Cogito Orgasmus, Coito Ergo Sum. Dari Mimpi Descartes sampai Para Pemburu Bidadari Surga

Esai Plesetan tentang Mimpi dan Descartes. Dimuat majalah Matra, Desember 1996

Share

“Blog

Apa yang berharga dari sebuah mimpi? Martin Luther King Jr. disanjung orang antara lain juga karena ia bisa mengukuhkan sebuah mimpi menjadi itikad yang begitu keras, dan gelombang pengikut yang bergelora. Ia bermimpi tentang tumbuhnya Amerika Serikat yang lebih toleran, yang tidak memperlakukan warna kulit sebagai muasal sembarang jenis dosa. Walaupun King wafat sambil mendekap mimpinya yang berantakan,--karena AS sampai kini tetap menjadi salah satu negeri rasialis terbesar--toh penghormatan orang tidak lantas berkurang karenanya. Meskipun dalam pidatonya ia mengatakan bahwa “semalam saya bermimpi”, tapi mimpi King di situ kemungkinan bukan hanya apa yang sering disebut “kembang tidur”, melainkan juga sebuah kiasan untuk satu tekad atau harapan tentang masa depan yang letaknya tidak musti selalu jauh. Kita, di sini, sampai ini hari, biasa menyebut mimpi-mimpi yang langsung terkait atau tidak--artinya sengaja dikait-kaitkan--dengan sebuah realitas di luar tidur itu sebagai cita-cita. Tapi ia juga bisa berarti wangsit atau ilham.


Konon filsafat modern adalah juga sebuah sistem pemikiran yang dimulai dari mimpi. Tentang yang terakhir ini, mungkin sudah banyak orang yang tahu, bahwa René Descartes sendiri, orang yang sampai hari ini kita sambut sebagai bapak filsafat modern itu, selain sebagai pemikir besar juga dikenal luas sebagai si penidur yang tangguh. Cerita kita bisa dimulai dari tokoh yang satu ini:




Musim dingin di Jerman. Salju turun menebal di luar jendela dan langit luas. Meski dingin menikam sampai di tulang sungsum, tapi alam masih menyisakan sedikit sisa keindahan; di depan pucuk bukit-bukit yang serba putih, di seberang nyala pendiangan yang menghangatkan setiap rumah. Inspirasi mengalir deras pada setiap kepala. Tapi Descartes bukanlah pecinta salju atau barisan pohon-pohon yang kaku seperti hantu. Ia tidak dilahirkan untuk jadi orang yang cepat kagum melainkan ragu. Baginya, berdiang di depan stove jauh lebih masuk akal daripada sebaris puisi yang mungkin lahir pada hari yang mengkerut beku.

Hari itu tanggal 10 November 1619. Perang masih saja terus berkecamuk. Descartes muda tercatat sebagai anggota pasukan sukarela Bavaria setelah ia tidak lagi kerasan di Netherland. Ia tak mengerti benar perang untuk dan melawan siapa. Hidup baginya adalah rentetan panjang pergumulan terus dan terus: dunia dianggapnya sebagai kitab dalam apa segala hal memang tersedia kalau kita tidak kehilangan gairah memahaminya. Hari itu persis satu tahun setelah pertemuannya dengan matematikus terbesar Belanda, Isaac Beeckman--yang demikian mengesankannya. Seperti biasa, ia lelap untuk tidak terjaga sebelum matahari tepat di ubun-ubun. Tapi kali ini ia gelisah oleh mimpi-mimpi ganjil. Padahal biasanya ia hanya bermimpi bisa memahami semesta. Menurut pengakuannya sendiri, hari itu ia bermimpi tiga kali berturut-turut dan bersambungan satu dengan lainnya.

Yang pertama ia mimpi dihantam angin putingbeliung hingga terhempas ke luar dari sebuah gereja, dan persis jatuh di tengah-tengah sekumpulan orang yang, anehnya, sama sekali bergeming oleh badai tersebut. Pada mimpinya yang kedua ia melihat gelegar halilintar menyambarkan lidah apinya di ruangan tempat ia berada. Meskipun ia sempat terbangun, tapi kantuk terus menelikungnya di tempat tidur sampai ia bermimpi untuk ketiga kalinya. Dalam mimpinya yang ketiga ini ia, seperti dituturkan kembali oleh Jane Muir dalam Of Man and Numbers . The Story of the Great Mathematicians (1961), mendapatkan dirinya tengah menggamit setumpukan kertas yang salah satunya memuat sebuah puisi yang bermula dengan kalimat "quad vitae sektabor iter?", hidup apa yang akan kau ikuti?

Beberapa waktu kemudian, ketika ia mulai menulis risalah dan renungan-renungannya yang demikian berbinar itu, seolah melengkapi tafsir-tafsir terdahulu, dengan bersemangat Descartes menguraikan makna mimpi-mimpinya tadi. Kita yang, sedikit banyak, cukup mengenal Descartes, akan segera menjadi tahu betapa luwesnya ia sebagai pemimpi dalam dua arti sekaligus. Dan kita tidak perlu terlalu yakin adakah ia benar-benar bermimpi seperti yang diceritakannya itu atau tidak. Bisa saja itu hanya upayanya membangun cerita di balik pemikiran-pemikirannya sendiri. Lagi pula pada setiap orang besar niscaya ada upaya untuk memasukkan dirinya menjadi bagian dari sebuah mitos yang agung, tidak peduli ia seorang besar se-Descartes--yang ambisinya justru untuk melucuti mitos dengan mengukuhkan rasio-- sekalipun:

Terpaan badai, kata Descartes tentang mimpinya tadi, berarti ada satu kekuatan mahadahsyat yang jauh melampaui kesanggupannya sendiri untuk melawan, sehingga satu-satunya jalan keluar adalah secepat mungkin harus memutuskan pilihan tentang jalan hidup yang akan ditempuhnya; sambaran halilintar, demikian Descartes, adalah peringatan (teramat keras) baginya agar segera menentukan pilihan tadi sebelum segalanya terlambat, sebelum segalanya porakporanda; sedangkan mimpinya yang ketiga ia tafsirkan sebagai semacam isyarat bahwa ia musti memburu ilmu pengetahuan (walaupun sampai ke negeri Cina) demi kebenaran. Kita ingat, jauh sebelum Descartes kertas telah dinobatkan sebagai simbol (ilmu) pengetahuan. Maka pencarian kebenaran melalui ilmu mutlak harus menjadi karier hidup bagi Descartes. Ilmu adalah cahaya, kata sebuah kearifan lama dari Timur Tengah. Artinya, tanpa ilmu dunia benar-benar gelap gulita.

