Tentara dan Anak Kita Nanti

Politik



Share

“Blog

Tidak semua orang setuju Shakespeare soal nama. Bekas aktivis penentang Soeharto di masa lalu, misalnya, konon ada yang memberi anaknya nama “Gempur Soeharto” dan “Tikam Soeharto”. Itu artinya, sebuah nama juga bisa bicara banyak tentang pelbagai peristiwa politik pada satu periode historis tertentu. Sebuah nama, dengan kalimat lain, juga sering merupakan satu usaha untuk menautkan diri seseorang dengan pengalaman tertentu di masa lalu, sambil membebankan harapan untuk hari depan. Nama, singkatnya, adalah doa, permintaan yang baik dari makhluk kepada yang Mahasegala.

Mereka yang bergelut dengan statistik kependudukan mungkin akan mencatat kenyataan bahwa pada tahun 2010 nanti, dari 2 juta bayi yang lahir lima tahun terakhir ketika itu, cukup banyak yang diberi nama Abdurrahman Wahid, Amien Rais, dan Megawati. Beberapa yang lain secara bersama-sama mungkin akan memakai nama “Marinawati” atau “Derita Semangi” untuk anak perempuan, atau cukup dengan membubuhkan kata “Marinir” di belakang atau di depan nama-nama seperti Teguh, Budi, dst. Tentu masih akan banyak nama-nama lain. Tapi masihkan ada bayi yang kelak lahir akan diberi nama Soeharto, Wiranto, Subagjo, atau Harmoko? Saya tak berani meramal.


Siapa mereka? Mereka adalah ribuan mahasiswa yang hari-hari ini tumpahruah turun ke jalan, dan lantas dihadapkan pada pentungan, bayonet, senapan, water canon, dan kecongkakan tentara. Mereka yang sekarang mengalami sendiri, bahwa hanya karena berbeda pendapat seseorang bahkan harus menghadapi teknologi pemusnah paling mematikan.



Tujuh sampai sepuluh tahun yang akan datang, kita akan melihat munculnya sebuah generasi baru orang-orang tua di Indonesia, yang hidup selamat ke luar dari situasi penuh petaka saat ini. Persis saat itulah, perilaku aparat ABRI yang kita lihat saat ini benar-benar akan menuai hasil yang paling mengerikan: jadi bagian dari sisi gelap pengalaman sejumlah besar orang. Orang-orang tua berusia muda pada waktu itu akan menanamkan hal yang sama pada anak-anaknya tentang ABRI: pembunuh, pembantai, penculik, biadab, pongah, haus kuasa, bodoh. Seluruh makian yang kemarin histeris diteriakkan, besok akan mengkristal menjadi sebuah moral yang diajarkan turun temurun. Persis seperti orang tua kita sekarang menuturkan patriotisme Soedirman atau Bung Tomo kepada anak-anaknya.

Siapa mereka? Mereka adalah ribuan mahasiswa yang hari-hari ini tumpahruah turun ke jalan, dan lantas dihadapkan pada pentungan, bayonet, senapan, water canon, dan kecongkakan tentara. Mereka yang sekarang mengalami sendiri, bahwa hanya karena berbeda pendapat seseorang bahkan harus menghadapi teknologi pemusnah paling mematikan. Juga jutaan mereka yang lain, yang setiap hari nonton TV, membaca media, melahap berita tentang pembantaian sipil oleh militer. Mereka yang merasakan betapa bahayanya jika aktivitas bernegara melulu disandarkan pada mesin-mesin pembunuh. Ribuan mahasiswa ini, dalam lima atau sepuluh tahun ke depan, akan melahirkan sebuah generasi yang benar-benar berbeda dari yang ada sekarang.

Secara sosiologis, mereka adalah anak muda hari ini, yang lebih banyak berguru dan percaya pada TV atau media massa lainnya. Mereka adalah sebuah generasi yang hidup di zaman ketika citra telah menggusur ideologi secara tuntas.

Orang bolah mengira bahwa semua makian tadi akan menguap, bercampur bau darah dan asap mesiu, dan lantas dilupakan. Tapi satu hal penting yang sampai sekarang banyak dilupakan adalah tentang kesanggupan citra untuk mempengaruhi bahkan menciptakan realitas. Bahwa media cetak, TV, radio dan internet adalah pembentuk-pembentuk realitas baru, yang di dalamnya citra, bukan propaganda politik para pejabat, menjadai tauladan paling berwibawa.

