Naskah ini tidak bisa dilepaskan dari bahan presentasi digital yang disampaikan di dalam kelas, dan sama sekali bukan makalah akademis yang dipersiapkan secara ketat. Secara garis besar, naskah ini berupa rangkuman sebagian kecil dari peta perkembangan riset visual dalam tradisi ilmu sosial sebagai pelengkap dari uraian tentang aspek-aspek formal-prosedural penelitian sosial dalam konteks kebutuhan penelitian visual yang pemaparan lengkapnya disediakan dalam format presentasi digital tadi. Tujuannya agar para peserta di kelas mendapatkan sedikit pemahaman tentang konteks perkembangan metode riset visual di dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial sebagai latar belakang bagi berlangsungnya diskusi tentang riset visual pada ranah-ranah di luar ilmu sosial.
Di Indonesia, dalam beberapa diskusi pernah muncul pertanyaan mengapa mahasiswa ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi belum banyak yang menulis tesis atau disertasinya dalam bentuk visual seperti foto dan/atau video. Perkembangan teknologi digital semakin memperkuat alasan dari pertanyaan tersebut, ketika faktor-faktor biaya produksi dan post-produksi dalam pembuatan video, misalnya, relatif bisa dipangkas lebih murah oleh kemajuan teknologi.
Hal di atas paling tidak memperlihatkan beberapa soal. Pertama, kenyataan bahwa segala aspek yang menyangkut “yang visual” masih menempati posisi marginal dalam perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Pertanyaan tentang kemungkinan mengganti tesis atau disertasi ilmiah dengan representasi visual dalam bentuk video, misalnya, memperlihatkan bahwa kajian atas aspek-aspek visual dalam dunia sosial manusia masih terbatas dalam kungkungan sub-subdisiplin ilmu sosial tertentu, dan pada saat yang sama ada kecenderungan orang memahami riset visual semata-mata hanya menggunakan objek visual yang telah ditangkap oleh kamera. Ini menjelaskan mengapa terminologi riset visual cenderung masih menggiring pemahaman orang pada kajian-kajian atas produk-produk visual dalam media seperti komik dan iklan.
Apakah penelitian visual merupakan bagian yang syah dari tradisi penelitian dalam ilmu sosial ataukah ia lebih merupakan kecenderungan non-mainstream yang bisa diabaikan begitu saja? Secara lebih spesifik, apakah penelitian visual hanya merupakan aktivitas di dalam subdisiplin sosiologi dan/atau antropologi visual, ataukah ia justru membutuhkan pendekatan multidisiplin dan/atau interdisiplin. Apakah data visual hanya meliputi citra-citra visual yang sudah ada ataukah dapat dihasilkan oleh penelitinya sendiri? Apakah penelitian visual hanya terbatas pada penerapan prosedur-prosedur penelitian terhadap gambar-gambar dokumenter?
Cornucopia Materi Visual
Meskipun akan terkesan cenderung berlebihan, tapi sejak bangun tidur di pagi hari sampai tidur kembali di malam hari, kehidupan sebagian dari kita saat ini cenderung tidak bisa lepas dari kepungan bentuk-bentuk teknologi visual seperti fotografi, film, komputer, video, smartphone, komputer tablet, gambar digital, dan televisi. Teknologi-teknologi ini menghamburkan citra-citra visual ke hadapan mata kita dalam bentuk-bentuk yang kita temukan sehari-hari seperti foto-foto di dalam koran, kotak kemasan susu bubuk atau sereal waktu sarapan, gambar-gambar iklan, siaran tv, film di bioskop, patung-patung di persimpangan jalan, monumen penekuk kenangan, sampai gambar-gambar hasil rekaman kamera pengintai dan lukisan.
Sudah cukup banyak diketahui bahwa secara umum perhatian ilmu-ilmu sosial terhadap aspek-aspek visual kehidupan sosial masih terbatas pada lingkup kelompok peminat subdisiplin sosiologi visual dan antropologi visual. Di lain pihak, tidak bisa dimungkiri bahwa kehidupan kita saat ini semakin banyak dikepung oleh yang visual sehingga sejarawan Ernst Gombrich menyebut kita sekarang hidup dalam era visual.