Kelak di kemudian hari dalam risalah filosofis dan otobiografis yang disiarkannya pada 1637, Discours de la Méthode Pour Bien Conduire Sa Raison, et Chercher La Vérité Dans Les Sciences (Diskursus tentang Metode untuk Menalar dengan Baik, dan Mencari Kebenaran dalam Ilmu-ilmu Pengetahuan), Descartes, semua orang tahu, seolah menjawab pertanyaan "quad vitae sektabor iter" dalam mimpinya tadi dengan sebuah silogisme yang sangat penuh tenaga, yang aslinya ditulis dalam bahasa Prancis, “je pense, donc je suis”, tapi yang kemudian lebih terkenal dalam versi bahasa Latinnya, "cogito ergo sum", aku berpikir karenanya aku ada, I think, therefore I am”. Proposisi-proposisi dari premisnya adalah bahwa dia (Descartes, sum, I am) berpikir dan bahwa apa pun yang berpikir pasti ada (eksis). Dengan cara itu ia menolak pengetahuan yang bersumber dari otoritas di luar akal pikiran. Pernyataan ini sanggup bertahan bahkan terhadap apa yang disebut keraguan metodik Descartes, karena menurutnya, bahkan kalau pun ada iblis yang sangat luar biasa kekuatannya mencoba mengecohnya untuk berpikir bahwa ia ada padahal tidak, dia harus telah ada lebih dahulu agar iblis itu bisa mengecohnya.

Saya akan memulai narasi plesetan tentang Descartes dari sini. Descartes secara tegas membedakan antara subjek (kepala, cogito, pikiran) dan dunia (hidup, sum, être, ada). Ia mengembangkan sebuah dualisme metafisik yang secara radikal membedakan pikiran, yang esensinya adalah berpikir, dan benda-benda dalam lingkungan tiga dimensi. Antara kepala dan dunia dihubungkan oleh ilmu pengetahuan melalui aktivitas berpikir. Kalau berpikir dipahami sebagai proses produksi pengetahuan di dalam otak, ia menjadi penjelas dari eksistensi objek-objek yang dipikirkan itu di dalam pikiran si subjek. Dengan ungkapan lain, subjek memproduksi pengetahuan tentang objek dengan cara memikirkannya dan sekaligus dengan berpikir itu ia mengembangkan pengetahuan tentang objek tersebut. Subjek yang berpikir (res cogitans) melihat objek yang dipikirkan (res extensa, yang di luar) dari sebuah jarak (detachment) agar diperoleh hasil pengamatan yang objektif termasuk tentang dirinya sendiri: Jika aku tidak berpikir maka aku tidak ada. Aku berpikir dan semua yang berpikir pasti ada. Sekali lagi perlu diingat, bahwa bahkan untuk mengelabui kita agar berpikir bahwa kita ada padahal tidak, maka kita harus lebih dahulu ada untuk bisa dikelabui. Dalam praktiknya sum atau suis/être (di dalam Je suis) atau being atau ada itu bukan hanya menjadi kriteria yang meneguhkan eksistensi subjek berpikir tapi juga eksistensi dari objek yang dipikirkan. Aku memikirkan (tentang) sesuatu maka sesuatu itu ada.

Kita bisa menarik analogi yang lebih sederhana. Benda-benda luar angkasa tidak diketahui eksistensinya sebelum orang seperti Galiloe Galilei mengaplikasikan teropong yang bisa memperpanjang jangkauan mata ribuan kali lipat menembus ruang-ruang yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Analogi lain adalah tentang mikroorganisme seperti virus, bakteri atau jasad renik lain yang baru bisa dilihat dan diketahui setelah manusia berhasil membuat mikroskop yang bisa memperbesar objek sampai ribuan kali lipat dari ukuran fisik aslinya. Teropong pada Galilei dan mikroskop pada ilmuwan di laboratorium adalah media yang menghubungkan objek di satu pihak dengan (pikiran) subjek di pihak lain. Dalam tradisi ilmu fisika, misalnya, adalah sebuah konstatasi bahwa sebuah objek bisa terlihat hanya jika objek tersebut bisa memantulkan cahaya yang mengenainya. Perhatikan kesejajaran antara cahaya yang menerangi objek sehingga menjadi kasat-mata, dan ilmu yang menerangi objek sehingga kasat-pikir. Sekali lagi ilmu adalah cahaya, tanpa ilmu semuanya menjadi tidak ada. Luar biasa gelap. Dengan cara yang sama kita bisa merumuskan sendiri dalil untuk zaman ini : "informasi adalah cahaya". Yang kasatmata kasatpikir, itulah yang reasonable, maka itu pulalah yang bisa dinalar secara benar, dan hanya itulah yang ada .

Memahaminya dalam kerangka bahasa Indonesia, saya merasa ada satu hal yang belum sepenuhnya terungkap dalam apa yang sering disebut keraguan metodis Cartesian ini, yakni ketika Descartes, paling tidak dalam versi yang dituturkan oleh Muir di atas, terkesan merancukan atau, mungkin lebih tepat, mengaduk kata "berpikir" (cogito) dan "meragu" (dubito) sehingga seolah satu sama lain bisa dipertukarkan. Yang disebut sebagai keraguan metodis dalam filsafat Cartesian adalah sebuah cara mencari kepastian dengan secara sistematis, meskipun secara tentatif, meragukan apa pun. Namun jika demikian, meskipun apa yang dimaksud berpikir oleh Descartes nyaris pasti berarti meragukan, secara sosiologis dapat diduga bahwa kedua kata ini akan memiliki akibat sosial yang berbeda jika disasarkan pada persoalan kepercayaan religius: "Aku berpikir (tentang) Tuhan maka Tuhan ada", jelas berbeda dengan "Aku meragukan Tuhan maka Tuhan Ada".

