Gerundelan Usang tentang Kemiskinan Warga di Negeri yang Kaya
Hikmat Budiman
The Japan Foundation, Jakarta
Kekayaan dan/atau kelangkaan sumber daya alam dalam relasinya dengan kemakmuran dan/atau kemiskinan masyarakat sebuah negara, paling tidak, bisa dilihat dari dua jurusan yang berbeda bahkan bertolak belakang satu dengan lainnya. Jurusan yang pertama adalah anggapan umum bahwa sumber daya alam merupakan berkah bagi masyarakatnya. Karena lebih merupakan anggapan umum, asumsinya pun sederhana, yakni bahwa sumber kekayaan alam merupakan modal utama untuk menciptakan kemakmuran. Dengan kalimat lain, kekayaan dan/atau kelangkaan sumber daya alam dianggap sebagai determinan utama makmur tidaknya masyarakat sebuah negara. Tumbuhnya negeri-negeri petro-dolar di kawasan Timur Tengah, misalnya, menjadi bukti tak terbantah tentang berkah sumber daya alam bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.
Akan tetapi, anggapan seperti itu ternyata tidak bisa dipertahankan lebih lama. Pertama karena pandangan tersebut mengabaikan fakta munculnya beberapa negara kuat ekonominya meskipun tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah pada sisi yang satu, dan jatuhnya negara-negara kaya sumber daya alam ke jurang kemiskinan pada sisi yang lain. Keberhasilan ekonomi masyarakat Jepang, Singapura dan Hongkong, misalnya, adalah contoh yang sudah terlalu sering dipakai untuk mendukung argumen bahwa kemakmuran ekonomi sebuah masyarakat tidaklah berbanding lurus dengan jumlah kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Di lain pihak muncul pertanyaan mengapa banyak negara-negara kaya sumber daya alam seperti di Afrika, Amerika Latin, dan Indonesia tapi rakyatnya hidup dalam kemiskinan yang panjang tanpa jalan ke luar.
Kedua, pandangan tadi juga mereduksi kemakmuran menjadi sekedar proses optimalisasi pemanfaatan kekayaan sumber daya alam tanpa memperhatikan faktor-faktor lain seperti sumber daya manusia, dan posisi dan peran negara (yang tampil konkret dalam bentuk pemerintah) dalam proses tersebut. Ketiga, pandangan tersebut juga cenderung mengabaikan konteks kondisi ekonomi atau lalu-lintas kapital di pasar internasional yang sejak lama justru didominasi negara-negara miskin sumber daya alam. Sejarah ekspansi pasar kapitalisme, misalnya, sejak awal memperlihatkan bagaimana negara-negara industri di Eropa mencari bahan-bahan baku dari negara-negara non industri terutama di Asia dan Afrika bahkan melalui peperangan dan imperialisasi.
Perspektif lain yang berbeda adalah yang melihat kekayaan sumber daya alam bukan sebagai berkah melainkan justru sebagai kutukan bagi masyarakatnya (resource curse theory). Alih-alih bisa menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, kekayaan sumber daya alam ternyata juga bisa menjadi sumber kesengsaraan dan kemiskinan. Seperti ungkapan “ayam mati di lumbung padi”, masyarakat beberapa negara kaya sumber daya alam banyak yang jatuh ke dalam jurang kemiskinan ekonomi dan penderitaan politik seperti di beberapa bagian Afrika, Amerika Latin dan, tentu saja, Indonesia. Artinya, analisa tentang sebab-sebab kemakmuran sebuah masyarakat tidak cukup hanya melihat unsur melimpah atau kurangnya kekayaan alam. Sebab yang tidak kalah menentukannya adalah justru faktor sumber daya manusia dan politik negara. Ini akan membawa kita pada problem lain tentang kekayaan alam dan relasi spesifik yang terbentuk antara negara dan masyarakatnya.
Paling tidak ada empat penjelasan teoritis tentang mengapa performa pemerintah sebuah negara dengan kekayaan alam berlimpah kalah dibandingkan dengan negara-negara miskin sumber daya alam dalam memacu pertumbuhan ekonomi masyarakatnya (Seda, 2000). Penjelasan pertama bisa diperoleh dari analisa-analisa ekonomi yang terutama melihat negara-negara pengekspor komoditas primer akan menanggung akibat deklinasi perdagangan yang semakin memperlebar jurang kesenjangan antara negara-negara industri kaya dan negara-negara miskin pengekspor bahan mentah. Argumen kedua melihat faktor fluktuasi tajam harga dalam pasar komoditi internasional berpengaruh langsung pada tidak kondusifnya ekonomi domestik negara-negara pengekspor komoditi untuk investasi swasta, dan tidak terjaminnya sumber devisa negara.
