Under the doctrine of state multiculturalism, we have encouraged different cultures to live separate lives, apart from each other and the mainstream. We have failed to provide a vision of society to which they feel they want to belong. (David William Donald Cameron, Perdana Menteri Inggris)[1]
Pengantar
Multikulturalisme tentu saja mencakup banyak persoalan, tapi untuk kebutuhan diskusi ini, dan karena keterbatasan pemahaman saya sendiri, makalah ini hanya akan dibatasi pada beberapa pokok soal: Pertama, tentang problematik hak minoritas dalam konteks diversitas Indonesia; kedua, tentang bagaimana seharusnya negara berperan dalam banyak soal yang menyangkut nasib hidup kelompok-kelompok minoritas. Apakah negara seharusnya netral terhadap perbedaan (different blind) ataukah ia harus berani memihak dan memfavoritkan salah satu kelompok (etnis/agama). Dua pokok soal ini sekaligus akan dipakai untuk melihat bagaimana problematik multikulturalisme sebagai sebuah gagasan konseptual maupun sebagai sebuah kebijakan politik.
Salah satu pertanyaan yang bisa dari awal dikemukakan adalah, kalau penekanan multikulturalisme pada upaya mempertahankan perbedaan, resiko apa yang mungkin atau bahkan sudah timbul dari penekanan semacam itu. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kalau perbedaan mengalami representasi yang kebablasan (exagerated representation) seperti yang dapat dilihat dalam ledakan polilitik identarian selama satu dekade belakangan ini. Apakah, misalnya, kasus penganiyaan terus menerus terhadap pengikut Ahmadiyah terjadi karena identitas Ahmadiyah mengalami representasi berlebihan sehingga menimbulkan kemarahan berbagai pihak di luarnya, ataukah justru sebaliknya?
Problematik Minoritas
Seorang individu menjadi bagian dari minoritas karena keterikatannya pada etnik/ras/nasionalitas, agama, kelompok kultural, jenis kelamin, preferensi seksual tertentu, atau pengelompokan-pengelompokan sosial lainnya. Kymlicka (1991 dan 2005) menggunakan ungkapan keanggotaan kultural (cultural membership) untuk mendepiksikan keterikatan tersebut. Identitas individu berjalinan dengan identitas-identitas kolektif dan hanya bisa ditetapkan dalam sebuah jaringan kultural yang bukan lagi privat sifatnya (Habermas, 1991: 129). Identitas personal dan kolektif dibentuk oleh proses-proses pengakuan dan pengabaian oleh yang lain, sehingga seseorang atau sekelompok orang akan benar-benar mengalami distorsi yang real ketika masyarakat di sekelilingnya merefleksikan gambaran yang menghinakan mereka (Taylor, 1994: 25). Tapi keanggotaan kultural seorang individu meliputi banyak lapisan yang sering tumpang tindih satu dengan lainnya. Seorang perempuan beretnis Jawa, beragama Islam, penganut Ahmadiyah, heteroseksual, dan bekerja sebagai seorang pembantu dalam sebuah rumah tangga Ahmadi, misalnya, pada konteks spesifik tertentu dia adalah bagian dari mayoritas (Jawa, Muslim, heteroseksual), tapi pada konteks yang lain dan dalam waktu yang sama ia adalah anggota kelompok minoritas (sebagai perempuan di bawah dominasi laki-laki, sebagai anggota Ahmadiyah). Bahkan di dalam kelompok Ahmadiyah pun ia adalah bagian dari minorities within minorities.
Meskipun individu pada dasarnya adalah pemangku-pemangku hak, termasuk hak minoritas, tapi problematik minoritas hanya bisa dipahami dalam konteks perjuangan untuk pengakuan atas identitas-identitas kolektif tadi. Diskursus HAM kemudian membawa pertanyaan tentang hak-hak apa yang bisa diberikan kepada kelompok-kelompok minoritas ini. Diskursus hak minoritas, dengan demikian, adalah diskursus tentang identitas-identitas kolektif yang mempertahankan diri melawan penindasan, marginalisasi, asimilasi, dan sikap tidak hormat yang dialaminya dari pihak lain dalam konteks komunitas warga masyarakat. Bentuk-bentuk perlawanan muncul dalam berbagai variasi mulai dari yang berlangsung dengan kekerasan sampai upaya-upaya diskursif. Politik pengakuan (the politics of recognition) dan politik perbedaan (the politics of difference) adalah bentuk-bentuk gerakan pembebasan yang tujuan-tujuan politik kolektifnya terutama didefinisikan dalam terminologi-terminologi kultural, sehingga karena itu bagi para pengkritiknya gerakan ini cenderung terkesan tidak terlalu peduli pada isu-isu ketimpangan sosial ekonomi dan ketergantungan politik, meskipun dua isu tersebut jelas besar pengaruhnya pada berlangsungya praktek-praktek ketidakadilan yang mereka lawan itu.
Namun bahkan dalam konteks identitas kolektif pun persoalan pertama yang segera muncul dalam diksusi tentang hak kelompok minoritas adalah kesulitan menetapkan siapa yang bisa dimasukkan ke dalam kategori “minoritas”. Dalam konteks pemeluk agama di Indonesia, misalnya, memang cukup mudah untuk menunjuk mayoritas mutlak, yakni Islam, berhadapan baik dengan lima agama lain yang diakui negara (Katolik, Prostestan, Hindu, Budha, dan Konghucu) maupun dengan agama-agama lain yang tidak secara formal diakui oleh negara. Tapi lantas siapa yang minoritas dalam konteks semacam itu? Pemeluk lima agama tadi sering mendaku sebagai bagian dari minoritas vis a vis Islam, tapi mereka adalah bagian dari mayoritas ketika berhadapan dengan agama-agama lokal semacam Parmalim, Kaharingan, Wetutelu atau Patuntung. Problem lainnya juga segera muncul karena bahkan di dalam Islam pun, seperti juga di dalam agama-agama lain, terdapat banyak sekali kelompok yang berbeda satu dengan lainnya. Problem yang relatif sama terjadi dalam pengelompokan-pengelompokan komunal berbasis etnis. Selalu ada minoritas di dalam minoritas.
Rogers Brubaker (2002: 164) mengingatkan kita tentang apa yang disebutnya “kekeliruan kelompok-isme”, the error of groupism: kecenderungan untuk menjadikan kelompok-kelompok yang terpisah, diskret, berbeda secara tajam, homogen ke dalam dan mengekang keluar, itu sebagai konstituen-konstituen dasar dari kehidupan sosial, protagonis utama konflik sosial, dan unit fundamental dalam analisa sosial. Padahal, menurut Brubaker, protagonis sebagian terbesar konflik etnis, misalnya, bukanlah kelompok-kelompok melainkan organisasi-organisasi, yang memang biasa memiliki kepentingan membuat orang melihat mereka sendiri dalam terminologi-terminologi etnik. Kalau kelompok diidentifikasi sebagai sesuatu yang solid dan homogen atau, katakanlah, terjadi reifikasi tentang kelompok, tidakah dengan cara itu kita justru sedang mempromosikan purbasangka antarkelompok bahkan separatisme?
Dua penekanan yang berbeda dalam melihat relasi mayoritas-minoritas mengandaikan dua logika penyelesaian yang juga berbeda. Penekanan pada jumlah antara lain bisa menghasilkan rekomendasi perubahan politik kependudukan. Dalam versi ekstremnya, ini bisa ditempuh dengan secara ketat memberlakukan pembatasan kelahiran pada kelompok mayoritas, dan memberi insentif ekonomis kepada kelompok minoritas yang bersedia memiliki banyak anak. Di lain pihak, penekanan pada aspek-aspek di luar jumlah seperti kreasi sosial kemungkinan besar akan mendorong rekomendasi ke arah pengembangan politik pengakuan (the politics of recognition atau the politics of difference) atau, dalam konteks pengembangan demokrasi politik, apa yang belakangan juga disebut demokrasi kultural (Budiman, 2010).