Kita hidup di zaman visual. Kita dibombardir dengan gambar-gambar dari pagi hingga malam. Membuka koran saat sarapan pagi kita melihat foto-foto laki-laki dan perempuan dalam berita, dan ketika kita mengangkat mata dari surat kabar, kita terbentur pada bungkusan sereal…..(Gombrich, 1996: 41).
Melimpahruahnya materi-materi visual juga dapat dilihat dalam praktik demokratisasi politik yang sudah 15 tahun kita jalankan sekarang. Salah satu bentuk ekstravagansa dalam ritual demokrasi di Indonesia, yang semakin hari semakin terasa merusak estetika kota, itu juga dengan mudah ditemukan pada ruang dan tempat di lingkungan urban yang dipenuhi gambar-gambar muka para kontestan perebutan supremasi politik. Baliho raksasa, poster, spanduk dengan muka-muka tidak punya malu itu begitu lintang-pukang di sembarang tempat, tanpa tatanan, berebut perhatian dengan iklan sedot WC dan tawaran pinjaman uang tunai dengan jaminan bpkb motor yang ditempel di pokok-pokok pohon di pinggir jalan. Pada kasus-kasus semacam itu, yang visual memang cenderung memberi kesan trivial dan superfisial. Tapi tetap tidak dapat dimungkiri bahwa citra-citra visual telah menjadi sebuah cara penyebaran tanda-tanda, simbol, dan informasi yang omnipresent, hadir di mana-mana.
Sebagai masalah sosial, cornucopia materi-materi visual tersebut tentu saja menuntut solusi yang tepat untuk mengatasinya. Untuk kasus ekstravagansa reklame-reklame politik, misalnya, beberapa pihak sudah mulai mengusulkan agar pemasangan baliho-baliho raksasa itu dibatasi jumlah dan lokasi pemasangannya untuk masing-masing kandidat. Ada pula pihak yang serius mengupayakan dibuatnya regulasi tentang biaya kampanye politik para kandidat. Tapi bagaimana ketika hal itu dihadapi sebagai masalah dalam penelitian-penelitian sosial? Atau bagaimana respon ilmu-ilmu sosial terhadap perkembangan preokupasi masyarakat kontemporer dengan materi-materi visual yang demikian massif dan ekstensif tersebut?
Sebagian kalangan dalam ilmu sosial berargumen bahwa yang visual semakin hari semakin sentral perannya dalam konstruksi kultural kehidupan sosial masyarakat di banyak tempat di dunia. Makna, dengan demikian, semakin banyak disampaikan melalui citra-citra visual. Bentuk-bentuk teknologi dan citra tadi bukan hanya memberi tontonan tapi juga menawarkan pandangan tentang dunia. Tapi citra-citra tersebut, bahkan yang dihasilkan dari fotografi, tidak pernah tanpa dosa, dan tidak pernah merupakan jendela transparan untuk melihat dunia. Mereka menafsirkan dunia, dan menampilkannya dalam cara-cara yang sangat partikular. Maka sebuah pembedaan (distinction) perlu dibuat antara visi (vision) dan visualitas (visuality). Visi adalah apa yang secara fisiologis mata manusia dapat melihatnya (physiologically capable of seeing), sedangkan visualitas merujuk pada cara dalam apa visi dikonstruksi dalam berbagai cara: bagaimana kita melihat, bagaimana kita bisa, dimungkinkan, atau dibuat melihat, dan bagaimana kita melihat “this seeing and the unseeing there in”. Istilah lain untuk visualitas adalah scopic regime, yang artinya kurang lebih sama, yakni bahwa baik apa yang dilihat maupun bagaimana ia dilihat keduanya sama-sama dikonstruksi secara kultural (Rose, 2001: 6).
