Catatan Tahun 2004
- Hikmat Budiman |
- Pembina Yayasan Interseksi
Tidak bisa dimungkiri bahwa Pemilu merupakan peristiwa politik paling krusial sepanjang tahun 2004 ini. Seluruh jaringan media massa setiap hari pasti memuat berita tentang isu-isu di seputar penyelenggaran pesta demokrasi tersebut. Di tengah kepanikan masyarakat menghadapi wabah flu burung dan demam berdarah, berita dan wacana tentang pemilu tidak pernah kekurangan peminat.
Sebagian kalangan secara menggebu memacu harapan besar tentang Pemilu sebagai gerbang ke arah masa depan bangsa yang lebih baik. Asumsinya cenderung sangat romantik, yakni bahwa Pemilu adalah satu-satunya cara dan mekanisme yang syah untuk menggantikan rezim pemerintahan yang ada. Karena rezim yang ada sekarang tidak bisa membawa perbaikan dalam kehidupan masyarakat luas, Pemilu membuka peluang besar untuk menggantinya dengan rezim yang lebih baik.
Tapi bagaimana sebuah cara
(means) politik yang syah itu bisa menjamin perbaikan nasib masa depan sebuah bangsa
(ends)? Bukankah cara yang syah hanya menjamin hasil yang syah pula? Tidakah itu mencerminkan lompatan logika berpikir: bahwa kalau caranya syah menurut tata aturan politik yang ada, hasilnya pasti lebih baik bagi kehidupan bersama? Lompatan logika seperti ini pula yang telah membawa kita pada kemalangan politis ketika berlangsung gerakan reformasi tahun 1998 yang lalu: bahwa kalau Soeharto sudah diturunkan, semuanya akan menjadi lebih baik. Kita tidak pernah mempersiapkan secara seksama siapa yang bisa menggantikan Suharto dengan performa lebih baik. Karena yang terpenting adalah Suhartonya turun terlebih dulu, baru pikirkan hal-hal lain kemudian.
Pekan Politik
Ada dua kelemahan utama dalam logika berpikir seperti itu. Pertama, cara yang syah saja sama sekali tidak menjamin ia akan menghasilkan suksesi substansial pada rezim kekuasaan yang ada. Cara yang syah hanya berurusan dengan keabsahan hukum dan legitimasi politik atas pemenang Pemilu, tapi hampir tidak ada korelasi langsung dengan kualitas yang dihasilkannya. Kalau pun mau direka-reka, Pemilu akan menentukan nasib sebuah bangsa hanya dapat dipahami dalam konteks bahwa karena apa yang dihasilkan oleh pemilu tersebut akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang memiliki konsekwensi pada kondisi sebuah bangsa. Tapi itu bukan tanpa syarat.
Rezim pemerintahan yang dihasilkan sebuah Pemilu memang pasti akan menghasilkan bermacam-macam kebijakan yang menyangkut nasib hidup sebangsa, tapi kualitas kebijakan tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan Pemilu tapi dengan kualitas rezim pemerintahan yang didirikan. Tapi pemilu tidak akan pernah bisa menjamin bahwa pemenang pemilu adalah yang kualitasnya paling baik. Pemenang pemilu adalah yang dipilih oleh mayoritas suara pemilih tidak peduli apakah sebagai kandidat ia berkualitas bagus atau buruk. Singkatnya, iblis pun kalau dipilih oleh mayoritas pemegang hak suara tetap akan absah sebagai pemenang Pemilu.
Pemilu tidak bisa disamakan dengan proses memasak makanan, bahwa kalau bahan dan caranya benar hasilnya dapat dipastikan enak. Kalau pun pemilu dapat dianalogikan dengan proses memasak, dalam demokrasi pertanyaannya adalah bagaimana memastikan bahwa kita akan mendapatkan bahan yang baik? Melalui mekanisme di dalam institusi partai politik tentu saja. Tapi apakah partai-partai politik kita sudah bisa memastikan bahwa “bahan” mereka adalah bahan yang berkualitas, tidak busuk, tidak beracun? Mendapatkan bahan (baca: calon pemimpin politik) yang berkualitas tidaklah semudah mendapatkan bahan berkualitas untuk memasak.
