Seniman dan Paradoks Cyberspace

Sosiologi


“Blog

Beruntunglah karena dunia kita masih punya seniman. Sebab salah satu kehebatan seniman adalah kesanggupannya untuk menggandakan dunia tanpa penolakan yang berarti dari orang lain. Mereka bisa menciptakan dunia baru untuk berkeluhkesah atau sekedar untuk sebentar bergembira. Itu bisa berupa sebuah dunia tempat kata tak selalu dibebani makna, seperti yang diciptakan oleh Sutardji. Mungkin karena ia tahu betul, sekeras apa pun kita berusaha merekatkan kata pada makna, yang dihasilkannya adalah kalimat-kalimat yang korup, penuh aturan dan, pada dasarnya, juga tak bermakna. Lagi pula, tidakah kebiasaan seperti itu hanya memperlihatkan bakat kita untuk jadi pemaksa yang tak kenal kata "tidak". Sementara kepahitan Sukardal jadi begitu indah dalam puisi Goenawan Muhamad, seperti Affandi yang berhasil meyakinkan mata kita bahwa matahari biru warnanya. Seorang seniman dangdut bahkan sanggup membuat orang yang dihantam alu bencana tetap bergairah bergoyang pinggul.



Mari sejenak mengenang Shakespeare. Dalam A Midsummer Night's Dream, pemegang rahim kata-kata ini antar lain menulis begini: "and, as imagination bodies forth the forms of things unknown, the poet's pen turn them to shapes, and gives to airy nothing, a local habitation and a name". Dunia aktual sepertinya memang ditakdirkan hanya untuk orang-orang cupet: kita yang setiap hari berkutat dengan persoalan-persoalan, dan hidup dibayangi oleh purbasangka-purbasangka yang sama. Manusia yang hanya bisa hidup tenteram jika tak lagi ada kepala yang bertanya. Persis seperti berhala. Tidak pernah terjadi peremajaan pikiran dan tindakan. Hilang keberanian untuk jadi penantang kebulatan suara. Melulu berkiblat pada ketertiban, kehilangan gairah bermain dan bergembira. Para penyair atau seniman pada umumnya, menampik itu tidak dengan seruan "merdeka atau mati", melainkan dengan mencipta sebuah dunia di seberang.

Belakangan ini, kebiasaan menggandakan, menyalin ulang dunia tadi tak hanya memukau para seniman melainkan juga para pembuat kode-kode program komputer. Karena memang bukan hanya seniman yang tanggap atas makin sesaknya realitas. John Waljer tahun 1988 mengucapkan kredo yang cukup membius, "realitas tak lagi cukup", katanya ketika ia menggagas proyek Cyberpunk Initiative. Mereka adalah anak-anak yang dibesarkan dengan kemurkaan pada dunia dan norma lama, sambil secara antusias melahap sihir kata-kata Shakespeare di atas. Hasilnya yang paling mencengangkan adalah apa yang biasa disebut sebagai realitas virtual (virtual reality), sebuah realitas yang airy nothing. Halaman-halaman rumah tinggal yang siap didatangi siapa saja. Habitatnya kemudian diberi nama dunia virtual atau cyberspace. Berbeda dengan dunia ciptaan para seniman yang tertutup bagi khalayak ramai, dunia virtual ini justru menguak diri lebar-lebar untuk dihuni segala jenis manusia.

Istilah cyberspace sendiri sama sekali tidak lahir dari otak para insiyur, melainkan dari orang yang sehari-hari bergelut dengan kata-kata. Tahun 1984, William Gibson memperkenalkan ungkapan tersebut dalam novel science fiction-nya yang berjudul Neuromancer. Pada novel ini pula istilah "jack in" dipopulerkan. Dalam kata-kata Gibson, cyberspace adalah sebuah "halusinasi konsensual" yang dialami setiap hari oleh jutaan operator resmi, dan kanak-kanak yang diajari konsep-konsep matematis di semua bangsa. Ia adalah sebuah representasi grafis high-definition dari data yang abstraksinya ditarik dari setiap komputer dalam jaringan raksasa yang ruwet. Singkatnya, kata Gibson, cyberspace adalah suatu kerumitan yang takterumuskan, kilatan-kilatan cahaya yang melintas begitu cepat dalam pikiran, seperti lampu-lampu kota.

