teknologi informasi. Ketika berhadapan dengan Kongres Sejarah India, alasan yang diajukan di balik kebijakan itu pun tidak kalah cemerlangnya untuk seorang pejabat pemerintah: yakni bahwa sekarang kita tidak lagi membutuhkan sejarah kecuali dalam bentuk yang sudah dikomodifikasi. Untuk memparafrasekan Chakrabarti, kapitalisme telah mengubah sejarah menjadi sebuah suvenir, tanda mata, penekuk sebuah ingatan pada khasanah masa lalu, yang bisa dibeli dan dibawa pulang. Bagi Naidu, hanya itulah sejarah yang benar-benar kita perlukan.
Pandangan Naidu tentu saja bisa disanggah terus-menerus, tapi pernyataannya menggarisbawahi satu hal penting: bahwa dinamik kapitalisme mutakhir telah mengubah segala hal, termasuk sejarah, menjadi komoditi yang bisa dipasarkan atau, dalam bahasa Marx tentang komodifikasi, diasingkan dari kekuatan yang memproduksinya. Jika demikian, masa lalu selalu akan menjadi sebuah wilayah kesadaran yang tidak pernah kita kenali betul, tapi yang pada saat yang sama bisa dievaluasi di dalam pasar. Industri turisme saat ini adalah bagian dari proyek besar pembiakan kapital dalam skala gigantik antar benua. Ia berhasil mendesakkan munculnya begitu banyak perubahan pada kebijakan-kebijakan pemerintah di seluruh negara di dunia. Yang menarik adalah karena ideologi turisme pada dasarnya anti-mayoritas, dalam arti ia selalu terobsesi mencari sesuatu yang “tidak biasa”, “tidak sama”, “yang lain”, “yang langka”, “yang unik”, “yang eksotis” untuk dan atas nama penciptaan ulang (rekreasi) jiwa dan rejuvenasi pikiran. Ia mewarisi sifat penjelajahan (dan itu sering kali juga berarti penjajahan) ruang dari para pelancong kuno, mengawetkan budaya dan membekukan gerak dinamik pelbagai tradisi menjadi rangkaian gambar pemandangan.
Problem yang dialami di sejumlah daerah yang menjadi lokasi penelitian ini, dalam banyak hal, menyerupai gambaran Naidu tentang “sejarah” tadi. Komunitas pemeluk Wetutelu di Wet Semokan, Lombok, atau komunitas Tanah Toa Kajang, secara hampir bersamaan sedang menghadapi proses konversi kultural sejarah menjadi cinderamata yang didesakkan oleh negara. Negara, yang tampil konkret dalam bentuk pemerintah daerah di wilayah-wilayah tersebut, dalam prakteknya menempuh kebijakan yang kontradiktif satu dengan lainnya. Pada sisi yang satu mereka mengerahkan segenap upaya untuk mengkategorikan komunitas-komunitas tersebut ke dalam kategori kelompok masyarakat yang harus dibina, dikembangkan kehidupannya sehingga sejajar dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Tapi pada sisi yang lain, dan pada saat yang bersamaan, mereka juga berkeras menganjurkan agar komunitas-komunitas tadi tetap mempertahankan keaslian budaya warisan leluhurnya.
Tarik tolak antara keinginan untuk meletakkan mereka dalam bingkai bangsa yang sama, yang antara lain ditempuh melalui praktek penyeragaman ajaran agama, dengan tujuan-tujuan pragmatis ekonomis dari program turisme, itu adalah refleksi dari ketidakjelasan politik kewargaan kita. Mereka bukan hanya minoritas dalam jumlah, tapi juga kelompok-kelompok yang konstruk sosialnya niscaya dianggap minor, terpencil (seperti konsep Komunitas Adat Terpencil) bahkan terasing, dan karena itu diasumsikan punya daya tarik turisme yang besar.