Dalam Politics in the Vernacular, Will Kymlicka (2002: 18-27) membagi evolusi debat tentang hak minoritas menjadi tiga fase: Pertama, debat-debat yang bisa dicarikan rujukannya pada perbedabatan antara komunitarianisme versus liberalisme, yang berlangsung sebelum tahun 1989 yang lalu. Singkatnya, inti persoalan yang diperbedatkan adalah apakah kebebasan individu yang harus diprioritaskan ataukah eksistensi kelompok yang diutamakan. Dalam konteks semacam itu, liberalisme melihat hak minoritas sebagai hal yang tidak perlu karena justru dapat mengancam kebebasan individu. Di lain pihak, kaum komunitarian justru melihat hak minoritas sebagai sebuah cara untuk melindungi komunitas-komunitas kultural dari ancaman bahaya individualisme. Salah satu yang dipersoalkan adalah bagaimana dengan kelompok-kelompok (minoritas) yang menolak asimilasi ke dalam kelompok yang lebih besar.
Kedua, debat tentang hak minoritas dalam kerangka liberalisme, yang salah satu proponennya adalah Kymlicka sendiri. Asumsinya, bahkan kelompok-kelompok minoritas yang menolak demokrasi liberal pun bukan karena mereka ingin mendirikan rezim komunitarian iliberal, melainkan lebih karena ingin mendirikan negeri demokrasi liberal lain milik mereka sendiri. Orang-orang Québéc, Catalonia, dan orang-orang berbahasa Belanda di Belgia (Flemish), semuanya justru menginginkan integrasi dan partisipasi penuh dalam masyarakat demokrasi liberal. Karena itu, menurut Kymlicka, yang terjadi setelah tahun 1989 bukanlah debat antara liberalisme dengan komunitarianisme, melainkan debat antar kaum liberal tentang makna liberalisme. Kymlicka sendiri membuat dikotomi antara restriksi di dalam (internal restriction) yang ditentangnya, dan perlindungan dari luar (external protection) yang direkomendasikannya.
Fase ketiga debat tentang hak minoritas adalah yang terjadi dalam konteks nation-building. Dalam fase ini perdebatannya lebih diarahkan kepada upaya-upaya untuk mempromosikan integrasi ke dalam apa yang oleh Kymlicka disebut sebuah societal culture. Berangkat dari penolakan terhadap gagasan bahwa negara demokrasi liberal harus menyikapi persoalan etnis/budaya sama dengan sikapnya terhadap agama, Kymlicka berargumen bahwa model agama sama sekali tidak tepat dipakai sebagai pijakan untuk menetapkan relasi antara negara demokrasi-liberal dengan kelompok-kelompok ethnocultural. Sebaliknya, negara justru harus bisa mempromosikan bahasa dan institusi-institusi sosial bersama (common language and social institutions), dan bukan kepercayaan agama bersama (common religious belief) bagi seluruh warga negara, baik mayoritas maupun minoritas. Dalam prakteknya, pemerintah bisa mempromosikan bukan hanya satu melainkan bisa pula dua atau lebih societal culture dalam sebuah negeri. Negara-negara multibangsa seperti Kanada, Switzerland, Belgia dan Spanyol adalah contohnya.
Kymlicka kemudian secara prematur menyatakan bahwa perdebatan tentang apakah hak minoritas itu perlu atau tidak sudah berakhir. Pengakuan atas hak minoritas, menurutnya, sama sekali tidak bertentangan dengan liberalisme dan demokrasi liberal melainkan justru bisa memperkuatnya. Pernyataan Kymlicka bahwa perdebatan tentang hak minoritas sudah berakhir, tentu saja, sudah disanggah oleh banyak pihak, tapi saya tidak ingin membicarakannya secara lebih mendetail dalam tulisan ini. Untuk forum diskusi ini, ada beberapa hal yang penting dicatat dari beberapa argumen Kymlicka di atas. Pertama, perdebatan antara multikulturalisme dan liberalisme sudah tidak terlalu relevan saat ini. Kalau multikulturalisme diperlakukan sebagai kebijakan politik yang diambil oleh sebuah pemerintah untuk mengelola diversitas warganya, atau diperlakukan sebagai deskripsi tentang realitas, multikulturalisme adalah sebuah soal tentang bagaimana demografi sosial yang meliputi beberapa komunitas kultural yang berbeda bisa hidup bersama dalam sebuah teritori tertentu.
Kedua, problem krusial yang harus dihadapi saat ini adalah memutuskan pilihan antara asimilasi, separasi, dan integrasi. Multikulturalisme sebagai gagasan maupun sebagai kebijakan dan gerakan sosial jelas merupakan antitesa dari asimilasi. Tapi apakah jika demikian berarti ia lebih cenderung ke arah separatisme? Kymlicka memberi jawaban negatif. Tapi kalau kita melihat perkembangan kasus-kasus yang terjadi di beberapa negara di Eropa seperti Inggris dan Jerman, misalnya, implementasi multikulturalisme sering lebih menyerupai praktek segregasioanisme.
Ketiga, dan saya kira ini yang boleh jadi paling relevan bagi kita sekarang, meletakkan debat tentang hak minoritas ke dalam konteks pembentukan budaya politik (Kymlicka menyebutnya societal culture) melalui penemuan bahasa dan institusi-institusi bersama bagi upaya pembentukan bangsa. Kalau kita menempatkan gagasan Kymlicka ke dalam perspektif sejarah pembentukan bangsa Indonesia, lebih setengah abad setelah Sukarno nation building kembali ditawarkan sebagai salah satu alternatif solusi menghadapi tantangan-tantangan masyarakat kontemporer. Plus ça change plus c’est la même chose.
Kutukan Menara Babel
Diversitas identitas, budaya, nilai, dan agama kadang-kadang mungkin mirip kisah tragis pembangunan menara Babel (A Tower of Babel).[3]Konon dahulu kala, setelah banjir besar di zaman Babylon, di dunia ini hanya ada satu bahasa umat manusia. Orang-orang melakukan perjalanan dari Timur dan menemukan pedataran di Shinar. Di sana mereka membangun sebuah menara super ambisius, dengan puncak yang akan mencapai syurga. Dari sana mereka akan menyebar ke seluruh permukaan bumi. Tuhan cemburu, dan melihat itu sebagai upaya manusia menandingi kuasa-Nya. Ia lantas turun melihat hasil pekerjaan mereka, dan lantas mengacaukan bahasa mereka sehingga satu sama lain tidak bisa saling berkomunikasi, no one talks to anyone. Menara itu sampai sekarang dikenal dengan sebutan menara Babel (gerbang menuju tuhan) (Budiman, 2010). Dalam konteks Indonesia saat ini, kisah tersebut mungkin bisa menjadi semacam amsal ketika sekarang orang-orang berlomba membangun “menara-menara” super tinggi menuju syurga, mengambilalih kuasa Tuhan untuk kelompok-kelompoknya sendiri, baik dalam pengertian teologis maupun dalam konteks supremasi kuasa politik duniawi. Di antara kelompok-kelompok itu juga terjadi semacam confusion of tounge, sama-sama menggunakan bahasa-bahasa ketuhanan (atau etnis, adat dan lokalitas), tapi tidak pernah bisa saling memahami satu dengan yang lainnya.