Meskipun tak terkesan pesimistis, Gibson sendiri sebetulnya bukanlah jenis penyanjung technotopia. Neuromancer adalah sebuah kritik pedas atas beberapa tendensi zaman kita: satu titik dalam sejarah ketika ketimpangan sosial berlangsung massif berbarengan dengan pertumbuhan perusahaan-perusahaan raksasa, dan sebuah ekonomi yang aturannya didasarkan pada dan praktiknya sebagian besar dilakukan melalui jaringan komputer yang serba cepat. Seting ceritanya tentang kriminalitas di sebuah dunia bawah tanah. Tentang sebuah perusahaan raksasa yang mendominasi rakyat, ketika teknologi telah mengasingkan dan berada di luar kontrol manusia. Ini adalah sebuah dunia yang nyaris seperti neraka, tempat simulasi menjadi satu-satunya realitas yang tersisa untuk dihidupi. Bedah plastik adalah kebiasaan sehari-hari: orang mempermak seluruh tubuhnya untuk bisa cantik dan berfungsi secara sosial dan ekonomis. Ekonominya menjadi semacam sebuah "halusinasi konsensual", perpindahan-perpindahan angka modal dan citra tanpa keterhubungan dengan kehidupan rakyatnya. Tokoh utamanya, Case, dilukiskan Gibson sebagai seorang pecandu berat cyberspace yang frustasi. Mengapa? Karena sistem syarafnya telah disabotase dengan neurotoxin sampai ia tidak bisa melakukan "jack in" ke dunia yang digemarinya itu.

Dunia kita sekarang, tentu saja belum semuram yang dibayangkan Gibson. Tapi itulah, tetap sering tinggal satu hal yang membuat kita terus merasa iri pada seniman: kemampuannya untuk menjangkau peristiwa pada momen sejarah yang belum lagi bernama dan belum terdeteksi oleh instrumen teknik paling canggih sekalipun. Padahal ia menceritakannya dalam cara yang gembira, ringan, cerdas dan tak mengesankan diri sebagai seorang pengkhotbah.



Realitas virtual adalah upaya untuk menerjemahkan mimpi menjadi kebolehjadian elektronis. Ia tidak lebih dari pengintegrasian gairah-gairah hidup yang baru ke dalam sirkuit yang dihasilkan oleh perpaduan perangkat-perangkat keras dan lunak tertentu. Pada level ini, realitas virtual sama sekali tidak berbeda dengan deretan panjang pajangan mimpi di televisi. Tapi di sisi lain ia berbelok untuk menikamkan implikasi filosofis yang cukup menyakitkan bagi kita yang terlampau mencintai kemapanan sebuah tatanan.

Secara historis dan sosiologis, dunia realitas virtual dihasilkan dari keinginan para peneliti teknologi-pencitraan-komputer (computer-imaging technology) untuk bisa menghadirkan sebuah realitas tiga dimensi hasil simulasi. Realitas yang disimulasikan itulah yang dimaksud dengan realitas virtual. Inilah salah satu bentuk perkembangan teknologi abad 20. Lingkungan-lingkungan virtual pertama diciptakan di lembaga NASA pada dekade 1980-an. McGreevy telah berhasil mewujudkan visi tentang virtualitas ke dalam proyek penelitian NASA dalam VIVED (Virtual Visual Environment Display). Namun demikian, sebenarnya sudah sejak tahun 1970-an para teknolog belajar keras untuk memproduksi citra-citra animasi komputer tentang pelbagai objek yang sanggup menghadirkan warna, tekstur, dan perubahan orientasi-orientasi spasial sehingga benar-benar akan tampak seperti dunia nyata. Citra-citra tersebut juga bisa dikendalikan untuk merubah kondisi-kondisi pencahayaan, dan untuk mensimulasikan pelbagai efek gravitasi atau daya-daya lainnya. Hasilnya bisa dilihat sama realnya dengan gambar-gambar gerak aktual.