Penjelasan ketiga melihat sumber kemiskinan dari sisi hasil keuntungan pengolahan sumber daya alam yang tidak bisa dikembalikan menjadi investasi. Ketika pengolahan sumber daya alam dilakukan oleh kekuasaan mulitnasional asing, keuntungan ternyata lebih banyak dilarikan ke luar negeri daripada dipakai untuk investasi domestik. Konkretnya, sampai ketika kekuasaan Soeharto berakhir bahkan hingga hari ini, sebuah pertanyaan kritis bisa selalu diajukan: berapa persen hasil keuntungan yang diperoleh perusahaan Freeport yang menguras kekayaan alam Papua Barat, misalnya, bisa dikembalikan sebagai investasi untuk pembangunan Indonesia khususnya untuk masyarakat Papua Barat? Industri pengolahan sumber daya alam yang melimpah, dengan demikian, sama sekali tidak bisa menstimulasi pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang lain.
Penjelasan terakhir melihat ledakan ekspor sumber daya alam justru sebagai penyebab kemandegan atau stagnasi ekonomi akibat menurunnya ekspor pertanian dan barang-barang manufaktur, dan inflasi harga barang-barang dan jasa yang tidak bisa diimpor. Gejala tersebut dikenal luas sebagai the Dutch Disease: perpaduan antara apresiasi nilai tukar real akibat naik tajamnya ekspor, dan kecenderungan ledakan sektor sumber daya alam menarik kapital dan buruh ke luar dari sektor pertanian dan manufaktur sehingga meningkatkan biaya produksi.
Perpaduan kompleks antara deklinasi perdagangan, fluktuasi harga komoditi di pasar internasional, pelarian keuntungan ke luar negeri, dan stagnasi ekonomi akibat the Dutch Disease memberi kita sebuah gambaran bagaimana kekayaan alam berbalik total menjadi semacam kutukan bagi warga masyarakat pemiliknya. Kekayaan alam tidak bisa menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melainkan semata-mata hanya menyediakan sumber kemakmuran bagi bangsa-bangsa lain yang perkonomian domestiknya tidak ditopang oleh kelimpahan sumber daya alam tetapi sanggup menguasai pasar perdagangan di tingkat internasional. Nasib malang masyarakat negara kaya sumber daya alam tidak berhenti pada rendahnya tingkat kemakmuran, melainkan juga harus menanggungkan penderitaan lain yang muncul dalam bentuk ketidakberdayaan politik akibat minimnya kontribusi mereka pada pembiayaan pengeluaran negaranya. Sampai di sini berlaku relasi bolak-balik antara proses pemiskinan dan pempapaan ekonomis rakyat secara struktural yang diakibatkan oleh kesalahan strategi pembangunan, dan ketidakberdayaan politik rakyat yang sengaja diciptakan melalui peniadaan kontribusinya pada biaya pembangunan yang mengakibatkan terhalangnya partisipasi kritis mereka dalam pengambilan kebijakan dan, pada gilirannya, makin membuat mereka tidak bisa lepas dari jaring-jaring kemiskinan yang menjeratnya terus-menerus.
Hubungan antara kekayaan sumber daya alam dan performa negara dalam mengurusi kemakmuran dan kesejahteraan warganya serta bentuk-bentuk pemerintahan yang muncul di negara tersebut ternyata juga memperlihatkan gambaran yang menarik. Kajian-kajian tentang proses demokratisasi dan pelbagai kritik terhadap rezim otoritarianistik selama ini banyak yang melupakan relasi antara macetnya demokratisasi dan munculnya rezim otoritarian dengan faktor kelimpahan sumber daya alam di negara yang bersangkutan. Padahal sebuah negara dengan kekayaan alam yang melimpah ruah seperti Indonesia, misalnya, memungkinkannya untuk memiliki independensi anggaran relatif dari kontribusi ekonomi rakyatnya sendiri. Selama kekuasaan Orde Baru seluruh pembiayaan kebutuhan negara tidak diperoleh melalui sumber-sumber penghasilan dari pajak masyarakat, melainkan terutama dari penghasilan ekspor sumber daya alam dan bantuan hutang luar negeri. Secara teoritis, negara yang memperoleh sebagian terbesar penghasilannya dari sumber-sumber di luar kontribusi rakyat cenderung hanya akan berusaha keras menjaga status-quo daripada meningkatkan pembangunan (Seda, 2000).
