Meretas Batas: tentang kepompong dan kupu-kupu


Prolog untuk Program Crossing Boundaries: Cross-Culture Video Making Project for Peace, Yayasan Interseksi 2010



“Blog

Sebagian terbesar individu manusia pernah hidup di dalam kepompong kulturalnya sendiri. Di dalam lingkungan budaya, etnis, puak, nilai, dan agama yang dikenal sejak kecil orang menemukan rasa aman, kenyamanan, lingkungan yang akrab, dan kepastian bahwa segala hal senantiasa berada dalam tatanan yang dapat dipahami. Ibu kultural kita itu memastikan kita semua hidup serba kecukupan dalam hal nutrisi yang akan memberi kita asupan nilai-nilai dan norma yang harus diikuti, ladang pengetahuan yang subur, serta pandangan dan pedoman hidup yang membimbing kita hidup secara teratur sesuai dengan tradisi yang sudah berlangsung lama. Sangat lama.

Ia juga menyediakan jangkar yang kokoh agar hidup kita tidak mudah roboh oleh kesulitan-kesulitan eksistensial. Jentera hidup memang selalu bergerak dan kadang-kadang memutar cukup tajam, dan dalam kondisi seperti itu kepompong kultural kita sedapat mungkin memastikan bahwa hidup semua kerabat akan selamat. Kadang berhasil tapi sering juga luput, dan banyak hal yang terpaksa harus diubah. Tradisi ditemukan kembali terus-menerus agar ia bisa tahan sembarang perubahan musim.

Ribuan sampai ratusan tahun yang lalu, kultur juga menancap kuat ke dalam tanah, karena setiap kelompok kultural kemudian menetapkan batas-batas teritorial fisiknya masing-masing. Di tanah itu juga ditumpahkan darah, dari binatang yang dikurbankan, atau akibat sengketa. Air mata dan kegembiraan. Ritual dan kepatuhan. Di dalam batas-batas itu setiap individu hidup bersama orang lain yang telah ada sebelumnya, dan bersama-sama meneruskan tradisi, menyinambungkan kebudayaan sebagai upaya kolektif membangun dunia kehidupan. Kebudayaan adalah ciptaan manusia yang kemudian berperan besar dalam membentuk kehidupan penciptanya. Seperti kepompong semua faktor ekstra organismik tersebut telah menyediakan buaian yang membuat kehidupan sosial kita serba tercukupi. Untuk sementara waktu.

Hidup di luar batas-batas kultural semacam itu (pada mulanya) akan menimbulkan perasaan cemas, terancam, tidak aman, asing, membingungkan, bahkan menakutkan. Kehidupan kolektif kita di dalam kebudayaan komunal mewarisi kita kemampuan terbaik untuk untuk hampir secara instingtif membedakan, dan dengan cara itu pula berarti mencurigai, hal-hal yang berbeda di luar lingkungan kita sendiri. Ini menyerupai sistem imun yang bekerja otomatis memproteksi tubuh kita dari serangan penyakit dari luar. Syakwasangka, kecurigaan purba terhadap “yang lain” adalah bagian dari kelengkapan atau kesempurnaan sistem dan tatanan kebudayaan komunal yang kita bangun bersama-sama seluruh kerabat di dalam kelompok. Tanpa sistem imun seperti itu, seluruh sistem kehidupan kita akan sangat mudah goyah, dan gampang tumbang oleh setiap tantangan perubahan dari luar.

Mulai bulan April sampai bulan November 2010 nanti, Interseksi akan mengorganisir sebuah program yang relatif baru. Dalam program tersebut, kami berusaha menggabungkan beberapa hal yang pernah kami kerjakan sebelumnya ke dalam format yang lebih aplikatif. Konkretnya, kami mencoba mendekati persoalan relasi antar-kelompok sosial dalam masyarakat multikultur melalui jalan penggunaan medium film untuk mempromosikan nilai, ikut membangun dan memelihara perdamaian di negeri ini. Seperti diketahui bersama, sudah sejak tahun 2004 kami berusaha mendalami isu-isu krusial dalam masyarakat Indonesia yang multikultur, dan sejak tahun 2008 kami mulai menggunakan medium film/video untuk menampilkan problematik kelompok-kelompok etnik/agama minoritas yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Blog

Para peserta dan sebagian pemateri Workshop Pra-produksi Video Dokumenter untuk Program Crossing-Boundaries: Cross-Culture Video Making Project for Peace 2010 di GG House, Bogor, Jawa Barat.