Mengikuti Roland Barthes, munculnya kesan real antara lain disebabkan oleh penggambaran yang sangat detil, yang terkadang justru sangat berlebihan. Itu pula yang dilakukan oleh para kreator realitas virtual. Mereka menciptakan sebuah dunia baru melalui serangkaian proses untuk menghadirkan gambaran yang detil seperti pencahayaan yang sempurna, kualitas warna dan gambar yang prima, bentuk-bentuk bangunan yang sama persis dengan kenyataan, citra audio yang realistis, dan yang terpenting adalah bagaimana seluruh detil tersebut sanggup menciptakan ruang-ruang tiga dimensi yang bisa dimasuki oleh (kesadaran) seorang pemakai komputer.

Karena itu kita musti kembali mensyukuri kehadiran seniman. Sebab untuk mencapai efek real pada tampilan realitas virtual, seorang pembuat game komputer realitas virtual tiga dimensi, misalnya, juga musti berguru banyak pada seniman. Seperti halnya para pengarang, ia juga dituntut untuk membangun cerita yang sanggup mendatangkan rasa penasaran sekaligus ketegangan, ketakutan yang mencekam dan rangsangan-rangsangan pada libido. Ketika unsur-unsur tersebut berhasil dijalin dalam satu keutuhan pengkisahan yang logis, ketika itu pula ia sempurna sebagai salinan dari realitas aktual yang benar-benar bisa dialami.

Tujuan berikutnya adalah untuk "memasuki" dan, ini yang paling penting, secara aktual memanipulasi cyberspace. Fase terakhirnya tentu saja, seperti ditunjukkan oleh Baudrillard (1995:99), adalah pertunjukan realitas, ke mana setiap orang diundang untuk menghadirkan diri sebagai dirinya sendiri dengan kunci-kunci tombol di tangan, dan untuk memainkan pertunjukan hidupnya pada sebuah layar monitor komputer. Maka kemajuan utama di bidang teknologi komputer pada dasarnya tidak ditandai oleh pembuatan mesin catur DeepThought IBM yang sanggup mempecundangi Kasparov, tapi oleh semakin terbukanya peluang manusia untuk membangun dunia-dunia baru. Dunia-dunia baru yang bisa dibangun atau dihancurkan sesuka hati. Tempat segala kemustahilan justru menjadi hal yang paling biasa. Era komputer sebagai si jenius kalkulator raksasa berlalu sudah.

Sherry Turkle, penulis The Second Self di tahun 1980-an dan tahun lalu sempat memancing perdebatan dengan buku barunya, Life on the Screen: Identity in the Age of Internet (1996), menyatakan bahwa dengan introduksi interface oleh Macintosh pada tahun 1984 yang lalu, cara orang tahu tentang sebuah komputer dimungkinkan melalui navigasi, eksperimentasi dan bermain bersamanya. Setelah sejak hampir setengah abad bayangan kita tentang komputer adalah sebuah mesin yang merangsang gaya pemikiran mekanistik, sekarang justru sebaliknya. Model pemikiran dalam komputer bersifat asosiatif, intuitif bahkan nyaris biologis. Melalui konsep "kotak dialog", mesin-mesin hitung bego itu sekarang sudah bisa diajak berbicara lebih dahulu, sebelum kita memutuskan untuk melakukan sesuatu. Revolusi baru yang kini tengah mendera kita adalah pelbagai pergeseran radikal fungsi dan substansi mesin-mesin cerdas, dari instrumen yang berkonotasi pada rumus-rumus matematis dan kejeniusan Enstein yang menyeramkan menjadi laku-laku kesenangan Dionysian yang begitu manusiawi. Abacus bermutasi menjadi Bacchus. Kata kuncinya bukan melihat, mendengar atau merasakan, tapi gabungan dari semuanya: mengalami. Dalam bahasa Turkle, ini menandai pergeseran yang telah terjadi dari komputasi modern ke arah simulasi postmodern.