Diskusi tentang fotografi dalam sosiologi dan antropologi telah berlangsung paling tidak seputar dua prinsip: penggunaan foto-diam (still photographs) sebagai sebuah alat metodologis (methodological tool) dalam penelitian sosial, dan penggunaan foto sebagai sebuah cara untuk mempresentasikan penelitian sosial. Penggunaan awal fotografi dalam dokumentasi sosial (social documentary) tampil dalam karya seorang reporter Jacob Riis, dan Lewis Hine yang sempat terlatih dalam tradisi sosiologi. Riis menggunakan fotografi sebagai sebuah cara untuk menarik perhatian orang atas kumuhnya New York pada dekade 1890an, sementara Hine menampilkan gambar-gambar para buruh migran yang baru saja tiba dan kondisi buruh anak di pertambangan dan pabrik-pabrik. Karya-karya mereka kemudian dianggap berkontribusi pada penyusunan aturan perburuhan yang baru. Pada pergantian abad ke-20, sosiologi dan fotografi secara historis dihubungkan sebagai praktik-praktik yang berbagi kepentingan yang sama dalam mengeksplorasi dan mendokumentasikan kehidupan masyarakat (Emmison dan Smith, 2000: 23).
Pasangan dari Prancis
Sosiologi dan fotografi adalah pasangan yang ditemukan dari Prancis, dan keduanya lahir pada waktu yang berdekatan. Ketika sekitar tahun 1839 August Comte menerbitkan Cours de Philosophie Positive, pada kisaran tahun yang sama Louis Jacques-Mandé Daguerre mengumumkan temuan teknik pengolahan fotografinya, yang kemudian dikenal dengan daguerreotype process of photography, itu pada pertemuan pembukaan Akademi Ilmu Pengetahuan Prancis. Kalau orang berada di Paris, setelah menyebrang jalan August Comte begitu keluar dari Jardin du Luxembourg, beberapa ruas kemudian akan bertemu dengan jalan Daguerre. Kemudian, adalah Félix-Louis Reganault, seorang fisikawan Prancis, yang dianggap sebagai pembuat film etnografi pertama pada 1888. Regnault menggunakan sebuah kamera gulung foto (photo roll camera) yang ditemukan oleh penemu Prancis Jules-Etienne Marey. Setelah itu, Regnault dan kawan-kawannya melakukan kajian fenomenon lintas-budaya melalui film, dan mengajukan argumen bagi pentingnya pembentukan arsip-arsip film antropologis sejak tahun 1912 (Harper, 2000: 143).
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa sosiologi dan fotografi merupakan pasangan yang dikawinkan dari syurga. Oposisi antara manifestasi realistik dari fotografi dengan manifestasi artistik karya-karya seni rupa tampaknya terbawa juga ke dalam cara kelompok ilmuwan sosial memperlakukan fotografi dalam ilmu-ilmu sosial. Byers menjelaskan bahwa orang Amerika, misalnya, melihat fotografi dari dua perspektif yang berbeda: sebagai seni dan sebagai sebuah catatan presisi yang dibuat oleh mesin tentang sebuah kejadian atau subjek. Kalau dipandang sebagai seni, soal utamanya adalah visi si seniman-fotografer yang menggunakan teknologi untuk menghasilkan sebuah foto kreatif tentang si fotografernya sendiri sebagai sumber. Pada cara pandang kedua, soal utamanya adalah tingkat akurasi dengan apa subjek direkam pada film. Dalam kasus ini maka si subjek yang difoto itulah yang menjadi sumber (Byers, 1964: 79). Bagi kubu yang satu, fotografi adalah teks, artefak yang sebaiknya diperlakukan sebagai ekpresi budaya yang harus dibaca atau ditafsirkan sebagaimana halnya dengan lukisan, sedangkan bagi kubu yang lain fotografi sebaiknya diperlakukan sebagai sebuah dokumen atau bahkan alat yang terpercaya untuk menangkap apa yang terjadi. (Emmison dan Smith, 2000: 23).