Salah satu penyebab buruknya kehidupan demokrasi di Indonesia yang jarang dibicarakan adalah tidak adanya sistem pajak (taxation system) yang baik yang memungkinkan rakyat ikut membiayai anggaran negara. Padahal dalam demokrasi rakyat hanya memiliki dua sumber kekuatan untuk mengontrol jalannya pemerintahan: pajak dan suara (vote) dalam pemilihan umum. Di bawah Orde Baru, tidak adanya sistem perpajakan nasional yang memadai juga diperparah oleh kenyataan tidak satu pun institusi politik yang benar-benar memiliki kapasitas untuk menyalurkan aspirasi politik rakyat. Dua parti politik yang ada waktu itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), tidak pernah benar-benar bisa menjadi kekuatan penyeimbang kekuasaan politik pemerintah yang sebagian besar alasannya bisa dikembalikan kepada ketidakmandirian finansial partai-partai tersebut dari subsidi pemerintah. Dalam konteks ini kita melihat bagaimana pemerintah mengalokasikan dana besar untuk subsidi politik kepada dua partai politik di luar Golkar hanya untuk memilihara status-quo kekuasaan. Vote atau hak suara dalam pemilu, dengan demikian, juga tidak pernah menjadi kekuatan penekan yang bisa memaksa kelompok politik yang berkuasa untuk lebih serius menangani kesejahteraan rakyatnya. Kondisi seperti itu mengakibatkan hilangnya hak rakyat untuk mengontrol kekuasaan yang dijalankan pemerintah karena negara tidak memiliki ketergantungan pada pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Independensi seperti itu mendorong lahirnya sistem pemerintah yang tidak memiliki akuntabilitas di hadapan publik. Praktik-praktik kotor seperti korupsi besar-besaran terhadap anggaran negara menjadi bagian tidak terpisahkan dari rezim kekuasaan seperti itu.
Gambaran paling konkret tentang itu bisa dilihat dari bagaimana pandangan resmi pemerintah Orde Baru Indonesia tentang proyek-proyek pembangunan nasional. Sekitar akhir dekade 1980an, misalnya, menteri dalam negeri waktu itu, Amir Mahmud, pernah membuat keterangan publik bahwa seluruh pembiayaan pembangunan ditanggung oleh pemerintah, dan bukan oleh partisipasi masyarakat melalui pajak. Pernyataan tersebut jelas memperlihatkan bagaimana pembangunan dija-lankan dengan asumsi bahwa partisipasi rakyat bukanlah terletak pada kontribusi konkret dalam hal anggaran pembiayaan melainkan lebih pada mobilisasi dukungan politik terhadap proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan. Dari asumsi tersebut muncul pendekatan yang menitik beratkan keterlibatan warga negara sebagai objek pembangunan dengan resiko politik yang menyakitkan: rakyat tidak berhak memilih alternatif lain di luar proyek resmi negara karena pembangunan sepenuhnya milik pemerintah dan, konsekwensi-nya, setiap penolakan terhadap proyek-proyek tersebut akan diperlakukan sebagai pembangkangan terhadap negara dan pemerintah. Dengan penjelasan seperti itu tidaklah menghe-rankan jika pemerintah Orde Baru senantiasa mengutamakan pendekatan represif dalam menghadapi kritisisme masyarakat terhadap proyek-proyek pembangunan.
Lemahnya posisi politik rakyat vis à vis negara jelas mengakibatkan upaya-upaya untuk mengurangi kemiskinan menjadi mustahil dilakukan. Apa yang pernah ditempuh Orde Baru melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT), misalnya, hanya memperlihatkan sebuah kebijakan formal dan parsial negara yang bukan saja gagal mengidentifikasi akar-akar penyebab kemiskinan rakyatnya, tidak melibatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan, juga merupakan satu mekanisme melalui apa negara kembali menampilkan dirinya sebagai satu-satunya institusi yang memonopoli kekuatan untuk membiayai seluruh anggaran pembangunan.
Jakarta, April 2002
Hikmat Budiman
The Japan Foundation, Jakarta
Rujukan
Mas'oed, Mochtar. Ekonomi dan Struktur Politik, Orde Baru 1966-1971. LP3ES, Jakarta, 1989
Mubyarto (ed). Profil Desa Tertinggal Indonesia 1994. Diterbitkan untuk BAPPENAS oleh Aditya Media, Yogyakarta, cetakan kedua, 1995.
Pabottingi, Mochtar. Lima Palang Demokrasi Satu Solusi: Rasionalitas dan Otosentrisitas dari Sisi Historis-Politik di Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan sebagai Ahli Peneliti Utama Puslitbang Politik Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 22 Juni 2000.
Seda, Francisia SSE., “Natural Resources and Development”, dalam Jurnal Masyarakat, No. 8, Tahun 2000
BAPPENAS dan Departemen Dalam Negeri. Panduan Program Inpres Desa Tertinggal. Jakarta, Desember 1993