Vote & Voices: kewarganegaraan, demokrasi dan multikulturalisme di Indonesia pasca Suharto





Share


“Blog


Pengantar

Salah satu pemandangan yang paling mudah ditemui di banyak kota di Indonesia selama periode demokrasi belakangan ini adalah spanduk, poster, dan baliho berukuran raksasa yang menampangkan sosok-sosok para kontestan perebutan supremasi politik di masing-masing daerah melalui pemilihan umum (Pemilu) daerah. Muka-muka yang sebelumnya boleh jadi tidak banyak dikenal sebagai para penampang (selebritis) itu tiba-tiba menyerbu dan memenuhi kota, berebut ruang dan perhatian warga dengan reklame layanan sedot WC, guru menggambar, les musik, tawaran pinjaman dana, dan iklan-iklan komersial lain. Wajah-wajah yang entah datang dari mana itu terpasang di perempatan jalan, di jalan menikung, bahkan di tembok-tembok rumah warga. Divisi dan hierarki sosial hadir secara kasat mata dalam bentuk distingsi antara penampang dan warga biasa yang (diharapkan) memirsa tampangan tersebut. Tentu saja ada banyak hal yang bisa dipersoalkan dengan ekstravagansa publisitas semacam itu, namun bagaimana pun itu semua adalah bagian dari praktik demokratisasi yang baru tumbuh. Pemilu merupakan dasar di atas apa mekanisme utama demokrasi, yakni representasi formal, didirikan (Saward, 2006: 403).

Pemilu pada dasarnya adalah sebuah momentum untuk menunjukkan bahwa status kita sebagai warga negara jauh lebih penting, minimal lima tahun sekali, daripada identitas-identitas partikular seperti etnis, agama, dan asal-usul kedaerahan. Meskipun masih menjadi perdebatan tentang mengapa, misalnya, demokrasi prosedural tidak dibarengi oleh perkembangan demokrasi substantif, tapi paling tidak pada level selebrasi ritual pestanya demokrasi di Indonesia telah memberi impresi, kalau bukan ilusi, tentang keterlibatan bersama seluruh warga dalam isu-isu pemerintahan dan negara. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dalam keterlibatan semacam itu dapat ditemui tindakan-tindakan kewarganegaraan. Tidakah politik, yang tampil konkret dalam bentuk politisi, justru telah mengubah warga negara menjadi konsumen belaka?

Di sisi lain periode historis selepas Orde Baru juga ditandai oleh berbagai peristiwa kekerasan dan intoleransi antar kelompok, erupsi etnisitas ke dalam politik (van Klinken, 2002), penguatan kembali identitas-identitas partikular berbasis etnis dan agama, yang justru digunakan untuk memobilisasi konstituen baru dalam kontestasi untuk supremasi politik di daerah (Nordholt 2008: 1-21), rentetan konflik ethno-religius (Bertrand, 2004; Coppel, 2006; Wilson, 2008; van Klinken, 2007), tendensi-tendensi integrasi ajaran agama ke dalam sistem pemerintahan, sengketa pendirian dan pengrusakan rumah ibadah, problematik masyarakat adat sampai pretensi-pretensi pengaturan tubuh biologis masing-masing individu warga oleh negara melalui regulasi tentang pornografi. Peristiwa-peristiwa semacam itu bisa dilihat sebagai salah satu gambaran dari problematik multikulturalisme dalam konteks demokrasi yang baru tumbuh di Indonesia.

Dalam beberapa kasus Pemilu Daerah, kontestannya bahkan ada yang didorong untuk atau secara sengaja mendeklarasikan sikap anti-Ahmadiyah dan berjanji akan membubarkan kelompok tersebut kalau terpilih.[1] Bagaimana sikap kebencian satu kelompok terhadap kelompok lain dinyatakan secara terbuka dalam sebuah pesta demokrasi boleh jadi merupakan gambaran tentang belum matangnya sikap demokratis sebagian warga. Tapi hal tersebut juga dapat merangsang lahirnya pertanyaan mendasar tentang apa yang sebenarnya dituntut oleh demokrasi dari warga negara. Kalau suara dalam konteks hak suara pada saat Pemilu adalah salah satu aspek penting dalam diskusi tentang kewarganegaraan, suara dalam konteks aspirasi-aspirasi yang tidak dapat langsung disalurkan melalui kanal pemungutan suara seperti persoalan identitas merupakan aspek penting dalam diskusi tentang multikulturalisme.

Kalau bentuk-bentuk politik identarian bisa disebut sebagai bagian dari problematik multikulturalisme, maka bersama globalisasi keduanya menjadi sepasang tantangan yang saling terkait, yang akan menguji kemampuan sebuah negara-bangsa dalam menghimpun dan mengembangkan kehidupan kolektif warga negara.


Demokrasi tentu saja bukan hanya meliputi pembukaan ruang-ruang bagi kontestasi berbagai kekuatan politik dalam memperoleh supremasi kekuasaan, melainkan juga menyangkut banyak aspek lain dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam konteks semacam itulah muncul beberapa pertanyaan tentang relasi antara demokrasi dan kewarganegaraan. Di lain pihak, karena demokrasi sampai batas tertentu mengandaikan sebuah entitas teritorial dengan batas-batas yang jelas yang menampung rakyat (people), dan rakyat itulah yang menyusun sebuah bangsa (Saward, 2006: 403), sangat krusial untuk memperhitungkan beberapa aspek di luar apa yang secara formal disebut konstituen elektoral dalam demokrasi.

Tentang apakah, misalnya, kebijakan-kebijakan publik yang diputuskan oleh pemenang Pemilu memiliki akibat langsung pada perbaikan kehidupan rakyat tanpa melihat afiliasi politik dan asal-usul kulturalnya, dan apakah proses-prosesnya melibatkan juga kelompok-kelompok yang secara politik lemah/kalah. Atau tentang bagaimana aspirasi kelompok-kelompok marginal diwujudkan dalam putusan-putusan politik pemerintah, atau sebaliknya, bagaimana kelompok-kelompok non-dominan bisa melihat dan merasakan bahwa demokrasi bukan hanya untuk mereka yang menjadi pemenang tapi benar-benar untuk semua orang.

Pada level yang lebih luas, konsepsi tentang kewarganegaraan juga menghadapi tantangan dari proses-proses globalisasi, yang memiliki kaitan erat dengan beberapa tendensi penguatan identitas-identitas komunal sebagai reaksi balik atasnya. Migrasi internasional boleh jadi belum terlalu besar pengaruhnya pada struktur kependudukan masyarakat Indonesia, tapi globalisasi jelas telah melahirkan dorongan ke arah pencarian partikularitas identitas untuk melawannya (Barber, 1996). Kalau bentuk-bentuk politik identarian bisa disebut sebagai bagian dari problematik multikulturalisme, maka bersama globalisasi keduanya menjadi sepasang tantangan yang saling terkait, yang akan menguji kemampuan sebuah negara-bangsa dalam menghimpun dan mengembangkan kehidupan kolektif warga negara.

Untuk keperluan diskusi lebih lanjut, paling tidak untuk sementara, saya akan membuat asumsi sederhana bahwa kalau penyelenggaraan pemenuhan hak suara melalui Pemilu adalah proses demokratisasi dalam menghidupkan dan memelihara negara (state), maka perhatian pada persoalan identitas penting artinya dalam mendalami persoalan-persoalan tentang bangsa (nation). Mochtar Pabottingi (Kompas, 22/11/2011) melihat bangsa dalam konteks diskursus keindonesiaan sebagai entitas yang lebih utama daripada negara. Kalau paling tidak untuk sementara kita bisa merujuk pada opini Pabottingi tersebut, maka memelihara negara harus diletakkan ke dalam perspektif menghidupkan bangsa. Tapi sementara cukup mudah mencari rujukan konseptual tentang frase “warga negara”, ungkapan “warga bangsa” bukanlah terminologi yang lazim digunakan dalam diskusi akademis.

Sebaliknya, dalam sambutan-sambutan resmi pejabat negara kita sering mendengar ungkapan “saudara sebangsa (dan setanah air)” tapi pada saat yang sama kita tidak pernah mendengar ungkapan “saudara sesama warga negara”, yang menjadi padanan ungkapan “my fellow citizen” dalam bahasa Inggris. Dalam cara yang sama juga dapat dikemukakan bahwa sementara cukup mudah untuk menarik relasi antara kewarganegaraan dan demokrasi, relasi antara multikulturalisme dan (versi liberal) demokrasi justru cenderung problematis. Pertanyaannya adalah apakah kewarganegaraan bisa diajukan sebagai alternatif multikulturalisme ataukah justru ia merupakan jawaban terhadap problematik masyarakat multikultural?

Tulisan ini tidak dipersiapkan untuk menemukan jawaban-jawaban konklusif atas pertanyaan-pertanyaan di atas, melainkan lebih pada upaya mendiskusikan beberapa problematik yang kemungkinan muncul dalam garis kontinuum kewarganegaraan pada ujung yang satu dan multikulturalisme pada ujung yang lain di dalam konteks dinamik demokratisasi di Indonesia. Sebab meskipun sebagian kalangan melihat kewarganegaraan dan multikulturalisme merupakan pasangan komplementer tapi, seperti akan didiskusikan nanti, selain secara konseptual tetap harus dibedakan, yang terakhir juga bisa berubah menjadi ancaman bagi yang pertama. Pada sisi yang lain, kebertautan (lingkage) antara warga negara dan para pembuat kebijakan merupakan salah satu topik penting dalam upaya kita menganalisa praktik-praktik sistem demokrasi. Huber dan Powell (1994), misalnya, melihat bahwa kongruensi ideologis antara warga negara dan pembuat kebijakan merupakan salah satu ciri paling menonjol dalam demokrasi. Sebaliknya, esai ini akan memperlihatkan terjadinya kecenderungan terputusnya hubungan (delinking) antara kepentingan kewargaan, multikulturalisme dan para pengambil kebijakan yang dihasilkan melalui Pemilu dalam praktik demokrasi di Indonesia.