Kemungkinan tak terbatas yang disediakannya untuk mengalami sebuah kenyataan, bahkan memberi peluang sangat besar pada kita untuk berusaha menerapkannya dalam cara kita mengalami seks. Dalam bahasa yang lebih teknis, "turn your software into hardware." Karena pada dasarnya seks merupakan batas real dan imajiner manusia, maka kita sering melihat teknologi baru sebagai satu cara mudah untuk mendapatkannya sama sekali tanpa penderitaan atau konsekwensi pada hidup yang nyata. Teknologi menjadikan seks, seperti halnya unsur manusiwai yang lain, anonim sifatnya, nirluka, niremosi, nirkomitmen, dan tentu saja bebas penyakit. Padahal media, seperti ditulis Rushkoff (1994), senantiasa dipakai untuk meningkatkan keintiman, sedangkan puncak keintiman bagi bagian terbesar orang adalah seks. Ketika teknologi-teknologi mediasi seks tumbuh semakin pesat, maka orang akan berpikir dan membayangkan bagaimana menggunakan teknologi tersebut pada keintiman seksual. Realitas virtual adalah satu bentuk teknologi baru yang memungkinkan bayangan tersebut menjadi semakin dekat dengan kenyataan. Oleh karena itu, banyak yang menentang realitas virtual dengan sandaran moral. Mereka khawatir kalau-kalau sekali satu produk teknologi seperti itu bisa disangkutkan pada alat-alat genital, orang akan menancapkan dirinya sendiri pada program-program seks virtual dan kelompok-kelompok seks komputer interaktif, lantas bermasturbasi dengan dirinya sendiri selama sisa hidupnya. Tak pernah terjangkit AIDS, tapi sekaligus mandul.



Kalau kita bisa sepakat, bahwa pada dasarnya apa yang kita sebut sebagai realitas dunia adalah keseluruhan lingkungan fisik alamiah dan terjemahan dari pelbagai gagasan serta kerja manusia dalam menghadapi perjumpaan-historisnya dengan dunia, maka asumsi seperti ini yang akan sedikit membantu kita membedakannya dengan realitas virtual tadi. Yang pertama lazimnya akan menghasilkan apa yang kita sebut sebagai dunia-kehidupan. Dunia ini terdiri dari bermacam-macam realitas (multiple realities). Salah satu realitas dalam dunia-kehidupan adalah apa yang oleh fenomenolog Alfred Schutz disebut sebagai the paramountt reality, yakni realitas kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, realitas virtual adalah upaya-upaya intensional manusia untuk menerobos celah-celah dunia-kehidupan yang telah dimapankan melalui pelbagai institusi sosial kemasyarakatan, secara otomatis menulis ulang realitas kehidupan sehari-hari, dan dari sana ia seolah-olah berpretensi membangun semacam dunia-tandingan. Dunia-kehidupan mensyaratkan adanya kebudayaan yang membangunnya, sehingga aktivitas bermasyarakat tidak lain merupakan sebuah aktivitas world-and-culture-making. Realitas virtual bukan lain adalah produk resmi dari aktivitas tersebut dan berpretensi melampauinya.

Baudrillard (1996:102) bahkan menyatakan bahwa gagasan virtualitas pada dasarnya adalah bagaimana spesies manusia akan dilibatkan, tanpa mengetahuinya, dalam tugas pemrograman kode untuk pelenyapan dunia secara otomatis, karena memang sudah tidak ada lagi realitas yang asli. Yang tinggal hanya salinan-salinan identik (simulacra) yang bahkan lebih asli dari yang asli. Dalam nafas yang sama seperti ketika ia melontarkan gagasan tentang hyperrealitas dan simulacra, bagi Baudrillard hal itu memperlihatkan bahwa realitas virtual lebih dari sekedar transformasi ideal dunia, melainkan bahwa tujuan akhir tersembunyi dari teknik semacam itu adalah pembangunan sebuah dunia otonom yang sempurna from which we can retire and remove definitively.