Dua karya yang dapat disebut sebagai perintis dalam konteks perkembangan minat ilmu sosial terhadap fotografi adalah karya penyelidikan fotografis Gregory Bateson dan Margaret Mead tentang budaya Bali, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942), dan artikel sosiolog Howard S. Becker pada jurnal Studies of the Anthropology of Visual Communication tahun 1974 berjudul, “Photography and Sociology”. Dengan merujuk dua karya penting tersebut kita dapat melihat bahwa Antropologi memang lebih jauh awal telah menggunakan materi-materi fotografi dibandingkan dengan Sosiologi. Salah satu penjelasnya boleh jadi dapat pula dirunut dari riwayat kolonialisme Eropa.
Kemunculan Antropologi pada dekade penghujung abad ke-19 lebih mirip biologi, yakni sebagai sebuah sain tentang klasifikasi. Fotografi menyediakan informasi yang digunakan untuk mengkategorikan ras-ras manusia dan data ini mendukung teori-teori tentang evolusi sosial, yang merupakan perhatian utama antropologi awal. Elizabeth Edwards (1992: 4) mencatat bahwa pada sejarah awal ini fotografi berperan sebagai sebuah mekanisme sederhana untuk mengungkapkan kebenaran. Tapi harus segera diingat bahwa teori-teori evolusi sosial yang disokong oleh fotografi itu kemudian dicampakkan karena dianggap rasis dan tidak ilmiah (Harper, 2000). Boleh jadi belajar dari kasus tersebut para sosiolog cenderung tidak terlalu seirus mengeksplorasi penggunaan gambar-gambar fotografis dan gambar lainnya dalam penelitian sosial sampai terbitnya esai Becker, “Photography and Sociology”, yang sangat luas pengaruhnya itu pada tahun 1974.
Tulisan Becker sampai sekarang masih dimuat (ulang) secara online di situs American Ethnography. Sayangnya karena persoalan hak cipta, seluruh foto yang digunakan sebagai ilustrasi dalam tulisan yang asli sama sekali tidak satu pun ditampilkan. Fokus studi Becker terutama pada tradisi dokumenter sosial dalam fotografi, khususnya dengan cara apa sosiologi dan fotografi berbagi sebuah landasan bersama dalam mempelajari organisasi, institusi dan komunitas-komunitas. Dalam praktiknya ini tidak lebih dari anjuran agar sosiolog siap menggunakan materi-materi visual dalam penelitiannya, tapi dengan cara memanfaatkan pengetahuan mereka yang lebih luas tentang organisasi sosial. Artinya para sosiolog harus bisa secara lebih canggih mendayagunakan bukti fotografik mereka sehingga dapat lebih maju dan menutupi kekurangan para fotografer dokumenter. Bagi Becker, hal terpenting agar ekplorasi-eksplorasi fotografis dari kehidupan sosial dapat dibuat lebih canggih secara sosiologis adalah dengan cara peneliti menghindari penumpukan atau akumulasi gambar-gambar yang terisolasi satu dengan lainnya. Karena itu, fotografer harus berusaha memotret “rangkaian tindakan” (sequences of action) agar dapat menangkap aspek-aspek dinamis organisasi sosial atau pola-pola sebab akibat dari peristiwa-peristiwa atau tindakan tersebut. Dengan kalimat lain, pekerjaan mengambil gambar dalam penelitian sosial analog dengan proses pengumpulan data dalam fieldwork.
Karya Bateson dan Mead mendapat apresiasi tinggi karena mereka berhasil melampaui penggunaan materi fotografi dalam karya-karya etnografi standar. Kalau umumnya para antropolog waktu itu menggunakan foto-foto hanya sebagai ilustrasi atau paling jauh hanya sebagai bahan slide-show travelogue, Bateson dan Mead menggunakan foto-foto sebagai topik dari investigasi yang mereka lakukan. Inovasi eksperimental mereka mencoba mengkomunikasi aspek-aspek intangible budaya yang sebelummya gagal ditangkap melalui tafsir-tafsir verbal. Berbeda dengan karya-karya antropologi konvensional, karya Bateson dan Mead ini bukanlah sebuah buku tentang adat istiadat orang Bali, melainkan sebuah upaya untuk memperlihatkan bagaimana orang Bali sebagai manusia-manusia yang hidup, bergerak, berdiri, makan, tidur, menari, dan bahkan kesurupan.