Untuk kebutuhan sederhana di atas, tulisan ini akan dibagi menjadi dua bagian utama. Pada bagian pertama saya akan membuat sebuah tinjauan kecil tentang beberapa kajian/diskusi terdahulu tentang subjek kewarganegaraan yang sudah dilakukan oleh kalangan ilmu sosial, terutama di Indonesia. Pada bagian kedua, mendiskusikan kencenderungan kontradiktif antara aspek formal representasi politik yang diperoleh melalui Pemilu dengan erupsi persoalan-persoalan kebangsaan yang terangkum dalam terminologi multikulturalisme. Tujuannya terutama untuk mengajukan argumentasi tentang pentingnya memperhatikan faktor-faktor di luar ritual Pemilu dalam diskusi tentang demokrasi di Indonesia. Tulisan ini akan ditutup dengan diskusi tentang kemungkinan-kemungkinan mencari titik temu antara dimensi multikulturalisme dan kebutuhan akan pembentukan kewarganegaraan yang relevan dengan konteks Indonesia kontemporer.

Gagasan Konseptual

Kewarganegaraan menyangkut soal status legal keanggotaan seorang individu di dalam sebuah masyarakat politik, negara. Ia juga dapat diperlakukan sebagai bermacam-macam upaya para individu warga negara mengembangkan dan memelihara kehidupan kolektif dari masyarakat politik tersebut (Cohen 1999; Kymlicka and Norman 2000; Carens 2000). Sementara itu, multikulturalisme dapat diperlakukan sebagai deskripsi tentang realitas objektif yang meliputi bermacam-macam kelompok kultural, agama, nilai, dan identitas yang bukan hanya berbeda tapi bahkan dapat bertolakbelakang antara satu dengan yang lainnya. Tapi multikulturalisme juga dapat dilihat sebagai bentuk-bentuk kebijakan politik yang dimaksudkan untuk mengelola interaksi antar warga/kelompok warga yang berbeda-beda tersebut dalam konteks sebuah negara-bangsa. Selain itu, ia juga dapat dipahami sebagai seperangkat gagasan teoritis yang memberi legitimasi kepada perjuangan kelompok-kelompok sosial untuk meraih pengakuan atas identitas mereka yang berbeda, dan kepada kebijakan-kebijakan politik multikultural oleh negara (Budiman, 2009, Vasu, 2003, Syaifuddin, 2006).

Dalam perdebatan filsafat politik, kewarganegaraan dan multikulturalisme berangkat dari tesis-tesis yang bukan hanya berbeda tapi bahkan bertolakbelakang satu dengan lainnya. Satu hal yang kemudian bisa digarisbawahi dari silang sengketa gagasan tersebut adalah adanya kepentingan untuk mencari konsepsi tentang kewarganegaraan yang lebih realistis, yang bukan hanya diletakkan di atas dasar asumsi tentang kesamaan manusia sebagai individu melainkan juga memiliki sensibilitas dalam memahami perbedaan antar-identitas kolektif.

Pada level teoritis diskusi tentang kewargaan multikultural (multicultural citizenship) terutama berkaitan dengan hak-hak minoritas, namun pada level kebijakan pemerintah, seperti dapat dilihat pada kasus Kanada dan Australia, kewargaan multikultural mengambil bentuk pluralisme kewargaan (civic pluralism) (Soutphommasane, 2005:402).


Meskipun sebagaian kalangan berpendapat bahwa kewarganegaraan dan multikulturalisme bersifat komplementer satu dengan lainnya, secara konseptual keduanya tetap harus dibedakan. Konsep tradisional tentang kewarganegaraan yang berkembang di Eropa dan Amerika mengandaikan sebuah konsep abstrak tentang warganegara yang bersifat universal, yang terutama diturunkan dari gagasan-gagasan liberalisme tentang keutamaan otonomi individu. Dalam pandangan kaum liberal, negara atau komunitas politik nasional harus bersifat agnostik terhadap pandangan partikular masing-masing individu anggota/warganya. Baik Habermas (1994) maupun Rawls (1996), di balik berbagai beda pandangan dalam banyak hal di antara keduanya, sama-sama mempertahankan konsepsi bahwa masyarakat yang baik harus didasarkan pada prinsip-prinsip universal yang didukung dengan argumen-argumen rasional, dan bukan prinsip-prinsip yang secara kultural bersifat spesifik (culturally specific). Kewarganegaraan dipahami sebagai hak-hak dan kewajiban warganegara yang bersifat universal, dan penekanannya diletakkan pada dikotomi antara individu dan negara.

Multikulturalisme, di lain pihak, dapat dilacak dari perdebatan dalam filsafat politik antara liberalisme dan komunitarianisme.[2] Kalangan komunitarian melihat bahwa penekanan liberalisme atas otonomi individu mengandaikan subjek-subjek otonom yang terisolasi dari nilai-nilai dan budaya komunitasnya. Padahal menurut Charles Taylor (1994: 25) konsepsi kita tentang diri yang bebas dan agen-agen yang sederajat (equal agents) dibentuk melalui dialog menggunakan ajaran-ajaran kultural (cultural scripts) yang sudah ada, yang bukan hanya kita pahami tapi juga merupakan bagian dari kita (Taylor, 1994: 25), dan yang memberi individu-individu konteks pilihan yang dapat dipahami, dan identitas dan rasa memiliki yang kukuh (a secure sense of identity and belonging) (Kymlicka, 1995: 150).

Liberalisme menurut Taylor (1994:27) tidak dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimana, misalnya, melindungi sebuah bahasa minoritas atau sebuah kelompok sosial yang dibungkam dan dipinggirkan. Dalam praktiknya, meskipun kewarganegaraan berorientasi universal ia tetaplah eksklusioner (Young, 1989) termasuk dalam praktik-praktik di ruang publik. Habermas (1994:116-22) mengelompokkan multikulturalisme menjadi bagian dari perjuangan bagi pengakuan atas identitas kolektif selain feminisme, nasionalisme dan perlawanan terhadap dominasi budaya Barat atau Eropasentrisme.

Dalam pemikiran generasi berikutnya, kita akan melihat beberapa upaya kelompok liberal mengakomodasi gagasan-gagasan komunitarian. Pada tahap inilah sebagian kalangan cenderung melihat kewarganegaraan dan multikulturalisme bukan sebagai dua gagasan yang berlawanan tapi justru saling melengkapi (komplementer). Perkembangan ini antara lain didorong oleh perubahan demografis akibat migrasi internasional, sehingga konsep lama tentang kewarganegaraan universal dianggap tidak lagi memadai sebagai dasar pembentukan keterikatan kepemilikan politis (political belonging) (Soutphommasane, 2005: 401). Perhatian pada kesederajatan harus pula diimbangi dengan perhatian pada perbedaan (Kymlicka, 1996, Stevenson, 2003). Bagi Kymlicka (1996) dan Parekh (2000), dengan mengakui dan mengakomodasi budaya-budaya minoritas, maka anggota komunitas-komunitas ini akan makin memiliki rasa keterikatan dan keterlibatan di dalam lingkup komunitas yang lebih besar.

“Blog

Pada level teoritis diskusi tentang kewargaan multikultural (multicultural citizenship) terutama berkaitan dengan hak-hak minoritas, namun pada level kebijakan pemerintah, seperti dapat dilihat pada kasus Kanada dan Australia, kewargaan multikultural mengambil bentuk pluralisme kewargaan (civic pluralism) (Soutphommasane, 2005:402). Di dua negara tersebut, multikulturalisme pada praktiknya ditempatkan ke dalam kerangka batas-batas yang meliputi nilai-nilai fundamental yang dibagi bersama oleh seluruh warga. Artinya ekpresi kewargaan multikultural tetap saja masih berada dalam konteks hak-hak dan kewajiban universal kewarganegaraan.
Habermas (1994:116-22) menggolongkan perjuangan gerakan multikulturalisme (etnik dan minoritas kultural) ke dalam dua kategori: minoritas endogen (endogenous minorities) yang kemudian menjadi sadar atas identitas kolektif mereka, dan minoritas-minoritas baru yang muncul akibat imigrasi (exogenous minorities). Dalam konteks minoritas endogen, meskipun banyak identitas yang bisa diatributkan kepada kelompok sosial tertentu, tapi yang paling dominan dalam diskursus politik identitas di Indonesia dalam satu dekade belakangan adalah yang berbasis etnis dan/atau agama.

Warga negara mungkin memang merupakan anggota dari sebuah negara, tapi mereka juga terikat secara kultural kepada cara-cara yang partikular. Mereka mungkin membagi bersama pandangan hidup dan asumsi-asumsi tertentu tapi pada saat yang sama mereka bisa juga tidak terlalu percaya kepada penekanan berlebihan atas commonalities, terutama ketika yang “common” pada dasarnya adalah yang disepakati oleh kelompok sosial dominan dan/atau mayoritas. Karena itu, seperti ditunjukkan oleh Saward (2006: 411), kewarganegaraan yang didasarkan pada konsepsi atau argumen tentang karakter umum yang esensial dari identitas-identitas warga negara yang spesifik, akan selalu mendapatkan tantangan dari gagasan tentang pluralitas identitas dan identifikasi yang tidak bisa ditawar-tawar, baik karena pilihan atau bukan. Kalau gagasan lama tentang kewarganegaraan terutama hanya berurusan dengan relasi antara individu dan negara, kewargaan multikultural berurusan dengan trikotomi antara indvidu, kelompok identitas, dan negara (Shachar, 1999: 89).

Gagasan tentang kewargaan multikultural dapat segera dibedakan menjadi dua kelompok utama, yakni kelompok liberal dan kelompok radikal. Shachar (1999: 89-92) menggunakan penyebut lain untuk keduanya, yakni kelompok “lemah” seperti tampak pada gagasan-gagasan Will Kymlicka, dan kelompok “kuat”, seperti dapat ditemukan pada gagasan-gagasan Iris Marion Young. Berbeda dengan Kymlicka, Young menganjurkan perubahan fundamental dalam cara kita memahami kewarganegaraan dengan pertama-tama melakukan kritik tajam terhadap konsepsi liberalisme tentang universalisme dan otonomi individu. Menurut Young, itu semua tidak lebih dari bentuk partikularisme tersembunyi dari kelompok kultural atau politik dominan.