Laporan-laporan yang dituangkan dalam buku ini sekaligus merekam bagaimana reaksi balik warga-warga kelompok minoritas itu terhadap berbagai kebijakan yang diberlakukan. Mereka berusaha membangun konstruk tentang diri mereka sendiri melalui produksi berbagai narasi kultural yang terus-menerus mengelak dari kooptasi norma standar dan penyergaman makna. Persoalannya kemudian, tentu saja, adalah apakah aktivitas kajian seperti yang dilakukan Interseksi ini tidak lantas menjadi bentuk lain dari konversi kultural yang sama. Apakah penelitian ini bukan praktek lain memelihara “yang minor”, yang “unik”, “yang langka”, “yang eksotis”, itu semata untuk turisme intelektual?
Pertanyaan Untuk Demokrasi
Multikulturalisme, dan sampai tingkat tertentu juga berarti hak minoritas, adalah gagasan-gagasan yang telah memancing perdebatan luas di lingkungan internasional tapi belum banyak dikultivasi di Indonesia. Meskipun cukup ramai diperbincangkan, tapi setelah terjemahan karya Wil Kymlicka, Kewargaan Multikultural, tidak banyak karya lain yang terbit mengupas multikulturalisme dari berbagai sudut telaah untuk konteks Indonesia. Dalam perspektif yang sama kita juga bisa mengatakan bahwa isu minoritas sejauh ini tidak cukup kuat diartikulasikan di luar konteks setiap terjadi kerusuhan rasial. Diskusi-diskusi tentang minoritas cenderung tereduksi ke dalam proses minoritisasi etnis Cina-Indonesia, karena mereka dianggap sebagai kelompok yang berada pada posisi paling rentan setiap terjadi huru-hara politik. Padahal, dengan argumen yang sama, kelompok-kelompok lain, seperti lima komunitas di lima lokasi penelitian ini, berada pada posisi rawan bukan hanya setiap terjadi gejolak politik tapi hampir selama hidup mereka. Komunitas-komunitas ini dieklusikan ke luar dari diskusi tentang minoritas, dan mengseklusikan diskusi minoritas hanya pada isu etnis Cina-Indonesia, karena mereka dianggap bukan bagian dari minoritas melainkan kelompok indigenous people. Rigiditas pada batasan baku ini bukan hanya menghasilkan ignoransi sikap kita pada problem-problem kewargaan yang lebih luas, melainkan juga merupakan praktek produksi wacana yang harus dikoreksi. Dalam konteks inilah multikulturalisme menjadi krusial untuk diperdebatkan.
Di Kanada sekalipun, multikulturalisme pernah diuji melalui serangkaian kontroversi sesama warga. Warga penutur bahasa Prancis, misalnya, sampai dekade 1960an dan 1970an melihat multikulturalisme tidak lebih dari sebuah taktik mayoritas warga penutur bahasa Inggris untuk mereduksi “status pendiri” penutur bahasa Prancis ke dalam level yang sama dengan para imigran yang datang belakangan seperti migran dari Ukraina. Di tempat lain, multikulturalisme bahkan dianggap tidak lebih dari bentuk lain dari rasisme. Penekanan multikulturalisme pada diversitas kultural dilihat sebagai upaya untuk meruntuhkan nilai-nilai peradaban yang dibangun di atas kepercayaan bahwa keutamaan manusia terletak pada kemampuannya yang bisa diukur secara objektif, bukan pada asal-usul atau warisan kulturalnya. Multikulturalisme, dengan kalimat lain, adalah serangan terhadap nilai-nilai rasionalitas. Di Amerika Serikat, orang seperti Ayn Rand bahkan telah memfasilitasi sejumlah ilmuwan untuk meluaskan gagasan-gagasan anti-multikulturalisme. Melalui upaya tersebut, mereka berusaha membangun argumen bahwa multikulturalisme menyembunyikan tendensi-tendensi ke arah peruntuhan objektivisme yang menjadi karakter spesifik peradaban Barat modern. Tidaklah mengherankan bahwa diskursus-diskursus yang dikembangkannya pun dibarengi oleh upaya untuk menegaskan kembali keunggulan Barat berhadapan dengan peradaban lain di dunia. Dalam satu artikel yang ditulis oleh Robert Tracinski, misalnya, kelompok ini bahkan merekomendasikan imperialisme kultural, dalam arti penyebaran dan pemberlakuan nilai-nilai Barat di seluruh dunia, itu sebagai alternatif paling praktis untuk mengatasi terorisme.
