Kontribusi untuk Buku Intoleransi dan Politik Identitas Kontemporer di Indonesia, LIPI, 2021
Hikmat Budiman |
Direktur Eksekutif Populi Center, Jakarta
Share
Paling tidak sejak satu dekade belakangan ini, meskipun puncak-puncaknya berlangsung mulai tahun 2014, isu intoleransi mulai banyak dibicarakan dalam berbagai lingkar perbincangan, dari mulai para akademisi, kalangan aktivis pluralisme dan Hak Asasi Manusia (HAM), aparat keamanan, organisasi-organisasi masa (ormas) berbasis agama sampai para politisi. Bukan hanya dibicarakan tapi intoleransi bahkan dianggap sebagai salah satu ancaman besar bagi masyarakat Indonesia saat ini. Yang lebih mengkhawatirkan adalah karena tindakan-tindakan intoleran itu bukan hanya muncul dalam bentuk ujaran-ujaran kebencian tapi bahkan mulai banyak yang berbentuk aksi-aksi kekerasan.
Ketika dunia semakin menjadi terbuka oleh teknologi penyebarluasan data dan informasi, sejumlah besar orang ternyata malah memilih tinggal di gua yang gelap dan pengap oleh bentuk-bentuk disinformasi dan purbasangka negatif terhadap sesamanya. Mereka sibuk dengan kebenciannya sendiri dan berhalusinasi bahwa dunia akan menjadi lebih baik kalau seluruh manusia seperti mereka. Di Amerika Serikat rasisme masuk ke dalam politik dengan cara yang menghibur. Ia diwakili oleh karakter yang terlampau menggelikan untuk dianggap serius seperti Donald Trump. Di Indonesia intoleransi dan rasisme menghambur ke dalam politik demokrasi memberi sedikit unsur kejutan dengan diwakili oleh karakter-karakter yang semula dianggap terlalu santun untuk melakukannya.
Meskipun bentuk-bentuk intoleransi dapat muncul dalam berbagai ranah kehidupan sosial, tapi yang tampaknya paling banyak dibicarakan dan paling menggangu dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini adalah bentuk-bentuk intoleransi dalam ajang kehidupan beragama dan berkeyakinan yang manifestasinya dapat pula terjadi pada hal-hal di luarnya. Dalam banyak kasus, mereka yang tidak toleran terhadap beberapa aspek kehidupan sosial di luar aktivitas keagamaan seperti bentuk-bentuk ekspresi seni tertentu, diskusi dan penerbitan buku kajian pemikiran kiri, atau advokasi hak-hak perempuan atau kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transseksual), juga sering berasal dari kelompok-kelompok massa yang berafiliasi kepada organisasi massa keagamaan tertentu. Pada masyarakat dengan obsesi integrasi segala urusan ke dalam agama atau sebaliknya, intervensi agama ke dalam seluruh urusan dalam kehidupan sosial, yang cukup kuat seperti terjadi pada beberapa kalangan di Indonesia belakangan ini, agama dan kelompok agama pasti akan menjadi salah satu titik pusat perhatian setiap diskusi politik.
Ada dua pokok bahasan didiskusikan dalam esai ini. Pertama, diskusi singkat tentang problematik toleransi dan intoleransi baik dalam konsep maupun dalam bentuk praktik-praktik hidup sehari-hari. Kedua, menempatkan diksusi tentang toleransi/intoleransi ke dalam upaya-upaya untuk mencari penjelas dan penyebab-penyebabnya.
Spektrum
Toleransi adalah istilah yang sangat sering dipakai tapi yang definisinya cenderung tidak selalu sama. Secara sederhana, dalam pemahaman sehari-hari toleransi merujuk pada kesanggupan seseorang atau sesuatu untuk menerima beban oleh adanya perbedaan. Toleransi seseorang atau sekelompok orang menunjukkan ambang batas penerimaannya atas perbedaan dari orang atau kelompok lain. Batasan umum tentang toleransi adalah bahwa seorang individu dapat dikatakan bersikap toleran pada sebuah tindakan ketika ia tidak menyukainya atau menurutnya tindakan tersebut salah, punya kemampuan untuk mencegahnya kalau dia mau tapi dia tidak melakukannya (Leader, 1997: 140).
Untuk memudahkan diskusi, saya mencoba mamahami toleransi dan intoleransi seperti ketika kita memahami reaksi tubuh biologis kita yang berbeda-beda terhadap bermacam-macam penyebab alergi (alergen). Reaksi terhadap alergen yang sama juga berbeda pada masing-masing individu. Baik penyebab (alergen) maupun jenis-jenis respon alergik sangat bervariasi baik pada level individu maupun antarsatu individu dengan yang lainnya. Ada orang yang alergi terhadap debu tapi tidak terhadap serangga, sebaliknya ada yang sangat alergi dengan serangga tapi sangat toleran terhadap kondisi lingkungan berdebu.
Tidak ada orang atau kelompok orang yang bisa memonopoli sikap toleran dan intoleran sepenuhnya. Secara keseluruhan, dalam kehidupan sosial kita bersama-sama berbagi sikap toleran dan intoleran terhadap hal-hal yang berbeda-beda.
Dalam konteks relasi dan interaksi sosial antarkelompok, toleransi bersifat dinamis bahkan cenderung membentuk sebuah lingkaran antara inklusi dan eksklusi. Dengan kalimat yang berbeda dapat dikatakan bahwa toleransi adalah spektrum yang merentang dari jarak sosial yang paling jauh sampai kepada yang paling intim dengan seseorang. Dalam tradisi ilmu sosial behavioralistik, dikenal sebuah skala yang biasa dipakai untuk mengukur jarak sosial (social distance), yang dipelopori oleh Emory S. Bogardus pada dekade 1930an, dan secara luas dikenal dengan sebutan Skala Bogardus. Konsep dasarnya adalah bahwa semakin curiga buruk seseorang terhadap suatu kelompok, semakin kecil kemungkinan orang tersebut akan berinteraksi dengan anggota-anggota kelompok yang dicurigainya itu. Teknik ini biasa dipakai untuk mempelajari relasi-relasi etnis, kelas sosial, dan nilai-nilai sosial secara umum.