Ancaman multikulturalisme terhadap kewarganegaraan muncul ketika kelompok-kelompok ingin mempertahankan identitasnya meminta pertolongan negara untuk melakukan itu. Beberapa kelompok pada dasarnya ada yang tidak tertarik dengan inklusi atau kewarganegaraan, melainkan hanya ingin mengambil keuntungan dari kewarganegaraan tanpa bertindak sebagai warganegara (Spinner-Halev, 1999: 78). Ancaman multikulturalisme terhadap kewarganegaraan juga terjadi ketika kebijakan-kebijakan pro-kelompok (affirmative action), yang dimaksudkan untuk menyamakan medan permainan (levelling the playing field) antara kelompok minoritas dengan masyarakat yang lebih besar, secara sistematis memungkinkan terjadinya perlakuan yang keliru terhadap beberapa kategori dari anggota-anggota kelompok, seperti perempuan, sehingga secara efektif justru menghilangkan status kewarganegaraan mereka (Shachar, 1999: 88).

Diskusi-diskusi Terdahulu di Indonesia

Kajian-kajian tentang kewarganegaraan dan multikulturalisme di Indonesia menampilkan sebuah spektrum pemikiran yang cukup kaya meskipun dalam beberapa kasus cenderung tidak kritis. Pada sub-bagian ini saya hanya akan mengulas sebagian kecil dari diskusi-diskusi tersebut, dan itu pun hanya secara sepintas lalu saja. Perhatian utama dari diskusi-diskusi tersebut berkisar di antara multikulturalisme sebagai solusi dari relasi-relasi konfliktual antar kelompok warga negara (etnis, agama atau kombinasi dari keduanya), dan kewarganegaraan sebagai solusi dari problematik menguatnya orientasi kelompok-isme (groupism) yang dipahami sebagai ancaman bagi kesatuan bangsa. Irisan tematik dari dua diskursus tersebut niscaya dapat ditemukan pada isu-isu tentang status kewarganegaraan kelompok Cina-Indonesia, kelompok-kelompok etnis/agama minoritas, gay, lesbian, dan kelompok trans-gender.

Dibandingkan dengan terminologi multikulturalisme, kewarganegaraan adalah sebuah konsepsi yang sudah jauh lebih luas dipakai bahkan di luar kampus-kampus perguruan tinggi. Akan tetapi, problematik kewarganegaraan di Indonesia bahkan segera dapat dilihat dari problem semantik yang menyertai penggunaannya. Esai Dhakidae adalah satu di antara beberapa diskusi tentang politik kewarganegaraan di Indonesia, yang fokus perhatiannya ditujukan kepada relasi vertikal antara warga negara dengan negara/pemerintah. Daniel Dhakidae (2011) mempersoalkan kerancuan padanan ungkapan yang dipakai dalam bahasa Indonesia untuk kata “citizenship” yang justru akan segera menjelaskan pangkal mula kerumitan politik kewarganegaraan di Indonesia. Selain pembedaan antara kata “warga” dan “warga negara”, yang dalam praktik penggunaannya sehari-hari tidak banyak gunanya, definisi leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga memperlihatkan betapa konsepsi formal tentang kewarganegaraan menggunakan logika kekuasaan negara dan menempatkan rakyat/warga sebagai wadah penampung sekian banyak kewajiban.

Menurut Dhakidae, persis itulah politik kewarganegaraan yang dijalankan baik rezim kekuasaan Sukarno maupun Suharto. Kalau Orde Baru dan Orde Lama ditandai oleh kuatnya sosok pemimpin puncak kekuasaan (Sukarno pada Orde Lama dan Suharto pada Orde Baru), era reformasi sejak 1998 sampai saat ini (2013) justru ditandai oleh bankrutnya kepemimpinan nasional yang kemudian digantikan oleh kekuatan pasar sebagai satu-satunya yang paling berwibawa dan menentukan nasib semua orang. Akibatnya, menurut Dhakidae, era reformasi ditandai oleh pergeseran radikal dari warga negara menjadi sekedar konsumen belaka.

Thung Ju Lan (2011: 281-99) mendiskusikan relasi vertikal ini dalam kasus masalah kewarganegaraan etnis Cina-Indonesia. Ju Lan mempersoalkan tiga interplay dalam konsepsi tentang status legal keanggotaan seorang individu dalam sebuah komunitas politik, yakni masalah inklusi tentang siapa yang secara otomatis dianggap sebagai warga negara, naturalisasi tentang bagaimana cara untuk bisa menjadi warga negara, dan seklusi tentang siapa yang tidak diakui atau ditolak. Pembahasan Ju Lan tentang status legal Cina-Indonesia sebagai Dutch Subject yang berakar dari politik segregasionisme pemerintah kolonial Belanda melalui pemberlakuan wijkenstelsel, sebuah sistem pertetanggaan yang dalam prakteknya memisah-misahkan warga berdasarkan kelompok rasnya (Tan, 2008: 14), sampai persoalan kedudukan mereka sebagai “warga kelas dua” pada era pascakolonial, memperlihatkan bahwa aspek-aspek legal status kewarganegaraan individu dan/atau kelompok individu cukup menentukan bagaimana mereka terlibat dalam upaya pemeliharaan kehidupan kolektif sebuah masyarakat politik. Diskusi yang diajukan oleh Ju Lan membawa keluar relasi vertikal warga negara dan negara ke dalam konteks perbincangan soal relasi antara Cina-Indonesia sebagai sebuah kelompok etnis di tengah-tengah kelompok-kelompok etnis lain (cf. Suryadinata, 2003: 1-12).

Rocky Gerung (2007), mengajak kita memahami kewarganegaraan sebagai bahasa politik untuk mengatur kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat majemuk. Kalau terminologi masyarakat majemuk yang digunakan Gerung merujuk pada apa yang dalam diskursus ilmu sosial merupakan padanan dari terminologi masyarakat plural (plural society) seperti yang dikemukakan oleh J. S. Furnivall, tentu saja pandangan Gerung ini terlampau simplistik karena kewarganegaraan berlaku baik dalam konstruksi masyarakat majemuk maupun tidak. Gagasan Gerung bisa dipahami hanya kalau “masyarakat majemuk” diperlakukan sebagai sebutan awam untuk “masyarakat heterogen”. Penekanan Gerung bukan pada relasi antara individu warga negara dengan negara (antara warga yang dibebani kewajiban dan pemerintah yang diberkati hak untuk berkuasa), melainkan lebih pada bagaimana secara kolektif warga negara menetapkan cara yang dapat disepakati untuk hidup bersama di dalam iklim demokrasi.

Dipahami sebagai upaya menemukan cara hidup bersama, tantangan bagi kewarganegaraan di Indonesia menurut Gerung terletak pada tiga hal: komunalisme etnis, politik identitas agama, dan aspirasi keadilan ekonomi. Dari tiga persoalan ini Gerung melihat bahwa loyalitas kepada bangsa cenderung dilampaui oleh primordialisme. Tulisan Gerung tampak dipersiapkan sebagai respon terhadap semakin menguatnya dorongan untuk menjadikan identitas (agama dan/atau etnis) sebagai landasan untuk menetapkan tujuan hidup bersama masyarakat Indonesia. Seperti Ju Lan, argumen Gerung tentang kewarganegaraan dapat pula diletakkan ke dalam diskusi tentang problematik multikulturalisme di Indonesia.

Pada permulaan abad ke-21, perhatian kalangan akademik di Indonesia atas problematik multikulturalisme memuncak pada Simposium Internasional Jurnal Antropologi ke-3 yang mengusung tema Membangun Kembali ‘Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika’. Menuju Masyarakat Multikultural, di Bali 16-19 Juli 2002. Tampak jelas dari tema tersebut bahwa di balik tujuan-tujuan akademis murni, simposium tersebut juga meletakkan multikulturalisme dan kondisi multikultural sebagai tujuan. Salah satu makalah utama dalam simposium tersebut adalah yang ditulis oleh Parsudi Suparlan (2002), “Membangun Masyarakat Indonesia yang Multikultural”. Dalam makalah tersebut, Suparlan merekomendasikan multikulturalisme menjadi ideologi nasional yang harus menjadi landasan bagi tegaknya demokrasi, hak asasi manusia, dan kesejahteraan rakyat. Bagi Suparlan, masyarakat multikultural adalah jalan keluar dari kelemahan-kelemahan intrinsik masyarakat majemuk seperti telah ditemukan oleh Furnivall.

Semangat Suparlan menular luas baik di dalam maupun di luar simposium dan kampus-kampus perguruan tinggi di Indonesia. Multikulturalisme kemudian banyak diterima sebagai solusi bagi bermacam-macam persoalan yang muncul dari konflik-konflik berbasis identitas komunal. Syaifuddin (2006: 3-11) mengelaborasi lebih detail model-model multikulturalisme yang pernah dan sedang diberlakukan di beberapa negara di dunia, dan ia berakhir pada kesimpulan bahwa tidak satu pun dari model-model tersebut yang dapat sepenuhnya diadopsi oleh Indonesia. Abdullah (2006: 12-20) melihat multikulturalisme sesuai untuk Indonesia karena warga negara pernah mengalami asimilasi dan diskriminasi. Dalam praktiknya menurut Abdullah, adopsi multikulturalisme di Indonesia menghadapi tantangan bukan hanya dari model pembangunan yang seragam dan tidak partisipatoris (top-down), melainkan juga dari pluralisme sempit dalam bentuk eksklusivitas, saling-tidak percaya (mutual distrust), dan frustasi karena ketidaksederajatan (inequality frustation).