Tapi sangat mungkin bahwa ini sebenarnya karena saya memaksa memahami itu dalam kerangka bahasa Indonesia. Dalam contoh di atas, saya juga melakukan lompatan kategoris dari eksistensi subjek yang berpikir, dalam pengertian berpikir sebagai kriteria eksistensi si subjek, ke eksistensi objek yang dipikirkan, subjek memikirkan objek-pikir sehingga objek itu ada. Maka paling tidak bagi saya, sebenarnya Descartes telah bertindak sangat cerdas dengan (sengaja?) merancukan kedua kata tersebut. Mungkin ini yang telah menyelamatkannya dari hujatan para penghayat iman dan padri-padri agama di gereja. Sebab satu hal yang menakutkan bagi Descartes, seperti umumnya orang yang tumbuh dari lingkungan religi yang taat seperti dirinya, adalah kemarahan para pembela keyakinan agama. Ia tidak mau mengulang tragedi Galilei: mengundang maut demi keyakinan yang baru; kepercayaan pada rasio berhadapan dengan gereja dan kerajaan sebagai manifestasi kerajaan ilahi di bumi--karena itu selalu merasa paling benar. Pada 1633, Descartes membatalkan penerbitan Risalah tentang Dunia, karya yang sudah ia tulis empat tahun setelah Galileo dijatuhi hukuman oleh Gereja Katolik.

Belakangan saya tahu bahwa Descartes memiliki penjelasan berbeda. Baginya, kita tidak bisa meragukan eksistensi kita bahkan ketika sedang meragukan. Penyair Prancis, Antoine Léonard Thomas, membantu memperjelas maksudnya itu dengan memperluas ungkapan Descartes menjadi dubito, ergo cogito, ergo sum. Je doute, donc je pense, donc je suis, I doubt therefore I think therefore I am. Saya meragu, maka saya berpikir, maka saya ada.

Di samping itu, sejauh kita bisa percaya pada tulisan Jane Muir di atas, kita bisa melihat ada yang tak lengkap dari upaya Descartes dalam mengurai makna dari mimpi-mimpinya tadi. Yang tidak dijelaskan oleh Descartes adalah soal ia yang terhempas ke luar dari gereja, dan momen setelah ia di luar gereja setelahnya. Tampaknya ia sadar betul bahwa kekuasaan gereja di zamannya memang mencengkram segala hal. Tangan-tangannya begitu kukuh mengendalikan isi kepala setiap orang, sampai tak tersisa peluang bahkan hanya untuk satu mimpi yang berpotensi membangkang: keluar dari gereja jelas bisa ditafsirkan bahwa Descartes ingin mengajak orang banyak untuk meninggalkan sebuah keyakinan yang telah lama tegak tanpa bantahan. Perhatikan pula penekananya atas orang-orang yang berada di luar gereja dan bergeming oleh hantaman badai. Tidakah dengan cara itu ia sedang mengatakan bahwa jika ingin selamat maka tinggalkanlah gereja? Masa depan hidup tidak bisa diperoleh dari ajaran-ajaran gereja melainkan di luar itu. Ini adalah salah satu tabik perpisahan yang ingin dilambaikan Descartes: membuang akar-akar kepercayaan (agama) lama yang membelit sampai kepala, dan membebaskan kepala berpikir secara rasional untuk membimbing kehidupan. Altar harus segera digusur oleh nalar yang benar.

Lahir pada 31 Maret 1596 di sebuah perdesaan Prancis La Haye en Tourine, yang sekarang diberi nama Descartes, Indre-et-Loire untuk menghormatinya, Descartes berasal dari sebuah keluarga yang sangat terpelajar. Kondisi kesehatannya tidak terlampau baik bahkan cenderung ringkih. Pada 1607 orangtuanya memasukannya ke sekolah Jesuit Royal Henry-Le-Grand di La Flèche. Di sinilah ia mulai diperkenalkan pada matematika dan fisika, termasuk karya Galileo Galilei. Pada malam tanggal 10-11 November 1619, ketika ditempatkan di Neuburg an der Donau, ia mengalami mimpi-mimpi yang sudah saya ceritakan di atas, yang dipercaya sebagai tiga visi yang mengarahkannya dalam membuat formulasi geometri analitis dan gagasan untuk menerapkan metode matematika pada filsafat, dan kutipan “je pense donc je suis” yang terkenal itu.

Apa yang sampai kini masih tersisa dari dongeng Descartes di atas adalah sebuah ajaran, yang sekian lama dianggap sebagai kebenaran tak terbantah: bahwa hidup yang benar adalah yang didasarkan pada kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Kita kini makin bisa mengerti apa yang dimaksud oleh Descartes dengan (ilmu) pengetahuan. Melalui pengetahuan jenis ini ia menawarkan pada kita sebuah posisi agung untuk menjadi le maitres et possesseurs de la nature, pangeran yang gilanggemilang dengan cahaya ilmu dan menjadi penguasa dunia. Mari kita tengok sebentar apa yang ditulisnya dalam Discours de la Méthode, Sixième Partie, (1988: 634-635):

Car elles [les notions générales touchant la physique que j’ai acquises] m’ont fait voir qu’il est possible de parvenir à des connaissances qui soient fort utiles à la vie, et qu’au lieu de cette philosophie spéculative, qu’on enseigne dans les écoles, on en peut trouver une pratique, par laquelle, connaissant la force et les actions du feu, de l’eau, de l’air, des astres, des cieux et de tous les autres corps qui nous environnent, aussi distinctement que nous connaissons les divers métiers de nos artisans, nous les pourrions employer en même façon à tous les usages auxquels ils sont propres, et ainsi nous rendre comme maîtres et possesseurs de la nature.



Sejauh yang dimungkinkan oleh kapasitas semantik saya yang sangat terbatas dalam memahami kutipan pendek di atas, Descartes mengatakan bahwa karena prinsip-prinsip dasar dalam fisika yang telah dipelajarinya, ia melihat kemungkinan untuk mendapatkan pengetahuan yang akan sangat berguna dalam kehidupan, dan kemungkinan penemuan sebuah filsafat praktis yang bisa dipakai untuk menggantikan filsafat spekulatif yang diajarkan di sekolah-sekolah. Mengambil perumpamaan tentang bagaimana kita mengetahui distingsi pada karya para seniman, Descartes merasa yakin bahwa dengan filsafat tersebut kita juga bisa tahu kekuatan dan gerakan-gerakan api, air, udara, bintang-bintang, surga(-surga) dan segala macam hal lain dalam dunia kita ini. Descartes percaya bahwa, seperti yang dilakukan para seniman dengan pengetahuan mereka, pengetahuan ini dapat dimanfaatkan untuk semua kegunaan dan lantas menjadikan diri kita sendiri pemilik dan penguasa alam.