Untuk melangkah ke arah tersebut, maka dunia harus bisa diraih secara total. Sayangnya, manusia hidup di bumi sebagai sejenis makhluk asing, pendatang yang terlambat, maka dunia tempat hidupnya tidak pernah bisa sempurna. Sebab memang tidak pernah ada kesempurnaan dalam kondisi alami. Manusia sendiri pada dasarnya adalah sebuah cacat yang rawan dari realitas alami tersebut. Untuk menjadi sempurna ia harus dibentuk, dan dunia bentukan tersebut artinya adalah dunia artifisial. Maka menurut Baudrillard, jika kita ingin menggapai bentuk keabadian atau kesempurnaan, kita harus memperlakukan diri kita sebagai sebuah artefak, dan keluar dari diri kita sendiri, untuk bisa bergerak dalam sebuah orbit artifisial di mana kita bisa berputar secara kekal. Menjadi artefak artinya menjadikan diri kita sendiri sebagai reruntuhan, puing dari sebuah peradaban lama yang real. Mengejar kesempurnaan, dengan demikian, bagi Baudrillard berarti mentransformasikan kehidupan sehari-hari ke dalam realitas virtual. Dan sekarang, objek apa pun, individu siapa pun, situasi bagaimana pun saat ini bisa dijadikan sebuah objek siap-buat virtual.

Yang ingin dibentuknya adalah semacam etik bahawa "apa pun bisa dicapai". Sebutlah satu kata: Internet. Di dalamnya orang bisa merasa begitu bebas untuk bereksperimen, mengeksplorasi hal-hal yang sama sekali baru, atau bahkan untuk, meminjam ungkapan Turkle, bergulat dalam permainan identitas (to engage in identity play). Artinya, Anda bisa dengan aman memainkan aspek-aspek luar dari diri yang sangat muskil diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Turkle ingin mengatakan bahwa dimensi virtual--dengan memungkinkan eksplorasi yang relatif bebas-resiko-- juga bisa menjadi titik awal untuk kembali secara lebih kaya ke sebuah realitas yang sebelumnya ditolak. Yakni peluang-peluang untuk membentuk komunitas-komunitas baru, penegasan ikatan-ikatan sosial yang telah hilang atau yang sebelumnya tidak mungkin. Dengan ungkapan lain, realitas virtual sekarang telah menjadi sebuah apsek realitas aktual yang harus diperhitungkan.

Akan tetapi, mencermati perkembangan produk-produk teknologi realitas virtual akhirnya akan pula membuat kita berpikir ulang tentang realitas-realitas baru yang disajikannya. Kalau kita dengan teliti mengamati bagaimana pelbagai aplikasi memungkinkan pemakainya untuk berkelana di antara pelbagai topik yang saling berhubungan bahkan untuk menciptakan hubungan-hubungan baru di antara pelbagai ide, misalnya, tidakkah pada dasarnya kita tengah mengalami sebuah perjumpaan dengan penerjemahan konkrit dari khayalan kita sejak lama: Mengahadapi kompleksitas jaring-jaring relasi antar wacana secara nyaman. Meleburkan diri menjadi citra, kesempurnaan yang paling mungkin.

Maka pernyataan Turkle bahwa komputer berubah dari sekedar pelayan menjadi kawan menjadi begitu penting untuk direnungkan. Budaya komputer memberi kita tawaran untuk membersihkan hal-hal rutin dan sepele hanya dengan mengklik sebuah mouse. Tapi ia juga sanggup melebihi Anda dalam mengerjakan tugas-tugas yang, tanpa bantuannya, mungkin sampai turunan ketujuh keluarga Anda masih belum bisa diselesaikan.