Dari hasil beberapa kajian yang pernah kami lakukan tadi, yang semuanya sudah pula kami publikasikan dalam bentuk buku serial Hak Minoritas yang terbit dalam tiga volume itu, salah satu hal penting yang kami temukan adalah kenyataan bahwa sebagian dari kita, mungkin termasuk kami sendiri, cenderung hidup dalam kurungan batas-batas yang, meskipun mampu memberi rasa aman dalam hidup, tapi seringkali kurang sehat dalam konteks relasi antar-kelompok di dalam teritori yang mencakup satu tanah air, Indonesia. Kita seperti hidup di dalam sebuah kepompong, yang betapa pun telah melindungi kita dari gangguan pihak lain tapi ia juga sekaligus menanamkan purbasangka yang sering membuat kita cenderung kurang hormat terhadap orang atau kelompok orang di luar kepompong kita itu. Batas atau kepompong itu bisa berupa etnik, budaya, agama atau bahkan klaim teritorial, yang daya pikatnya tidak mudah lekang oleh ratusan kali musim hujan panjang.

Tapi jangan lupa, ada pula tafsir yang barangkali lebih cerdas tentang kepompong, seperti tampak pada penggalan bait-bait lagu yang cukup populer di kalangan remaja sekarang, berjudul "Kepompong": "....persahabatan bagai kepompong. Mengubah ulat menjadi kupu-kupu". Metafora ini sangat kuat menggambarkan bagaimana sebuah persahabatan yang baik seharusnya bisa mengubah seseorang menjadi jauh lebih bebas dan dewasa. Menjadi kupu-kupu yang bisa terbang meninggalkan kepompong, menyambut dunia yang kaya ragam dan perbedaan.

Kita bisa menukar-tangkap kata "persahabatan" dalam bait lagu tadi dengan ikatan-ikatan atau batas-batas atau, sebut saja, kepompong kultural, sehingga kita bisa memaknai batas-batas tadi tidak hanya dengan ungkapan-ungkapan yang cenderung derogatif maknanya seperti "kuno", "ketinggalan zaman" atau ungkapan-ungkapan lain. Artinya, batas-batas seperti etnis, agama, budaya, dan teritori itu pertama-tama harus diperlakukan sebagai kepompong: tempat kita mengasuh hidup agar bisa menjadi manusia yang lebih dewasa. Dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial tertentu, budaya dipercaya melekat pada individu sejak ia dilahirkan. Tapi bukan berarti bahwa seorang individu tidak akan pernah sanggup melampaui dan bersikap kritis terhadap budaya yang membesarkannya itu.

Paling tidak ada dua kemungkinan tafsir yang bisa diusulkan soal kepompong dan kupu-kupu di atas. Pertama, ia bisa dimaknai sebagai budaya, nilai, tradisi, puak, nagari, adat isitiadat yang kita warisi dan hidupi sebagai bagian dari sebuah komunitas kultural tempat kita tumbuh sejak kecil. Ia memberi kita bekal yang cukup untuk terbang menjadi kupu-kupu, hinggap di bermacam-macam pohon dan kembang, menantang bahaya dan menyongsong kesempatan pada lingkungan yang lebih luas pada tingkat nasion bahkan mondial. Kupu-kupu terindah adalah yang bebas berterbangan, yang bisa “berayun-ayun pada tangkai yang lemah” seperti dalam lagu Kupu-kupu di masa kanak-kanak kita dulu, bukan yang hanya diawetkan untuk dipajang dalam kotak-kotak kaca seperti orang menyusun tetumbuhan kering dalam herbarium. Hanya menarik dari kacamata turistik.

Kedua, kita juga bisa melihat itu sebagai nasihat alam bahwa betapa pun kehidupan komunal telah memberi kita bermacam-macam hal penting bagi kehidupan kita, masing-masing dari kita juga diberi semacam kemampuan alamiah untuk melepaskan diri dari jebakan yang kalau tidak disikapi secara kritis bisa menjerembabkan kita ke dalam kebangaan yang berlebihan (chauvinistik) kepada kelompok komunal sendiri. Transformasi bayi kupu-kupu menjadi kupu-kupu yang mampu terbang bebas setelah dieram di dalam kepompong memperlihatkan kepada kita bahwa ibu kultural kita itu juga telah melengkapi kita dengan kesanggupan untuk melampaui bahkan meninggalkan buaian kultur komunal kita sendiri.

Semangat program ini adalah mendorong generasi muda Indonesia untuk saling mengenal lingkungan sosial dan kebudayaan yang berbeda dari tempat hidupnya, menjadi kupu-kupu yang bisa terbang meninggalkan batas-batas kultural dan geografisnya untuk saling belajar dengan sesamanya dari kelompok yang berbeda. Seperti bunyi pepatah lama “tak kenal maka tak sayang”, tujuan program ini adalah agar tercipta saling pengertian dan penghormatan yang mendalam antar-warga masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Leluhur kita selalu bertutur, “dunia tidak sedaun kelor”. Itu bisa merujuk pada bentang geografis dunia fisik yang tidak hanya sebatas kampung atau nagari melainkan bahkan lebih jauh dari batas cakrawala, tapi bisa juga merujuk pada kemungkinan-kemungkinan peluang pengembangan diri yang hampir tidak berbatas.