Descartes telah menemukan sebuah metode baru yang sangat mengagumkan untuk memeriksa dan mencerna dan memerikan kebenaran. Sebuah metode yang sama sekali berbeda dengan apa yang sudah digunakan orang-orang selumnya. Ia merumuskan versi modern pertama tentang dualisme tubuh dan pikiran, dan berusaha mempromosikan pengembangan sebuah ilmu pengetahuan baru yang didasarkan pada observasi dan eksperimen. Descartes menggunakan metode matematika pada setiap ranah kehidupan. Dengan menggunakan logika, selangkah demi selangkah, semua rahasia alam bisa dibuka tabirnya.

Menguasai pengetahuan berarti memiliki kontrol, termasuk kontrol atas alam semesta. Ini tentu saja akan mengingatkan kita pada ungkapan Francis Bacon bahwa pengetahuan adalah kuasa. Terdengar sederhana untuk zaman kita saat ini. Tapi Muir mengajak kita untuk memahami bahwa empat abad yang lalu gagasan bahwa kita, manusia yang daif ini, bisa mengendalikan alam hampir mustahil bahkan dianggap menentang kuasa Tuhan. Seperti sudah saya ungkapkan di atas, boleh jadi inilah yang dimaksud oleh cerita Descartes tentang mimpi pertamanya di atas, yakni bahwa satu-satunya jalan agar selamat dari terpaan badai adalah dengan meninggalkan gereja. Mimpi Descartes ini adalah bahasa subtil untuk menyampaikan perpisahan kepada altar yang suci yang cenderung mengunci pikiran dengan doktrin dan dogma, dan mengajak menempuh jalan nalar yang lebih jembar. Discourse de la méthode sendiri dimaksudkan Descartes untuk itu: pour bien conduire sa raison et chercher la vérité dans les sciences, untuk bernalar dengan baik dan mencari kebenaran dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

Saya bisa terus berpanjang lebar menuturkan ulang dongeng tentang Descartes, tanpa pernah benar-benar memahami seluruhnya. Tapi saya pada posisi bersyukur kalau dongeng ini keliru belaka dalam banyak hal yang fundamental, dan dengan itu saatnya saya segera berhenti berbual tentangnya. Paling tidak untuk sementara.





Mimpi umumnya diartikan sebagai proses-proses khayalan, mekanisme sensor tubuh, dan pemikiran yang berlangsung ketika tidur. Tidak ada definisi yang pasti baik tentang tidur maupun mimpi. Salah satu beda antara kesadaran jaga dan mimpi adalah bahwa yang terakhir cenderung menjadi semacam sebuah pengalaman halusinasi internal yang terpisah dengan dunia eksternal.

Mimpi senantiasa menjadi masalah yang kontroversial sepanjang sejarah manusia. Dokumen-dokumen dalam Papyrus bangsa Mesir bahkan telah mencatat adanya diskusi tentang mimpi dan tafsir-tafsirnya sejak 2000 tahun sebelum Masehi. Dalam masyarakat Yunani kuno orang-orang yang bermimpi dipercaya sedang melakukan hubungan khusus dengan para dewa. Dalam kitab Illiad karya Homer, misalnya, mimpi dianggap sebagai pesan-pesan ilahi. Abad-abad berikutnya Hippocrates, dan Aristoteles percaya bahwa mimpi seringkali mengandung informasi psikologis yang mengabarkan tentang kesakitan-kesakitan medis di masa depan.

Salah satu dokumentasi tentang ratusan mimpi sekaligus interpretasinya telah dikerjakan oleh Artemidorus sekitar tahun 150 Masehi dalam bukunya Oneirocritica ( satu perpaduan dari bahasa Yunani oneiros yang berarti mimpi, dan kritikos yang berarti kritis). Tidak seperti para pendahulunya, Artemidorus berkeras bahwa simbol-simbol dalam mimpi tidaklah memiliki sebuah makna universal. Pandangannya ini boleh jadi merupakan versi ilmiah pertama dari upaya manusia dalam memahami mimpi. Walaubagaimana, pendapat Artemidorus tidaklah mendapatkan pengikut dan sejak itu sampai akhir abad 18 tidak ada perkembangan yang berarti dalam studi tentang mimpi dan kaitannya dengan dunia di luar mimpi.

Baru pada tahun 1900 ketika Sigmund Freud mempublikasikan karya monumentalnya, The Interpretation of Dreams, orang mulai lagi tertarik untuk membahas mimpi sebagai sebuah masalah ilmiah. Menurut Freud, mimpi adalah pikiran-pikiran manusia yang tersembunyi dari pikiran taksadar. Ia mengembangkan teori tentang mimpi dan bagaimana pikiran bekerja ketika tidur. Pandangannya ini kelak ditentang oleh muridnya sendiri, Carl Gustaf Jung, yang menyatakan bahwa makna dari sebuah mimpi adalah apa yang tampak di permukaan sedangkan interpretasi simbolik yang mendalam tidaklah begitu penting. Dan kita akan berhenti sampai di sini membicarakan mimpi sebagai aktivitas pikiran ketika fisik kita dalam kondisi tidur. Selanjutnya kita akan kembali pada mimpi-mimpi a la Martin Luther Jr. dan Descartes di atas. Mimpi-mimpi yang tidak banyak membutuhkan tafsiran psikologis tapi mungkin lebih memuaskan dibaca dalam kerangka sosiologi.




(Paling tidak) untuk sementara, katakanlah bahwa mimpi memang merupakan sebuah realitas di seberang segala kekasatmataan, sehingga apa pun muatannya ia selalu memiliki relasi yang ganjil dengan penyelenggaraan apa yang biasa kita sebut "realitas" kehidupan itu. Mimpi sebagai aktivitas pikiran ketika secara fisik kita tidur dan mimpi sebagai aktivitas pikiran ketika kita justru terjaga, mungkin tidak memiliki hubungan apa pun, meskipun kita tahu bahwa memikirkan tentang atau mengharapkan sesuatu yang melampaui apa yang ada sekarang secara konotatif juga biasa disebut bermimpi. Dalam konotasi seperti itulah kita tidak bisa memungkiri bahwa sekian banyak peristiwa dalam hidup kita yang paling nyata ini, juga dimungkinkan oleh begitu teguhnya orang-orang meyakini mimpi dan mengusahakan penerjemahannya. Kalau impian umumnya kemudian berkonotasi pada hal-hal yang secara absolut berada di atas atau lebih baik ketimbang realitas sehari-hari, boleh jadi ini bermula dari kesadaran betapa hal-hal yang "di atas" tersebut demikian muskil digapai.