Kalau budaya komputer semakin sanggup menawarkan sebuah arena, pelbagai peluang, dengan kata lain sebuah dunia baru untuk bermain bersama antara kita dengan program simulasi komputer, tidakkah pada dasarnya kita tengah didamparkan ke sebuah dunia impian purbawi kita: kesenangan bukan pahit luka dukalara, kekerasan tanpa konsekwensi fisik?. Petualangan gila-gilaan sekaligus paling aman. Pada level yang lain, ketika sedunia orang saling menghubungkan dirinya via udara dan seutas kabel, dan tertancap rapat ke jaringan komunikasi sebumi, itu semua dilakukan dengan asumsi tentang kebebasan radikal yang paling mungkin dicapai manusia, termasuk kebebasan untuk memilih cara kematian seperti yang dianjurkan Applewhite baru-baru ini.

Suka atau tidak suka akses yang cukup mudah pada datasphere telah mengantarkan kita pada era masyarakat berbasis informasi, bukan lagi masyarakat yang melulu didasarkan pada keterikatan tradisional seperti puak, nagari atau bangsa sekalipun. Di lain pihak secara paradoks pertumbuhan jaringan komputer sedunia juga seolah menandai lahirnya era anarkhi di atas dunia, yang dihasilkan oleh perpaduan antara manusia-manusia hyperindividualis dan lingkungan hyperdemokratis dunia cyberspace. Dengan cara yang sama paradoks lain akan muncul: Orang bisa menjadi kosmopolitan sekaligus egois dan primordialis yang puritan--yang bukan lagi berorientasi pada negara atau bangsa melainkan lebih menukik ke akarnya, pada diri atau satuan-satuan kecil lainya.

Kita bisa belajar banyak bagaimana tragedi Rancho Santa Fe, sebuah bunuh diri massal di kawasan makmur pinggiran kota California, berlangsung demikian mencengangkan. Puluhan manusia yang setiap hari menghabiskan waktu untuk melihat langit, menunggu tanda, mengarungi jaringan internet sejagat, menunggu Jembatan Syurgawi, semuanya telah memilih satu hal yang sama: memenggal hidup demi sebuah harapan suci, sebuah pembebasan. Seperti Socrates menenggak racun, mereka memilih kematian sebagai cara untuk menolak sekaligus sebagai pelecehan terakhir atas dunia yang dituding hina. Seolah membenarkan Baudrillard, mereka nekad mundur bahkan lenyap secara definitif dari realitas aktual, kemudian berputar secara kekal dalam sebuah orbit artifisial menuju sebuah kerajaan di dunia baru yang lebih tinggi dan sempurna.

Marshall Herff Applewhite, pendiri aliran Heaven's Gate ini jelas bukan tanpa sengaja memilih internet untuk menularkan faham dan keyakinannya tentang metamorfosa individu (Human Individual Metamorphosis) menuju satu level berikutnya di atas manusia. Sebab internet, seperti dengan cukup meyakinkan dinyatakan oleh Tal Brooke, editor buku "Virtual God", memang bisa menjadi media rekruitmen yang efektif bahkan untuk aktivitas-aktivitas pemujaan semacam Heaven's Gate. Tapi internet adalah sebuah pasar bebas informasi. Tak hanya kanal untuk mencari pengikut yang disediakannya, melainkan juga pelbagai pandangan yang menentangnya, bahkan saluran-saluran untuk pengobatan antar benua. Lagi pula, dengan atau tanpa internet tragedi Santa Fe atau kasus-kasus lain yang serupa tetap bisa saja terjadi.

Orang akan menjadi demikian tulus hati untuk saling berbagi, bekerja bersama bahkan dengan siapa pun yang entah di mana. Akan tetapi pada saat yang sama ia memiliki potensi besar untuk menyakiti orang lain secara keji, hanya demi kepuasan hasrat eksperimentasinya pribadi. Melalui virus-virusnya yang berjangkauan sangat luas, para hacker, misalnya, bahkan mengakui dirinya memiliki kesanggupan untuk mematikan sistem-sistem komputer ekonomi dan militer terpenting di dunia, melihat dan merubah laporan-laporan kredit, file-file deposito Bank, catatan kesehatan, pusat kendali depatemen Hankam dan seterusnya, tanpa sedikitpun memikul konsekwensi dari perbuatannya tersebut.