Toleransi dan intoleransi, dengan demikian, dapat dipahami sebagai reaksi tubuh sosial kita terhadap sesuatu yang berbeda, tidak biasa, yang mengganggu, asing, mencemaskan bahkan mengancam. Seperti reaksi alergik pada tubuh biologis, reaksi kita terhadap hal-hal tertentu dalam kehidupan sosial juga berbeda-beda pada masing-masing orang atau kelompok. Ada orang atau kelompok orang yang sangat mudah tersinggung soal agama tapi sama sekali tidak pernah ada masalah dengan praktik-praktik politisasi agama dalam pemilihan umum; ada orang dan/atau kelompok orang yang sangat sensitif terhadap bias gender tapi tidak terlalu terganggu dengan persoalan keyakinan/agama, dan seterusnya. Memberi label "intoleran" kepada kelompok tertentu, dengan demikian, cukup problematis secara konseptual dan membingungkan secara sosial. Tidak ada orang/kelompok orang yang bisa memonopoli sikap toleran dan intoleran sepenuhnya. Secara keseluruhan, dalam kehidupan sosial kita bersama-sama berbagi sikap toleran dan intoleran terhadap hal-hal yang berbeda-beda. Meskipun demikian, sangat bisa dipahami bahwa, paling tidak untuk kebutuhan analisa seperti dalam puspa ragam tulisan dalam buku ini, identifikasi tindakan intoleran dengan kelompok-kelompok sosial tertentu memang tidak bisa dihindari. Indonesia sedang memasuki sebuah era ketika melalui beberapa kelompok yang sangat vokal agama begitu keras menuntut diperhatikan dan dianggap perkara paling penting dalam kehidupan sosial. Seloroh baru-baru ini bahwa "hanya di Indonesia Tuhan dilibatkan dalam perkara yang seharusnya bisa diselesaikan oleh Pak RT" secara padat menggambarkan situasi tersebut.
Survei Populi Center, Jakarta pada bulan November 2019, misalnya, memperlihatkan bahwa penyikapan masyarakat Indonesia terhadap berbagai isu yang merentang dari mulai terorisme, kebebasan akses pada media sosial, aborsi, pendidikan seks, orientasi seksual, sampai pendidikan agama, itu tidak pernah menunjukkan gambaran yang niscaya konsisten pada setiap persoalan. Dalam survei tersebut, Populi Center mengandaikan sebuah garis kontinuum antara sikap/ideologi liberal dengan nilai 1 (satu) di titik ujung yang satu, dan sikap/ideologi konservatif dengan nilai 10 (sepuluh) di titik ujung yang lain. Tim survei Populi kemudian membuat beberapa pasangan pernyataan yang berlawanan yang diasumsikan merupakan manifestasi dari nilai-nilai liberal dan konservatif tersebut, dan meminta responden memberikan persetujuan mereka dengan memilih nilai yang merentang dari 1 sampai 10 dalam garis kontinuum tadi. Pilihan pada nilai 1 berarti sangat setuju dengan pernyataan pertama (liberal) dan sangat tidak setuju dengan pernyataan kedua. Sebaliknya pilihan pada nilai 10 berarti sangat setuju dengan pernyataan kedua (konservatif) dan sangat tidak setuju dengan pernyataan pertama. Titik-titik dalam kontinuum yang bernilai dari 2 (dua) sampai 9 (sembilan) memperlihatkan gradasi preferensi persetujuan responden di antara sikap liberal dan konservatif.
Hasilnya, jawaban responden terbukti tidaklah hanya mengumpul pada dua titik ujung 1 dan 10 dan tidak pula berkumpul memusat di pilihan pada angka 5, melainkan secara keseluruhan cenderung membentuk sebuah spektrum. Pada tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa responden dapat berpindah dari kecenderungan liberal ke konservatif bergantung pada isu apa yang mereka hadapi. Dalam hal terorisme, kebebasan akses media sosial, dan pendidikan seks, responden cenderung bersikap liberal tapi dalam isu aborsi, prilaku seksual dan pendidikan agama mereka lebih cenderung bersikap konservatif. Data tersebut menunjukkan bahwa sikap setiap individu tidaklah selalu bersifat konstan, konsisten dalam segala persoalan. Seseorang dapat bersikap sangat liberal dalam isu-isu hak asasi manusia, misalnya, tapi berubah sangat konservatif dalam hal persetujuannya terhadap praktik poligami, yang boleh jadi merupakan hal yang biasa terjadi di lingkungan tempat ia tumbuh.
Tabel-1 Spektrum sikap ideologis masyarakat Indonesia terhadap beberapa isu sosial, politik dan keagamaan (dalam %)
(klik gambar untuk melihat versi yang lebih besar)
Sumber: Survei Nasional Populi Center tentang Pemerintahan Pasca Pelantikan Kabinet Indonesia Maju November 2019
Data dalam tabel di atas memang tidak eksplisit memperlihatkan sikap toleran dan intoleran dalam konteks relasi-relasi antar-umat beragama yang menjadi diskusi pokok dalam buku ini, tapi dengan itu saya ingin menunjukkan bahwa sikap orang atau kelompok orang tidak selamanya bisa secara konsisten masuk ke dalam satu kategori tertentu. Orang yang sering dianggap sangat toleran dalam konteks kehidupan beragama dan berkeyaninan, misalnya, bisa saja sangat reaktif dan emosional ketika tokoh agama yang sangat dihormatinya dianggap tidak dihargai oleh orang lain dalam sebuah persidangan pidana. Orang-orang yang berusaha mempromosikan anti-demokrasi seperti kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bahkan sangat bersemangat mendukung kebebasan bersyarikat dan berkumpul dan menyatakan pendapat yang khas dalam demokrasi. Dengan demikian, seseorang atau sekumpulan kyai bisa saja mengalami pergeseran ke arah konservatisme dalam beberapa aspek kehidupan dan pemahaman religiusnya, tapi pada saat yang sama dalam hal-hal lain ia bisa sama liberalnya dengan para anggota kelompok Islam Liberal. Ini juga membantu menjelaskan mengapa sebagian dari pelaku penyebaran hoax belakangan ini justru berlatar belakang pendidikan tinggi. Orang bisa mempromosikan toleransi, kebhinekaan dan kesatuan dalam orasi tapi sekaligus menjadi pelindung dan didukung oleh kelompok-kelompok vigilante dalam memenangkan kontestasi supremasi politik daerah. Tentu saja ada banyak penjelasan untuk hal-hal semacam itu tapi esai pengantar ini tidak akan mendiskusikannya lebih jauh.