Ada banyak jenis pengelompokan sosial, tapi program ini hanya akan difokuskan pada dua jenis pengelompokan sosial yang hampir pasti bisa ditemukan dalam setiap lingkungan sosial: pengelompokan berdasarkan etnis, dan pengelompokan berdasarkan agama. Di luar pengelompokan sosial, program ini juga dirancang untuk mendorong pesertanya memiliki pemahaman tentang wilayah lain di luar tempat domisilinya sehari-hari.

“Blog

DVD-Video yang berisi 6 (enam) video dokumenter yang berhasil diproduksi oleh masing-masing peserta program Crossing-Boundaries: Cross-Culture Video Making Project for Peace tahun 2010 lalu. Salah satu video yang dibuat oleh peserta dari Papua berjudul “Sutadi Sudah Tak Di Sini”, pernah diputar di beberapa forum internasional



Melalui program ini kami ingin mengajak peserta program untuk mulai meretas batas-batas yang sering mengungkung kita dalam cara pandang yang sempit tentang kelompok di luar kelompok kita sendiri. Apa yang sering disebut stereotipe (purbasangka) tentang sebuah kelompok, pada dasarnya adalah cara kita menempatkan kelompok di luar kelompok kita pada tempat yang tidak seharusnya di dalam wilayah kesadaran hidup sehari-hari, sehingga gambaran tentang kelompok tersebut niscaya dicirikan oleh hal-hal yang inferior dibandingkan dengan apa yang diyakini sebagai ciri kelompok kita sendiri.

Tentu saja tidak ada larangan hukum bagi individu atau kelompok individu untuk memiliki gambaran stereotipe tentang kelompok sosial yang lain. Streotipe mungkin bisa dianggap sebagai bukti ketidaklengkapan pengetahuan kita tentang kelompok sosial tertentu yang berada di luar batas-batas teritori fisik dan kultural kita. Yang menjadi persoalan adalah ketika stereotipe itu kemudian menjadi satu-satunya acuan dalam menetapkan hubungan-hubungan sosial antar-kelompok. Stereotipe menjadi petunjuk yang sangat terang bahwa apa yang semula kita anggap sudah sangat mencukupi untuk lingkup hidup di dalam sebuah lingkungan komunal di antara sanak-kadang dan kaum kerabat, sering terlampau cupet untuk lingkungan yang jauh lebih luas. Jika tidak dilepas ke dalam dunia pergaulan yang lebih lapang, orang menetas dari kepompong tidak akan pernah terbang riang tapi malah tersungkup di balik tempurung. Memandang dunia selalu dengan sikap murung dan masygul.

Kalau stereotipe adalah cermin dari ketidaklengkapan pengetahuan kita tentang kelompok di luar kelompok sendiri, maka salah satu cara terbaik untuk mengurangi akibat buruknya dalam hubungan antar-kelompok adalah dengan melengkapi pengetahuan tentang masing-masing kelompok. Program Crossing Boundaries: Cross-Culture Video Making for Peace dimaksudkan agar warga-warga masyarakat yang hidup dalam lingkungan kelompok sosial yang berbeda itu bisa saling mengenal, berbagi rasa dan pengetahuan satu sama lain, sehingga kehidupan sehari-hari kita tidak lagi hanya didasarkan pada purbasangka melainkan lebih pada pemahaman dan sikap saling hormat yang lebih mendalam tentang sesamanya. Kami ingin mengajak orang menghargai kepompong yang membuainya di masa kecil dan mengajak terbang ke angkasa luas agar hidup tidak melulu tersungkur di bawah tempurung buruk sangka, tercekam oleh rasa cemas di dunia yang semakin padat dan ramai, dan melihat sesama manusia sebagai ancaman senantiasa.

Damai kita sepanjang hari!

Jakarta, 1 April 2010.

Tulisan ini dipersiapkan sebagai prolog untuk Program Crossing-Boundaries: Cross-Culture Video Making for Peace, yang melibatkan beberapa video-maker dari Aceh, Jakarta, Bandung, Ambon, dan Papua pada 2010. Pernah dimuar di Blog Yayasan Interseksi pada 2 April 2010. Dimuat kembali di sini dengan beberapa perbaikan dan tambahan.

Dalam program tersebut, peserta dari Aceh membuat video tentang komunitas Keroncong Tugu di Jakarta, peserta dari Bandung terbang ke Medan dan membuat video tentang kehidupan komunitas etnis India Tamil di Kampung Keling, dua peserta dari Jakarta masing-masing berangkat ke Medan membuat video tentang Lapo, dan ke Makassar untuk membuat cerita visual tentang kerusuhan massal oleh mahasiswa di sana, peserta dari Ambon membuat video tentang penjual sayur di kota Maros, dan peserta dari Papua membuat video tentang Ojeg Speda di kawasan Kota Tua di Jakarta. Total ada 6 (enam) video dokumenter yang diproduksi melalui program yang didukung oleh Program SERASI-USAID ini. Video-video tersebut diputar dalam roadshow di Medan, Makassar, dan Jakarta.


BACA JUGA

Multikulturalisme | Kewarganegaraan | Budaya

Vote & Voices; kewarganegaraan, demokrasi, dan multikulturalisme