Sudah banyak didiskusikan bahwa masyarakat Indonesia dicirikan bukan hanya oleh terdapatnya demikian banyak jumlah kelompok sosial yang masing-masing relatif independen, melainkan juga oleh kenyataan bahwa masing-masing kelompok tersebut memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan lainnya. Kita bisa mengulang debat konseptual tentang budaya, kelompok, dan etnis sebagai penjelas kecenderungan reifikasi kelompok-kelompok tersebut, tapi itu semua tidak bisa membatalkan kenyataan bahwa Indonesia adalah hamparan ragam dan beda etnis, agama, budaya, nilai, dst. Beberapa persoalan yang timbul dalam konteks diversitas identitas, budaya, nilai, etnis dan agama dalam sebuah teritori mungkin memang mirip kisah biblikal tentang menara Babel (Tower of Babel). Dalam kajian-kajian politik, diversitas pada dasarnya adalah sebutan lain untuk masalah atau rintangan dalam kaitannya dengan pengembangan demokrasi di sebuah negeri. Salah satu studi awal yang memberi impresi tentang kutukan Babel kepada masyarakat Indonesia tentu saja adalah karya Furnival tentang masyarakat majemuk di Asia Tenggara. Menurut Furnivall, kecuali bisa ditemukan sebuah common social will di antara kelompok-kelompok tersebut, masyarakat plural Asia Tenggara hanya akan berakhir pada mimpi buruk anarkisme. Frase “masyarakat Indonesia”, dengan demikian, hanya bisa diperlakukan sebagai sebutan yang mengandaikan bahwa di antara ragam dan beda tersebut ada beberapa hal yang dibagi bersama sehingga paling tidak secara konseptual kita bisa melakukan identifikasi umum tentang penduduk di wilayah negara kesatuan republik Indonesia ini. Karya Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, misalnya, hanya bisa dipahami dalam konteks sebuah pencarian sekaligus pengandaian tentang ciri-ciri umum yang bisa menjadi penyebut bersama semacam itu.
Perdebatan-perdebatan awal tentang pendirian Indonesia memperlihatkan bagaimana kutukan Babel ini dihindari dari dua jurusan: pertama melalui penciptaan sebuah nation yang mencoba melepaskan diri dari etnis, dan; kedua, melalui pemilihan bahasa Indonesia sebagai lingua franca. Fiksi tentang “bangsa Indonesia” dibangun di atas latarbelakang nasib sejarah yang sama dalam menghadapi kolonialisme dan dengan itu para leluhur kita memperjuangkan Indonesia sebagai sebuah komunitas besar yang memiliki kapasitas melakukan tindakan politik.
Kalau Pancasila memberi landasan abstrak filosofis tentang integrasi bangsa-bangsa tua itu ke dalam nasion Indonesia, pada level praktek komunikasi sehari-hari bangsa Indonesia memilih bahasa Indonesia. Upacara penerimaan bahasa Indonesia memang baru terjadi pada bulan oktober 1928 dalam Kongres Pemuda II, tapi penggunaannya sebagai lingua franca sudah berlangsung jauh sebelum itu. Kalau kita merujuk kembali argumen Kymlicka tentang nation building diatas, penemuan bahasa Indonesia adalah bagian dari pembentukan societal culture yang bisa dibagi bersama di antara penutur ratusan bahasa yang berbeda, dan yang diambil tidak dari bahasa etnik dominan, melainkan dari bahasa Melayu yang jumlah penuturnya pasti lebih kecil daripada penutur bahasa Jawa atau bahasa Sunda. Sampai tahun 1928, misalnya, hanya ada sekitar 4 juta penduduk Nusantara yang menggunakan bahasa Melayu. Padahal bahkan Charles Taylor sendiri seperti sedang membuat diktum ketika ia menyatakan bahwa sebuah negara yang harus membentuk sebuah bahasa nasional cenderung akan memilih bahasa dari kelompok mayoritas.
Joshua Fishman (1978:333) menyebut pengembangan bahasa Indonesia menjadi satu-satunya bahasa nasional sebagai keajaiban karena dapat meyakinkan populasi Indonesia bahwa “a particular outside language should become their own integrarive, inter-ethnic, unifying tounge”. Mengutip William Liddle, Errington (1998: 4) menganggap bahasa Indonesia mungkin merupakan satu-satunya bahan terpenting dalam pembentukan kebudayaan Indonesia modern. Penemuan bahasa Indonesia melepaskan kita dari persoalan yang sampai hari ini masih belum tuntas di Kanada dalam kasus warga provinsi Quebek yang mayoritas berbahasa Prancis berhadapan dengan mayoritas penduduk di provinsi-provinsi lain yang berbahasa Inggris. Dua daerah istimewa yang paling tua di Indonesia, dan memiliki bahasa lokalnya sendiri, Aceh dan Yogyakarta, misalnya, tidak satu pun yang menolak penggunaan bahasa Indonesia atau mengajukan bahasa daerahnya masing-masing menjadi bahasa pengantar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.
Namun penekanan pada pencarian commonality paling tidak menyisakan tiga pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, dari mana common denominator itu diturunkan. Dalam banyak kasus, penyebut bersama itu sering diambil dari kelompok budaya dominan; Kedua, apakah pencarian pada commonality tidak menjebak kita ke dalam proses asimilasi. Kalau penyebut bersama tadi memang diturunkan dari nilai-nilai dominan, kelompok-kelompok minoritas kemungkinan besar akan menghadapi paksaan asimilasi ke dalam yang dominan tersebut, dan; Ketiga, bagaimana dengan nasib kelompok-kelompok yang tetap tidak bisa menerima common denominator tersebut? Kelompok-kelompok ini mungkin masih dibiarkan tetap berbeda, tapi mereka akan mengalami beberapa kondisi yang membuat mereka secara praktis tidak bisa berbeda. Parekh (2000: 241) melihat ada jarak antara tawaran formal tentang persamaan kesempatan (equality of opportunity) dengan bagaimana menjadikan persamaan tersebut bermakna. Politics of equal respect, menurut Taylor (1994: 60), cenderung memusuhi perbedaan karena: (1) ia berkeras menyeragamkan pemberlakuan aturan-aturan tentang hak-hak warga tanpa pengecualian; (2) ia selalu menaruh curiga terhadap tujuan-tujuan kolektif.
Politik kesatuan menampilkan implementasi paling menakutkan ketika ia ditopang oleh represi militeristik di zaman Suharto. Ketika itu, kesatuan (unity) identik dengan keseragaman (uniformity) dan persamaan (equality) dalam prakteknya bisa berarti keserbasamaan (homogenity). Gagasan tentang nasion Indonesia cenderung ditarik mundur menjadi perluasan imposisi nilai-nilai budaya dominan Jawa ke dalam institusi-institusi sosial bersama bahkan dalam penggunaan bahasa Indonesia para pemangku pemerintahan. Ungkapan “Jawanisasi” merujuk baik pada proses imposisi kutluralnya maupun kepada penolakan kelompok-kelompok non-Jawa terhadap proses tersebut. Dari pengalaman zaman Orde Baru, kalau untuk mengelola diversitas harus diupayakan adanya keumuman-keumuman (commonalities), lantas di mana tempat bagi segala hal yang tidak umum (uncommon) atau partikular? Dalam cara lain pertanyaannya kemudian adalah, kalau penekanannya lebih diletakkan pada pencarian kesamaan di antara perbedaan lantas di mana tempat untuk yang berbeda? Bahkan sejak Suharto masih berkuasa sudah banyak dibicarakan bahwa semboyan bhinneka tunggal ika dalam prakteknya cenderung menyempit pada upaya-upaya mewujudkan prinsip tunggal ika dengan konsekwensi pengabaian prinsip bhinneka.