Tentang Batas
Kita bisa mendiskusikan apakah toleransi adalah soal adanya batas penerimaan atau justru sebaliknya, yakni tidak adanya batas penerimaan seorang individu atau kelompok terhadap berbagai hal yang terjadi dalam sebuah lingkungan yang heterogen. Yang pertama mengandaikan toleransi dan intoleransi sebagai sesuatu yang alamiah dan terberi sifatnya, sehingga karena itu ia tidak perlu dipersoalkan dan bisa dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat-masyarakat manusia. Yang kedua mengandaikan toleransi adalah keharusan sosiologis (sociological necessity) bagi individu-individu atau kelompok-kelompok ketika berinteraksi dengan orang atau kelompok orang yang memiliki latar belakang agama, budaya, preferensi seksual, makanan, etiket pergaulan, tata krama sosial dan hal-hal sejenis itu yang berbeda bahkan mungkin bertolakbelakang.
Pada titik ekstremnya pengandaian toleransi sebagai batas yang sangat tegas bisa melahirkan orang atau kelompok orang yang bukan hanya sangat mudah tersinggung ketika apa yang diyakininya sebagai kawasan di dalam batas yang tidak bisa dilampaui itu sengaja atau tidak sengaja dipersoalkan oleh pihak lain, tapi juga secara terbuka menyatakan penolakan bahkan tuntutan untuk menghukum bahkan mengenyahkan segala hal yang terlanjur dipersepsikan berbeda, negatif, mengancam dan dikhawatirkan mengganggu kehidupan sosial yang lebih besar. Lebih dari itu, sebagian dari mereka bahkan sering menjadi kaum vigilante dan mengambilalih otoritas pemerintah dan negara melakukan tindakan-tindakan kekerasan terhadap orang atau kelompok orang yang perbedaannya tidak dapat diterima itu. Boleh jadi inilah orang dan/atau kelompok orang yang dimaksud dengan ungkapan “kaum sumbu pendek” oleh tim penulis buku bunga rampai ini.
Di sisi lain, mengandaikan toleransi tidak berbatas pada titik ekstremnya dapat melahirkan orang atau kelompok orang yang berprinsip anything goes seperti dalam diskusi-diskusi tentang postmodernisme beberapa dekade yang lalu, atau penekanan pada beda sebagai sesuatu yang esensial dan tidak dapat dikompromikan dalam kondisi apa pun, dan cenderung melakukan reifikasi kelompok dan identitas. Perbedaan bukan hanya harus dihormati tapi bahkan harus diutamakan. Dalam diksusi filsafat politik di Amerika Utara, kecenderungan seperti ini muncul pada lingkaran diskusi-diskusi tentang multikulturalisme. Pada level teoritis, beberapa pemikiran dalam diskusi multikulturalisme dan postmodernisme membagi bersama penolakan terhadap konsensus dan keumuman-keumuman (commonalities) yang dianggapnya merupakan akal bulus kelas dominan untuk tetap mendominasi relasi-relasi sosial. Tentu saja tidak semua aliran pemikiran multikulturalisme seperti itu, tapi saya dengan sengaja memang mengambil titik yang paling ekstrem dari gagasan utama multikulturalisme agar dari sana gradasi dan perkembangan pemikiran tersebut lebih mudah dipahami.
Saya tidak akan berpanjang lebar mendiskusikan perkembangan diskusi tentang multikuluralisme baik sebagai sebuah cabang teori sosial maupun sebagai produk kebijakan politik, melainkan ingin menggarisbawahi bahwa kalau kita membayangkan sebuah garis kontinuum antara toleransi di satu sisi ujung dan intoleransi di sisi ujung yang lain, dua pemahaman baik yang mengandaikan toleransi sebagai batas(-batas) yang sulit bahkan dalam banyak kasus mustahil dilampaui maupun pengandaian tentang toleransi sebagai penerimaan tanpa mengandaikan adanya batas, keduanya memiliki risiko buruk yang sama bagi kehidupan kolektif sebuah bangsa. Pada ajang perbincangan seperti itu, baik toleransi maupun intoleransi sama-sama memiliki versi ekstremnya sendiri. Kalau intoleransi sering dianggap berjarak sangat dekat dengan radikalisme, hal yang sama juga pada dasarnya berlaku bagi toleransi. Dalam versi radikalnya keduanya sama-sama menggugat fundamen formatif sebuah kehidupan kolektif yang lebih besar. Radikalisme yang muncul dari intoleransi (agama) berpretensi menggantikan landasan kehidupan sehari-hari warga dan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan pandangan atau visi tentang dunia versi mereka sendiri. Di sisi lain, radikalisme yang bersumbu pada toleransi tanpa batas menggugat segala bentuk kesepakatan dan keumuman dalam kehidupan kolektif yang meliputi berbagai ragam dan beda karena dianggap merupakan upaya melanggengkan dominasi kelompok dominan. Tidak terlalu mengherankan jika mereka juga cenderung antinomianistik, menolak norma dan institusi yang sudah mapan sehingga pada akhirnya juga akan menggugat kesepakatan-kesepakatan politik dan historis di atas apa sebuah negara-bangsa didirikan.