Vote dan Voices: Demokrasi, Kewarganegaraan, dan Multikulturalisme

Hampir secara romantik demokrasi liberal percaya bahwa dalam satu atau lain cara, preferensi warga negara atas kebijakan politik akan diterjemahkan, melalui Pemilu, menjadi pilihan atas para anggota dewan perwakilan yang, pada gilirannya, akan menghasilkan berbagai kebijakan politik yang akan mengatur interaksi antarwarga negara. Partisipasi warga dan pemungutan suara dalam pemilu menentukan kebijakan-kebijakan yang akan diimplementasikan dalam mengelola kehidupan warga negara (Ezrow, 2010: 3). Relasi antara warga negara, institusi politik, dan kebijakan-kebijakan politik yang akan mengatur kehidupan warga negara dalam sebuah masyarakat politik disederhanakan sebagai garis yang berkorespondensi langsung secara berurutan: pemilu memilih wakil rakyat dan pemimpin politik sesuai dengan apsirasi pemilih, dan setelah terpilih mereka akan menghasilkan regulasi kebijakan yang akan menjadikan aspirasi rakyat pemilih itu legitim sebagai kebijakan untuk semua warga negara.

Blog Picture

Namun demikian apa yang dipercaya dalam asumsi-asumsi romantik demokrasi liberal tadi tentu saja cenderung problematis dalam konteks perkembangan demokrasi dan demokratisasi di Indonesia saat ini. Kita segera menemukan bahwa demokrasi politik di sini bukanlah rangkaian peristiwa yang rapih, tertib dan normatif belaka, melainkan penuh guncangan, ledakan emosi, dan kondisi politik yang berantakan. Ideal demokrasi tentu saja pasti bagus adanya, tapi satu-satunya hal terbutuk dari yang ideal adalah kenyataan bahwa ia tidak ada. Van Klinken (2009: 141-59), misalnya, menemukan bahwa dalam praktiknya di Indonesia pasca-Orde Baru, relasi antara warga yang memilih dalam pemilu dengan anggota parlemen yang dipilihnya lebih didasarkan pada hubungan pertemanan dan patronase, sehingga praktik demokrasi di Indonesia lebih tepat disebut demokrasi-patronase (patronage-democracy).

Di samping itu, banyak hal kontradiktif terjadi dalam pelaksanaan demokrasi pada berbagai tingkatan sejak berakhirnya rezim Suharto 15 tahun yang lalu. Dalam konteks diskusi tentang kewarganegaraan, misalnya, partisipasi warga ketika berada dalam bilik suara pemilu (vote) sama sekali tidak mencerminkan aspirasi yang paling banyak menguasai ruang-ruang publik (voices). Sudah menjadi rahasia umum bahwa meskipun pemenang pemilu didominasi oleh partai-partai nasionalis, tetapi ketika sudah terpilih pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru cenderung banyak mengakomodasi suara-suara dari kelompok yang lebih mengutamakan kepentingan berbasis etnis atau agama. Divergensi antara apa yang terjadi di kotak suara dalam bilik suara pemilu dengan suara-suara yang kemudian sering (berhasil) mendesakkan kepentingannya di lembaga legislatif hasil pemilu yang sama, itu bisa menjadi salah satu indikasi bahwa praktik demokrasi dan kewarganegaraan di Indonesia tidak bisa sepenuhnya dibaca dalam kerangka pemahaman romantik demokrasi liberal di atas.

Di luar pengertian formalnya, kalau kewarganegaraan dapat diperlakukan sebagai sebuah konsepsi tentang tugas-tugas warga negara membentuk dan memelihara kehidupan kolektif dalam sebuah komunitas politik, maka diskusi tentang kewarganegaraan di Indonesia saat ini pertama-tama perlu diletakkan ke dalam konteks demokratisasi politik. Dalam perspektif semacam itu, keterlibatan warga dalam proses-proses demokrasi merupakan aspek fundamental dari tugas tersebut. Dalam praktiknya, keterlibatan tersebut terutama dapat dilihat pada praktek-praktek pemberian suara (Pemilu), tapi juga dalam praktik-praktik menyuarakan kepentingan, termasuk di dalamnya perjuangan bagi pengakuan atas partikularitas identitas-identitas kolektif, sampai pencalonan diri individu-individu untuk jabatan politis tertentu.

Dalam Pemilu tiga komponen kewarganegaraan pada sebuah negara-bangsa terpenuhi sekaligus, yakni keanggotaan eksklusif (exclusive membership) dalam sebuah komunitas politik, karena pemberian suara pada saat Pemilu hanya bisa dilakukan oleh warga yang sudah memenuhi syarat ikut Pemilu, dan tidak berlaku untuk orang di luar komunitas politik tersebut; hak (rights) yang langsung berhubungan dengan keanggotaan tersebut, yakni hak untuk memilih/memberikan suara; dan partisipasi (participation) dalam proses politik yang merupakan bagian dari kehidupan kolektif.

Akan tetapi kotak suara di tempat pemungutan suara hanya berurusan dengan hak suara masing-masing warga negara sebagai individu, dan sama sekali tidak berurusan dengan aspek-aspek keterikatan mereka kepada identitas-identitas kolektif yang partikular seperti yang disuarakan melalui wacana multikulturalisme. Dalam konteks representasi politik formal, misalnya, meskipun isu-isu etnisitas dan keagamaan banyak muncul selama pemilu, namun demokrasi perwakilan kita tidak mengakomodasi representasi politik berdasarkan pengelompokan sosial semacam itu baik dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR pusat maupun DPR daerah) maupun dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Di era Orde Baru kita mengenal Fraksi Utusan Daerah dan Utusan Golongan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang seharusnya bisa dimodifikasi untuk konteks kebutuhan saat ini menjadi Fraksi yang mewakili kelompok-kelompok kultural/identitas. Tapi trauma politik masa lalu tampaknya lebih mendorong para arsitek sistem pemilu di Indonesia untuk membentuk Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga tersendiri, yang dalam praktiknya selama ini juga tidak pernah benar-benar jelas kontribusinya dalam penguatan keterwakilan rakyat.

Penting pula dicatat bahwa etnik dan agama sering tidak dapat dibedakan dalam praktek mungkin karena agama pada dasarnya justru merupakan unsur konstitutif etnik. Di luar persoalan gender dan preferensi seksual, etnis dan agama pula yang banyak mendasari dikotomi antara mayoritas dan minoritas. Selama sepuluh tahun setelah kuasa formal Suharto dihentikan, dan praktis sejak pemerintah Habibie mengeluarkan regulasi tentang otonomi daerah dan desentralisasi administrasi pada tahun 2001 yang lalu, dua basis inilah yang dianggap banyak memicu konflik sosial antar kelompok warga di banyak tempat di Indonesia.

Apa yang berlangsung di tempat pemungutan suara (TPS) tidak sejalan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan warga sehari-sehari.


Paling tidak ada dua hal yang kontradiktif dalam perkembangan politik Indonesia setelah tahun 1998. Pada sisi yang satu, demokrasi elektoral yang tercermin dalam perolehan suara pemilih pada setiap Pemilu memperlihatkan preferensi pilihan politik warga yang sebagain terbesarnya dijatuhkan kepada partai-partai politik yang tidak mengusung isu-isu keagamaan maupun etnisitas. Kondisi semacam ini tidaklah berbeda dengan pemilu-pemilu di zaman Orde Baru, ketika Golongan Karya (Golkar) selalu meraih suara terbanyak jauh melampaui suara partai berbasis Islam waktu itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Tapi pada sisi yang lain, dan ini yang sekaligus membedakan periode saat ini dengan era Orde Baru, isu-isu yang berbau agama atau etnis atau perpaduan dari keduanya kuat mewarnai dan menyita perhatian publik baik pada momentum pemilu dari level nasional sampai daerah tingkat dua maupun dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa-peristiwa seperti integrasi syariat Islam ke dalam peraturan daerah (Perda), kontraversi undang-undang pornografi, dan penguatan kembali identitas-identitas komunal, itu berjalan paralel dengan kemenangan partai-partai politik non-agama di tingkat nasional dan sebagian terbesar pemilu daerah.

Untuk kebutuhan penyederhanaan penyebutan, kalau suara yang dimiliki oleh warga negara dan digunakan untuk menentukan pilihan representasi politik formal dalam pemilu adalah vote, maka suara-suara yang tampak dalam bentuk politik identarian bisa kita sebut sebagai voices. Yang pertama adalah salah satu aspek penting dalam diskusi tentang kewarganegaraan, sedangkan yang terakhir merupakan aspek penting dalam diskusi tentang multikulturalisme. Kehidupan politik sehari-hari masyarakat Indonesia kontemporer memperlihatkan ketidakpaduan antara vote dan voices. Dalam kalimat lain, terjadi divergensi antara politik kewarganegaraan dan politik multikulturalisme. Divergensi antara vote dan voices ini cukup menarik karena sangat berbeda dengan zaman Suharto, selain PPP saat ini terdapat cukup banyak partai politik yang dapat dikategorikan sebagai partai berbasis agama seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bahkan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang seharusnya dapat menjadi pilihan mereka yang memang memiliki aspirasi ke arah tersebut.

Dari jurusan yang berbeda juga dapat dilihat kontradiksi yang sama, yakni bahwa sementara secara kumulatif pemenang tiga besar suara dalam dua Pemilu terakhir (2004 dan 2009) adalah partai-partai nasionalis (Golkar, Demokrat, dan PDI-Perjuangan), tapi salah satu topik politik yang banyak menyita perhatian dan energi politik nasional di luar kasus korupsi adalah isu-isu berbau agama seperti kasus Ahmadiyah, pemberlakuan peraturan daerah (Perda) syariat Islam, pendirian dan/atau perusakan rumah ibadah, dan praktik-praktik kekerasan oleh kelompok agama terhadap kelompok minoritas. Apa yang berlangsung di tempat pemungutan suara (TPS) tidak sejalan dengan apa yang sangat banyak disuarakan dalam kehidupan rakyat sehari-sehari.