Apa yang menarik di balik argumen-argumen kelompok anti-multikulturalisme tadi, adalah bahwa isu multikulturalisme ternyata bukan terbatas pada kasus-kasus kebijakan politik sebuah negara, melainkan bahkan lebih jauh dari itu. Orang-orang seperti kelompok Ayn Rand dkk., misalnya, bahkan melihat itu sebagai sebuah fenomen yang mengguncang sendi-sendi kepercayaan pada fundamen peradaban Barat modern. Beberapa kelompok feminis juga mencurigai multikulturalisme bisa mengaburkan tujuan perjuangan kaum perempuan. Penghormatan, yang terkadang berlebihan, pada partikularitas lokal, dianggap berpotensi menjadi legitimasi bagi praktek-praktek kultural lokal yang justru menyembunyikan penindasan terhadap perempuan. Di sisi lain, peneguhan identitas-identitas kelompok kultural lokal juga mengandung resiko pelik bagi sebuah negara yang memberlakukannya karena, pada titik ekstremnya, ia bisa mengarah pada separatisme.
Pada konteks yang lebih spesifik, demokrasi perwakilan di mana pun adalah sebuah mekanisme pollitik yang didasari prinsip bahwa suara mayoritas adalah suara yang menentukan. Prinsip semacam ini secara sepintas lalu tampak kontradiktif dengan keharusan untuk melindungi hak-hak minoritas, dan ideal-ideal multikulturalisme. Karena itu, ada beberapa pertanyaan yang pantas diajukan tentang demokrasi yang sedang kita kembangkan :
Pertama, apakah prinsip mayoritas yang berkuasa yang kita anut bukan merupakan jalan lain ke arah penindasan hak-hak minoritas? Kita harus bisa meyakinkan diri kita sendiri bahwa prinsip ini hanyalah sebuah cara mengelola pemerintahan, dan bahwa tidak ada satu kelompok pun, termasuk kelompok mayoritas dalam demokrasi yang bisa mengesampingkan hak-hak dasar dan kebebasan kelompok minoritas; Kedua, apakah demokrasi yang kita kembangkan bisa menjamin bahwa minoritas, tidak peduli apakah itu karena latar belakang etnis, agama, lokasi geografis, tingkat penghasilan, atau bahkan pecundang dalam pemilu, itu bisa menunaikan hak-hak dasar mereka sebagai manusia yang tidak pemerintah tidak pula mayoritas, dipilih atau tidak, akan bisa menghilangkannya; Ketiga, apakah kita percaya bahwa pemerintah bisa dan akan melindungi hak-hak minoritas?
Apakah negara bisa menjamin bahwa kelompok-kelompok ini bisa berpartisipasi dalam dan memberi kontribusi pada institusi-institusi demokrasi negerinya. Ini persoalan penting, karena demokrasi juga dilandasi oleh adanya rasa percaya warga pada rezim pemerintah yang dipilih melalui plebisit yang syah dan diakui hasilnya oleh seluruh warga negara; Keempat, apakah demokrasi yang kita kembangkan bisa benar-benar menjamin dan melindungi warga minoritas dalam menunaikan haknya atas kebebasan beragama dan menganut kepercayaan yang berbeda dari mayoritas penduduk; perlindungan hukum yang kontekstual; hak berbeda aspirasi kultural dan agama; Kelima, apakah demokrasi yang kita kembangkan bisa mencakup pemahaman bahwa melindungi hak minoritas untuk menjaga identitas kultural, aktivitas keagamaan, dan praktek-praktek sosial lainnya merupakan salah satu tugas utamanya.