Beberapa pengkaji sosial menjelaskan kecenderungan makin menguatnya intoleransi tersebut dari banyak perspektif. Sebagian melihat itu karena pemahaman agama yang terlampau skripturalis, hanya mendasarkan pemahaman kehidupan beragama di atas postulat-postulat kitab dan ajaran-ajaran tekstual belaka. Ada pula yang melihat hal tersebut sebagai bukti dari menguatnya kecenderungan pergeseran ke arah konservatisme di kalangan para pemeluk agama. Di luar itu, dalam sebuah diskusi di Jakarta baru-baru ini, Ketua Satgas Nusantara yang juga merupakan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jakarta, Irjen Gatot Eddy Purnomo, mengidentifikasi tiga penyebab utama menguatnya sikap intoleran di Indonesia: Pertama, globalisasi terutama dalam kaitannya dengan apa yang disebut Purnomo terkikisnya nilai ketimuran; kedua, demokrasi yang iklimnya kurang ideal, terutama karena didominasi oleh kelas bawah (low class). Kelas masyarakat ini dianggap cenderung menginginkan perubahan yang cepat, kritis tapi sayangnya tidak rasional, dan; ketiga, perkembangan media sosial melalui apa faham-faham radikal dan intoleran disebarluaskan secara sangat cepat dan menjangkau kalangan yang sangat luas (Kompas.com, 16/11/2019).
Keterangan Purnomo di atas cukup menarik karena ia tidak melulu berpijak pada perspektif kepentingan keamanan. Pada poin pertama kita bisa melihat bagaimana kepolisian Indonesia pada akhir dekade kedua abad ke-21 masih menempatkan konsep nisbi tentang ketimuran sebagai “korban globalisasi” dalam pengertian bahwa yang terakhir telah mengikis watak dan sikap toleran yang sudah menjadi karakter orang Indonesia. Tentu saja ada masalah besar dalam pernyataan seperti itu, yakni pengandaian bahwa toleransi merupakan karakter konstitutif orang-orang Timur yang tidak bisa ditemukan pada orang-orang non-timur. Padahal toleransi dan intoleransi tidak mengenal batas ruang geografis. Kalau soal “ketimuran” itu bisa diabaikan maka globalisasi dapat dipandang sebagai salah satu faktor yang ikut mendorong semakin menguatnya sikap-sikap intoleran hanya ketika ia diperlakukan dalam konteks reaksi balik terhadapnya, terutama terhadap tendensi-tendensi homogenisasi peradaban manusia. Multikulturalisme sebagai gagasan konseptual dan advokasi sosial dapat kita tempatkan ke dalam bagian dari respon tersebut, meskipun ia tentu saja tidak bisa dianggap sebagai penyebab langsung semakin menguatnya sikap-sikap intoleran dalam berbagai kelompok masyarakat.
Penyebab kedua dari menguatnya intolernasi yang disebut oleh Purnomo sangat penting untuk diperhatikan karena ia langsung berurusan dengan praktik-praktik demokrasi dan soal kelas sosial. Tentu saja butuh kajian yang lebih mendalam apakah klaim dominannya kelas bawah dalam demokrasi kita tersebut cukup akurat atau tidak, tapi di balik itu kita bisa melihat satu hal yang menarik, yakni bahwa pada satu titik tertentu, demokrasi yang secara inheren didasarkan pada toleransi ternyata justru dapat menjadi salah satu pendorong menguatnya intoleransi. Kebebasan menyatakan pendapat, bersyarikat, berekspresi dan bentuk-bentuk kebebasan lain yang umumnya dipahami sebagai karakter konstitutif dari sebuah demos, itu semua ternyata dapat juga mendorong terjadinya praktik-praktik yang justru mengancam semua bentuk kebebasan tersebut.
Ada beberapa kemungkinan yang bisa dilihat dari kecenderungan seperti itu. Pertama, tidak ada otoritas yang secara imparsial dapat menjaga agar manifestasi prinsip-prinsip demokrasi tersebut tidak menjadi ancaman terutama bagi kelompok-kelompok yang tidak dominan. Demokrasi mungkin tidak akan pernah dapat menghapus relasi dominan-non dominan sepenuhnya, tapi paling tidak ia menjamin bahwa yang dominan tidak bisa bertindak sesukanya dan yang non-dominan bisa tetap merasa aman. Kedua, akibat dari yang pertama, telah terjadi pembiaran terhadap praktik-praktik intoleransi oleh institusi atau otoritas yang seharusnya dapat dan memang memiliki kewenangan untuk mencegahnya. Ketiga, ada kemungkinan bahwa praktik dan kelompok-kelompok yang bertindak intoleran tersebut justru mendapatkan dukungan dari aktor-aktor di dalam lingkaran kekuasaan negara, menjadi semacam state-sponsored intolerance. Keempat, ada persoalan ekonomi politik dalam sebagian besar kasus intoleransi yang muncul di era rezim demokrasi liberal saat ini.
Penyebab intoleransi ketiga yang diidentifikasi Purnomo adalah perkembangan media sosial. Ini seperti salah satu buah dari perjanjian antara Dr. Faust dan Mephistopheles dalam karya Wolfgang von Goethe. Goethe menggambarkan kesepakatan antara Faust dan iblis Mephistopheles telah melahirkan invensi-invensi teknologi yang justru mengancam kemanusian kita. Perkembangan media sosial pada dasarnya cukup mirip dengan kisah-kisah globalisasi pada umumnya; yakni bahwa teknologi (termasuk teknologi media) membuka luas kesempatan orang di seluruh dunia untuk saling berinteraksi tapi yang kemudian memilah-milah orang-orang dari seluruh dunia tersebut ke dalam lingkaran-lingkaran pergaulan berdasarkan kesamaan kepentingannya masing-masing. Mendiskusikan media sosial sebagai salah satu faktor dalam kecenderungan menguatnya intoleransi pada dasarnya kita sedang mendiskusikan evolusi kapitalisme saat ini. Saya akan mendiskusikan persoalan ini pada sub-bagian berikutnya.