Habermas (1994:116-22) mengelompokkan perjuangan bagi pengakuan atas identitas kolektif ke dalam beberapa level: Feminisme, multikulturalisme, nasionalisme dan perlawanan terhadap dominasi budaya Barat atau Eropasentrisme. Tulisan ini tidak akan membahas keempat model gerakan yang didiskusikan Habermas, dan cukup dibatasi pada pembicaraan tentang gerakan multikulturalisme (etnik dan minoritas kultural) yang dikelompokkan Habermas ke dalam dua kategori: minoritas endogen (endogenous minorities) yang kemudian menjadi sadar atas identitas kolektif mereka, dan minoritas-minoritas baru yang muncul akibat imigrasi. Dalam konteks minoritas endogen,Feminisme tentu saja bukan penyebab kelompok perempuan menjadi minoritas, tapi ia juga sama-sama diarahkan untuk melawan kultur dominan yang menafsirkan relasi seksual secara asimetris dan mengesampingkan persamaan hak. Sementara perjuangan etnik dan minoritas kultural yang tertindas untuk mendapatkan pengakuan atas identitas kolektifnya (multikulturalisme) adalah hal yang berbeda sama sekali. Habermas membedakan gerakan ini menjadi dua kategori: minoritas endogen (endogenous minorities) yang kemudian menjadi sadar atas identitas kolektif mereka, dan minoritas-minoritas baru yang muncul akibat imigrasi. Sementara nasionalisme yang dimaksud Habermas adalah ketika orang-orang yang merasa secara etnik dan linguistik homogen dan memiliki sebuah latar belakang nasib sejarah yang sama berusaha mempertahankan identitas mereka bukan hanya sebagai komunitas etnis tapi juga sebagai bangsa dengan kapasitas untuk melakukan tindakan politik. Ini berbeda dengan gerakan-gerakan perlawanan untuk meraih rekognisi pada level internasional terhadap apa yang sering disebut sebagai hegemoni budaya Barat dan Eropasentrisme.
Tulisan ini tidak akan membahas keempat model gerakan yang didiskusikan Habermas, dan cukup dibatasi pada pembicaraan tentang gerakan multikulturalisme. Dengan pilihan fokus seperti itu kalau, paling tidak untuk sementara, kita bisa mengabaikan terlebih dahulu problematik yang muncul dari arus migrasi internasional ke dalam konteks diversitas kultural di Indonesia (minoritas eksogen), maka diskusi tentang kelompok minoritas bisa difokuskan pada kategori minoritas endogen. Meskipun banyak identitas yang bisa diatributkan kepada kelompok sosial tertentu, tapi yang paling dominan dalam diskursus politik identitas di Indonesia adalah yang berbasis etnis dan/atau agama. Penting pula dicatat bahwa etnik dan agama sering tidak dapat dibedakan dalam praktek mungkin karena agama pada dasarnya justru merupakan unsur konstitutif etnik. Di luar persoalan gender dan preferensi seksual, etnis dan agama pula yang banyak mendasari dikotomi antara mayoritas dan minoritas. Selama sepuluh tahun setelah kuasa formal Suharto dihentikan, dan praktis sejak pemerintah Habibie mengeluarkan regulasi tentang otonomi daerah dan desentralisasi administrasi pada tahun 2001 yang lalu, dua basis inilah yang dianggap banyak memicu konflik sosial antarkelompok warga termasuk kasus penyiksaan kaum Ahmadi di Cikeusik, Banten, dan perusakan rumah-rumah ibadah di Temanggung Jawa Tengah baru-baru ini.
Sering diasumsikan bahwa proses modernisasi, pembangunan ekonomi nasional, interaksi antar etnik yang makin luas, dan politik integrasi nasional ke dalam sebuah negara kesatuan akan mengakibatkan aspek-aspek komunal dan ikatan-ikatan warga dengan kelompok etnokulturalnya dalam masyarakat Indonesia akan semakin berkurang. Tapi pengalaman selepas otorianisme Orde Baru membuktikan bahwa alih-alih mengurangi sentimen etnis, politik kesatuan di era Suharto justru semakin menyuburkannya. Imposisi nilai-nilai kultural Jawa ke dalam politik kesatuan tadi justru membuat orang-orang non-Jawa semakin merasa perlu untuk mengartikulasikan sentimen etnisnya ketika kekuasaan penindasnya telah runtuh. Pemaksaan nilai-nilai Islam melalui produksi Perda-perda syariat di beberapa daerah di Indonesia belakangan ini, bukan hanya akan terus menghadapi tantangan dari kelompok yang mempromosikan kebebasan beragama versi liberal, melainkan juga akan meneguhkan ikatan tradisional kelompok-kelompok etnis/agama lain untuk terus melawannya.
Beberapa konflik dalam skala besar seperti konflik Ambon, Poso, Dayak-Madura, dan GAM-TNI berhasil diakhiri dengan upaya-upaya perdamaian baik yang dilakukan oleh negara/pemerintah maupun oleh elemen-elemen masyarakat sipil. Tapi kekerasan terhadap beberapa kelompok minoritas terus saja terjadi, dan tidak hampir tidak ada jaminan bahwa hal tersebut akan bisa segera diakhiri. Sampai kasus penyiksaan jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, kita bisa melihat bagaimana negara masih berpijak pada pemahaman usang tentang identitas sebagai sebuah unit yang dibayangkan utuh dan solid. Kebijakan negara, dengan demikian, seringkali didasarkan pada distingsi antara identitas yang diakui oleh mayoritas dan yang tidak diakui. Dalam cara pandang seperti itu, kelompok-kelompok kultural atau keagamaan yang tidak diakui atau berbeda dengan mayoritas diperlakukan sebagai gangguan atau musuh bagi identitas yang diakui.
Politik identitas terjadi ketika sekumpulan orang yang merasa membagi bersama sebuah identitas kelompok tertentu mengartikulasikan kepentingan kelompoknya untuk mempengaruhi kebijakan politik dan arah perubahan sosial.[4] Ia muncul dalam konteks adanya pengalaman bersama menghadapi penindasan, eksklusi, dan bentuk-bentuk ketidakadilan lain. Basis pengelompokan sosialnya bisa etnis, agama, gender, kebangsaan bahkan isu seputar difable. Aktivitasnya bukan hanya berupa aktivitas politik praktis, melainkan juga meliputi upaya teoritisasi untuk memberi legitimasi pada apa yang sedang diperjuangkannya. Dasarnya bukan karena selalu ada “persamaan” di tengah perbedaan, melainkan justru karena dalam perbedaan memang tidak perlu dicari persamaan. Singkatnya, politik identitas menuntut pengakuan atas soal-soal yang sebelumnya diingkari: soal perempuan, kulit hitam, masyarkat adat, lesbian, gay, biseksual, transeksual, dan kelompok minoritas kultural/agama. Tuntutannya bukan inklusi ke dalam pangkuan “universalisme” yang didasari asumsi tentang kesamaan atribut-atribut kemanusiaan, bukan pula tuntutan atas sikap hormat meskipun kepada kelompok yang berbeda, melainkan pengakuan dan hormat kepada diri sendiri sebagai yang berbeda (not in spite of but as different) (Sonia Kruks, 2000: 85).