Dari gambaran realitas seperti itu dapat dikatakan bahwa telah terjadi delinking antara partai politik yang bersaing dalam pemilu baik dengan kewargaan maupun dengan problematik multikulturalisme. Bahwa seseorang, misalnya, bisa saja memilih Golkar atau PDIP atau Demokrat dalam Pemilu tapi sekaligus dan pada saat yang sama menjadi pendukung pembubaran kelompok Ahmadiyah dan Syiah atau pemberlakuan syariat Islam. Faktanya, partai-partai politik pendukung pemberlakuan syariat Islam di beberapa kabupaten adalah partai-partai yang mengklaim berideologi nasionalis seperti Golkar, PAN, dan Demokrat.[3] Sebaliknya, bisa saja terjadi cukup banyak kalangan kyai dan santri yang dalam Pemilu justru menjatuhkan pilihan politiknya kepada partai-partai non-agama seperti Golkar, PDI-P dan Demokrat. Ini juga memperlihatkan bahwa apa yang dipilih di kotak suara Pemilu tidak sejalan dengan apa yang kemudian dihasilkan oleh para anggota dewan perwakilan terpilih, dan tidak pula sejalan dengan kehidupan sehari-hari sebagian besar warga negara.

Sebagian orang menafsirkan dinamik seperti ini sebagai bukti bahwa ideologi politik agama/Islam sudah pudar karena masyarakat cenderung lebih bersikap pragmatis secara politik.[4] Kalau kita merujuk kembali argumen Huber dan Powel (1994) di atas, maka yang terjadi justru adalah inkongruensi ideologis antara warga negara dengan partai politik. Dapat pula diduga bahwa penumpukan suara pemilih hanya pada beberapa Parpol dari puluhan Parpol yang berkompetisi dalam Pemilu, itu memperlihatkan bahwa fragmentasi sosial yang paling tajam kemungkinan besar hanya terjadi pada kelompok elit yang mendirikan partai, tapi tidak pada level masyarakat pemilihnya.

Paling tidak ada dua persoalan krusial menyangkut problem representasi yang bisa dilihat dari bermacam-macam kasus di atas. Yang pertama adalah persoalan tentang apakah peristiwa-peristiwa politik yang bernuansa etnik dan/atau agama belakangan mencerminkan partikularitas telah mengalami representasi yang berlebihan (over-represented). Jika acuannya adalah representasi formal yang diperoleh melalui Pemilu, jawabannya jelas negatif. Tapi jika acuannya adalah wacana tentang kelompok-kelompok etnis dan/atau agama yang memaksakan kehendaknya melalui berbagai macam cara, dan banyaknya produk-produk regulasi yang akomodatif terhadap kelompok mayoritas agama, misalnya, impresi tentang representasi berlebihan tersebut memang sulit dihindari. Berbagai anjuran untuk kembali kepada ideologi nasional, Pancasila, sebagai pengikat kebersamaan kebangsaan tampaknya bisa ditempatkan ke dalam konteks munculnya kecemasan atas terjadinya representasi berlebihan dari partikularitas-partikularitas tersebut beserta rentetan akibat negatif yang ditimbulkannya.

Karena dianggap hanya menjadi legitimasi bagi praktik-praktik otoritarianisme Orde Baru, setelah Suharto mundur Indonesia memasuki periode ketika ideologi negara, Pancasila, dipinggirkan oleh agama, etnis dan politik identitas kedaerahan. Schulte Nordholt (2008: 2-3) melihat bahwa dalam kondisi seperti itu yang menjadi korban utamanya adalah sebuah perasaan yang dibagi bersama tentang kewarganegaraan Indonesia (a shared sense of Indonesian citizenship). harKarena demokratisasi dan desentralisasi, menurut Schulte Nordholt, reformasi justru telah mempertebal dan mempercepat identitas-identitas yang terfragmentasi tersebut. Padahal, demikian Schulte Nordholt (2008: 18), tanpa sebuah perasaan kewarganegaraan yang kuat, negara dianggap sebagai sebuah sumber kemakmuran daripada sebagai pemberi keadilan. Menurutnya, salah satu kesalahan terbesar ideologi neo-liberal adalah adanya pemikiran bahwa berkurangnya (peran) negara akan membawa ke arah yang lebih demokratis, padahal demokrasi harus melekat pada institusi-institusi negara yang dapat dipercaya.

Kedua, tidakah kasus-kasus semacam itu justru memperlihatkan betapa partikularitas menderita kekurangan representasi (under-represented) dibandingkan dengan mayoritas atau kelompok-kelompok sosial yang memiliki afinitas dengan agama maupun etnik mayoritas. Pada kasus-kasus intoleransi, kekerasan komunal, pemaksaan nilai-nilai oleh mayoritas terhadap minoritas, bukankah yang suaranya tidak pernah benar-benar diperhitungkan adalah justru suara kelompok-kelompok marginal ekonomis dan minoritas etno-kultural dan agama? Padahal kelompok-kelompok ini adalah kumpulan orang yang memiliki hak suara (vote) dalam pemilu tapi haknya untuk bersuara (voices) tidak pernah benar-benar didengar (Budiman, 2005, Noorsalim, dkk., 2007, Budiman, 2009) baik di tingkat lokal apatah pula di tingkat nasional. Jumlah mereka yang sangat kecil bahkan bisa dianggap hanya sebagai unsur tambahan yang tidak signifikan dalam penentuan pemenang pemilu di satu wilayah tertentu.

Kymlicka dan Norman (2000: 9) mencatat bahwa pada konteks perkembangan kajian-kajian tentang demokrasi telah terjadi pergeseran cukup penting dari teori demokrasi vote-centric ke arah teori-teori talk-centric. Teori-teori vote-centric melihat demokrasi sebagai sebuah arena dalam preferensi-preferensi dan kepentingan-kepentingan yang sudah ada dan tetap (fixed) berkompetisi melalui prosedur-prosedur keputusan yang adil atau melalui mekanisme agregasi (seperti suara mayoritas). Salah satu kritik terhadap konsepsi semacam itu adalah tentang problematik norma-norma legitimasi demokratis ketika pilihan politik hanya menghasilkan representasi kelompok pemenang Pemilu.

Bersama Yayasan Interseksi, dari tahun 2004 sampai 2009 (Budiman, 2005, Noorsalim, dkk., 2007, Budiman, 2009) yang lalu saya telah mendokumentasikan kasus-kasus yang memperlihatkan dengan jelas bahwa kelompok-kelompok etno-kultural dan agama minoritas adalah kumpulan orang-orang yang tetap memiliki hak suara (vote) dalam Pemilu tapi tidak pernah memiliki hak untuk bersuara (talk atau voices) yang benar-benar di dengar. Tidak di tingkat lokal, apatah pula di tingkat nasional. Jumlah numerik mereka yang relatif kecil bahkan bisa dianggap sebagai unsur tambahan yang tidak terlalu signifikan dalam penentuan pemenang Pemilu di satu wilayah tertentu. Tapi bukankah sebagai bagian dari kehidupan kolektif komunitas politik mereka juga berhak didengar suaranya? Jika demikian tidakah yang dibutuhkan justru adalah sebuah politik multikultural untuk mengatasinya?

Persoalannya adalah, apakah pilihan mayoritas identik dengan sebuah common will? Kalau suara mayoritas selalu diperlakukan sebagai common will, demokrasi hanya akan menjadi arena dalam apa kelompok-kelompok minoritas atau marginal mengalami eksklusi secara permanen. Di lain pihak, teori-teori demokrasi talk-centric mempromosikan inklusi kelompok-kelompok tersebut ke dalam sistem kekuasaan melalui perhatiannya kepada aspek-aspek yang tidak selalu bisa dihitung, kepada suara-suara yang tidak disalurkan melalui kartu-kartu suara yang mewakili masing-masing individu, melainkan melalui kanal-kanal penguatan identitas kolektif, dan tuntutan atas pengakuan dan penghormatan atas keanggotaan kultural individu maupun kolektif.

Vote dan voices juga melandasi sebuah pertanyaan penting dalam diskusi-diskusi tentang kewarganegaraan yang lebih mutakhir terutama dalam konteks pengembangan demokrasi. Pertanyaan tersebut, seperti yang diajukan oleh Saward (2006: 402-8), adalah tentang di mana demokrasi menemukan warga negaranya dan di mana tindakan-tindakan warga dapat ditemukan dalam demokrasi? Apakah warga negara hanyalah mereka yang sudah memiliki hak untuk mendatangi kotak suara dalam Pemilu (terlepas dari apakah ia menggunakan hak tersebut atau tidak), ataukah ia dapat juga ditemukan di tempat-tempat lain? Apakah konsep kewarganegaraan hanya mencakup hal-hal yang bersifat “publik”, dan mengesampingkan hal-hal yang bersifat privat seperti dalam tradisi demokrasi liberal?

Kelompok kosmopolitan seperti Saskia Sassen dan Sheila Ben Habib, misalnya, mengajukan gagasan tentang kewaranegaraan yang ruang lingkupnya melampaui batas-batas sebuah negara-bangsa demokratis (post-national citizenship) antara lain karena problematik yang dihadapi oleh umat manusia saat ini sudah berada di luar kemampuan sebuah negara-bangsa untuk secara sendiri-sendiri mengatasinya. Sementara teori-teori yang mempersoalkan perbedaan (difference) dan pengakuan (recognition) berpendapat bahwa warga negara dan tindakan-tindakan sebagai warga negara juga dapat ditemukan di dalam permusyawaratan antar-warga dalam asosiasi-asosiasi lokal.

Saya akan mengesampingkan terlebih dahulu tawaran versi konsepsi kosmopolitanisme tentang kewarganegaraan. Salah satu argumen yang ingin dibangun dalam karangan ini adalah bahwa vote dan voices merupakan dua interplay demokrasi, yang sama-sama harus mendapatkan perhatian serius. Sementara pajak dan suara dalam Pemilu adalah kuasa yang dimiliki warga sebagai individu, voices berlaku dalam konteks perjuangan untuk mendapatkan pengakuan atas identitas kolektif yang tidak terakomodasi dalam ritual Pemilu.