Kampung Global dan Media Sosial
Ketika Anda mencari alamat rumah seorang sahabat di Jakarta, apakah yang Anda lakukan adalah bertanya kepada orang-orang yang Anda temui di sepanjang rute yang Anda lewati, ataukah Anda lebih mungkin dan merasa lebih percaya kepada GoogleMap? Kalau Anda ingin tahu hal-hal tertentu apakah Anda masih bertanya kepada teman di kantor atau meminta Siri, Alexa atau Google Assistant untuk mencarikan jawabannya di internet, atau bertanya kepada beberapa WhatsApp Group (WAG) atau kelompok percakapan Telegram yang Anda ikuti? Untuk melihat cara penggunaan sebuah perkakas atau untuk mengetahui penyebab kerusakan pada kendaraan, apakah Anda masih membaca buku manual atau bertanya kepada teknisi di bengkel atau lebih sering mencari jawabannya dari video-video di YouTube? Itu semua adalah bentuk-bentuk teknologi yang sangat berguna bagi hidup kita kini, tapi yang pada saat yang sama juga terus-menerus mereduksi hidup kita menjadi rentetan pertukaran-pertukaran komoditi.
Kapitalisme cetak telah mendorong lahirnya nasionalisme dan menumbuhkan negara-negara bangsa sampai paruh keempat abad ke-20. Pertumbuhan nasionalisme adalah proses detribalisasi melalui produksi dan distribusi berbagai macam bacaan yang dicetak dan disebarluaskan, yang kemudian menghasilkan apa yang oleh Gabriel Tarde disebut shared-texts di antara banyak orang dalam kurun waktu yang cukup lama, menumbuhkan apa yang oleh Anderson disebut imagined communities. Kapitalisme digital bergerak sebaliknya, mendorong masyarakat-masyarakat manusia mengalami apa yang oleh McLuhan di dekade 1960an disebut retribalisasi, kembali kepada bentuk-bentuk tribal sehingga dunia pada dasarnya merupakan sebuah kampung global (global village) yang dihuni oleh kelompok-kelompok tribal tersebut.
Kolonialisme dan literasi mengakibatkan disintegrasi pada masyarakat-masyarakat tribal dan melahirkan trauma bagi mereka. Kapitalisme cetak kemudian mendorongnya menjadi bangsa-bangsa dengan bahasa nasionalnya masing-masing, tapi ia juga sekaligus meruntuhkan pretensi Kristendom yang menjadikan bahasa Latin sebagai bahasa untuk seluruh dunia. Tidak lagi mengandalkan komunitas untuk menyampaikan informasi atau tradisi budaya, tradisi tulis memungkinkan informasi dikonsumsi secara soliter. Di lain pihak kapitalisme digital justru mengintegrasikan masyarakat-masyarakat di dunia ke dalam sebuah kampung dengan batas-batas yang sangat cair seperti batas antar-kelompok tribal. Tradisi mengumpulkan makanan (food gathering), menurut McLuhan, menemukan bentuk mutakhirnya pada kebiasaan manusia saat ini mengumpulkan informasi (information gathering). McLuhan percaya bahwa teknologi media elektronik akan mengintegrasikan masyarakat-masyarakat manusia, sehingga kehidupan modern akan menjadi semakin saling bergantung, toleran, dan terbuka.
Batas antar-kelompok tribal di era media digital bukan tapal-tapal yang ditancapkan di tanah sebagai pembatas teritori masing-masing kelompok, melainkan gelembung-gelembung yang dihasilkan oleh cara kerja komputasi digital yang secara transparan tanpa campur tangan pengguna akan menghasilkan pengelompokan sosial yang baru. Untuk sementara Anda bisa membayangkan kelompok-kelompok percakapan seperti WhatsApp Group (WAG) ke mana Anda mungkin sudah bergabung itu sebagai kelompok-kelompok tribal digital. Facebook dan Google, misalnya, menggunakan algoritma yang selalu mencoba menebak apa yang ingin kita lihat atau kita ketahui selama berada dalam jaringan internet. Berdasarkan data tentang aktivitas-aktivitas Anda sebelumnya seperti memberi “like” pada postingan seseorang, jaringan pertemanan Anda, informasi yang paling sering Anda cari, dua raksasa teknologi ini secara ajeg terus mengarahkan apa yang harus Anda lihat disesuaikan dengan siapa Anda, apa yang Anda suka, dan sedang di mana Anda berada. Dua atau tiga orang individu bisa berasal dari sebuah keluarga yang sama, tapi digital footprint mereka yang ditangkap oleh sistem algoritma perusahaan-perusahaan tersebut dapat menghasilkan identifikasi yang sangat berbeda bahkan bertolak belakang. Saya dan kakak kandung saya, misalnya, kalau memasukkan satu kata kunci yang sama pada mesin pencari Google bisa saja menampilkan hasil yang berbeda. Google, Facebook, dan Twitter tahu lebih banyak tentang kakak kandung saya daripada yang saya tahu tentang dia vice versa. Di era teknologi media digital keanggotaan pada sebuah kelompok tribal tidak berdasarkan darah atau keturunan melainkan pada hasil-hasil pengolahan data algoritma tentang kebiasaan seseorang di internet dan di media sosial.
Pilihan-pilihan personal dan riwayat pengalaman dalam menggunakan mesin pencari telah menciptakan sebuah gelembung saringan (filter buble) yang secara otomatis akan menampik pandangan, pendapat, keyakinan dan apa pun yang berbeda. Peran algoritma dalam memetakan pola-pola kebiasaan pengguna media sosial dan internet pada umumnya, menjadi penentu dalam cara bagaimana raksasa-raksasa teknologi itu meraup keuntungan milyaran dolar setiap tahun. Google yang menguasai YouTube, Facebook yang juga menguasai Instagram dan WhatsApp, Twitter, Linkedn, Pinterest, dan lain-lain menjadikan penggunanya lahan pertambangan data digital yang bisa diperjualbelikan. Data is the new oil.