Balinese Character meliputi dua bagian. Mead menulis esai etnografis pada bagian pertama yang berfungsi sebagai komentar atas tema-tema yang diangkat dalam materi foto-foto hasil kerja Bateson di bagian kedua. Secara keseluruhan, ada 759 foto dimuat di buku itu yang diambil dari 25.000 foto yang telah diambil Bateson di Bali. Foto-foto ini disusun menjadi 10 kelompok yang mencerminkan minat penulisnya pada sosialisasi dan bagian-bagian pembentuk ethnos budaya orang Bali seperti orientasi dan level spasial, belajar, integrasi dan disintegrasi tubuh, orang tua dan anak, dan tahap-tahap perkembangan anak. Setiap satu halaman penuh gambar tersebut selalu disertai dengan penjelasan dan konteks foto-fotonya pada halaman di sebelahnya, dan diberi pula keterangan gambar (caption), detail untuk setiap gambar. Gambar-gambar dan teks tertulis itu sama-sama esensial, tapi tetap ada derajat otonomi pada gambar-gambar tersebut. Sementara teksnya akan kehilangan makna tanpa gambar yang dijelaskannya, gambar-gambar itu tetap dapat dipahami meskipun teks tertulis disebelahnya dihilangkan (Emmison dan Smith, 2000:32). Buku ini juga dianggap menggabungkan sofistikasi filosofis dan analitisnya Bateson, dan prosa impresionistik Mead yang sebagiannya terinspirasi oleh Ruth Bennedict. Singkatnya, foto-foto dalam Balinese Character mengantarkan perpaduan antara humanisme Mead yang lebih ilmiah dan ilmu pengetahuan Bateson yang lebih humanistik (Silverman, 2005).
Ketika sosiologi visual pertama kali dibentuk tahun 1983 dengan formasi Internasional Visual Sociology Association (IVSA), banyak karya-karya antropologi, psikologi, dan foto dan film dokumenter yang dapat dimanfaatkan. Karya Bateson dan Mead di atas, dan karya Collier, Visual Anthropolgy (1986) berpengaruh sangat besar dalam pengembangan sosiologi visual empiris. Merujuk Grady (2006), minat sosiologis dalam menafsirkan gambar-gambar yang dihasilkan oleh sebuah kebudayaan juga terdorong oleh pertumbuhan budaya dan pengaruh sosial media massa tentang budaya massa sejak peralihan abad ke-20. Kehadiran media massa dalam kehidupan sehari-hari meningkat pesat, sehingga setiap inovasi media massa telah menambah pada total waktu dalam sehari yang dihabiskan oleh masyarakat dalam mengkonsumsi produk-produknya.
Pada tahap selanjutnya, kembali merujuk Grady (2006) sosiologi juga banyak dipengaruhi baik oleh gelombang perkembangan mahzab teori kritis maupun post-modernisme. Walter Benjamin (1979), Raymond Williams (1981) meretas jalan menuju munculnya kajian-kajian budaya dan visual (cultural and visual studies). Roland Barthes (1967, 1980) terutama memainkan pengaruh penting dalam kajian produk-produk visual sebuah budaya dan berargumentasi bahwa produk-produk kultural paling baik dilihat sebagai sistem tanda-tanda, yang makna intinya didefinisikan oleh hubungannya antara satu dengan yang lain daripada dengan referent-nya atau acuannya. Dari Barthes inilah orang mulai menyadari bahwa adalah mungkin untuk menafsirkan citra-citra, dan aspek-aspek yang secara visual dapat dilihat dari materi budaya tanpa dibatasi oleh keterbatasan-keterbatasan ilmu sosial empiris. Hasilnya adalah gelombang besar kajian-kajian baru dengan topik yang sangat beragam mulai dari ras, kelas dan gender sampai isu-isu homoseksualitas, citra tubuh, dan bentuk-bentuk stereotipe dalam media. Objek-objek visual yang dikajinya pun merentang panjang mulai dari film, acara tv popular, kartu pos, boneka, t-shirt, tatoo atau dekorasi tubuh yang lain, interior rumah, sampai toilet umum.