Partai-partai politik yang ada tidak satu pun yang bisa disamakan dengan pasar, pusat belanja atau bahkan penjual sayur keliling dalam menyediakan bahan-bahan terbaik. Pada ajang pemilihan legislatif, calon-calon yang dipilih banyak yang baru menjadi anggota partai politik sesaat sebelum pendaftaran. Sementara pada ajang pemilihan presiden/wakil presiden seperti pada 2004 ini, sebagian besar partai politik juga tidak memiliki kandidat yang benar-benar berkualitas sehingga harus bergabung dengan partai-partai lain mengusung pasangan kandidat tertentu.
Pemilu 2004 nanti pada dasarnya adalah kompetisi antara rezim yang ada dengan para penantangnya. Dari tilikan apa pun, rezim yang ada sekarang memiliki potensi lebih besar untuk menang. Dalam kenyataan kita lebih sering mengalami pemilu sebagai sebuah momentum ketika kita terpaksa harus memilih yang “terbaik di antara yang terburuk”. Artinya sudah dapat dipastikan bahwa hasilnya adalah buruk.
Maka kalau pun mau menggunakan analogi makanan, Pemilu bukan proses memasaknya melainkan lebih mudah dipahami sebagai pekan (bahasa Jawa,
peken) atau bazar bermacam-macam makanan dengan kualitas seadanya. Partai-partai politiklah yang membuka lapak-lapak untuk menjajakan dagangan politiknya dalam bentuk para kandidat legislatif dan/atau kandidat presiden/wakil presiden di situ. Di dalam bazar orang bisa memilih makanan sesukanya, mulai dari yang kualitasnya buruk sampai yang baik. Sebagian makanan bisa dilihat kualitasnya dari penampilan luarnya, tapi sebagian lainnya sangat berhasil menyembunyikan kualitas di balik penampakan yang memikat. Pemilu sebagai sebuah pekan atau bazar politik saya kira malah lebih akurat untuk menggambarkan suasana dan kondisi pemilu-pemilu di Indonesia daripada terminologi
“political marketplace” yang biasa dipakai dalam kajian-kajian politik untuk negara-negara yang praktik demokrasinya sudah lebih maju.
Kedua, kalau pun Pemilu membawa kita pada pergantian rezim, sama sekali tidak ada jaminan bahwa rezim penggantinya akan lebih baik. Sekali lagi kita bercermin pada kasus transisi dari rezim Soeharto ke rezim penggatinya. Memang pasti ada beberapa kondisi yang membaik, yang terutama sebagai hasil dari akomodasi pemerintah baru terhadap bermacam-macam tuntutan publik. Ini terutama dapat dilihat dalam sektor-sektor yang berkaitan dengan kebebasan politik baik berupa pembentukan institusi-institusi politik seperti partai politik, maupun dalam cara bagaimana rakyat dapat menyatakan pendapatnya secara lebih leluasa.
Tapi itu semua pada dasarnya adalah hasil serentak yang memang tidak bisa tidak dipenuhi sebagai akibat robohnya rezim lama. Bukankah modus utama tuntutan pemakzulan Suharto adalah karena rezimnya, Orde Baru, mempraktikkan opresi politik? Di luar itu, alih-alih membawa perbaikan, deretan pemangku kekuasaan dari Habibie sampai Megawati justru telah membuat kita makin ragu akan masa depan. Risikonya, benar-benar akan sulit untuk mengajak rakyat kembali percaya pada janji perubahan dalam setiap upaya suksesi pemerintahan.