Orang yang pesimis dan konservatif akan mengangap itu sebagai khaos yang berbahaya. Tapi mereka yang optimis, seperti para penghayat mitologi mempercayainya, justru melihat khaos sebagai awal yang paling baik untuk melahirkan segala yang baru.

Nasib sosiologis manusia saat ini bukan hanya harus membedakan dirinya dari spesies lain seperti binatang dalam realitas aktual, melainkan juga menemukan multivariasi identitas dirinya melalui pengembaraan pada semesta-semesta virtual. Di sana ia akan bertemu dan berbeda dengan dirinya sendiri. Bahwa yang dipandang "the other" bukan hanya realitas di luar melainkan justru, seperti secara cerdas diungkapkan Rodota (1996) ketika ia menafsirkan argumen Turkle, juga "aku adalah orang lain".


Seniman memang selalu punya cara untuk memberi tanda baca pada suara hatinya. William Shakespeare menulis tentang sebuah dunia yang airy nothing beberapa abad yang lewat dalam nafas yang gembira. Mungkin karena ia belum banyak menghidu bau luka dari sebuah budaya dan peradaban yang melulu bersandaar pada teknologi. Tapi tiga belas tahun lalu, 1984, William Gibson tampil dalam cerita yang, meskipun meriah, terkesan begitu murung. Mungkin karena ia lebih berhak menjadi anak kandung dari sebuah tradisi yang baru: sebuah momen dalam sejarah tempat informasi begitu melimpah, sampai kita sendiri kehilangan kekuatan untuk menampiknya. Gibson barangkali adalah salah satu wakil dari rasa bersalah dan kecemasan, ketika hidup kita makin terasa begitu bergantung pada benda-benda tolol yang kita ciptakan sendiri. Nasib kita tak jauh beda dengan para leluhur di jaman purba: membuat benda-benda khusus untuk menyembah dan merasa takut olehnya. Dulu benda-benda itu bernama berhala. Sekarang kita membuat teknologi dengan harapan dan akibat yang serupa: berharap mendapat bantuan dalam menyelesaikan soal-soal hidup dan, sebagai akibatnya, kita lantas merasa takut akan daya penghancurnya.

Karya Gibson tentu tak sepenuhnya benar. Walau bagaimana seniman, seperti halnya profesor ilmu fisika, Bill Gates atau menteri penerangan, bukan orang satu-satunya yang paling berhak menyampaikan peringatan. Cyberspace yang sekarang kita kenal, nyatanya tak seseram bayangan Gibson. Atau mungkin belum (meskipun di majalah Mondo 2000 edisi Fall #7, 1989 Gibson berkeras menyatakan bahwa ia menulis tentang kenyataan hari saat ini, bukan tentang masa depan yang masih dalam bayangan). Biarkan saja seniman bermain dengan bahasanya sendiri. Yang paling masuk akal barangkali adalah argumen yang dibangunnya dalam Neuromancer, bahwa ada kemungkinan kita untuk sesat justru di tengah jibunan informasi. Tapi karya Gibson sekaligus menambah satu kepercayaan, bahwa tak selamanya karya-karya fiksi niscaya memalukan berhadapan dengan produk-produk sains dan teknologi.

Pertumbuhan jaringan sejagat komputer dan teknologi realitas virtual memberi kita peluang untuk terus meremajakan keyakinan yang telampau keras membatu, membangun dunia-dunia baru tanpa kebulatan tekad, tapi sekaligus menjanjikan teror petaka yang begitu muram seperti telah dinubuat oleh Gibson dan dibuktikan AppleWhite. Bersyukurlah karena dunia kita masih punya seniman.

Yogyakarta, 9 April - Sukabumi, 18 Juli 1997
Hikmat Budiman