Beberapa Pendekatan
Menggunakan gambar dalam riset sosial membutuhkan sebuah teori tentang bagaimana gambar digunakan baik oleh si pembuat gambar maupun orang yang melihatnya. Untuk menggunakan foto-foto sebagai data atau sebagai penghasil data (data generator) kita harus memiliki bayangan tentang bagaimana orang yang melihatnya (viewer) memperlakukan dan memahami gambar-gambar fotografis, tidak peduli apakah viewers itu adalah para informan atau peneliti (Schwartz, 1989: 119).
Emmison dan Smith (2000: 23) mengelompokkan empat pendekatan yang umum digunakan dalam kajian atas materi-materi visual. Pertama, pembuatan dan penggunaan gambar-gambar fotografik (photographic still images) terutama oleh para peneliti yang berorientasi etnografis sebagai sebuah alat tambahan untuk mendokumentasikan proses-proses sosial dan kultural. Para antropolog dan sosiolog kualitatif cenderung menjadi pengguna utama pendekatan ini. Kedua, analisa terhadap gambar-gambar yang sudah ada yang diproduksi secara komersial seperti iklan dan isi media lain terutama oleh para ahli semiotis sebagai sebuah cara untuk mengungkap kode-kode kultural dan ideologi. Para pendukung pendekatan-pendekatan kajian budaya (cultural studies) adalah mereka yang paling sering dapat diasosiasikan dengan teknik ini.
Ketiga, analisa terhadap “praktik-praktik visualisasi”, terutama penggunaan diagram, sketsa dan grafik-grafik dalam penelitian dan komunikasi ilmiah. Penelitian seperti ini biasanya dilakukan oleh para ethnometodhologist dan para konstruktivis yang melakukan kajian-kajian sosial tentang ilmu pengetahuan. Keempat, penggunaan rekaman-rekaman video untuk menangkap interaksi sosial yang berlangsung alamiah, terutama kajian-kajian tentang komunikasi yang dimediasikan oleh teknologi. Cabang riset visual ini telah berkembang di dalam tradisi analisa perbincangan, tapi akarnya dapat ditemukan dalam prakarsa kajian-kajian proxemic dan kinesic ke dalam organisasi spasial, gerak tubuh (gesture) dan bahasa tubuh yang dilakukan tahun 1960an.
Emmison dan Smith mengkritik para peneliti visual karena kebanyakan secara berlebihan terfokus pada gambar-gambar, terutama foto-diam, sebuah orientasi yang dianggapnya telah memangkas dimensi-dimensi visual kehidupan sosial. Para sosiolog, antropolog dan etnografer yang menggunakan foto melakukannya semata-mata hanya untuk kebutuhan ilustratif atau dokumentatif sehingga menyulitkan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ini. Keduanya menyarankan agar para peneliti visual bergerak melampaui gambar secara umum, dan terutama foto, sehingga riset visual dapat menjadi domain yang diperhitungkan dan digerakkan secara teoritis. Emmison dan Smith juga mengajak para peneliti visual untuk fokus mengembangkan keahlian-keahlian observasinya. Menurut mereka, konstruksi dan interpretasi citra tidak dapat menggantikan seni melihat yang terus diolah, yang sayangnya cenderung diabaikan.