Beberapa pertanyaan di atas, paling tidak, bisa dijadikan pijakan awal kita untuk berbeda pendapat tentang relasi antara konsep minoritas dalam bingkai multikulturalisme di satu sisi, dan praktek-praktek politik demokrasi yang sedang kita upayakan bisa berkembang di sini. Beda pendapat dibutuhkan dalam hidup kita sehari-hari agar isi kepala tidak beku. Dalam adu argumentasi kita berusaha menantang bukan hanya pikiran orang lain, tapi juga pikiran kita sendiri. Makna terbesar sebuah debat pada dasarnya tidak terletak pada kemungkinan membangun konsensus tentang sebuah soal yang diperdebatkan, melainkan lebih pada semangat untuk menghormati perbedaan pendapat; membiarkan perbedaan bergumul saling menyehatkan. Pada konteks yang lebih luas, di paruh awal dekade 1980an, Jean François Lyotard, misalnya, melihat bahwa dunia postmodern tidak lagi terobsesi pada capaian-capaian konsensual melainkan justru oleh hadirnya interferensi dari begitu banyak suara yang bersilang tindih, disensus tanpa putus. Memaksakan konsensus, dengan demikian, adalah sebentuk kekerasan yang lain. Buku ini harus tidak diperlakukan sebagai representasi kehidupan orang-orang atau kelompok orang yang dibahasnya. Artinya, ia bukanlah satu-satunya sumber yang bisa dipercaya, melainkan justru harus terus diperkaya oleh temuan-temuan lain yang lebih berkualitas.
Penutup
Karya kartografik Asia atau Timur, seperti halnya Eropa atau Barat, pada mulanya tidak lebih dari sebuah gagasan. Ribuan tahun yang lalu, orang-orang Yunani mengira bahwa daratan mahaluas di sekeliling mereka merupakan dua benua yang terpisah. Kemudian dibuatlah pemisahan sederhana antara
Assu (yang berarti Timur) untuk wilayah yang sampai sekarang kita sebut Asia, dan kata
Ereb (yang berarti Barat) untuk kawasan yang kini disebut Eropa (Europe). Asal kedua kata tersebut memang dari bahasa Semit tapi pengunaannya untuk menamakan dua wilayah ini diyakini dilakukan oleh orang-orang Yunani. Pemisahan antara Timur dan Barat itu tetap dipertahankan bahkan setelah belakangan diketahui bahwa antara Eropa dan Asia sebenarnya merupakan satu hamparan daratan atau benua
(landmass) yang sama. Kata “Eurasia” memang sering dipakai untuk menggambarkan kesatuan daratan dari dua wilayah yang terlanjur dianggap sebagai dua benua terpisah itu, tapi kelahiran konsep Asia dan Eropa sudah tidak bisa dibatalkan. Bermacam-macam proses sejarah lantas mengukuhkan batas itu sedemikian kokoh dengan darah, sejumlah kematian, dan filsafat, dan sosiologi, dan peta-peta syakwasangka. Ini menjelaskan bagaimana manusia bisa begitu kuat mengukuhi sesuatu yang pada dasarnya hanya ilusi belaka.
Timur di belakang hari hadir senantiasa bukan semata sebagai bentang geografis yang mencakup sepertiga bola dunia, melainkan lebih sebagai produk dari model penemuan atau politik representasi Barat paska era Pencerahan. Ia ada karena dihadirkan oleh pelbagai narasi. Dalam salah satu karya geografinya yang tidak terlalu banyak dikenal, Imannuel Kant, misalnya, mendepiksikan orang Jawa sebagai manusia-manusia yang berlimpah sinar matahari dan pemalas. Edward Said menyebut itu sebagai Orientalisme. Kebanyakan dari kita, dengan demikian, mengenal dan menjadi Timur dari definisi dan wacana yang diciptakan Barat tentangnya. Timur niscaya berkonotasi pada eksotisme yang inferior, satu bentang wilayah yang bukan saja kontras bedanya dengan Barat, tapi yang juga melalui penemuan dan pendefinisian Timur seperti itulah Barat mengidentifikasikan dirinya.