Dalam konteks diskusi tentang hak minoritas, politik idenitas tentu saja adalah upaya untuk mengangkat yang minor meraih signifikansi dan keutamaan sosial vis a vis kelompok yang lebih besar, tanpa harus menjadi bagian dari kelompok mayoritas. Kalau konsep minoritas menyembunyikan kenyataan bahwa yang minor adalah ciptaan sosial dan direpresentasikan oleh politik yang mayor, politik identitas mendorong yang minor, yang tertekan, subultern, berbicara dengan suara-suara mereka sendiri (Spivak, 1996), dan dengan cara itu kelompok-kelompok ini berusaha mendapatkan jaminan kebebasan politik dan meraih pemahaman atas perbedaan yang mereka miliki. Politik identitas tidak berusaha mencari persamaan di dalam perbedaan melainkan meraih rekognisi untuk tetap berbeda. Politik multikulturalisme tidak berhenti hanya menuntut pengakuan dalam bentuk equal respect, melainkan, seperti didedahkan oleh Charles Taylor bahwa, “the furhter demand we are looking at here is that we all recognize the equal value of different cultures; that we not only let them survive, but acknowledge their worth (Taylor, 1994: 64, cetak miring dari Taylor).
Dalam prakteknya, paling tidak di Indonesia, politik identitas yang diartikulasikan oleh satu kelompok seringkali bertabrakan dengan politik identitas kelompok lain. Konkretnya, kelompok Islam tertentu yang mengklaim jadi korban kezaliman Orde Baru, misalnya, akan berhadap-hadapan dengan kelompok-kelompok lain yang menuntut rekognisi atas identitas partikularnya masing-masing. Bukan hanya identitas tapi perbedaan juga dianggap sebagai sesuatu yang statis dan tidak bisa dijembatani (insurmountable). Tapi tidakah jika demikian kita tetap berpusing pada labirin kutukan nasib yang sama? Hampir delapan dekade setelah bahasa Indonesia ditemukan, kita seperti terjerumus kembali ke dalam kutukan menara Babel. Penekanan pada beda membuat kita seperti kehilangan “the unifying tounge” satu sama lain.
Salah satu pertanyaan yang bisa dikemukakan adalah, kalau penekanan multikulturalisme pada upaya mempertahankan perbedaan, resiko apa yang mungkin atau bahkan sudah timbul dari penekanan semacam itu. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kalau perbedaan mengalami representasi yang kebablasan (exagerated representation) seperti yang dapat dilihat dalam ledakan polilitik identarian selama satu dekade belakangan ini. Apakah, misalnya, kasus penganiyaan terus menerus terhadap pengikut Ahmadiyah terjadi karena identitas Ahmadiyah belum direpresentasikan secara memadai ataukah justru karena terjadi representasi kelewat batas dari beberapa kelompok di luarnya yang juga berkepentingan dengan politik identitas?
Posisi Negara
Secara sederhana solusi untuk mengelola perbedaan dapat dibedakan menjadi tiga model, yakni asimilasi, separasi/pemisahan, dan integrasi. Meskipun sering dianggap identik dengan komunitarianisme, tapi multikulturalisme tentu saja tidak harus selalu dihadapi sebagai kontraposisi liberalisme. Berpijak kepada dua bentuk liberalisme yang dijelaskan dalam esai panjang Charles Taylor, “The Politics of Recognition “(Taylor, 1994: 25-98), Michael Walzer (1994: 99-103 ), misalnya, menggolongkan liberalisme menjadi dua: Liberalisme 1 dan Liberalisme 2. Yang pertama memberi penekanan sangat kuat pada hak-hak individu. Dalam konteks peran negara, Liberalisme 1 menyokong posisi netral dalam arti bahwa negara sama sekali tidak boleh memiliki kepentingan atau proyek kultural dan religius atau bentuk-bentuk tujuan kolektif apa pun di luar kebebasan personal, keamanan fisik, kesejahteraan, dan rasa aman individu warga negara. Bentuk liberalisme kedua (Liberalisme 2), yang disukai Taylor, menyokong negara memiliki komitmen pada keberlangsungan hidup dan perkembangan sebuah budaya, etnis, dan agama partikular sejauh hak-hak dasar warga negara yang memiliki komitmen berbeda atau sama sekali tidak memiliki komitmen seperti itu tetap dilindungi. Kebijakan multikulturalisme di Inggris dan Jerman boleh jadi merupakan contoh implementasi dari gagasan Liberalisme 2, dan kita sudah mengetahui bagaimana Perdana Menteri di kedua negara tersebut berbalik mengecam dan mengakhiri politik multikulturalisme.
Rekognisi kultural terhadap kelompok-kelompok minoritas tidak harus dipahami hanya dalam bentuk proyek-proyek politik besar seperti pemberian otonomi politik atau hak-hak istimewa kepada satu teritori politik tertentu, melainkan bisa pula dalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana seperti perayaan hari besar keagamaan, pergantian tahun, pencantuman agama dalam KTP dan sebagainya. Sejak era Abdurrahman Wahid, misalnya, perayaan pergantian kalender qomariah yang digunakan warga Cina-Indonesia, Imlek, sudah secara resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional. Atraksi Barongsay juga sudah bebas dipertunjukan di tempat-tempat umum dan ditonton warga non Cina. Dengan pertimbangan ekonomi, salah satu TV swasta bahkan berinisiatif menyiarkan sebuah program yang secara eksklusif menggunakan bahasa Cina-Mandarin. Di zaman Orde Baru TVRI memiliki acara hiburan Taman Bhinneka Tunggal Ika dan Pelangi Antar-Nusa. Untuk kelompok difabel, TVRI menyediakan layanan bahasa isyarat dalam acara-acara warta berita. Tentu saja dengan mudah kita bisa melihat semua itu sebagai parade diveristas kultural yang hanya melayani kepentingan agenda pemerintah sendiri, tapi walau bagaimana itu adalah praktek nyata dari rekognisi terhadap kelompok-kelompok di luar yang dominan. Bahwa praktek-praktek rekognisi semacam itu dianggap tidak cukup, boleh jadi justru karena pada dasarnya problem politik di Indonesia memang tidak bisa hanya didefinisikan melalui terminologi-terminologi kultural.
Pada sisi yang lain, sambil secara formal tetap mempromosikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, negara pada dasarnya masih saja berusaha meneruskan program-program asimilasi kelompok-kelompok minoritas ke dalam kelompok mayoritas. Orang-orang Cina di kota-kota besar mungkin sudah tidak lagi dipaksa berasimilasi dengan etnis non-Cina, tapi kasus-kasus seperti yang terjadi pada etnis Ta’ (To Wana), Wetutelu, Buda Lombok, dan Orang Sakai, memperlihatkan bahwa asimilasi dianggap sebagai cara terbaik untuk “memajukan” kelompok-kelompok tersebut. Salah satu opsi yang ditawarkan oleh negara dalam penyelesaian kasus jamaah Ahmadiyah, misalnya, adalah masuknya Ahmadiyah ke dalam agama Islam versi MUI dan meninggalkan ajaran Ahmadiyah yang dituding sesat, dan itu artinya asimilasi Ahmadiyah ke dalam Islam mainstream.