Catatan Akhir
Seperti telah diuraikan sebelumnya, meskipun Sosiologi dan fotografi lahir pada tahun yang sama, tapi mereka yang menggeluti disiplin Antropologi secara umum lebih dahulu akrab dengan pemanfaatan fotografi untuk mendukung riset-riset mereka daripada para sosiolog. Untuk konteks kecil di lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, misalnya, sejak dekade 1990an (atau mungkin lebih awal dari itu) mereka yang kuliah di jurusan Antropologi sudah mengenal ethnophotography, sedangkan sejawatnya di jurusan Sosiologi pada periode waktu yang sama selama dekade 1990an belum memperlihatkan upaya yang serius untuk memperhitungkan materi-materi visual baik sebagai subjek kajian maupun sebagai salah satu komponen dalam presentasi laporan penelitian.
Tapi beberapa waktu belakangan ini mulai sering muncul pertanyaan mengapa mahasiswa ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi belum banyak yang menulis tesis atau disertasinya dalam bentuk visual seperti foto dan/atau video. Perkembangan teknologi digital semakin memperkuat alasan dari pertanyaan tersebut, ketika faktor-faktor biaya produksi dan post-produksi dalam pembuatan video, misalnya, bisa dipangkas menjadi relatif lebih murah oleh kemajuan teknologi.
Hal di atas paling tidak memperlihatkan beberapa soal. Pertama, meskipun cukup terlambat tapi dari pertanyaan di atas kita bisa melihat bahwa minat akademis untuk lebih serius dan mendalam mengkaji materi-materi visual, dan menghadirkannya secara visual pula, saat ini mulai semakin meluas. Pembuatan film atau video untuk tujuan akademis tidak lagi identik dengan orang-orang yang secara fakultatif memang menekuni bidang perfilman di sekolah-sekolah seni seperti institut kesenian tapi juga di kalangan kampus-kampus umum. Visualisasi gagasan tidak lagi hanya dipahami sebagai proses kreatif menghasilkan karya seni tapi juga proses konstruksi argumen-argumen untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Kedua, kenyataan bahwa segala aspek yang menyangkut “yang visual” masih menempati posisi marginal dalam perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Kalau kita kembali terlebih dahulu kepada tradisi penelitian sosial dalam ilmu sosial di Indonesia, secara umum prosedur pengumpulan data lapangan lebih banyak didasarkan pada proses mendengar daripada melihat. Dalam melakukan wawancara peneliti mendengar (atau bisa juga merekamnya ke dalam pita kaset atau alat perekam suara digital), dan lantas mencatat informasi yang diberikan oleh para informan atau responden, tapi tidak terlalu memperhatikan aspek-aspek visual baik pada konteks orang yang diwawancara maupun konteks setting ruang dan tempat berlangsungnya wawancara.
Dalam menuliskan laporan penelitian, tradisi ilmu sosial juga memiliki kecenderungan diskriminatif terhadap representasi visual. Foto biasanya hanya dijadikan sebagai ilustrasi visual yang kalau pun ditiadakan tidak akan mengurangi substansi laporang yang ditulis. Secara ilustratif bisa digambarkan bahwa, misalnya, deskripsi verbal-tekstual tentang pola-pola hubungan seksual pada satu kelompok masyarakat tertentu bisa diterima dalam penulisan sebuah tesis daripada deskripsi visualnya dalam bentuk foto atau video. Representasi visual dalam sebuah laporan penelitian kebanyakan muncul hanya dalam bentuk grafik dan diagram hasil pengolahan data statistik.
Ketiga, pertanyaan tentang kemungkinan mengganti tesis atau disertasi ilmiah dengan presentasi visual dalam bentuk video, misalnya, memperlihatkan bahwa kajian atas aspek-aspek visual dalam dunia sosial manusia masih terbatas dalam kungkungan sub-subdisiplin ilmu sosial tertentu, dan pada saat yang sama ada kecenderungan orang memahami riset visual semata-mata hanya menggunakan objek visual yang telah ditangkap oleh kamera. Padahal riset visual tidak harus identik dengan riset dengan kamera sebagai instrumen utama dan satu-satunya.
Ini menjelaskan mengapa di kalangan di luar dua cabang ilmu sosial tadi, terminologi riset visual cenderung masih menggiring pemahaman orang pada kajian-kajian atas produk-produk visual dalam media seperti komik dan iklan.