Diskursus terpenting yang membelah Timur (dan pada dasarnya juga bagian dunia lainnya) dengan Barat, setelah penamaan daratan oleh orang-orang Yunani tadi, tentu saja adalah tentang modernitas. Diklaim sebagai khas berasal dari bahkan menjadi ciri Barat, modernitas mengusung ribuan halaman karya filsafat dan ilmu pengetahuan, dan kapal-kapal perang untuk menegaskan pemisahan sekaligus menundukkan Timur. Dalam wacana filsafat dan ilmu sosial modern, misalnya, selama berabad-abad modernitas niscaya diasosiasikan dengan kemajuan peradaban masyarakat Barat (terutama Eropa) dibanding peradaban masyarakat-masyarakat yang lain. Sebagian filsuf dan ilmuwan Barat sampai saat ini cenderung percaya bahwa modernitas, dan karena itu juga berarti modernisasi, hanya ada dalam masyarakat Eropa, dan masyarakat-masyarakat di tempat lain hanyalah para epigon kultural belaka.
Keberhasilan beberapa negara Asia membangun negerinya sedemikian rupa menyamai negeri-negeri yang dianggap paling maju di Eropa atau Amerika, misalnya, hanya dianggap sebagai “kasus lain” dari khasanah Timur atau, yang lebih menjengkelkan, karena negara-negara tersebut berhasil meniru secara sempurna apa yang dimiliki Barat. Modernitas, dengan demikian, dipahami seperti orang melihat virus yang menyebar dari satu tempat (Eropa) ke tempat-tempat lain di seluruh dunia. Tokoh-tokoh besar seperti Marx, Durkheim bahkan Weber mengasumsikan, bahkan meskipun hanya secara implisit, bahwa program kultural modernitas seperti yang berkembang dalam Eropa modern dan konstelasi-konstelasi institusi dasar yang muncul di sana pada akhirnya akan mengambil alih seluruh masyarakat modern. Menurut mereka, dengan ekspansi modernitas, program kultural itu akan unggul di seluruh dunia.
Dua dekade setelah Perang Dunia II berakhir, filsuf Inggris pemenang Nobel untuk kesusastraan tahun 1950, Bertrand Russell, menulis sebuah esai yang cukup berpengaruh untuk konteks waktu itu. Russell memberi esainya itu sebuah tajuk provokatif,
The Future of Mankind (1964: 34-44), Masa Depan Umat Manusia. Sejak kalimat pertama Russell telah memprovokasi pikiran pembacanya. Menurutnya, sebelum abad 20 berakhir, kecuali jika sesuatu yang tidak teramalkan terjadi, satu dari tiga kemungkinan akan dialami umat manusia di dunia. Pertama, berakhirnya kehidupan umat manusia, bahkan mungkin seluruh kehidupan di atas planet bumi ini; Kedua, mundurnya peradaban kembali pada barbarisme setelah sebuah malapetaka yang memusnahkan seluruh umat manusia di dunia, dan; Ketiga, unifikasi atau penyatuan dunia di bawah satu pemerintahan yang memiliki monopoli atas seluruh perlengkapan perang. Ketika dihadapkan pada pilihan antara Amerika Serikat (AS) atau Uni Soviet (waktu itu), Russel secara tegas memilih AS sebagai pemerintah tunggal dunia.
Sampai abad 20 berakhir dan permulaan milenium ketiga saat ini, tak satu pun dari nubuat Russel yang menjadi kenyataan. Tendensi ke arah tribalisme memang muncul di beberapa tempat di dunia, tapi ia lebih dipicu oleh kondisi-kondisi yang sama sekali bertolak belakang dengan asumsi-asumsi Russel, dan sama sekali berbeda dengan gambarannya tentang barbarisme. Di lain pihak, mulai tersatukannya geografi dunia oleh temuan-temuan teknologi transportasi dan telekomunikasi, ternyata tidak otomatis mendorong orang untuk menyepakati kesatuan geopolitis yang tunggal. Ambisi penunggalan peradaban manusia, dengan demikian, jelas merupakan sebuah anakronisme yang moronik dan mengharukan.