Representasi ABRI dalam media massa selama ini memperlihatkan dua hal yang saling bertolakbelakang: antara janji perbaikan diri yang terus menerus diulang, dan praktik-praktik kebengisan tentara yang menegasikannya. ABRI sebagai lembaga bisa saja berapologi bahwa seluruh tragedi itu bukan semata kesalahan mereka. Pembelokan istilah “Tragedi” menjadi “insiden Semanggi” (yang berarti kecelakaan kecil) adalah bagian dari strategi untuk merepresentasikan ABRI secara lebih baik dalam media. Ini adalah satu proses habituasi pikiran yang berusaha memaksa orang untuk memberi makna atas satu peristiwa berdasarkan interpretasi sepihak si pelaku.

Tapi koran, tabloid, TV, radio swasta, dan internet bukan corong suara yang hanya bisa menghasilkan satu bunyi. Tradisi media sebagai humas bagi kepentingan penguasa sudah berakhir. Semua orang melihat, mendengar, membaca, dan bahkan memproduksi informasi, memproduksi citra, membuat kode-kode digital, dan menyebarkannya ke seluruh dunia. Segala hal berubah menjadi data digital yang tak bisa dikontrol oleh kekuasaan. ABRI dan mahasiswa menjadi satuan-satuan yang tidak lagi real, melainkan hasil representasi media yang akan dicerap siapa saja secara bebas. Berita akan menjadi drama, mengaduk-aduk emosi, tumpang tindih dengan pangalaman nyata sehari-hari, menikamkan pengalaman traumatis di setiap kepala. Maka berita pembantaian mahasiswa seketika akan meluruhkan kepercayaan orang pada keterangan pejabat tentang peristiwa yang sama.Yang sampai pada kita adalah sebuah tragedi yang memalukan kita sebagai bangsa: tentara membantai mahasiswa persis di jantung ibu kota negara.

Itu semua akan menggumpal menjadi ajaran baru pengganti ideologi yang ditanamkan secara paksa melalui lembaga-lembaga formal. Karena itu, setiap desing peluru yang ditembakkan oleh seorang tentara kemarin, itu sama dengan satu baris kode program yang dituliskan ke dalam keping memori dalam otak setiap mahasiswa yang akan menghasilkan sebuah peristiwa paling getir: krisis eksistensial ABRI di masa depan. Setiap mata yang membaca koran, nonton TV dan internet, setiap telinga yang mendengar pada dasarnya adalah jendela-jendela informasi melalui apa berlangsung rangkaian penulisan kode dua program sekaligus di kepala: penghapusan citra baik, dan penciptaan citra buruk tentang tentara.

Seluruh prilaku bengis yang diperlihatkan tentara belakangan ini, cepat atau lambat, telah dan akan melenyapkan seluruh kenangan baik orang tentang ABRI di masa lalu. Menguap sudah citra tentang tentara rakyat Soedirman, yang seluruh hidupnya diabdikan bagi negara. Luruh sudah kebanggaan rakyat pada prajurit pembela bangsa. Semakin ngotot ABRI mempertahankan dan membenarkan tindakannya hari ini, semakin cepat pula ia akan lenyap dari realitas-realitas baru yang akan muncul nanti. Ia akan hanya diingat sebagai bagian sejarah yang tak layak dilibatkan dalam peradaban baru.

Dwifungsi ABRI mungkin memang akan terus dipertahankan. Sebagian karena kepentingan elite politik yang tidak memiliki rasa percaya diri jika kekuasaannya tidak dipagari senapan. Sebagian lagi karena beberapa petinggi ABRI sendiri yang terlanjur merasa nyaman jadi penguasa. Tapi sekarang pada dasarnya ABRI sudah mulai terlucuti. Karena tabiat buruknya sendiri, ia jadi sebuah institusi yang terkucil kesepian, ditinggalkan oleh sejumlah besar rakyat yang semula menaruh hormat begitu tinggi. Maka kekuatan rakyat yang paling mengerikan sebenarnya bukan hanya karena ia akan sanggup meluruhkan setiap butir peluru jadi debu, melainkan juga karena kita semua pada dasarnya adalah konsumen sekaligus pantulan citra yang begitu patuh.

Pernah dimuat pada tabloid ADIL, April 1998