Kalau kita mengikuti logika politik multikulturalisme seperti yang direkomendasikan Taylor di atas, itu artinya negara harus aktif bukan hanya melindungi tapi juga mempromosikan dan melestarikan kelompok-kelompok minoritas sebagai bentuk komitmen negara kepada keadilan bagi seluruh warganya. Tapi salah satu problem mendasar dalam pendekatan semacam itu adalah berlangsungnya reifikasi kelompok, dan seolah-olah bangsa bisa digantikan dengan penjumlahan kelompok-kelompok tersebut. Dengan cara itu bukan saja negara mengabaikan kritik bahwa pemberian group-specific rights cenderung melegitimasi penindasan di dalam kelompok, melainkan juga membatasi hak baik pada level individu maupun kumpulan beberapa individu di dalam masing-masing kelompok untuk berubah. Selamanya. Sebab dalam praktiknya, sulit ditentukan kapan komitmen kepada kelompok berakhir dan komitmen pada hak-hak dasar individu bermula. Dalam kasus Ahmadiyah, misalnya, negara bukan hanya wajib melindungi para pengikutnya dari ancaman kekerasan dari luar, tapi juga sering diasumsikan harus bisa memberi jaminan bahwa jamaah Ahmadiyah akan lestari eksistensinya di Indonesia. Padahal bertahan hidup atau tidaknya Ahmadiyah, seperti juga agama-agama lain, seharusnya bukan domain negara melainkan para pemeluknya sendiri. Hal yang sama juga berlaku untuk kelompok-kelompok etnis.
Saya ingin mengulangi posisi perspektif yang pernah saya tulis sebelumnya, yakni bahwa yang perlu dipikirkan ke depan bukan semakin banyak menuntut negara untuk mengurusi kelestarian kelompok mana pun, melainkan lebih kepada upaya-upaya mengembangkan sebuah, katakanlah, kultur politik bersama yang memungkinkan jembatan antar-ragam dan beda itu dibangun melalui keikutsertaan seluruh warga dalam membentuk tatanan politik demokratis. Setelah mengalami ledakan politik identitas di banyak tempat, proposal yang paling masuk akal adalah menempatkan diskursus tentang hak minoritas ke dalam kerangka integrasi. Separasi Pakistan dari India adalah salah satu pelajaran yang baik bahwa persoalan dan kekerasan antar-kelompok tidak lantas selesai setelah batas pemisah didirikan tinggi-tinggi antara kelompok Muslim dan Hindu.
Hans Vermeulan (1997) membedakan dua bentuk integrasi. Yang pertama adalah structural integration, yang mencakup dimensi politik dan ekonomi dan bisa dijelaskan sebagai partisipasi penuh dan imparsial dalam institusi-institusi sebuah masyarakat. Contohnya adalah pengakuan tentang nasionalitas atau hak memilih dalam pemilu. Yang kedua, sociocultural integration, lebih berhubungan dengan pembentukan relasi-relasi sosial dengan masyarakat di sekitarnya dan, sampai taraf tertentu, adaptasi dengan budaya masyarakat setempat. Dalam kalimat lain, ini adalah sebuah pencarian atas keseimbangan yang paling mungkin antara diversitas dan konsensus tentang beberapa nilai utama (core values). Contohnya adalah akses pada institusi-institusi publik, pemukiman dan pendidikan.
Saya selalu tergoda untuk kembali menempatkan Bahasa Indonesia sebagai contoh terbaik ketika jembatan penghubung antar-perbedaan ditemukan dari bahasa kelompok kecil dan relatif tidak mengalami penentangan dari kelompok-kelompok lain. Sementara banyak negara multikultur kesulitan memutuskan bahasa standar yang bisa digunakan dalam sistem pendidikan nasional, misalnya, bahasa Indonesia sudah cukup lama menjadi bahasa standar dalam sistem pendidikan kita. Bahasa Indonesia telah memelihara bangsa Indonesia bahkan ketika sebagian kalangan mengalami fetishme kelompok dan perbedaan.
Saya membayangkan bahwa apa yang bisa dicapai melalui bahasa Indonesia sampai taraf tertentu bisa dicoba pada bidang-bidang kehidupan lain. Daripada hanya mengakui hari-hari besar keagamaan yang menampilkan pemihakan kepada kelompok-kelompok mayoritas, misalnya, dalam kerangka kultur politik bersama di atas kita bisa mendorong perayaan-perayaan yang berbasis pada tradisi kultural lokal, sehingga pesta rakyat Dayak, Batak, dan Papua, misalnya, menjadi bagian dari selebrasi seluruh warga Indonesia seperti kita merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus atau seperti perayaan Imlek. Indonesia adalah negeri dengan jutaan petani di seluruh pelosok negeri, tapi kita tidak punya selebrasi nasional yang menandai kapan biji disemai dan kemakmuran dipanen. Hal-hal sederhana semacam ini bukan hanya penting dalam konteks politik rekognisi kultural tapi juga dalam konteks menciptakan keseimbangan pada tendensi-tendensi imposisi agama sebagai identitas bersama. Daripada dana-dana publik yang diperoleh melalui pajak warga negara digunakan untuk lembaga-lembaga seperti MUI, misalnya, negara bisa mengalihkannya untuk mendorong dan memfasilitasi lahirnya inisiatif-inisiatif warga membangun dialog terbuka tentang isu-isu publik.
Dalam konteks semacam itu, kewajiban negara adalah mengakui keberadaan dan hak hidup setiap kelompok yang berbeda, dan melindungi kelompok-kelompok tersebut dari ancaman kekerasan pihak-pihak di luarnya, tapi negara tidak wajib melindungi keberadaan mereka dari dinamik internalnya yang mendorong perubahan atau dari interaksi dengan pihak lain yang berlangsung secara damai yang dalam jangka panjang bisa saja menimbulkan perubahan mendasar bagi kelompok-kelompok tersebut. Dengan kalimat lain, negara wajib melindungi keselamatan para pengikut Ahmadiyah, etnis Dayak, Jawa, Batak, dst., tapi negara tidak memiliki hak untuk membubabarkan dan tidak perlu pula memiliki komitmen untuk melindungi kelompok tersebut dari kepunahan.
Penutup
Ada sebuah pengalaman menarik yang diceritakan kepada saya oleh sutradara film dokumenter To Mompalivu Bure (Kisah Orang-Orang Pencari Garam) yang diproduksi oleh Yayasan Interseksi tahun 2008 yang lalu. Dimaksudkan sebagai tahapan awal kami belajar ethnografi visual, pengambilan gambar untuk film dokumenter ini dilakukan langsung di kawasan hutan cagar alam Morowali, Sulawesi Tengah selama 30 hari siang dan malam. Ketika tim pembuat film (kami memberinya julukan megah sebagai “peneliti audio-visual” waktu itu) pertama kali memasuki wilayah cagar alam Morowali, di kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, tempat mukim salah satu komunitas suku Ta’, yang juga dikenal dengan sebutan To Wana, setelah berjalan kaki hampir setengah hari, mereka tiba di tepian sungai Morowali.
Meledak oleh kegembiraan khas para pelancong dari kota, pada hamparan pasir di tepi sungai itu, sang sutradara langsung merundukkan tubuhnya, berlutut dan lantas menempelkan batok keningnya, bersujud takjim. Dalam bayangannya, itu adalah salah satu karunia terbesar dalam hidupnya karena ia bisa memasuki sebuah kawasan yang masih murni. Tapi sejurus kemudian dia merasa kecewa karena ketika ia mengangkat kepalanya, persis di dahinya menempel bungkus roko Malboro yang sudah lusuh. Ia kemudian mendeskripsikan pengalaman perjumpaannya dengan komunitas To Wana tadi dalam ungkapan “seperti masuk gedung bioskop ketika filmnya sudah setengah main”. [5]
Tahun 2009 yang lalu, kebetulan saya sempat pergi ke beberapa desa di wilayah kabupaten Lombok Utara (hasil pemisahan dari Lombok Barat), mendatangi sebagian dari lokasi mukim para penganut agama Wetutelu di sana.[6] Tapi kedatangan saya sama sekali bukan untuk mencari data spesifik tentang Wetutelu, melainkan mencoba meletakkan persoalan tentang agama yang oleh sebagian warga Lombok disebut “Buda Keling” di lokasi yang hampir sama.[7] Saya mendatangi beberapa lokasi berurut terbalik dari lokasi paling jauh di Lolohan, ke Bayan, dan terakhir ke Segenter. Karena keterbatas waktu saya tidak sempat datang ke Wetsmokan, yang lokasinya relatif lebih sulit dijangkau. Di desa Lolohan saya hanya menemukan sebuah situs pemukiman Wetutelu yang cukup mencolok di tengah perkampungan penduduk, karena situs tersebut disekelilingnya dipagari bambu cukup rapat dan tinggi. Hanya satu orang warga komunitas Wetutelu, seorang perempuan tua, yang bisa kami jumpai di tempat ini siang itu. Konon, tempat tersebut memang hanya dipakai sebagai tempat ritual saja, sedangkan orang Wetutelunya sendiri bermukim di tempat lain. Di Bayan kami hanya menemukan mesjid raya Wetutelu dan beberapa kuburan tua.