Saya akan menggunakan moral dari uraian di atas untuk dua kepentingan sekaligus. Pertama, memperlihatkan bahwa beberapa hal yang kita kukuhi secara rekalsitran sampai hari ini, sebagiannya kadang-kadang hanya didasarkan pada sesuatu yang, kalau bukan ilusi, sangat nisbi. Orang-orang Yunani mengira Timur dan Barat adalah dua benua yang terpisah, dan bahkan ketika terbukti bahwa perkiraan mereka keliru, sampai hari ini banyak orang masih tetap saja membayangkan garis pemisah itu berdiri begitu tegas. Padahal jelas bahwa pemisahan itu adalah produk dari sebuah keterbatasan pengetahuan, tapi anehnya ia justru ditopang oleh begitu banyak karya-karya intelektual yang lebih baru, dan perang tentu saja. Dengan itu saya membayangkan bahwa sekian banyak fatwa tentang apa yang sampai hari ini dianggap benar atau sesat, dan didukung oleh segala jenis kitab, itu kemungkinan besar juga hanya dilandasi oleh pengetahuan yang terbatas, dan kapasitas intelektual yang belum berkembang. Seperti pemisahan Timur dan Barat dijaga dan dikukuhkan oleh perang, batas antara benar dan sesat niscaya berpotensi melelakan kekerasan. Apa yang dialami oleh para pemeluk Islam Wetutelu di Wet Semokan, Lombok, atau orang-orang Tanah Toa Kajang, Bulukumba, seperti orang-orang penganut Islam Ahmadiyah, adalah gambaran kecil magma kekerasan yang muncul ketika dikotomi benar dan sesat menjadi sebentuk pengetahuan yang bisa dipakai untuk menghantam.
Kedua, bahwa modernitas tidak harus dipahami sebagai sesuatu yang bersumber dari satu lokasi geografis tertentu, tunggal, dan meledakkan perubahan-perubahan fundamental di seluruh dunia ke arah homogenisasi dengan Barat sebagai kuasa hegemoniknya, melainkan beragam, muncul di dan dari banyak tempat di belahan-belahan dunia yang lain. Perbedaan tingkat perkembangan antar satu negeri dengan yang lain, misalnya, itu tidak lantas harus dipahami sebagai semata-mata akibat lain dari gerak ekspansi pola-pola modernitas Barat itu, yang menabrak-nabrak ke segala arah dan melahirkan respon yang berbeda-beda di sembarang tempat. Faktanya, sekarang kita memang hidup dalam sebuah zaman mosaik kultural, yang secara diametral bertolak belakang dengan asumsi bahwa modernitas akan melempangkan jalan ke arah penyeragaman pola-pola kultural di seluruh dunia. Eisenstadt menerangkan bahwa gagasan
multiple modernities dilandasi praasumsi bahwa cara terbaik memahami dunia kontemporer adalah dengan melihatnya sebagai sebuah cerita tentang proses pembentukan dan pembentukan ulang dari multiplisitas program-program kultural yang berlangsung terus menerus
(a continual constitution and reconstitution of a multiplicity of cultural programs). Salah satu implikasi terpenting dari gagasan ini adalah bahwa identifikasi modernitas tidak lagi identik dengan Westernisasi. Sebab pola-pola modernitas Barat bukanlah satu-satunya yang otentik, meskipun mereka memang menikmati preseden historis dan masih terus menjadi titik acuan bagi yang lain (2000).
Apa yang menggoda dalam multikulturalisme, baik sebagai serangkaian gagasan tentang cara melihat manusia maupun dalam bentuk kebijakan program politik, adalah munculnya desakan untuk memperlakukan negara kembali sebagai bagian penting dari relasi antarwarga umat manusia. Ia seolah menghidupkan negara kembali sebagai hantu yang menguntit setiap obsesi pada penunggalan dunia, penyatuan umat manusia di bawah daulat sebuah otoritas mahakuasa. Beberapa dekade lewat dengan pretensi-pretensi modernitas yang dianggap tunggal, memancarkan berkah kemajuan ke seluruh planet bumi, seperti bayangan kita tentang penyebaran ajaran-ajaran kebajikan dari satu sumber ke luar ke dunia yang sesat, jahiliyah. Sekarang bayangan semacam itu mulai berantakan, dan kita sedang merayakan pecahan-pecahannya untuk mereposisi status kewargaan kita dalam sebuah negara yang kembali menjadi penting, kembali punya alasan untuk ada. Pertanyaannya kemudian adalah, untuk menggunakan kalimat Caroline S. Hau (2000) pada konteks yang sedikit berbeda, apakah perayaan multikulturalisme tentang diversitas kultural, itu tidak lantas menjadi bentuk lain dari sebuah sikap segregasionis yang, sadar atau tidak, merupakan replika dari Orientalisme yang ditentangnya?