Media selalu punya peran sangat penting dalam kapitalisme. Bagi Marx (Storey, 2009: 60-61), media berfungsi menegakkan dan mengesahkan gagasan-gagasan kelas dominan. Berangkat dari tradisi Marxian, Guy Debord (1967) memperlihatkan bagaimana media massa telah mentransformasikan seluruh masyarakat kapitalis mutakhir menjadi masyarakat tontonan (la société du spectacle). Kehidupan sosial yang otentik telah digantikan oleh representasi, sehingga telah terjadi deklinasi dari being menjadi having dan having merosot lagi menjadi sebatas nampak (appearing). Bagi Debord the spectacle, tontonan itu, adalah afirmasi bahwa seluruh kehidupan manusia, yakni kehidupan sosial, hanyalah soal penampakan (appearance). Era media sosial seperti melengkapkan tesis Neil Postman (1992) tentang transformasi dari era teknokrasi menjadi technopoly, ketika kebudayaan menyerah sepenuhnya kepada teknologi. Dalam technopoly, yang secara mencolok ditandai oleh melimpahnya informasi yang dihasilkan dari teknologi, budaya manusia mencari otorisasi, meraih kepuasan, dan melayani teknologi sekaligus.
Jauh sebelum berlangsung revolusi digital, Dallas Walker Smythe (1951) sudah mendeteksi peran media komunikasi di luar fungsi ideologisnya seperti yang banyak didiskusikan dalam kalangan Marxis. Smythe memperkenalkan tiga interplay yang meliputi broadcaster, advertiser dan audience, yang ia sebut “segitiga tak kasat mata” (invisible triangle). Di dalamnya ia melihat komunikasi memiliki semacam aspek material dari menjual audiens kepada pihak para pengiklan sebagai komoditi. Ketika radio dan televisi komersial menjual “jam siaran” atau “jam tayang” (station time) untuk menyiarkan iklan, apa yang sebenarnya mereka jual adalah waktunya pendengar atau pemirsa (audience’s time), loyalitas dan probabilitas bahwa mereka akan membeli barang dan jasa yang diiklankan. Karena waktu dan potensi reaksi mereka bisa dibeli dan dijual, mereka diberi harga dan menjadi komoditi. Sekarang, teknologi digital telah mendorong komodifikasi pengguna media ke tingkat yang jauh lebih tinggi.
Masyarakat Indonesia termasuk salah satu warga penting dalam tahapan evolusi teknologi media digital saat ini. Dengan total populasi lebih dari 250 juta orang dan perekonomian yang tidak terlalu buruk, Indonesia adalah sebuah pasar yang sangat besar. Firma riset We Are Sosial yang berpusat di London secara regular merilis data penggunaan internet dan media sosial di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Grafik-1 memperlihatkan media-media sosial mana saja yang paling banyak diakses oleh masyarakat penggunanya di Indonesia bulan Januari 2019. Pada Januari 2019, pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai jumlah 150 juta orang atau 56% dari total populasi. Jumlah ini sama persis dengan jumlah total pengguna internet di Indonesia berdasarkan firma riset yang sama. Dari jumlah tersebut, pengguna aktif media sosial yang mengakses melalui telepon genggam berjumlah 130 juta orang, atau 48% dari total populasi. Mayoritas pengguna media sosial berasal dari kelompok umur 18-24 tahun (33%) dan kelompok 25-34 tahun (33%). Pada urutan kedua pengguna berasal dari Kelompok umur 13-17 tahun (15%), sedangkan kelompok umur 35-44 tahun meliputi 12% pengguna media sosial di Indonesia. Rata-rata waktu yang dihabiskan setiap untuk bermedia sosial adalah 3 jam 26 menit, dan hanya 37% yang menggunakan media sosial untuk membantu pekerjaan. Data menarik lainnya adalah jumlah total belanja konsumen menggunakan aplikasi mobil selama 2018 mencapai US $313,6 juta (Simon Kemp, 2019).
Grafik-1. Penetrasi Sosial Media Terkemuka di Indonesia sampai Kuartal Ketiga 2018
(klik gambar untuk melihat versi yang lebih besar)
Sumber: Simon Kemp, 2019. Hootsuite. We Are Sosial. Digital 2019: Indonesia (January 2019) v01
Teknologi media digital telah memberi peluang kepada orang kebanyakan bukan hanya untuk mengonsumsi dan memproduksi isi media tapi bahkan menjadi media itu sendiri, dan menyebarluaskan informasi apa pun kepada sangat banyak orang. Saat ini saya belum punya data etnografik yang lebih detail tentang kebiasaan orang Indonesia ketika menggunakan media sosial, tapi tampaknya cukup aman untuk mengatakan bahwa untuk sebagian orang yang jumlahnya terus bertambah, media sosial adalah hal pertama yang diaksesnya ketika pertama membuka mata waktu bangun tidur di pagi hari, dan hal terakhir yang dibukanya sebelum memejamkan mata untuk berangkat tidur. Dalam ratusan perjalanan menggunakan jasa taksi online di Jakarta atau kota-kota lain selama ini, saya sering mendapat informasi banyak isu sensitif, beberapa di antaranya menyangkut soal praktik-praktik intoleransi, itu dari para supir yang mengantar saya ke berbagai tujuan. Saya tidak bisa mendapatkan informasi itu pada media-media arus utama, karena para supir itu mendapatkannya dari grup-grup percakapan WhatsApp yang mereka ikuti. Sering terjadi, ketika saya menyangsikan informasi yang diceritakan para supir itu, mereka tetap lebih percaya kepada kabar dan berita yang rutin mereka terima melalui WAG. Beberapa dari supir itu bahkan ada yang menyarankan agar saya tidak percaya pada berita dari media mainstream dan rajin mencari informasi dari media sosial.