Di Segenter kami masuk ke dalam sebuah kampung orang-orang Wetutelu yang sudah dikelola sedemikian rupa sehingga lebih mirip sebuah kompleks perumahan. Batas pemisah bukan lagi kerapatan pagar bambu, tapi tembok benteng yang tampaknya memang sengaja dibangun oleh pemerintah setempat. Singkatnya, ini adalah sebuah proses yang berusaha membekukan sejarah menjadi suvenir penekuk kenangan, cagar budaya untuk pariwisata. Begitu memasuki pintu gerbang kompleks, seorang lelaki muda menyambut kami dengan ramah. Tampak sekali ia sudah sangat terlatih melayani pertanyaan para pengunjung yang biasa datang ke sana. Tanpa ditanya pun, ia dengan fasih menjelaskan makna kata “wetutelu” kepada kami. Menurutnya, “wetutelu” bukanlah agama tapi lebih merupakan sebuah gagasan filosofis tentang tiga cara segala makhluk hidup di lahir ke dunia.
Beberapa rumah warga sudah berubah bentuk menjadi bangunan-bangunan permanen berbahan tembok bata merah seperti di kampung-kampung lain. Cukup banyak pula warga yang berangkat menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri dengan segala problematiknya. Para TKW inilah, bolehjadi, yang bisa menjadi salah satu penjelas munculnya bangunan-bangunan rumah tembok permanen tadi. Selebihnya adalah himpunan bangunan rumah beratap susunan jerami, berdinding bambu seperti yang lihat di Lolohan dan Bayan. Setelah minta izin untuk bisa masuk ke dalam salah satu rumah warga yang masih bertahan dalam bentuk tradisionalnya, saya juga mengalami momen “film yang setengah main” itu. Di dalam ruang yang rapat tertutup itu, selain ada perapian dan lumbung (yang sekaligus merupakan kamar tidur pengantin), juga ada sebuah ranjang tidur modern.
Dua cerita di atas mungkin merupakan cara panjang dan berliku yang saya pakai untuk mengakhiri diskusi ini. Kita sering berangkat dengan sejumlah pengandaian tertentu yang cenderung melahirkan konstruksi imajiner di kepala kita tentang sebuah lokasi spasial dan setting kultural tertentu. Konstruksi pikiran kita tentang realitas mendahului bahkan kadang melampaui realitasnya itu sendiri, menjadi semacam peta dengan apa kita bukan hanya ingin mencocokkan realitas dengan informasi dalam peta tapi bahwa realitas tersebut harus sesuai dengan petanya, dan bukan sebaliknya. Untuk analogi tersebut saya tentu saja berhutang kepada Baudrillard, tapi ratusan tahun setelah Amerigo Vespucci, sebagian cukup besar dari kita memang cenderung masih mengandaikan “purity” baik natural dan terutama kultural benar- benar ada, dan bukan hasil konstruksi sebuah sistem ilmu pengetahuan modern belaka. Ketika realitas yang ada berbeda bahkan bertolak belakang dengan bayangan tersebut, kawasan atau kelompok itu lantas dianggap sudah tidak “murni” atau tidak “asli” lagi atau, dalam bahasa yang tipikal palugosentris, tidak “perawan” lagi.
Dalam konteks sang sutradara di atas, kata “murni” mungkin merujuk pada konotasi tentang sebuah kawasan yang belum (banyak) terjamah oleh orang-orang dari luar kawasan tersebut, dan bungkus rokok Malboro adalah ikon untuk sebuah proses globalisasi ekonomi dan segala bentuk derivasi sosio kulturalnya. Tapi ungkapan “murni”, termasuk dalam konteks diskusi tentang kelompok-kelompok etnis, secara konseptual juga paling sering dikontraskan dengan dunia modern (yang “tidak murni” lagi). Dikotomi “murni” vs “tidak murni” muncul paralel dengan dualisme lain seperti “tradisional vs modern”, “tertinggal vs maju” dst, “Barat vs Timur”, dst.
Pembedaan (distinction) antara “murni” dan “tidak murni” bersifat hierarkis dan superlatif, yang satu diasumsikan lebih unggul dari yang lain dalam dua pola yang berpunggungan: sementara bagi sebagaian orang bukan yang “murni” yang superior melainkan justru yang “tidak murni” itulah yang di dalamnya mengandaikan sebuah tatanan yang sudah jauh berubah mengalami kemajuan menjadi modern, sebagian yang lain melihat yang “murni” itulah yang harus dicari dan karenanya harus diselamatkan. Bayangan kita tentang kelompok-kelompok sukubangsa di Indonesia, dengan demikian, seringkali merupakan bentuk ekspresi lain dari obsesi kita untuk menemukan keping-keping masa silam yang kita bayangkan masih asli. Padahal di mana pun, kita selalu hanya akan menemukan “film yang sudah setengah main”.
Di lain pihak, fenomen orang Wetutelu yang menjadi TKW di luar negeri, atau tentang ranjang modern di dalam rumah tradisional warga Segenter, misalnya, memperlihatkan dengan jelas bahwa di tengah upaya sebagian dari kita untuk memelihara dan mempertahankan yang beda, yang asli, ada hal yang menyatukan segala beda itu secara konkret: problem kepapaan ekonomi. Kaum perempuan wetutelu dengan gadis-gadis Cianjur, Banyumas, atau Wonogiri secara bersama-sama membagi pengalaman yang sama sebagai kelompok warga yang hidup di bawah garis kemiskinan dan berusaha melampaui garis itu dengan cara keluar meninggalkan batas kulturalnya masing-masing.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa baik diskusi tentang hak minoritas maupun tentang problematik multikulturalisme tidak bisa diletakkan ke dalam bingkai-bingkai nostalgia tentang keaslian, homogenitas, relasi sosial yang niscaya stabil, dan konsepsi-konsepsi identitas yang uniter. Diskusi tentang Hak minoritas dan multkulturalisme, dengan demikian, perlu memperhitungkan bahwa baik kelompok maupun perbedaan bukanlah sebuah entitas yang solid tanpa rongga untuk berubah. Salah satu jebakan politik identitas, paling tidak dalam prakteknya di Indonesia, adalah sementara secara diskursif ia cukup meyakinkan kita tentang keutamaan perjuangan untuk melawan ketimpangan representasi, ia tidak cukup meyakinkan bisa memberi solusi ketika yang terjadi adalah eksperimen-eksperimen politik untuk menghidupkan suvenir sejarah menjadi komoditas politik dalam pasar suara politik demokrasi lokal, yang justru membekukan kembali identitas menjadi konkret seperti beton—hal yang dari awal justru hendak dilawan melalui gerakan-gerakan politik identitas.