Jakarta, Agustus 2005
Ini adalah tulisan panjang pertama saya mendiskusikan multikulturalisme di Yayasan Interseksi. Tulisan ini pernah dimuat sebagai sebuah editorial dalam Hikmat Budiman (ed), Hak Minoritas. Dilema Multikulturalisme di Indonesia (Yayasan Interseksi, 2005 dan 2007). Ini adalah Volume Pertama buku Seri Hak Minoritas dan Multikulturalisme di Indonesia yang diorganisir oleh Yayasan Interseksi. Dimuat lagi di sini dengan meniadakan bagian yang berisi rangkuman isi buku yang dihantarnya.
ANDA MUNGKIN TERTARIK JUGA
Multikulturalisme | Kewarganegaraan
Budaya | Multikulturalisme
Budaya | Sastra
Rujukan
Castellino, Dr. Joshua, dan Deirdre O'Leary, “Some Definitions of “Minorities” di situs Minority Groups pada http://www.minority-rights.org/docs/mn_defs.html.
Chakrabarty, Dipesh. “’Asia’ and the Twentieth Century: What is ‘Asian Modernity’?”. Pidato pada pembukaan Konfrensi Milenium bertema WeAsian Between Past and Present, tgl. 21-23 Februari 2000, dan diterbitkan dalam Kwok Kian-Woon, et.al., (eds), ‘We Asian’. Between Past and Future. Singapura: Singapore Heritage Society, 2000. hlm., 015-016.
Connor, W. Ethnonationalism: The Quest for Understanding. Princeton: Princeton University Press, 1994.
Eisenstadt, S.N. “Multiple Modernity”. Daedalus 129 (1) (Winter 2000).
Hau, Caroline S. “Colonialism, Communism, and Nation-State Formation. The Haunting of Asia and Asians”. Kwok Kian-Woon, ‘We Asian’. Between Past and Future. Singapura: Singapore Heritage Society, 2000. hlm., 079.
Management of Social Transformation (MOST), UNESCO, “Multiculturalism: A Policy Response to Diversity”, untuk 1995 Global Cultural Diversity Conference, dan MOST Pacific Sub-Regional Consultation. Sydney, Australia, 26 – 29 April 1995.
KAT Center, Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Departemen Sosial Republik Indonesia, http://katcenter.info/tentang.php?apa=siapa.
Parekh, Bhikhu. “What is Multiculturalism?”, http://www.india-seminar.com/1999/484/ 484%20parekh.htm.
Parekh. Bhikhu. Rethinking Multiculturalism. Cultural Diversity and Political Theory. Second Edition. Includes New Response To Critics. MacMillan: Palgrave, 2000.
“Principles of Democracy. Majority Rule, Minority Rights", pada situs http://usinfo.state.gov/products/pubs/principles/majority.html
Situs Ayn Rand Institute pada http://www.aynrand.org.
Subrahmanyam, Sanjay. “Hearing Voices: Vignettes of Early Modernity in South Asia, 1400 – 1750”. Daedalus 127 (3). Summer, 1998.
Tracinski, Robert. “An Empire of Ideas”. Situs Ayn Rand Institute http://www.aynrand.org/site/ News2JServSessionIdr005=zfhc64plh1.app14b&page=NewsArticle&id=7392&news_iv_ctrl=1076.
Väyrinen, Raimo. "Towards a Theory of Ethnic Conflicts and their Resolution ", Occasional Paper University Notre Dame, Ind, 1994