Yang saya ceritakan di atas tentu saja hanya merupakan data anekdotal, tapi dari sana dapat dilihat bahwa berbeda dengan media massa arus utama, informasi-informasi dalam media sosial pada mulanya cenderung lebih eksklusif dari dan untuk sesama kelompok percakapan tertentu. Orang-orang kemudian dapat menyebarluaskan informasi-informasi tersebut kepada siapa saja baik melaui WA maupun email atau Twitter. Beberapa media massa konvensional memang sering pula menampilkan berita yang belum diperiksa kebenarannya, tapi media-media massa dengan reputasi tinggi tetap konsisten melakukan fact-checking sebelum menurunkan berita. Ini tidak berlaku dalam media sosial. Karena itu informasi apa pun, termasuk hoax, dengan cepat dapat menyebar kepada sangat banyak orang. Dalam ruang-ruang kebebasan rezim demokrasi, dengan dominasi kalangan bawah yang cenderung tidak sabaran, dan cenderung tidak rasional tadi, media sosial menjadi semacam konduktor yang dapat menghantarkan arus apa saja; mulai dari kritik, caci maki, fitnah, kolaborasi kemanusiaan sampai pelipatgandaan jangkauan kabar bohong. Sudah sangat banyak bukti peristiwa yang memperlihatkan bagaimana hoax bisa menjadi pemicu kerusuhan sosial, termasuk memicu tindakan-tindakan intoleran. Kajian kritis terhadap menguatnya intoleransi seharusnya tidak bisa dilepaskan dari struktur-struktur yang bekerja di baliknya.
Penutup
Saya akan kembali pada analogi tentang alergi dan alergen di atas. Kita ketahui bersama bahwa alergi bisa diturunkan secara genetik dari garis keturunan baik ayah maupun ibu. Toleransi dan intoleransi dapat ditumbuhkan atau diatasi secara sosial dan politik. Anak-anak yang dibesarkan dengan nilai-nilai yang cenderung tidak menghormati perbedaan di rumah, sekolah atau lingkaran teman sebayanya sangat mungkin untuk bersikap sama dengan apa yang diajarkan tersebut. Sebaliknya, anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh orang tua yang menghormati perbedaan, sekolah yang terbuka bagi semua kelompok dan golongan masyarakat, sangat mungkin tumbuh menjadi individu yang juga menghargai perbedaan. Meskipun belum tentu ia menyetujui atau membenarkan sesuatu yang berbeda tersebut, tapi paling tidak ia tidak akan menganggap itu sebagai sesuatu yang asing, mencemaskan atau mengancam dan membahayakan kehidupannya dan kehidupan orang-orang lain yang satu pandangan dengannya.
Ketika pertama kali ke Jepang puluhan tahun silam, setelah berhari-hari mengonsumsi ikan laut mentah, saya melihat ada sedikit bentol-bentol atau biduren di muka dan lengan saya. Namun alih-alih berhenti makan ikan mentah, keesokan harinya saya malah berbuat nekad dengan semakin banyak mengkonsumsinya, dan ternyata reaksi alergi itu tidak muncul lagi. Sampai sekarang. Teman saya yang berasal dari Filipina memilih cara yang berbeda: ia berhenti makan ikan laut mentah dan pergi ke dokter untuk diberi obat alergi. Moral dari cerita ini adalah bahwa beberapa jenis alergi sangat mungkin dilawan dan dilampaui dengan pembiasaan seperti yang sering dilakukan oleh sebagian masyarakat kita di desa-desa (meskipun mungkin tidak akan direkomendasikan oleh kebanyakan dokter). Manusia adalah spesies yang sangat tangguh yang sudah terbukti mampu menghadapi dan mengatasi bermacam-macam ancaman kepunahan baik karena penyakit maupun bencana alam. Tapi alergi juga bisa diobati dengan pendekatan medis tertentu agar ia tidak semakin bertambah parah dan menimbulkan komplikasi dengan penyakit yang lain.
Kalau kita menarik analogi dari dua pendekatan tersebut, maka cara pertama mengandaikan bahwa intoleransi bukan kondisi yang statis melainkan sangat mungkin dapat diubah. Dalam kalimat lain, batas toleransi orang atau kelompok orang masih mungkin untuk diperluas sehingga orang atau kelompok orang tersebut dapat menerima sesuatu yang berbeda, asing, mencemaskan, atau mengancam itu sebagai bagian integral dari kehidupan sosial bersama yang tidak akan menimbulkan gangguan berbahaya bagi kehidupan mereka dalam dunia sosial. Kalau pun ada praktik-praktik yang membahayakan itu bisa diserahkan kepada institusi-institusi penegakan hukum. Pendekatan yang kedua mengandaikan intoleransi adalah sejenis patologi yang mungkin tidak bisa disembuhkan secara total tapi dengan penanganan yang tepat dapat dihentikan penyebarannya ke dalam skala ruang yang lebih luas. Cara ini juga berguna untuk mencegah agar praktik intoleransi yang satu tidak mendorong munculnya tindakan-tindakan intoleran lainnya.
Yang pertama dapat ditempuh melalui saluran-saluran edukasi, kebijakan-kebijakan politik inklusif, kampanye dan advokasi, dan penegakan hukum. Kepercayaan kepada institusi penegak hukum sangat penting dalam konteks ini. Harus dipastikan bahwa hukum dan hanya hukum yang akan mengambilalih perkara yang tidak dapat diselesaikan dalam interaksi sosial antarwarga. Kalau Anda bermukim di sebuah kompleks hunian yang padat, ketika tetangga Anda membakar sampah dan asapnya sangat mengganggu karena masuk ke dalam ruangan-ruangan di rumah Anda, Anda bisa langsung menegurnya atau langsung melaporkannya kepada polisi. Contoh yang paling konkret, ketika terjadi penolakan terhadap seorang lurah perempuan beragama Kristen di sebuah kelurahan di Jakarta Selatan, negara seharusnya bisa menurunkan pasukan atau aparat kepolisian untuk mengawal lurah tersebut dan dengan tegas mengingatkan warga bahwa tindakan penolakannya itu bertentangan dengan fundamen pendirian negara-bangsa Indonesia. Pelibatan aparat keamanan dalam kasus seperti ini bukan untuk maksud represif memaksakan kehendak penguasa, melainkan untuk memberi sinyal kuat bahwa pemerintah sangat serius menjaga dan tidak bisa berkompromi atau mentolerir sikap dan tindakan yang melanggar prinsip-prinsip di atas apa negara-bangsa ini didirikan.