Kemungkinan untuk melakukan riset visual di luar topik-topik konvensional pada dasarnya terbuka sangat luas. Ketika kalangan para pembuat undang-undang, DPR, misalnya, sering mengeluarkan regulasi yang tidak berpihak kepada kepentingan konstituen politiknya, sama sekali tidak pernah ada kajian tentang aspek-aspek visual dari gedung parlemen dan interaksi sosial di dalamnya yang membantu menjelaskan bahwa dari ruang dan tempat semacam itu memang tidak bisa diharapkan akan lahir regulasi yang pro-rakyat. Atau ketika beberapa pejabat pelaku korupsi diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hampir setiap media massa memberitakan betapa mahalnya harga semua jenis pakaian yang dipakai si koruptor itu dalam setiap penampilannya di depan umum, termasuk ketika diperiksa KPK. Tapi tidak pernah ada kajian tentang hubungan antara aspek-aspek visual seperti dress-code dan bahasa tubuh orang-orang seperti itu, dan bagaimana materi-materi visual tersebut menentukan interaksi di antara sesama mereka. Mengapa tidak pernah ada yang berusaha membuat kajian perbandingan aspek-aspek visual gedung dan ruang-ruang di dalam kantor KPK dengan gedung Mahkamah Konstitusi atau gedung DPR?
Rujukan
Becker, Howard. “Photography and Sociology”. American Ethnography (diakses tgl. 16 November 2013).
Carol Gray dan Julian Malins. Visualizing Research. A Guide to the Research Process in Art and Design. Burlington: Ashgate, 2004.
Denzin, Norman K. “Reading Film: Using Films and Videos as Empirical Social Science Material”. Dalam Uwe Flick, Ernst von Kardorff and Ines Steinke (eds). A Companion to Qualitative Research. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage, 2004.
Emmison, Michael J., Phillip Smith. Researching the Visual. Images, Objects, Context and Interactions in Social and Cultural Inquiry. London, Tahousand Oaks, New Delhi: Sage Publication: 2000.
Grady, John. Visual Research at the Crossroad. Forum: Qualitative Social Research. Volume 9, No. 3, Art. 38 – September 2008.
Grady, John. “Visual Sociology”. Dalam Clifton Bryant and Dennis Peck (eds), The Handbook of 21st Century Sociology. London: Sage Publication, 2006.
Harper, Douglas. “Visual Sociology: Expanding Sociological Vision”. The American Sociologist/Spring 1988, h. 54-70.
Harper, Douglas. “The Image in Sociology: Histories and Issues”. Journal des Anthropologues, 80-81 (2000). Questions d’Optiques.
Harper, Douglas. “Photography as Social Science Data”, dalam Uwe Flick, Ernst von Kardorff and Ines Steinke (eds). A Companion to Qualitative Research. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage, 2004
Mondzain, Marie-José. “What Does Seeing an Image Mean?”Journal of Visual Culture 2010 9: 307-315.
Pink, Sarah, Laszlo Kurti, dan Ana Isabel Afonso. Working Images (eds). Visual Research and Representation in Ethnography. London dan New York: Rougledge, 2004.
Pole, Christopher J. (ed), Seeing is Believing? Approaches to Visual Research. Oxford: Elsevier, 2004.
Prosser, Jon, Andrew Loxley. Introducing Visual Methods. National Center for Research Methods NCRM Review Paper. October 2008.
Rose, Gillian. Visual Methodologies. An Introduction to the Interpretation of Visual Materials. London, Tahousan Oaks, New Delhi: Sage Publication, 2001.
Schwartz, Dona. “Visual Ethnography: Using Photography in Qualitative Research”. Qualitative Sociology, 12(2), Summer 1989.
Silverman, Eric Kline. “Margaret Mead and Gregory Bateson in the Sepik, 1983: A Timely Polemic From A Lost Anthropological Efflorescence”. Pacific Studies, Vol. 23, No. ¾--Sept/Dec, 2005, h. 128-141