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa Indonesia adalah sebuah negara-bangsa yang tersusun dari hamparan perbedaan etnis, agama, bahasa, dan nilai yang berbeda antara satu dengan lainnya. Kalau demokrasi secara aktual adalah pemerintahan oleh mayoritas (dalam arti praktis suara mayoritas pemilih), sejauh mana ruang-ruang partisipasi terbuka bagi kelompok-kelompok di luar mayoritas dominan tersebut untuk ikut memelihara dan menentukan arah kehidupan kolektif bersama warga negara yang lain, dan bagaimana hal tersebut tercemin dalam kebijakan-kebijakan publik? Apakah mekanisme representasi politik dalam praktek demokrasi mengakomodasi diversitas kultural warga ataukah ia lebih tampak sebagai pemaksaan kultur dominan menjadi the lowest common denominator yang justru mengabaikan semua yang tidak “common” atau partikular? Dalam ungkapan yang berbeda, persoalannya adalah bagaimana demokrasi dapat dipraktikkan di dalam konteks diversitas kultural.

Dalam beberapa kajian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Interseksi (Budiman, 2005, Mashudi, dkk., 2007, dan Budiman, 2009), ada beberapa batas yang saling terkait satu dengan lainnya yang harus dilalui oleh kelompok-kelompok etnokultural di Indonesia untuk menjadi bagian dari warga negara Indonesia. Dalam kasus yang terjadi pada komunitas ToWana di Cagar Alam Morowali, Sulawesi Tengah, misalnya, batas-batas tersebut adalah kampung, agama, dan pemerintah sendiri. Frustasi warga etnis ToWana menghadapi trisula pembatas kewarganegaraan tersebut terangkum dalam ungkapan “tare kampung, tare agama, tare pamarenta” (tidak ada kampung, tidak ada agama, tidak ada pemerintah) (Budiman, 2005).

Tabel 1. What Should the Government’s Three Main Priorities Be?(Apa yang Seharusnya Menjadi Tiga Prioritas Pemerintah?

profile image

Sumber: Pepinsky, Liddle, dan Mujani (2009). Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia yang diletakkan di dalam kurung dilakukan oleh saya sendiri (HB)



Pada sisi yang lain, batas-batas bagi keterlibatan kelompok-kelompok etno kultural minoritas tersebut juga dapat dilihat pada bagaimana warga mayoritas memandang dan menempatkan persoalan kelompok-kelompok tersebut ke dalam perspektif pengelolaan negara oleh pemerintah. Dalam sebuah kertas kerja yang banyak dipuji Pepinsky, Liddle, dan Munjani (2009), misalnya, menampilkan banyak data menarik yang diperolehnya melalui sebuah survei di Indonesia. Ketika menjawab pertanyaan tentang apa yang seharusnya menjadi tiga prioritas utama pemerintah, responden survei memberikan variasi jawaban yang cukup besar. Yang menarik, paling tidak dalam konteks karangan saya saat ini, adalah data tentang sangat kecilnya persentasi penyebutan upaya perlindungan kelompok minoritas sebagai prioritas pemerintah (lihat Tabel 1). Ini menunjukkan betapa isu-isu tentang problematik kelompok-kelompok minoritas tidak dilihat sebagai persoalan yang krusial baik dalam konteks pembangunan maupun dalam konteks representasi politik formal. Kalau mayoritas penduduk tidak menganggap perlindungan kelompok minoritas sebagai prioritas tugas pemerintah yang akan terpilih dalam Pemilu, salah satu kemungkinannya adalah terjadinya diskoneksi antara keterlibatan dalam Pemilu dengan kepentingan membentuk dan memelihara kehidupan kolektif sebuah komunitas politik.

Salah satu tema sentral dalam diskusi multikulturalisme adalah tentang isu kelompok minoritas. Apakah multikulturalisme diperlakukan sebagai kata sifat seperti dalam ungkapan “masyarakat multikultural” ataukah ia diperlakukan sebagai kebijakan politik negara atau bahkan ketika ia dihadapi sebagai sebuah teori sosial tentang kenyataan sosial, muara persoalannya berada pada kondisi kelompok-kelompok minoritas dalam masyarakat-masyarakat yang dicirikan oleh diversitas kultural. Versi liberal multikulturalisme atau versi komunitariannya sama-sama membagi perhatian khusus pada problematik isu minoritas sehingga, seperti yang dilakukan oleh Kymlicka dan Norman (2000, diskusi tentang multikulturalisme kadang-kadang dapat ditukartangkapkan dengan diskusi tentang hak minoritas.

Dengan demikian, multikulturalisme sebagai gagasan intelektual juga dapat dipakai untuk memahami sikap masing-masing kelompok warga negara dalam menghadapi perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Ini membawa saya pada kenyataan tentang dikotomi sosial yang membagi masyarakat-masyarakat Indonesia ke dalam pengelompokan antara mayoritas dan minoritas. Ketika satu atau beberapa kelompok masyarakat bukan hanya dianggap berbeda (different) melainkan sekaligus juga ”tidak sama” atau “yang lain” (other), konstruksi sosial masyarakat terbelah menjadi kelompok mayoritas dan minoritas.[5] Penelitian saya bersama Yayasan Interseksi dari 2005-2014 di dua puluh lokasi di Indonesia, misalnya, memperlihatkan kuatnya dorongan kelompok mayoritas untuk memaksakan nilai-nilai dan identitasnya kepada komunitas-komunitas minoritas yang memiliki perangkat nilai dan identitasnya sendiri. Ironisnya, proses pemaksaan tersebut seringkali justru terjadi melalui intervensi tangan-tangan kekuasaan negara yang aparatusnya dipilih melalui Pemilu.

Dalam konteks relasi horisontal antar kelompok masyarakat multikulturalisme juga dapat dioperasikan sebagai sebuah pertanyaan tentang apakah di antara kelompok-kelompok itu terdapat pemahaman tentang dan keinginan untuk saling menerima perbedaan, saling belajar satu sama lain, dan bukan mendirikan dinding-dinding pembatas yang membuat perbedaan justru menjadi alasan untuk saling memisahkan diri. Persoalannya adalah apakah multikulturalisme merupakan praktek lain dari segregasioanisme, ataukah ia lebih merupakan bermacam-macam proses pencarian dan pembelajaran kultural untuk bisa menerima kenyataan bahwa orang-orang yang berbeda bisa hidup dalam satu dunia yang sama. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat relevan dikemukakan ketika Indonesia menghadapi pertanyaan klasik tentang apakah diversitas merupakan berkah atau kutukan, ancaman ataukah sumber kekuatan bagi penyelenggaraan kehidupan kolektif di dalam negara-bangsa.

Secara umum kita bisa melihat gambaran tentang kontradiksi yang sedang dialami masyarakat Indonesia: di satu sisi orang Indonesia merasa bangga dengan kekayaan ragam budaya, agama, etnis, dan bahasa yang ada, tapi di sisi lain kebanggaan tersebut tidak diiringi oleh terbitnya penerimaan penuh bahwa seluruh perbedaan itu memiliki hak hidup yang sama di dalam sebuah geopolitik yang sama, Indonesia.[6] Sampai hari ini beberapa kelompok yang memiliki afinitas kultural dan/agama dengan mayoritas cenderung masih sering memaksakan nilai-nilai dan identitasnya kepada komunitas-komunitas minoritas agama yang memiliki perangkat nilai dan identitasnya sendiri. Ironisnya, proses pemaksaan tersebut seringkali justru terjadi melalui intervensi tangan-tangan kekuasaan negara.

Kalau pemenang sebuah pemilu adalah pemilik suara mayoritas maka dengan tabulasi-silang bisa diduga bahwa sebagian cukup besar, kalau bukan terbesar, dari para pelaku tindakan intoleran bahkan represif kepada minoritas agama, misalnya, adalah mereka yang dalam pemilu justru memilih partai-partai non-agama atau nasionalis. Dari sini dapat dipahami mengapa partai-partai yang tidak secara formal berbasis agama melainkan nasionalis, itu termasuk pendukung utama pembuatan regulasi berbasis syariah. Ini menjadi persoalan menarik karena jika demikian maka kebertautan yang kita diskusikan terjadi bukan terutama antara apa yang disuarakan dalam mimbar-mimbar, pada demonstrasi massa di jalan, atau berita-berita dan wacana dalam media massa (voices) dengan pilihan suara di kota suara pemilu, melainkan melompat langsung antara voices dengan bentuk-bentuk regulasi yang dihasilkan oleh mereka yang dipilih dalam pemilu.

Pertanyaan susulan yang dapat segera diajukan adalah, apakah mayoritas individu dari jumlah yang diakumulasi menjadi pemenang pemilu itu merupakan pelaku atau sekurang-kurangnya menyetujui tindakan-tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoirtas? Ini akan cukup mudah dijawab melalui survei yang tidak terlampau rumit. Tapi karena kita tidak memiliki hasil survei semacam itu, maka kita bisa mengajukan dua kemungkinan. Pertama, kalau mayoritas dan individu yang secara akumulatif memberi kemenangan suara kepada partai-partai nasionalise itu merupakan pelaku atau sekurang-kurangnya menyetujui praktik diskriminasi terhadap kaum minoritas, maka Indonesia pasti sudah berada pada kondisi yang sangat berbahaya. Setiap saat pasti terjadi diskriminasi dengan kekerasan maupun sekedar perundungan terhadap kaum minoritas. Tapi fakta seperti itu tidak pernah terjadi. Meskipun praktik-praktik diskriminasi terhadap mayoritas terus terjadi, tapi itu semua lebih tampak sebagai peristiwa yang terjadi sporadis di beberapa tempat tapi tidak pernah menjadi rentetan sinambung dan sistematis kepada semua dan setiap kelompok minoritas.

Kedua, jika demikian halnya maka dapat diduga bahwa pelaku dan yang menyetujui diskriminasi terhadap kelompok minoritas bukanlah mayoritas melainkan hanya sebagain kecil dari kelimun besar yang secara akumulatif memberi kemenangan suara dalam pemilu tadi. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa kelompok-kelompok yang mempromosikan intoleransi dan diskriminasi kepada kelompok Ahmadiyah, para penghayat agama tradisional, dan sebagainya itu adalah organisasi-organisasi massa yang jumlah pengikutnya sangat sedikit dibandingkan anggota Ormas-ormas besar yang terbukti secara institusional toleran terhadap dan tidak pernah melakukan diskriminasi kepada kelompok minoritas. Sebagian dari anggota Front Pembela Islam (FPI), misalnya, memang juga berasal dari Ormas Nahdatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah, tapi tetap saja secara keseluruhan pun mereka adalah bagian sangat kecil dari total jumlah seluruh anggota dua Ormas tersebut. Singkatnya, mereka adalah minoritas di dalam mayoritas (minority withing majority).