Karena itu, ketika merasa muak terhadap kondisi sosial politik di Inggris awal abad 16 di satu pihak, dan hasratnya yang begitu besar akan sebuah tatanan yang jauh lebih baik di pihak lain, Thomas More membukukan risalah dari dialognya dengan seorang pelancong imajiner, Raphael Hitloday, yang sangat mashur itu dalam tajuk yang sama dengan nama pulau khayalan tempat ia bertemu Hitloday, Utopia (topia-atas)--sebuah mimpi indah yang kelak juga begitu mengguncangkan pikiran Marx. Artinya, sebuah topia atau kenyataan yang berada di atas dan di seberang, tidak kompatibel dengan kenyataan sehari-hari.

Salah satu yang paling kuat bisa kita simak dari impian More bukan lain adalah sebuah kisah tentang dunia yang lezat. Percakapan yang begitu panjang dan sarat sugesti pada kenikmatan. Ia berada persis di ujung harapan seseorang, hampir kehabisan peluang tapi niscaya superior. Karena ia superior, ia juga niscaya mengingkari kebolehjadian topia lain yang juga mungkin di masa depan. Tapi More sendiri, jauh mendahului Marx, secara dini telah mendeteksi bau maut yang menyeruak sebagai resiko takterhindarkan kalau kita ngotot mendirikan sebuah topia-atas. Maka kelebihan seorang utopis di satu saat justru akan menjadi kawah maut di saat yang lain. Pada dasarnya, sebuah utopia sama berbahayanya dengan apa yang kita sebut dengan hati cemas: ideologi.

Secara serampangan bisa dikatakan bahwa kalau secara tradisional ideologi dipersepsikan sebagai kesanggupan manusia untuk menikam dan membungkam, dengan kata lain menindas, maka utopia justru diapresiasi sebagai kesanggupan manusia untuk menikmati kebaikan. Jika asosiasi kita tentang ideologi adalah kursi besi, meja-meja tua tempat inkuisisi/interogasi dan derit lengking pintu penjara, maka utopia adalah surga, kebahagiaan, kenikmatan dan ilusi yang menjadi nyatu dan (diharapkan akan) nyata. Kalau yang pertama bisa dioperasikan dalam dunia sosial berupa praktik-praktik pembentukan lembaga-lembaga kontrol,--dari mulai kontrol politik sampai kesadaran bahkan mimpi--maka yang kedua justru beroperasi dalam angan-angan, dan ketika dicoba diterjemahkan ke dalam struktur sosial ia kerap kali akan segera berhadapan dengan tembok-tembok kaku ideologi. Padahal keduanya senantiasa superior di hadapan yang lain. Ideologi bermuka masam seperti tuan perkebunan, utopia berseri-seri seperti rona muka gadis belasan tahun.

Kalau utopia dicirikan oleh peluang untuk sejauh mungkin menyebrangi topia dalam rangka pencarian model bagi sebuah realitas setelah hari ini, maka ideologi justru tidak pernah bergerak dan akan dengan keras mencegah setiap gerakan (kesadaran) yang mencoba ke luar batas topia. Ancaman paling cepat terlihat dari setiap gagasan utopis adalah karena ia di dalam dirinya sendiri telah mengingkari status quo hari ini--yang justru menjadi target ideologi untuk melanggengkannya. Ideologi melihat realitas secara terbalik, sehingga yang ditampilkannya adalah sebuah gambaran palsu, sedangkan utopia melihat dunia dengan impian akan kebaikan yang terlampau bernafsu sehingga yang ditampakkannya tidak lebih dari khayalan, buah angan-angan belaka. Keduanya sama-sama semu. Ideologi mengharuskan orang untuk menjadi penurut, utopia menyarankan kita untuk, seperti Descartes, jadi seorang pemimpi. Meminjam tesis Karl Mannheim yang telah menjadi klasik, jika ideologi adalah sebuah cara pandang yang beku tentang kebenaran, maka utopia tidak lain merupakan dynamic view of truth.

Tapi ideologi dan utopia tentu saja tidak musti selalu bersitegang seperti itu. Dalam banyak kasus keduanya bisa saling dipertukarkan, dan bermetamorfosa secara bolak-balik: utopia bisa dikristalkan menjadi ideologi ketika impian tentang dunia yang lezat dan superior itu menutup mata kita dari kemungkinan-kemungkinan lain, sehingga karena itu kita cenderung terburu-buru mencurigai "yang lain" sebagai lawan. Sebaliknya sesuatu yang menjadi ideologi bagi masyarakat-masyarakat tertentu seperti liberalisme, misalnya, bisa pula menjadi utopia bagi masyarakat-masyarakat yang hidup di bawah sebuah rezim totaliter. Kebebasan pers adalah ideologi bagi dunia media di Inggris, tapi ia menjadi utopia tak kepalang tanggung di kepala Goenawan Mohamad, yang dengan keras terbentur pada keteguhan ideologi Pers Pembangunan--sebut saja begitu-- di Indonesia zaman Orde Baru sekarang ini.

Lantas di mana sebuah ideologi dan utopia bisa bertaut pada waktu dan ruang yang sama tanpa pertumpahan darah? Pergilah ke mega mall Karawaci, Planet Hollywood, resto McDonalds atau Plaza Senayan! Singkatnya, tengoklah sebuah dunia yang secara matang digodok oleh empat kekuatan raksasa: MTV, McDonald, Macintosh (dan Microsoft). Televisi, konsumsi gaya hidup, dan komputer telah menempatkan dirinya sebagai ibu sejarah yang baru, yang memasak peradaban kita dengan sangat cermat. Hasil godokannya bisa saja kita sebut MacMicWorld: sebuah dunia di mana kategori mimpi dan jaga tak menjadi penting betul, sebab realitas yang dibentuknya pun berada di seberang tapi toh juga sekaligus menjadi bagian realitas yang kita hidupi. Yang tidak bisa dipungkiri adalah kenyataan bahwa dalam MacMicWorld ideologi dan utopia telah diterjemahkan ramai-ramai menjadi konsumsi. Potensi kekerasan, obsesi kebaikan dan kenikmatan diaduk sedemikian rupa jadi hidangan yang asyik, imajinatif, kreatif, fantastis, sensual dan sensasional.

