Kritisisme Kaum Tengah-Atas

Politik dan Hiburan

“Blog

Kita telah kehilangan seluruh hak kita dimulai dengan hilangnya hak kita untuk bicara. Dalam The Republic of Silence Sartre menuliskan kalimat tersebut dengan timbre suara meradang dan menerjang di dekade 1940-an. Persisnya pada bulan september 1944, ketika Prancis, berkat bantuan dari kekuatan tentara sekutui, baru saja lepas dari pendudukan Jerman pada 25 Agustus 1944, dan ia sendiri menjadi bagian dari gerakan yang dikenal dengan France Resistance itu. Sebagian menduga ia merupakan salah satu pemimpinnya, tapi sebagian yang lain kemudian menyadari bahwa peran Sartre di sana telah terlampau dilebih-lebihkan.

Dari awal kalimat-kalimat Sartre dalam Republik Bungkam itu sudah menghunjamkan luka dalam seperti belati menancap di sela tulang belikat: “Setiap hari kita dinistakan persis di muka kita sendiri dan harus menyikapinya dalam bungkam. Karena racun Nazi meresap bahkan ke dalam pikiran-pikiran kita, setiap pikiran yang pantas pun adalah sebuah penaklukan. Karena polisi yang sangat kuasa mencoba memaksa untuk membuat kelu lidah-lidah kita, setiap kata bernilai sebagai sebuah deklarasi dari prinsip-prinsip hidup. Karena kita diburu, setiap gerak tubuh kita memiliki bobot sebagai sebuah komitmen yang sangat serius”.

Sebuah republik bungkam, jelas menunjuk pada terkatupnya sekian banyak sumber suara yang mustinya justru jadi landasan bagi sebuah bentuk kepengurusan negara semacam itu. Kita tahu, republik bukanlah gua sunyi ke mana segala suara bersembunyi. Sebagian besar dari kita pasti tidak pernah mengalami pahitnya nasib di bawah rezim pendudukan asing: Jerman di Prancis yang dialami Sartre, atau Jepang di Indonesia seperti yang pernah dialami oleh orang-orang pendahulu kita. Tapi berpuluh-puluh tahun setelah pendudukan berakhir, dan republik dideklarasikan dengan suka cita, dan air mata, kegembiraan hidup bersama sebagai warga dari sebuah republik itu terus-menerus memudar. Setelah rezim Sukarno berakhir dengan berdarah-darah, berpuluh tahun sudah kita hidup dalam sebuah republik yang lain lagi ini.

Meskipun mungkin tidak berlaku bagi semua orang, tapi bagian cukup besar dari kita adalah atau mungkin seolah-olah merasa, setelah masa bulan madu politik dengan rezim baru berakhir, menjadi korban dari politik pembisuan sebuah republik itu. Rudakpaksa atas kebebasan, penyumbatan saluran-saluran disonansi suara dari bunyi-bunyi kekuasaan, itu tidak hanya bisa dilakukan oleh kekuatan pendudukan asing seperti yang dijumpai dan dilawan Sartre, tapi juga oleh negara yang dibangun di atas tulang-tulang yang berserakan dan harapan-harapan besar para leluhur kita ini. Di era Orde Baru kemarin, kebenaran menjadi demikian tunggal, terpusat, menggumpal dan pejal sehingga sangat keras jika dipakai untuk menghantam. Ia menjadi kekuatan yang lahir dari relasi dominasi tanpa tanding. Kebenaran di situ muncul justru dari ketidaksanggupan kita menyerap sumbernya yang dikhianati. Orde Baru adalah sebuah rezim yang terus-menerus memproduksi dan mereproduksi kata-kata kosong dan seragam.

Pada saat itu sebuah kebutuhan baru yang sangat mendesak sedang tumbuh, dan terus bertambah besar oleh datangnya musim semi politik ketika Suharto sendiri sudah menarik dirinya mundur. Yakni kebutuhan akan suara yang lain, yang bisa mengelak dari kooptasi kata-kata bodoh para pejabat. Maka terkadang begitu antusias kita melahap setiap suara yang sanggup memberi kita kesan keberanian itu. Sebab ia seperti menjadi wakil dari rasa berani kita yang telah ciut. Dalam suaranya kita seolah menemukan kembali kekuatan yang hilang.

Di lidahnya banyak dari kita merasa cinta kita tersambungkan kepada bangsa, kepada rakyat dan negara. Libido kita seolah menemukan saluran dalam kata-katanya yang menghentak-hentak, seperti gairah pengantin baru. Kita begitu memuja mereka yang punya keberanian untuk melontarkan kata-kata yang mengguncang, dan bukan upaya sungguh-sungguh untuk memeriksa praktik-praktik kehidupan politik itu secara jernih. Sebab kejernihan telah terlampau sering bertemu jalan buntu. Terutama ketika ia berhadapan dengan demikian besarnya kekuasaan negara dan majalnya nalar politik dan sosial secara kolektif. Argumentasi intelektual memang menjadi mandul juga karenanya.