Lantas bagaimana kita memaknai kemungkinan-kemungkinan di atas? Kalau pelaku dan/atau yang minimal setuju diskriminasi/intoleransi terhadap minoritas adalah juga minoritas (meskipun mereka bagian integral dari mayoritas), terbitnya berbagai regulasi yang akomodatif terhadap tuntutan-tuntutan dari suara di mimbar-mimbar ceramah agama, dalam orasi-orasi demonstrasi massa dan pernyataan-pernyataan dalam berbagai media, itu memperlihatkan paling tidak dua hal yang berkaitan satu dengan lainnya: Pertama, mereka yang dipilih melalui pemilu telah membelokkan aspirasi kepentingan mayoritas pemilihnya dengan hanya mengakomodasi aspirasi kepentingan sebagian terkecil konstituen yang menyumbang kemenangan suara tadi. Ini juga bisa berarti pembelokan arah dan orientasi ideologi partai politik yang mencalonkan mereka dari basis nasionalis menjadi parokialisme. Kalau ini benar, maka itu berarti masalah besar sedang terjadi dalam kehidupan partai-partai politik di Indonesia; Kedua, orang-orang yang dipilih tadi mengabaikan sama sekali aspirasi pemilihnya dan hanya bertindak secara pragmatis dengan mengakomodasi tuntutan yang diajukan dalam suara-suara dari mimbar, orasi dalam demonstrasi massa dan wacana di berbagai media massa. Singkatnya, voices lebih sanggup mempengaruhi bahkan mendeterminasi produk-produk regulasi yang dihasilkan oleh dewan legislatif hasil pemilu.

Fenomen ini juga menjelaskan mengapa aktor-aktor pada organisasi massa yang memiliki pengikut cukup besar tidak mentransformasikan organisasinya menjadi partai poitik. Pertama, meskipun memiliki simpatisan dalam cukup besar, tapi mereka tidak memiliki cukup resources untuk membangun partai politik yang syarat-syarat formalnya jauh lebih ketat dan lebih sulit. Kedua, mereka memiliki pengalaman kuat bahwa mendesakkan kepentingan melalui aksi-aksi massa besar di jalan seringkali lebih efektif untuk mendorong terbitnya regulasi sesuai aspirasi mereka daripada kalau mereka menjadi partai politik. Ketiga, belajar dari partai-partai politik berbasis agama selama ini, mereka menyadari bahwa mendirikan dan membesarkan sebuah partai politik jauh lebih sulit daripada membesarkan Ormas yang mempromosikan nilai-nilai ajaran agama tertentu. Singkatnya, tanpa harus repot-repot mengikuti pemilu mereka cukup menjadi kelompok penekan yang bersuara sangat keras untuk mempengaruhi politik di dalam parlemen.

Penutup

Kebertautan (lingkage) antara warga negara dan para pembuat kebijakan yang dipilih melalui pemilu demokratis merupakan topik penting dalam kajian tentang demokrasi dan demokratisasi politik. Representasi demokratik yang berhasil akan menciptakan kongruensi ideologis yang dekat antara warga negara dan pemerintah yang dipilihnya. Demokrasi dan demokratisasi politik yang berlangsung sejak 1998 di Indonesia telah menciptakan ruang-ruang bagi berlangsungnya proses linking dan delinking antara politik kewarganegaraan, multikulturalisme dan saluran politik resmi dalam mekanisme demokrasi, yakni partai politik. Mereka terhubung dengan pemilihnya melalui persamaan agama dan/atau etnis, dan kebijakan-kebijakan yang memang diarahkan untuk memobilisasi sentimen etnis/agama.

Henk Schulte Nordholt (2008: 1-21), misalnya, mencatat bahwa desentralisasi administratif dan otonomi daerah telah melahirkan penguatan kembali identitas-identitas partikular berbasis etnis dan agama, yang justru digunakan untuk memobilisasi konstituen baru dalam kontestasi untuk supremasi politik di daerah. Tapi hubungan tersebut terputus dalam konteks sebagian produk kebijakan-kebijakan yang menyangkut kehidupan publik dan kepentingan politik kewargaan untuk memelihara kehidupan kolektif seluruh warga.

Sementara itu, disilusi terhadap politik tampaknya terus meningkat. Pada acara-acara nampang-bincang (talk-show) televisi, surat-surat pembaca di surat kabar, forum-forum online dan percakapan sehari-hari, bisa diamati bagaimana warga negara mengekspresikan kekecewaannya terhadap para politikus yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Jajak pendapat yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei juga memperlihatkan makin menurunnya tingkat kepercayaan warga negara baik terhadap anggota legislatif maupun eksekutif. Mereka dianggap sekumpulan orang yang akan melakukan apa pun untuk meraih dukungan suara dalam Pemilu, dan ketika sudah terpilih akan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Alih-alih melihat politik sebagai sarana untuk menghimpun dan membawa warga negara secara bersama-sama memenuhi kepentingan publik yang membawa manfaat bagi semua orang, politik makin banyak dilihat tidak lebih sebagai institusionalisasi kepentingan pribadi para politisi. Pemilu, dengan demikian, menjadi mekanisme boros belaka untuk memenuhi kepentingan semacam itu.

Pengelompokan warga berdasarkan orientasi keagamaan atau afinitas kultural ternyata juga tidak identik dengan preferensi pilihan politiknya. Kelompok-kelompok yang sering melakukan mobilisasi massa untuk mendesakkan kepentingan penegakan syariat Islam atau menolak baik keikutsertaan wakil Indonesia dalam maupun penyelenggaraan kontes ratu dunia di Indonesia tahun 2013, misalnya, sebagiannya boleh jadi memang merupakan konstituen bahkan kader PPP atau PKS, tapi sebagian yang lainnya juga berafiliasi dengan Golkar, partai Demokrat atau Hanura. Kenyataan bahwa para fungsionaris partai politik di Indonesia bisa dengan mudah berpindah dari satu partai ke partai lain, dari partai nasionalis ke partai berbasis agama atau sebaliknya, menjadikan partai politik di Indonesia sangat fleksibel sedemikian rupa sehingga kebertautan ideologis antara warga negara dan partai politik memang tidak perlu diharapkan terjadi dalam lingkungan sistem demokrasi seperti ini.

Kepercayaan bahwa pilihan pada kotak suara akan menghasilkan anggota-anggota dewan perwakilan yang mencerminkan preferensi warga, yang pada gilirannya akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang sesuai untuk mengatur interaksi antar warga negara masih jauh panggang daripada api dalam praktik kita berdemokrasi. Dalam kondisi saat ini, demokrasi elektoral di Indonesia paling hanya akan meneguhkan demokrasi patrimonial dalam apa para pemimpin menggunakan pemilu untuk memperkuat kekuasaan mereka, dan para pengikutnya berharap mendapatkan akses terhadap kekayaan negara sebagai balasan (Nordholt, 2008: 18).

Karena itu, seperti ditunjukkan oleh Saward (2006: 411), kewarganegaraan yang didasarkan pada konsepsi atau argumen tentang karakter umum yang esensial dari identitas-identitas warga negara yang spesifik, akan selalu mendapatkan tantangan dari gagasan tentang pluralitas identitas dan identifikasi yang tidak bisa ditawar-tawar, baik karena pilihan atau bukan. Konsepsi kewarganegaraan yang lebih matang dan realistik, dengan demikian, harus memungkinkan dan bahkan merengkuh berbagai afinitas kultural dan multiplisitas identitas dan identifikasi dalam masyarakat kontemporer yang makin kompleks. Masalahnya adalah, suara-suara seperti ini cenderung tidak beresonansi dengan suara yang keluar dari para politisi di gedung-gedung perwakilan rakyat ketika mereka menyusun berbagai undang-undang.

Di samping itu, di kalangan para pembuat kebijakan juga terdapat kecenderungan menempatkan problem ketegangan sosial antara kelompok minoritas dengan kelompok di luarnya, itu hanya sebagai problem pada domain kultural masyarakat. Di tingkat pemerintah, misalnya, problem ini biasanya berada di bawah wewenang departemen sosial atau menteri koordinator kesejahteraan rakyat. Problem-problem politik yang muncul dari konflik atau ketegangan tersebut biasanya juga cenderung hanya dilihat sebagai sebuah ekses dari disharmoni kehidupan sosial masyarakat. Isu-isu pluralisme, dengan demikian, jarang dilihat sebagai bagian integral dari kehidupan politik warga negara. Pemisahan domain kultural dari domain politik dalam isu tentang pluralisme mengakibatkan penyelesaian masalah-masalah yang muncul di wilayah ini niscaya berada pada posisi subordinatif di bawah imperatif stabilitas ekonomi dan politik. Artinya isu pluralisme, hak minoritas, atau isu-isu sejenis hanya dianggap penting jika tatanan politik dan ekonomi terganggu. Penanganan represif dan cenderung militeristik yang pernah terjadi di masa lalu, dan dalam beberapa kasus juga masih terjadi saat ini, pada dasarnya hanya derivasi teknis dari kebijakan semacam itu.

Kalau Pemilu dapat diumpamakan sebagai pasar tempat berlangsungnya evaluasi oleh masyarakat pemilih terhadap tawaran-tawaran saluran politik, hasil Pemilu selama lebih dari satu dekade belakangan ini memperlihatkan bahwa fragmentasi politik tidak bisa sepenuhnya dijawab dengan sistem multipartai penuh yang selama ini dijalankan. Apakah fenomen semacam ini dapat pula digunakan untuk melihat kemungkinan jawaban terhadap problematik diversitas kultural sehingga, misalnya, kita dapat mengatakan bahwa diversitas kultural tidak harus serta merta dijawab dengan politik multikulturalisme seperti yang terbukti dianggap gagal di beberapa tempat di dunia?