Kalau utopia mencerminkan potensi manusia untuk menjadi pecandu kenikmatan, kalau ideologi merefleksikan potensi kita untuk jadi penindas yang keras hati, MacMicWorld dengan lembut melebur keduanya sekaligus menjadi sesuatu yang tidak menimbulkan kecemasan malah menggembirakan. Macintosh bahkan terang-terangan mewakilkan kesanggupannya itu dalam logo perusahaan Apple yang begitu mashur dan membuat iri perusahaan lain: sebuah apel warna-warni, ranum, menggoda, menggairahkan. Dan jangan lupa, perhatikan baik-baik krowak kecil pada bagian kanan gambar apel tersebut, yang seolah ingin memberi dua kesan kuat bahwa kelezatannya tidak pernah akan bisa habis, atau kalau tidak, sebagai konsumen kita akan mendapatkan bagian terbesar--tapi jelas tidak seluruhnya--kenikmatan yang ditawarkan (karena pada dasarnya kita hanya mendapatkan apel sisa gigitan orang).

Didirikan oleh dua orang muda, Stephen Wozniak dan Steven Paul Jobs pada pertengahan dekade 1970-an, perusahaan Apple Computer menandai munculnya revolusi mikrokomputer personal pada dekade 1980-an, setelah pada tahun 1976 keduanya berhasil merintis sebuah prototipe komputer user-friendly yang pertama. Macintosh,--nama yang diambil dari jenis apel yang ditemukan oleh John McIntosh di Ontario tahun 1796-- adalah industri komputer pertama yang mengubah citra komputer dari sekedar mesin dungu-bisu pengolah data, menjadi perkakas rumah tangga yang bisa diajak bersenang-senang, berperforma tinggi, berukuran kecil, nyaman dipakai dan tidak lagi membutuh-kan perintah-perintah yang rumit untuk menjalankannya: komputer bukan lagi sebatas mesin yang patuh perintah, melainkan menjadi substitusi dari bermacam-macam hasrat personal untuk memuaskan diri. Langkah ini kemudian diikuti oleh perusahaan-perusahaan komputer tradisional seperti IBM dan puluhan perusahaan lain yang memproduksi clone-- yang kita sebut IBM compatible itu.

MTV kita tahu, memungkinkan para musisi dan penyanyi untuk mengekspresikan diri dan gayanya dalam sebuah format yang jauh lebih luas, dan lebih kaya ketimbang hanya dengan sampul kaset. Yang dibentuknya bukan sebuah dunia narasi melainkan sebuah wacana estetik. Kita bukan hanya disuguhi oleh sebuah karakter melainkan suksesi pelbagai citra. Pat Aufderheide, kritikus media dan editor budaya surat kabar In These Times, misalnya, menunjuk perbedaan kategoris antara video-video musik dengan siaran-siaran televisi tradisional: Salah satu ciri pembeda video musik sebagai satu ekspresi sosial, demikian Aufderheide, adalah kualitasnya yang terbuka yang tujuannya untuk merangsang emosi penonton dalam komunikasi mereka dengan dirinya sendiri, dan bujukannya pada sebuah alternatif dunia yang baru tempat citra merupakan realitas. Yang dilakukannya adalah penghapusan batas-batas tradisional antara masa lalu dan sekarang, antara karakter dan penampakan, antara tata berkesenian dengan kehidupan yang distilisasikan (Douglas Ruskhoff, 1994: 127-8).

Apa yang ditawarkan (Apple) Macintosh, MTV, McDonalds--dan Microsoft's Windows 95 belakangan ini--jelas bukan ajaran-ajaran beku yang tidak boleh diganggu gugat. Semuanya justru menyiapkan dirinya untuk cepat menjadi usang dan dilecehkan. Persis video-clip lagu-lagu di layar MTV, sampai berapa lama sebenarnya kita bisa sedikit berbangga diri akan tampilnya Nadya Hutagalung sebelum digeser Video-Jockey (VeeJay) yang lebih baru, muda, sensual menggairahkan. Mengapa citra bisa sukses menggusur ideologi, salah satunya karena ia adalah pelbagai tawaran untuk senantiasa meremajakan diri. Obsesinya bukan pada kemapanan sebuah tata melainkan tumbuhnya rasa takut ketinggalan zaman. Dalam lingkungan seperti ini sama sekali tidak dikenal istilah pelestarian, melainkan pencampakan sekaligus perengkuhan seluruh pengalaman. Semua yang ditawarkan adalah produk-produk yang siap santap lantas lupakan dan santap lagi, lupakan dan santap lagi. Setiap kali melahap BigMac-nya McDonald saya selalu cepat merasa kenyang, tapi sebentar kemudian lapar melilit kembali. Tidak pernah puas betul, karena yang kita cecap memang hanya sebuah apel yang sudah krowak, lezat tapi sekaligus mendatangkan ketagihan. Cepat bosan tapi lantas merasa ingin mengulangnya kembali, seperti pengalaman seksual. Ketagihan akan merangsang kita untuk terus dan terus mengkonsumsi.

Kembali pada jawaban Descartes di atas, dalam cogito ergo sum sangat mungkin ada peluang besar bagi munculnya dominasi medium (dalam konteks Descartes berarti ilmu pengetahuan), sebab hanya melalui medium antara subjek dan objek bisa dipahami relasinya. Yang ditangkap subjek tidak lain adalah informasi yang kemudian diolah menjadi pengetahuan (tentang objek). Dalam laboratorium relasi subjek-objek dan medium yang menghubungkannya terjaga dalam kondisi yang ideal. Tapi di luar itu, dalam kehidupan sosial kita saat ini, kondisinya tidaklah selempang itu. Selama masih ada udara dan sedikit kabel penghantar selama itu pula seluruh indera dan kesadaran kita akan disubversi oleh media. Media informasi dan komunikasi modern mengalami transformasi dari semula berfungsi seperti teropong atau mikroskop menjadi organisme hidup lain dengan nilai dan aturannya sendiri. Ini artinya, sebuah medium berpotensi bukan hanya mengantarkan objek kepada sistem pemahaman dan pemaknaan subjek pikir melainkan juga untuk mengontrol dan memanipulasinya. Dengan ungkapan lain, sebuah instrumen yang semula sekedar menjadi pelayan pikiran justru bisa berubah menjelma tuan bagi kesadaran, sehingga segala hal melulu dan mutlak ditentukan olehnya.

Akibatnya, anjuran Descartes untuk jadi pangeran seluruh alam kemungkinan bisa berbalik total menikam kita sendiri. Karena demikian sentralnya peran media, maka ketika pertumbuhannya terus membumbung tinggi secara radikal berlangsung transformasi yang menggeser posisi kategoris antara subjek dan media. Dominasi media massa elektronik sebagai jendela dunia (ingat istilah windows yang dipakai dalam seluruh sistem operasi komputer saat ini) telah meratakan jalan ke arah keyakinan bahwa "media can do no wrong".