Soalnya kemudian adalah karena pada dirinya sendiri para pemberani ini sering telah mewarisi kehendak pada kebenaran tanpa lawan tanding pula. Kritik lantas diterjemahkan sebagai kompilasi pelbagai kecaman tehadap kekuasaan. Yang dirangsangnya adalah kekecewaan yang makin akut. Kita seperti terburu-buru, dan serba takut kalau-kalau saluran yang sedikit terbuka itu terlanjur ditutup keembali. Diskusi telah berubah menjadi ajang kepandaian retoris dan tepuk tangan. Tepuk tangan merayakan keberanian, tapi bukan perbedaan. Sebab yang disambut gembira adalah suara-suara yang lantang menentang, asal melawan.

Kritik kemudian bergeser ke arah bentuk kesewenangan lainnya. Karena ia telah dibelokkan menjadi sesuatu yang melulu mesti menggempur. Di titik terjauhnya, kritik kehilangan aspek reflektif dan hanya mampat menjadi petunjuk aksi. Ini adalah salah satu hal yang dulu juga sempat disesali oleh Herbert Marcuse di Eropa. Perjuangan seperti mustahil tanpa keberanian yang meluap-luap. Tapi di titik lainnya, ketika terus-menerus diproduksi dan direproduksi secara mekanis melalui kanal-kanal informasi, kritik juga bisa bersalin rupa menjadi sejenis hiburan. Bukan sembarang hiburan tentu saja, karena ia membutuhkan audience yang cukup terdidik yang dapat memahami semua diksi dan jargon yang digunakan di dalamnya.

Dalam konteks seperti inilah nama seorang pengusaha, Wimar Witoelar, menjadi terkenal bukan kepalang. Ia persis dibesarkan oleh perpaduan antara tiga hal: adanya audience yang terobsesi oleh kata-kata yang mengguncang, kemampuan Wimar sendiri yang luar biasa dalam menjadikan kritik sebagai sejenis entertainment, hiburan yang mengasyikkan, dan liputan media. Maka kita secara bergerombol seperti terkena waham gandrung pada kritik yang menghibur atau hiburan yang kritis.

Pilihan Wimar untuk menjadi tuan rumah (host) acara nampang-bincang (talkshow) televisi tampaknya memang bukan tanpa perhitungan yang matang. Ia pasti tahu bahwa kalau tidak semua sangat banyak warga yang bosan dan muak dengan hipokrisi dan keseragaman bahasa. Mereka ingin membebaskan diri dari belenggu kebisuan. Kalau pun tidak dalam bentuk perlawanan keras seperti Sartre, tapi toh tetap harus ada yang bisa memulai dan mengajak orang berbincang dengan pikiran yang tajam. Awalnya boleh jadi ia hanya mencoba alternatif penyampaian informasi kepada khalayak ramai melalui televisi. Tapi Wimar juga memperkenalkan gaya perbincangan yang sangat segar ke dalam acara-acara sejenis yang sudah ada sebelumnya. Gayanya dalam memandu perbincangan sangat rileks, bahasanya tertata rapi, sopan, cukup jenaka, wawasannya sangat luas, pandangannya sangat kritis, dan berkelas.

Muncul sebagai pendatang baru dalam industri siaran televisi, saya kira Wimar dengan sangat cepat menjadi tuan rumah nampang-bincang televisi terbaik di Indonesia saat ini. Ia akan menjadi yardstick dengan apa kualitas semua tuan rumah acara-acara sejenis diukur. Tapi sebagai pengusaha pada akhirnya ia juga pasti lebih tahu bahwa keberanian adalah komoditi langka yang tengah diburu orang banyak. Hasilnya hampir semua kalimat yang keluar dari mulut dan tangannya pasti mengundang minat banyak orang.

Gagasan Wimar tentang partainya orang biasa misalnya, pada dasarnya adalah gambaran dari usaha menjelaskan posisi sosiologisnya sendiri. Ia adalah bagian dari minoritas rakyat yang hidup dalam kelimpahan, dan karenanya memiliki banyak waktu untuk berpikir di luar soal perut. Saya tidak tahu persis apakah ia bisa menjadi sosok ideal kelas menengah perkotaan seperti dalam telaah-telaah tentang sebab-sebab perubahan sosial. Saya hanya tahu bahwa ia sama sekali bukan orang biasa yang miskin. Melalui gagasannya tadi Wimar berusaha menempatkan dirinya sebagai tokoh populis, justru karena ia sendiri sebenarnya berasal dari luar populasi orang-orang biasa.

Karena itu, gagasannya jadi terkesan sangat romantik, dan karena itu juga sangat marketable di lingkungan orang-orang kaya di perkotaan. Sekarang ini kita memang makin sulit membedakan antara kepedulian sebagai sebuah pilihan sikap moral dari gaya hidup. Dan Wimar persis bermain di dua area itu dengan sangat baik. Ia menjadi orang kaya yang sangat kritis, tapi sekaligus juga pebisnis yang berhasil menstranformasikan kritisisme menjadi bagian dari gaya hidup.

Di dalam dirinya sendiri mungkin tidak ada yang salah dengan “kritik yang menghibur” dan “hiburan yang kritis”, terutama ketika kita hidup dalam zaman yang sangat mudah mengundang rasa bosan. Tapi bisakah kita banyak berharap dari hal seperti itu?


Versi awal esai ini pernah dimuat dalam Tabloid Adil, 7 Juli 1999.