Di lain pihak, pendekatan yang kedua ditempuh dengan cara memisahkan penderita alergi dari alergen, memisahkan orang atau kelompok orang, yang tidak percaya bahwa intoleransi mereka terhadap hal-hal yang berbeda itu bisa diubah, itu dari interaksi dengan lingkungan yang dianggap mengancamnya. Kalau Anda alergi terhadap debu, Anda tidak bisa memaksa debu untuk menjauh dari Anda melainkan sebaliknya, Anda yang harus sebisa mungkin menghindari debu. Atau Anda mencari cara untuk bisa membuat steril seluruh ruang hidup Anda supya debu lenyap semua. Titik terjauh yang mungkin, misalnya, melalui proses seklusi atau bahkan isolasi agar mereka tidak berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda kultur, sejarah, nilai, agama, dan bahasanya. Cara lainnya adalah dengan menumpas perbedaan baik melalui represi (seperti upaya sterilasi ekstrem semua ruang hidup dalam analogi di atas) maupun melalui asimilasi, meleburkan kelompok-kelompok kecil yang berbeda-beda ke dalam sebuah kultur dan identitas mayoritas sehingga mereka menjadi bagian internal darinya. Dalam praktiknya cara-cara semacam itu pasti akan menimbulkan kontraversi besar karena merupakan salah bentuk penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Kita tidak bisa berhenti dengan mengidentifikasi problem intoleransi sebatas persoalan faham keagamaan, politik identitas, dan hal-hal superfisial semacam itu, tapi mengabaikan bagaimana korporasi-korporasi besar menopang dan melanggengkan itu semua melalui berbagai invensi dan inovasi teknologi yang tanpa putus terus mengubah kita menjadi, dalam bahasa Debord, sekedar tontonan belaka. Dari bermahalelanya narasi dan aksi intoleran, ujar kebencian dan rasisme dalam pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017, yang langsung mendapatkan keuntungan politik paling besar mungkin hanya Anies Baswedan karena ia berhasil menjadi pemenang. Di sisi lain, fitnah, tuduhan rasis, dan berita-berita bohong tetap tidak bisa menghentikan kemenangan Joko Widodo pada pemilihan presiden 2019, dan tidak bisa pula menggagalkan Prabowo Subianto ikut bergabung ke dalam kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang memenangi pemilu. Di balik kedua momen besar politik yang penuh sumpah serapah, kebencian dan kemarahan itu, yang membawa pulang keuntungan finansial sangat besar tetaplah korporasi-korporasi raksasa seperti Google, Facebook, dan Twitter yang berhasil mentransformasikan kita dari bangsa menjadi kaum, puak, kelimun-kelimun tribalistik yang demikian antusias dalam mengumpulkan dan berbagi informasi.
Rujukan
Anderson, BROG. Imagined Communities. Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. London and New York: Verso, 1991
Debord, Guy. The Society of the Spectacle. Translated by Donald Nicholson Smith. New York: Zone Books, 1995.
McLuhan, Marshall. Understanding Media. The Extension of Man. MIT Press; New Edition, 1994.
Storey, John. Hegemony. Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction (5th ed.). Pearson: Harlow, England.
Nugraheni, Dian Erika. “Ini Tiga Sebab Menguatnya Sikap Intoleransi di Indonesia Versi Polri”. Kompas.com - 16/11/2019, 07:36 WIB (diakses tgl. 19 November 2019).
Kemp, Simon. Digital 2019: Indonesia. < https://datareportal.com/reports/digital-2019-indonesia> (diakses tgl. 14 Desember 2019).
Endnotes
Untuk diskusi akademik menarik tentang apa itu toleransi (toleration) lihat, Andrew Jason Cohen, "What Toleration Is". Ethics. Vol. 115, No. 1 (October 2004), h. 68-95.↩
Skala Bogardus dipakai untuk mengukur tingkat keramahtamahan, intimitas, ketidakpedulian, atau permusuhan responden terhadap relasi-relasi sosial tertentu. Caranya adalah dengan meminta mereka memberikan persetujuan atau ketidaksetujuan kepada serangkaian pernyataan tentang kelompok-kelompok tertentu. Skala Bogardus menjelaskan hubungan-hubungan yang mungkin terjadi antara responden dengan seorang anggota kelompok kultural tertentu (misalnya, pasangan hidup, teman, tetangga, rekan kerja, warga negara, pengunjung ke negeri kita). Pertanyaan-pertanyaannya dapat dikelompokkan ke dalam terminologi inklusi dan eksklusi. Untuk kategori inklusi pertanyaannya dapat berupa dapatkah Anda menerima si Fulan sebagai pasangan hidup Anda? Sementara untuk kategori eksklusi pertanyaannya seperti “apakah menurut Anda orang keturunan Arab dan Cina harus keluar dari Indonesia?”. Skala Bogardus didasari asumsi bahwa atribut-atribut yang diukur tersebut bisa diurut sebagai sebuah rentang (continuum) jarak sosial, dari mulai eksklusi dari negara sampai inklusi ke dalam kekerabatan terdekat sebagai pasangan hidup melalui pernikahan. Lihat, Kurt Geisinger, “Bogardus Social Distance Scale”. Dalam The Corsini Encyclopedia of Psychology. (diakses tgl. 8 Desember 2019).↩