Potensi media untuk memanipulasi realitas di luar subjek (res cogitans), dalam media (informasi dan telekomunikasi) massa berkembang menjadi kesanggupan untuk membangun realitas-realitas baru yang bukan semata potret kenyataan sehari-hari yang dimanipulasi, melainkan berupa kehidupan yang telah dirumuskan dan dicipta-ulang dalam cara baru. Apa yang semula dianggap ideologi dan utopia secara terus-menerus didefinisikan kembali, dan ditransformasikan menjadi kebutuhan yang paling mendesak dalam bentuk konsumsi. Proses selanjutnya, baik surga kaum utopis maupun neraka yang kita bayangkan dari sebuah rezim ideologis menjalani aestetisasi menjadi citra yang sangat cair. Citra yang terus-menerus dijejalkan ke dalam segenap indera via media (massa) mengantarkan informasi tentangnya ke pikiran sehingga, dengan demikian, citra menjadi ada dan padat, reasonable dan karenanya ia menjadi sebuah realitas dari mana kita tidak bisa melepaskan diri. Terus-menerus seperti itu. Informasi tidak selalu dapat dikembangkan menjadi pengetahuan dengan memahami hubungan relasional di antaranya melainkan seolah-olah telah menjadi pengetahuan itu sendiri, dan membentuk persepsi yang kuat mengakar dalam banyak kepala.

Maka boleh jadi pilihan bagi kita sekarang memang bukan menolak atau menerima dunia yang dibentuk media untuk kita dari campuran beragam citra, melainkan bagaimana mengatur arus lalulintas informasi yang seliweran di otak kita setiap hari.

Saat ini anda bisa menonton MTV, CNN, memutar lagu atau film-film dari cakra padat, dan mengerjakan beberapa tugas dengan applications-suite Microsoft Office atau Correl World Perfect, merancang presentasi jarak jauh dengan Canvas Denaba, menerima dari dan mengirim faximili ke seberang samudera dalam waktu yang sama hanya pada layar monitor sebuah Macintosh atau merek komputer lain. Kalau dulu orang percaya bahwa luas dunia mencapai ribuan bahkan jutaan kilometer, terhadap kepercayaan seperti itu sekarang anda bisa bilang, "ah... teori!" Bayangan tentang bumi yang luas adalah cerita masa silam, anakronisme historis yang kelewatan. Sebab di kamar anak-anak kita sepenuh-penuhnya dunia ternyata bahkan lebih kecil dari globe--alat peraga ilmu bumi saat anda masih EsDe. Yang mereka hadapi bukan lagi sekedar sebuah layar kotak monitor TV atau komputer, melainkan sebuah dunia yang lengkap. Di sana mereka bisa mengelus-elus Cindy Crawford, Petra Verkaik atau playmates majalah Playboy yang lain, menelanjanginya sesuka hati--ini benar-benar impian setiap orang--, membaca informasi yang tidak bisa diakses karena larangan birokrasi, bermain, ngerumpi, membunuh, tertawa, menangis, memimpin teroris atau revolusi, pilot pesawat ruang angkasa, menjadi detektif atau polisi dengan senjata api mutakhir bahkan bertualang asmara dengan lawan jenisnya dari benua lain. Segenap imajinasi diteruskan menjadi fantasi dan lantas dihamburkan menjadi citra-citra estetik di depan mata. Imajinasi, fantasi dan kehidupan baraduk sudah. Di depan layar komputer semua orang bisa dibuat terangkat ke tingkat kepuasan paling pucuk, orgasme kapan saja.

Dalam dunia semacam itu yang akan muncul adalah perpaduan antara dua hal mencengangkan: munculnya individu-individu hyperindividualis dan datangnya masa hyperdemokratisasi. Ketika dengan media komunikasi massa elektronik mutakhir hasrat penyatuan diri antara manusia dengan manusia lain semakin bisa dilangsungkan tanpa kesulitan geografis atau geopolitis, ketika lukisan peta-peta lama telah diapkir, orang jadi tidak merasa begitu perlu untuk pergi ke luar dari kamar pribadinya bahkan untuk berasyik masyuk. (Bisa dibayangkan alangkah suramnya prospek bisnis alat transportasi lintas negara seperti pesawat terbang konvensional yang ada saat ini.) Di lain pihak era information superhighway akan merangsang setiap orang untuk berani bersuara, berseteru atau bersekutu, memuja atau saling menjatuhkan tanpa resiko masuk penjara--karena setiap para hyperindividualis tadi menjadi orang-orang yang tidak beridentitas melainkan cair mengalir sebagai rentetan citra, sanggup masuk neraka sambil tertawa, bisa hidup dan mati berkali-kali, memproduksi dan mereproduksi citranya dalam media secara tak terbatas.

Penamaan terhadap gambaran di atas sebagai virtual reality, pada dasarnya adalah tindakan pemaksaan semberono untuk memakai kosa kata konvensional terhadap pelbagai realitas baru yang ditangkap oleh sebuah kesadaran yang juga baru. Sikap yang tidak sepenuhnya menolak tidak pula menerima bulat-bulat. Satu keberatan bisa diajukan atas penggunaan terma tersebut: virtual reality artinya realitas maya, tidak nyata alias semu. Meskipun ia berkonotasi pada hal-hal yang di atas kenyataan, tapi predikat semu menjadikannya inferior dihadapan yang tidak semu. Dengan demikian ia tetap dilihat tidak sama dengan atau secara substansial lebih rendah dari mimpi tentang sebuah dunia-atas atau utopia yang superior. Padahal di sanalah seluruh impian Thomas More diterjemahkan dan diwujudkan secara fantastis dan estetis, firdaus masa silam yang dirindukan Marx diejawantahkan tanpa literatur yang berat dan banjir darah.