Jakarta, 10 Oktober 2011.


Versi awal makalah ini pernah dipresentasikan dalam Simposium Kewarganegaraan dan Keindonesiaan. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PBM-LIPI). Jakarta 26-27 Oktober 2011. Dimuat lagi di sini dengan sejumlah tambahan dan beberapa perbaikan.


BACA JUGA

Technotopia | Sosiologi | Budaya

Digital, Ruang, Rupa dan Kuasa



End Notes



[1] Lihat Berita LBH Jakarta No. 16/Juli – September /2009, terutama laporan yang ditulis oleh Feby Yonesta, “Pemilu 2009 dan Proyeksi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia”.

[2] Peta sebagian perdebatan antara konsep citizenship liberal dengan multikulturalisme dan komunitarianisme, antara lain, dapat dilihat rangkumannya dalam Engin F. Isin dan Bryan S. Turner (eds), Handbook of Citizenship Studies (London, Thausand Oaks, New Delhi: 2002), terutama pada Bagian Tiga dan Bagian Empat.

[3] Berita LBH Jakarta No. 16/Juli – September /2009.

[4] Lihat wawancara Saiful Mujani dengan Ulil Abshar Abdala pada tgl. 1 Agustus 2004, “Dr. Saiful Mujani: Ideologi Politik Islam Sudah Pudar”, dimuat dalam situs Jaringan Islam Liberal http://islamlib.com/id/artikel/ideologi-politik-islam-sudah-pudar/ (diakses tgl. 3 september 2011). Lihat juga laporan berjudul, “Suara Partai Berbasis Agama Turun”, dalam Kompas edisi 9 Mei 2001 http://nasional.kompas.com/read/2011/05/09/05251956/Suara.Partai.Berbasis.Agama.Turun (diakses tgl. 13 September 2011).

[5] Berbeda (different) dan “tidak sama” atau “yang lain” (other) memiliki konsekwensi yang berlainan. Orang yang berasal dari etnis Jawa menganggap sekaligus mengakui dirinya berbeda dengan mereka yang berasal dari etnis Sunda atau Batak dan sebaliknya, tapi kesadaran akan perbedaan tersebut tidak menghilangkan pengakuan bahwa Jawa, Sunda, dan Batak sama-sama warga negara republik Indonesia. Sebaliknya, anggota Jemaah Ahmadiyah adalah penganut Islam, tapi ia dianggap “tidak sama” dengan penganut Islam lainnya di Indonesia sehingga mereka bahkan dianjurkan untuk membentuk agama baru yang bukan Islam bahkan, seperti terjadi pada kasus anggota jemaah Ahmadiyah di Lombok, dipaksa ke luar dari wilayah hukum negara Indonesia. Dalam kalimat lain, gagasan tentang “tidak sama” melibatkan proses-proses sosial dan diskursif berupa seklusi dan ekslusi.

[6] Periksa serial publikasi tentang Hak Minoritas yang diterbitkan oleh Yayasan Interseksi dari tahun 2005-2009, yang terdiri dari tiga volume buku masing-masing berjudul Hak Minoritas. Dilema Multikulturalisme di Indonesia (2005 & 2007); Hak Minoritas. Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa (2007), dan ; Hak Minortas. Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme (2009).



Rujukan


Abdullah, Irwan. “Tantangan Multikulturalisme dalam Pembangunan”. Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi, Vol.II. No.1/April 2006, h. 11-21.

Azhari, Subhi M. “Proyek Identitas dan Ketimpangan Representasi: Dinamik Relasi Antar Kelompok Etnis Cina dan Melayu di Kota Bagansiapiapi”. Dalam Hikmat Budiman (ed). Kota-kota di Sumatra. Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2012.

Bertrand, Jacques. Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press, 2004.

Bina Bektiati, Jupernalis Samosir, dan Bambang Soedjiartono, “Kerusuhan Bagansiapiapi. Masih Ada Bara di Bagansiapiapi”, Tempo Online, 22 Oktober 2001 < http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/10/22/NAS/mbm.20011022.NAS84546.id.html> (diakses tgl. 15 Desember 2011)

Brubaker, Rogers. “Ethnicity Without Groups”. European Jurnal of Sociology 43, No. 3(2002), h. 164.

Butcher, John G. “The Salt Farm and the Fishing Industry of Bagan Si Api Api”. Dalam Indonesia, No. 62 (Oct., 1996), h. 90-121.

Budiman, Hikmat (ed). Hak Minoritas. Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2009.

Budiman, Hikmat (ed). Hak Minoritas. Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2005.

Budiman, Hikmat. “Mendiskusikan Kembali Furnivall. Satu Lagi Cerita dari Bagansiapiapi”, dalam Hikmat Budiman (ed), Kota-kota di Sumatra. Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi. Jakarta: the Interseksi Foundation, 2012.

Coppel, Charles (ed). Violent Conflict in Indonesia. Analysis, Representation, Resolution. London and New York: Routledge, 2006.

Darwin, Muhadjir. “Freedom from Fear. Social Disruption and System of Violence in Indonesia”. Dalam The Indonesian Crisis. A Human Development Perspective. Disunting oleh Aris Ananta. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2003, h. 105-158.

Dhakidae, Daniel. Kekisruhan Semantik. Sumber Keruwetan Politik Kewarganegaraan. Prisma, Volume 30/2011, hlm. 22-25.

Ezrow, Lawrence. Linking Citizens And Parties. How Electoral Systems Matter For Political Representation. Oxford: Oxford University Press, 2010.

Gerung, Rocky. “Citizenship dan Politik Indonesia”. Makalah untuk Forum Masyarakat Terbuka, Jakarta, 31 Agustus 2007.

Goebel, Zane, Language, Migration, and Identity. Neighborhood Talk in Indonesia, New York: Cambridge University Press, 2010.

Isin, Engin F. dan Bryan S. Turner (eds), Handbook of Citizenship Studies. London, Thausand Oaks, New Delhi: 2002.

Ju Lan, Tung. “Kewarganegaraan dan Orang Tionghoa”. Prosiding Simposium Kewarganegaraan & KeIndonesiaan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2011.

Huber, John dan G. Bingham Powell Jr. 1994. “Congruence Between Citizens and Policymakers in Two Visions of Liberal Democracy.” World Politics 46(3): 291–326.

Kymlicka, Will, Wayne Norman (eds), Citizenship in Diverse Societies. Oxford: Oxford University Press, 2000.

Kymlicka, Will. Multicultural Citizenship. A Liberal Theory of Minority Rights. Oxford: Oxford University Press, 1995.

Kymlicka, Will. Politics in the Vernacular. Nationalism, Multiculturalism, and Citizenship. New York: Oxford University Press, 2001.

Noorsalim, Mashudi, M. Nurkhoiron, et al. Hak Minoritas. Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2007.

Nordholt, Henk Schulte. “Identity Politics, Citizenship and the Soft State in Indonesia: an Essay”. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities Vol. 1, 2008, h.. 1–21.

Pabottingi, Mochtar. "Munir dalam Kerangka Keindonesiaan", dalam rubrik Opini Kompas, 22 September 2011, h. 6.

Purdey, Jemma. “Political Change Reopening the Asimilasi vs Integrasi Debate: Ethnic Chinese Identity in Post-Suharto Indonesia”. Asian Ethnicity, Volume 4, Issue 3, 2003, h. 421-437.

Rabushka, Alvin, dan Kenneth A. Shepsle. Politics in Plural Societies. A Theory of Democratic Instability. Ohio: Charles E. Merril Publishing Company, 1972.

Sawad, Michael. ”Democracy and Citizenship: Expanding Domain”, dalam John S. Dryzek, Bonnie Honig, dan Anne Philips (eds), The Oxford Handbook of Political Theory. Oxford: Oxford University Press, 2006, h. 400-435.

Soutphommasane, Tim. “Grounding Multicultural Citizenship: From Minority Rights to Civic Pluralism”. Journal of Intercultural Studies, Vol. 26, No. 4, November 2005, pp. 401-416.

Spinner-Halve, Jeff. “Cultural Pluralism and Partial Citizenship”. Dalam Christian Joppke and Steven Lukes (eds), Multicultural Questions. Oxford: Oxford University Press, 1994, pp. 65-86.

Stevenshon, Nic. Cultural Citizenship. Cosmopolitant Questions. Glasgow: Open University Press, 2003.

Suparlan, Parsudi. “Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan?” Jurnal Antropologi No. 73/2003, hlm. 24-37.

Syaifuddin, Achmad Fedyani. “Membumikan Multikulturalisme di Indonesia”. Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi, Vol.II. No.1/April 2006, h. 3-11.

Taylor, Charles. “The Politics of Recognition”. Dalam Amy Gutmann (ed), Multiculturalism. Examining the Politics of Recognition. New Jersey: Princeton University Press, 1994, h. 25-73.

Törnquist, Olle. “Introduction: The Problem Is Representation! Toward an Analytical Framework”. Dalam Olle Tornquist, Neil Webster, and Kristian Stokke (eds), Rethingking Popular Representation. New York: Plagrave MacMillan, 2009.

van Klinken, Gerry. “Indonesia’s New Ethnic Elites”. Dalam Henk Schulte Nordholt and Irwan Abdullah (eds), Indonesia: In Search of Transition. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

van Klinken, Gerry. “Patronage Democracy in Provincial Indonesia”. Dalam Olle Tornquist, Neil Webster, dan Kristian Stokke (eds), Rethinking Popular Representation. New York: Palgrave Macmillan, 2009.

Vasu, Norman. Multiculturalism: A View from the Diaspora. Makalah untuk Seminar What’s the Culture in Multiculturalism – What’s the Difference of Identities? Contesting the Future of Equality, Secularism, and National Solidarity. University of Aarhus, Denmark, 22 – 24 May 2003
Vermeulen, Hans. Immigrant Policy for A Multicultural Society. A Comparative Study of Integration, Language and Religious Policy in Five European countries. Brussels: Migration Policy Group, 1997.