Seperti di banyak tempat lain di dunia, problematik multikulturalisme di Indonesia adalah tari tolak antara commonality dan difference. Di era Suharto kita pernah mengalami kondisi ketika partikularitas dan perbedaan harus selalu ditundukkan di bawah keharusan mengutamakan kesatuan dengan commonality yang secara sepihak ditentukan oleh kekuasaan negara. Setelah Suharto mundur kita persis sedang mengalami kondisi ketika partikularitas dan perbedaan menggeser dan menegasikan upaya-upaya pencarian commonality, sehingga beberapa kalangan yang cenderung pesimistik melihat Indonesia tengah berada di tubir disintegrasi. Bagi kalangan ini, bahwa Indonesia masih bisa relatif utuh sebagai bangsa dan negara teritorial adalah perkara nasib baik belaka. Saya termasuk orang yang masih percaya bahwa kita masih punya kekuatan untuk menghindari bahaya tersebut. Satu dekade lebih kita sudah bisa menghindari Balkanisasi pasti bukan semata perkara nasib (sosiologis) belaka, melainkan karena banyak kekuatan yang bekerja mempertahankan bayangan tentang Indonesiaan yang lebih baik.
Jakarta, 16 Februari 2011
Makalah untuk diskusi Hak Minoritas dan Peran Negara: Menguji Argumen Multikulturalisme di Komunitas Salihara, Jakarta, tgl. 17 Februari 2011.
Endnotes
* Makalah untuk diskusi Hak Minoritas dan Peran Negara: Menguji Argumen Multikulturalisme di Komunitas Salihara, Jakarta, tgl. 17 Februari 2011.
[1] Kutipan diambil dari James Kirkup, "Muslims must embrace our British values, David Cameron says", The Telegraph (http:// http://www.telegraph.co.uk/news/newstopics/politics/david-cameron/8305346/Muslims-must-embrace-our-British-values-David-Cameron-says.html) (diakses tgl. 6 februari 2011, jam 23.43).
[2] Lihat, Lambert Dolphin, “The Tower Of Babel and the Confusion Of Languages” (http://ldolphin.org/babel.html) (diakses tgl. 12 Februari 2011, jam, 23.43 WIB).
[3] Salah satu sisi gelap perkembangan politik sejak tahun 1998 tentu saja adalah rentetan panjang kekerasan dalam berbagai konflik sosial: Antara tahun 1997 dan 2002, paling tidak sekitar 10.000 orang terbunuh dalam kekerasan antar etnis. Tahun 1996-1997 dan tahun 2001, dua gelombang kekerasan bertumbukan antara Dayak dan Madura di di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, dan memakan korban sekurang-kurangnya 1000 orang warga, dan mengakibatkan ratusan ribu orang Madura mengalami kehilangan tempat tinggal karena diusir dari Kalimantan. Di Maluku, sekitar 5000 orang terbunuh dalam perang antara Islam dan Kristen sejak tahun 1999 - 2003. Di Timor Timur, kuranglebih 1000 orang terbunuh dan 200.000 orang kehilangan tempat tinggal dalam kekerasan pasca referendum bulan Agustus 1999 (Bertrand, 20004: 2). Di Papua, korban-korban juga terus berjatuhan dalam konflik antara gerakan warga dengan militer dan Brimob kepolisian.
[4] Stuart Hall (1996:4) membagi cara pandang tentang identitas menjadi dua kelompok besar. Pertama, pandangan esensialis: mengsumsikan sebuah “diri yang sebenarnya” ( a true self), yang penekanannya diletakkan pada identitas sebagai sebuah penemuan kembali, dan bukan sebagai produksi kultural. Ini menghasilkan pandangan tentang identitas sebagai sesuatu yang solid dan keras, dan yang terbatas pada sesuatu yang diakui atau ditolak oleh institusi-institusi dominan dalam masyarakat. Kedua, pandangan produksi kultural: identitas kultural dipahami sebagai sesuatu yang semakin mengalami fragmentasi dan terpecah-pecah. Identitas tidak pernah tunggal melainkan bersifat jamak pada konteks wacana, praktek dan posisi-posisi yang berbeda, bersilangtindih dan bahkan antagonistik satu dengan lainnya. Identitas tidak pernah tetap dan selesai, melainkan selalu dikonstruksi melalui sumber-sumber bahasa dan budaya yang beragam.
[5] Periksa serial publikasi tentang Hak Minoritas yang diterbitkan oleh Yayasan Interseksi dari tahun 2005-2009, yang terdiri dari tiga volume buku masing-masing berjudul Hak Minoritas. Dilema Multikulturalisme di Indonesia (2005 & 2007); Hak Minoritas. Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa (2007), dan; Hak Minortas. Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme (2009).
[6 ]Lihat, Hikmat Budiman, “Batas-batas Multikulturalisme. Sebuah Postskripsi untuk Penelitian Hak-hak Minoritas di Indonesia”. Dalam Hak Minoritas. Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2009, h. 262.
[7] Pernyataan ini bisa ditemukan dalam narasi film dokumenter To Mompalivu Bure (Kisah Orang- orang Pencari Garam), Jakarta: The Interseksi Foundation, 2008.
[8] Kajian menarik tentang pemeluk Wetutelu dalam konteks diskusi tentang hak minoritas dan multikulturalisme ditulis oleh Heru Prasetia, “Masyarakat Adat Wet Semokan: Di Tengah Ketegangan Ujaran dan Ajaran”, dalam Hikmat Budiman (ed), Hak Minoritas. Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2005, h. 107-67.
[9] Studi awal tentang pemeluk Buda Lombok , lihat, antara lain, Radjimo Sastro Wijono, “ Rumah Adat dan Minoritisasi Masyarakat Buda di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat”, dalam Hikmat Budiman (ed), Hak Minoritas. Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme. Jakarta: 2009, h. 129-87.
Rujukan
Bertrand, Jacques. Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
Brubaker, Rogers. “Ethnicity Without Groups”. European Jurnal of Sociology 43, No. 3(2002), h. 164.
Budiman, Hikmat (ed). Hak Minoritas. Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2009.
Noorsalim, Mashudi, M. Nurkhoiron, et al. Hak Minoritas. Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2007.
Errington, J. Joseph, Shifting Languages: Interaction and Identity in Javanese Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
Fishman, Joshua A. “The Indonesian Language Planning Experience: What Does It Teach Us?” Dalam Spectrum: Essays Presented to Sutan Takdir Alisjahbana on His Seventieth Birthday. Disunting oleh S. Udin. Jakarta: Dian Rakyat, 1978, h. 333–39.
Habermas, Jürgen. “Struggles for Recognition in the Democratic Constitutional State”. Diterjemahkan oleh Shierry Weber Nicholsen. Dalam Multiculturalism. Examining the Politics of Recognition. Disunting oleh Amy Gutmann. New Jersey: Princeton University Press, 1994, h. 107-48.
Kymlicka, Will. Politics in the Vernacular. Nationalism, Multiculturalism, and Citizenship. New York: Oxford University Press, 2001.
Philips, Anne. Multiculturalism Without Culture. Princeton dan New York: Princeton Univerity Press, 2007.
Taylor, Charles. “The Politics of Recognition”. Dalam Multiculturalism. Examining the Politics of Recognition. Disunting oleh Amy Gutmann. New Jersey: Princeton University Press, 1994, h. 25-73.
Vermeulen, Hans. Immigrant Policy for A Multicultural Society. A Comparative Study of Integration, Language and Religious Policy in Five European countries. Brussels: Migration Policy Group, 1997.
Walzer, Michael. “Comment”. Dalam Multiculturalism. Examining the Politics of Recognition. Disunting oleh Amy Gutmann. New Jersey, Princeton University Press, 1994, h. 99-103.