Di sana ada surga masa silam yang (konon telah hilang dan) diciptakan kembali. Semuanya memantulkan sekaligus menjadi sumber cahaya dan karena itu ia menjadi kasatmata, nyata, reasonable, karena itu pula ia benar adanya: segala sesuatu yang bisa ditangkap melalui ilmu (cahaya) itulah yang bisa dipikirkan, itu pulalah yang ada. Kalau puncak segala kenikmatan (dan keperihan sekaligus) bisa dirangkum dalam terma orgasme kesadaran, maka itu artinya semua yang terlihat, segala yang dipikirkan, semua pengalaman yang dijangkau melalui media yang menghubungkan kita ke dalam MacMicWorld tadi benar-benar bisa membawa kita orgasme sesering mungkin--tanpa ada lagi orang yang merasa menjadi korban perkosaan. Maka mari sejenak membaca lagi Subagio Sastrowardoyo. Dalam Kayal Arjuna (1995) ia, antara lain, menulis begini:

tanpa sekali
melangkah ke medan Kuru
hanya dibayangkan saja rupa lawannya
di dalam angan-angan dan ditusuknya dengan pedang
jantung dan perutnya
sehingga keluar darah dan ususnya
dan terang terdengar teriak aduh
dan rubuhnya ke tanah
laki-laki itu terbunuh dari jauh
—bagaimana melepaskan dendam berahi? lihat, ditegangkannya pikirannya di kening terkenang kekasih mukanya bersimbah peluh tubuhnya menggeliat dan mengerang dan dari alat jantannya mengalir air mani seperti di dalam mimpi


Cogito orgasmus, Aku berpikir karenanya aku orgasme. Jadi bersiaplah, 30 juta sperma akan memancar dari setiap laki-laki setiap detik, dunia akan dilambungkan dalam puncak segala nikmat dan keperihan, batas paling akhir segala mimpi dan kecemasan, surga paling nyata yang bisa kita diami dan rasakan, neraka terdekat yang paling mungkin dijangkau tanpa memandang kategori baik dan buruk.



Di seberang rasio atau nalar juga ada tawaran utopis tentang kenikmatan tak terperi dan tidak berisiko. Ini terutama berlaku di kalangan orang atau kelompok orang yang terlalu menekankan tafsir libidinal yang meluap-luap pada konsep biblikal tentang kehidupan di surga kelak setelah kehancuran semesta. Melebihi kejenuhan yang dialami Thomas More yang mendorongnya menulis Utopia itu, mereka seolah menganggap hidup di dunia ini tidak ada artinya sama sekali selain mencari jalan untuk mendapatkan imbalan bidadari di surga. Bukan satu, tapi puluhan bidadari. Mereka bisa dengan tekun menghabiskan waktu untuk menghitung berapa jumlah pintu kamar, jumlah tempat tidur di setiap kamar, dan berapa bidadari yang mengisi masing-masing tempat tidur itu sebagai balasan atas apa yang mereka lakukan selama hidup di dunia. Melampaui narasi tentang keutamaan bertemu dzat yang menjadikan, kisah-kisah tentang berahi ini terus direproduksi dan direplikasi untuk merangsang orang menegakkan batang phallus bukan untuk menjadi pemeluk ajaran yang ikhlas dan tulus. Seperti di negeri khayalan More, di sana konon segala hal sudah tersedia dan kita hanya tinggal menikmatinya saja. Konsumsi tanpa pernah ada produksi. Tanpa perlu bekerja. Tanpa pernah sakit. Tidak bisa mati lagi.

Berbilang-bilang orang bestari yang sudah meluruskan pengandaian tentang surga semacam itu, tapi mereka tetap berkeras bahkan menghimpun kekuatan bersenjata untuk menguasai dunia. Perhatikan hawa maut yang sama seperti yang sudah diperingatkan oleh More tentang utopia juga terjadi di sini: untuk mendapatkan para bidadari itu mereka bahkan bisa dianjurkan membunuh orang lain yang memiliki kepercayaan dan pemahaman yang berbeda. Kalau sains, teknologi dan imajinasi membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk mendapatkan pengalaman, termasuk mengalami kenikmatan, dalam cara baru tanpa risiko penderitaan fisik, kelompok ini banyak yang mengabaikan bukan hanya penderitaan fisik tapi bahkan kematian diri dan orang lain untuk meraih kenikmatan libidinal itu. Sebagian dari mereka bahkan sering mendeklarasikan diri sebagai orang-orang yang berani mati. Di permukaan tampak gagah perwira sebagai pemberani membela nilai yang diyakini, tapi di balik itu mereka adalah orang-orang yang putus asa karena eksistensinya seperti tidak terlalu diperhitungkan oleh dunia, dan karenanya hidup bagi mereka menjadi jauh lebih menakutkan daripada kematian, dan lantas ramai-ramai bermimpi tentang koitus tanpa putus.

Ketika supremasi di dunia tidak kunjung dapat diraih, dan mereka tetap tinggal sebagai kelimun yang hanya bisa memandang dunia di sekitarnya dengan iri dan putus asa, dan benci perusak hati, mereka banyak yang berpikir untuk melakukan penghancuran kehidupan ini sesegera mungkin; dengan nyalak senapan dan ledakan bom, dan gerombolan orang-orang yang siap membantai dunia dengan horor dan teror. Mereka adalah orang-orang yang menyesal hadir di dunia, dan ingin segera menyudahinya. Agar semua mimpi dan desakan berahi itu selekasnya dibayar tunai. Maka hanya melalui kematian yang bisa mengantarkan mereka bertemu para bidadari itu mereka merasa akan bisa eksis. Ini seperti mimpi lelaki di negeri-negeri jajahan meraih kemerdekaan melalui seks dengan perempuan-perempuan dari negeri penjajah. Sum (ada) bagi mereka pertama-tama bisa dijelaskan dari pemuasan dan penyaluran energi-energi libidinal secara biologis, dan dari sana mungkin didapat semacam superioritas terutama karena kepercayaan bahwa kaum lain tidak akan diberi hak atas kemewahan yang sama. Orang-orang seperti itu tidak cukup hanya meraih kenikmatan dengan produk-produk akal pikiran, tapi menginginkan lebih dari itu. Formulanya bukan cogito ergo sum tapi coito ergo sum. Koitus maka ada.




Yogyakarta, 24 Juni 1996.

Esai ini tersimpan di komputer saya dalam beberapa versi. Masing-masing dengan sejumlah perbaikan dan penambahan kecil yang dilakukan setelah salah satu versinya dimuat dalam majalah MATRA, Desember 1996 dengan judul Cogito Orgasmus. Ideologi dan Utopia Konsumen. Tiga paragraf pada bagian paling akhir, kalau tidak salah ingat, ditambahkan setelah terjadi peristiwa robohnya menara WTC tgl 11 september 2001, ketika saya berkantor di Menara Summitmas yang sangat sering mendapat telepon ancaman bom. Persis setahun sebelumnya, hanya berjarak sepelemparan batu dari tempat saya kerja, Gedung Bursa Efek Jakarta diguncang ledakan bom.