Karena itu tidaklah terlalu mengherankan kalau sebagian orang justru cenderung pesimis bahwa pemilu tahun ini akan membawa perubahan signifikan dalam kehidupan politik nasional dan, lebih jauh, pada kehidupan sehari-hari rakyat banyak. Argumen bahwa Pemilu 2004 akan menentukan nasib masa depan bangsa Indonesia, dengan demikian, sebagian besarnya, kalau tidak seluruhnya, hanya bombasme marketing politik semata. Ketika dibenturkan dengan kenyataan yang ada, pernyataan seperti itu hanya akan tampak seperti gelembung-gelembung kosong yang mudah sekali pecah. Tidak solid, dan hanya mengawang-ngawang. Bagaimana mungkin nasib sebuah bangsa bisa disandarkan pada sebuah Pemilu? Tahun 1999 yang lalu kita pernah punya Pemilu yang relatif baik, tapi hasilnya adalah rezim-rezim kuasa yang compang-camping oleh arogansi dan inkompetensi. Para ilmuwan politik juga sepakat bahwa tahun 1955 Indonesia pernah menggelar Pemilu yang paling demokratis. Tapi adakah nasib bangsa ini berubah menjadi jauh lebih baik setelah itu? Jawabannya, tidak sama sekali.
Dengan demikian paling tidak ada dua hal yang mutlak harus diperhatikan dengan serius. Pertama, pemilu bukanlah ciri eksklusif demokrasi. Dengan ungkapan yang berbeda, bukan hanya demokrasi yang memiliki tradisi ritual pemilu. Kedua, demokrasi hanya menyangkut soal cara memilih pemimpin tapi ia sama sekali tidak memberi jaminan atas kualitas hasilnya. Dua hal ini saling terkait satu dengan lainnya sehingga kita bisa memahami mengapa bahkan rezim-rezim otoriter pun memilih melangsungkan pemilu. Yang ditujunya adalah perolehan legitimasi politik melalui prosedur-prosedur elektoral yang sudah hampir secara universal disepakati. Prosedur-prosedur itulah yang dalam praktiknya sangat bisa dimanipulasi untuk menjamin hasil pemilu sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu, mulai dari politisi sampai para pengusaha. Melalui pemilu-pemilu manipulatif itu dibangun kesan adanya keterlibatan rakyat banyak dalam penentuan siapa yang akan menduduki kursi tertinggi supremasi politik.
Pemilu < Demokrasi
Pemilu, (mungkin memang benar) hanyalah satu bagian dari ritual demokrasi. Karena itu ia lebih sering disebut pesta demokrasi. Di dalam ritual itu ada kompetisi. Ada yang menang, ada yang kalah. Setelah pesta semua kembali pada kehidupan seperti biasa, dan pemenang dalam ritual dipercaya menjalankan pemerintahan selama periode waktu tertentu. Seperti dalam ritual pada umumnya, pesta selalu merupakan peristiwa paling meriah dan mengundang paling banyak perhatian, tapi ia bukan satu-satunya. Ia selalu menjadi bagian penting tapi tidak pernah menjadi yang terpenting. Masyarakat tradisional kita mengadakan ritual sedekah bumi,
seren tahun, atau pesta panen, untuk menyebut tiga contoh termudah, biasanya sebagai ungkapan rasa syukur atau justru sebagai momen untuk menumbuhkan harapan agar pekerjaan mereka kelak bisa membuahkan hasil yang baik.
Tapi hasil yang lebih baik sama sekali tidak pernah bergantung pada pestanya itu sendiri, melainkan lebih pada bagaimana mereka bekerja, dan sejauhmana mereka bisa mengatasi pelbagai hambatan alamiah seperti cuaca atau hama. Pasti ada sebagian dari mereka yang masih percaya bahwa hasil panennya ditentukan oleh ritual pestanya, tapi orang seperti itu lazimnya dianggap sebagai bagian dari khasanah kepercayaan masa silam. Mereka yang berkeras mengatakan bahwa (hasil) pemilu akan menentukan nasib bangsa, dengan demikian, jatuh ke dalam kategori yang terakhir itu.
Pemilu yang dilakukan secara regular dan terencana dengan baik memang merupakan salah satu indikator demokrasi yang normal. Tapi demokrasi tidak pernah akan identik dengan pemilu. Pemilu hanya mengatur pergantian atau suksesi kepemimpinan politik dan negara, sedangkan demokrasi adalah salah satu jawaban ontologis atas pertanyaan bagaimana sebuah negara mungkin dijalankan. Rezim-rezim otoritarian di dunia, beberapa di antaranya juga menggelar Pemilu rutin, tapi apakah itu berarti mereka menjalankan prinsip-prinsip demokrasi? Jangan dilupakan bahwa sepanjang sejarah Indonesia modern, Soeharto tetap memegang reputasi terbaik dalam hal penyelenggaraan pemilu regular setiap lima tahun sekali.
Moralnya, sejauh ini sebagian dari kita cenderung terjebak memfokuskan perhatian pada aspek-aspek ritual demokrasi, sehingga seolah kalau pemilu sudah berlangsung lancar, damai, dan tertib, dan sesuai prosedur, maka sudah demokratislah kehidupan politik kita. Tidaklah mengherankan jika setiap menjelang dan selama Pemilu, begitu banyak komponen masyarakat yang menghabiskan energinya untuk aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengannya. Hal yang sama juga terjadi di kalangan kelompok cerdik-pandai. Pesta yang besar dan meriah memang juga akan menunjukkan seberapa besar kemampuan penyelenggaranya. Maka pemilu yang besar, meriah dan boros juga kadang bisa dianggap sebagai upaya untuk menunjukkan kaliber kita sebagai negara demokrasi terbesar ke-4 di dunia. Tidak mungkin pesta demokrasi di salah satu negara demokrasi terbesar di dunia berlangsung sepi-sepi belaka. Harus gegap gempita, semarak, penuh
festivities, rakyat gembira. Karena itu juga merupakan sinyal bahwa publik terlibat dalam politik.
Tapi setelah pesta berakhir, kita sudah berkali-kali mengalami bahwa hasil yang kita dapatkan dari bazar politik itu kualitasnya tidaklah bagus-bagus amat. Kadang-kadang yang terpilih malah kandidat yang terburuk. Pilihan sudah dijatuhkan, dan pemenang sudah diumumkan, kita harus menerimanya dengan lapang dada sebagai bagian dari komitmen kepada kehidupan bersama. Hanya kaum moron yang begitu pemilu usai serentak pula mereka meminta kandidat yang menang dijatuhkan atau diganti. Kelompok semacam itu tidak memiliki komitmen pada kehidupan bersama melainkan kepentingan hidup diri dan kelompoknya sendiri. Penyakit demokrasi.
Karena itu yang lebih mendesak untuk bersama dipikirkan adalah bagaimana demokrasi berjalan setelah sebuah pesta berakhir. Pesta mungkin menghasilkan beberapa pemenang, tapi apa arti kemenangan itu bagi kehidupan rakyat banyak. Kalau pun yang menang adalah yang kualitasnya medioker belaka, demokrasi masih memberi kita ruang untuk membantu memperkuatnya. Bukan dengan dukungan membabi buta tapi melalui agregasi desakan politik untuk mempengaruhi produk-produk regulasi yang akan mengatur kehidupan publik. Demokrasi kadang-kadang memang tidak lebih dari mediokrasi, karena ia sepenuhnya disandarkan pada kehendak orang banyak yang belum tentu semua menggunakan pertimbangan rasional dalam menentukan pilihan. Tapi hanya di dalam demokrasi (yang sehat) warga negara bisa mempengaruhi keputusan publik melalui berbagai saluran.
Jakarta April 2004.
Saya tidak ingat apakah tulisan ini pernah dimuat di salah satu media massa atau tidak. Tidak ada catatan apa pun tentang artikel ini yang bisa saya temukan di komputer saya saat ini.
ANDA MUNGKIN JUGA TERTARIK MEMBACA
Multikulturalisme | Kewarganegaraan | Budaya
Sosiologi | Budaya
Sosiologi