Senarai Singkat Kisah-kisah dari Sulawesi

Lampiran untuk buku Kota-kota di Sulawesi

“Blog

Pengantar

Dalam periode 15 tahun terakhir Sulawesi telah makin berkembang menjadi salah satu kawasan terpenting di wilayah timur Indonesia. Beberapa kalangan secara tidak resmi bahkan sering merujuk Makassar, salah satu kota terpenting di Sulawesi, sebagai ibu kota Indonesia (Bagian) Timur. Selain karena perkembangan fisik kota Makassar belakangan ini, dalam konteks yang lebih luas sebutan seperti itu tentu saja tidak terlalu mengejutkan mengingat kawasan Sulawesi memang telah mengalami perkembangan politis sangat dinamis sejak dimulainya era demokrasi lokal dan otonomi daerah belakangan ini. Cukup aman untuk mengatakan bahwa dari sisi terbentuknya wilayah-wilayah urban baru dan desentralisasi politik, setelah Sumatra, Sulawesi merupakan wilayah yang mengalami perkembangan paling dinamik di Indonesia. Pada tingkat provinsi, misalnya, sejak berakhirnya era Orde Baru terdapat dua provinsi baru dibentuk (Gorontalo dan Sulawesi Barat).

Seperti halnya Sumatra, wilayah Sulawesi juga ditandai oleh tingginya derajat keragaman dari wilayah selatan hingga ke utara, dengan sejarah persaingan antara kelompok-kelompok etnis besar dalam memperebutkan dominasi terhadap sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan. Di selatan, etnis Bugis dan Makassar bersaing setidaknya sejak abad ke-16 seperti tercermin dalam ketegangan antara Kerajaan Gowa dan Bone dalam menghadapi kedatangan VOC. Selain itu, ada pula etnis Mandar dan Toraja di bagian utara provinsi tersebut. Di utara, etnis Minahasa merupakan pemeluk agama Kristen Protestan dengan proporsi terbesar di antara etnis-etnis lain yang mayoritas Muslim. Di Poso, Sulawesi Tengah, konflik agama berskala besar pecah antara pemeluk Islam dan Kristen sesudah jatuhnya Suharto. Hingga saat ini sisa-sisa konflik muncul dalam bentuk kelompok-kelompok yang dicap teroris oleh pemerintah pusat. Selain agama-agama besar itu, terdapat pula agama-agama tradisional yang masih hidup dan terus dipraktikkan, meskipun beberapa di antaranya harus berkompromi dengan kebijakan pemerintah soal lima (atau kemudian jadi enam) agama resmi, dengan menggabungkan diri dengan agama yang diakui negara.

Merujuk data pertumbuhan jumlah kota di Indonesia selepas era Orde Baru Suharto di atas, terbentuknya wilayah-wilayah urban baru sebagai akibat dari dinamik politik di daerah tersebut tentu saja juga membawa konsekwensi pada terjadinya pergeseran demografik. Seperti dikutip oleh Marleen Dielemen (2011), data dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperlihatkan pergeseran demografik dari kawasan-kawasan perdesaan (rural) menjadi perkotaan (urban) berlangsung relatif cepat. Kalau pada tahun 1970an proporsi penghuni kota di Indonesia adalah 17%, angka ini meningkat menjadi 22% pada 1980, 31% pada 1990 dan 42% tahun 2000. Pada tahun 2007, proporsi penghuni kota di Indonesia sudah melampaui 50%. Kalau diasumsikan bahwa pergeseran demografik semacam ini akan terus berlangsung, mudah diprediksi bahwa dalam beberapa dekade ke depan proporsi penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan akan jauh melampaui mereka yang tinggal di perdesaan.

Pergeseran demografik perdesaan menjadi perkotaan juga melibatkan peningkatan kompleksitas relasi antaridentitas kultural warga. Etnisitas dan agama, misalnya, cenderung lebih beragam di wilayah perkotaan daripada di wilayah perdesaan pada umumnya. Evers (2011:188) mencatat bahwa diversitas etnis di kota-kota di Indonesia telah meningkat seiring dengan urbanisasi, disalurkan oleh migrasi di dalam (in-migration). Lebih lanjut Evers menuturkan bahwa sebuah kota cenderung memiliki lebih banyak kelompok etnis di wilayahnya daripada wilayah-wilayah perdesaan di sekitarnya. Di kota-kota, menurut Evers, kita bisa melihat kecenderungan ke arah segregasi menjadi kantong-kantong etnik seperti “Pecinan” (Chinatown) atau “India Kecil” (Little India). Di dalam kantong-kantong etnik tersebut, orang-orang dari kelompok etnis yang distingtif ini bukan hanya tinggal berdekatan satu dengan lainnya, melainkan juga menghidupkan nilai dan praktek-praktek kultural asal mereka. Inilah apa yang disebut Evers involusi perkotaan (urban involution). Di Bagansiapiapi, Riau, atau di Kampung Keling, Medan, atau di kampung-kampung Jawa di beberapa kota di Indonesia, orang-orang Cina, India, dan Jawa berusaha terus memelihara aspek-aspek kultural dari asal-usul etnik mereka.

Pada sisi yang lain, kalau kita secara seksama memperhatikan perkembangan kota-kota di Indonesia, melebihi kepentingan pelayanan atas kepentingan publik (warga), pemerintah cenderung lebih banyak melakukan pembangunan fasilitas-fasilitas komersial dan industri. Sebelum era pemerintah gubernur Joko Widodo, misalnya, hampir setiap tahun terjadi penambahan jumlah gedung-gedung shopping-mall di seluruh kawasan Jakarta, sementara para pejalan kaki semakin tidak mendapat ruang di jalan-jalan raya, dan para pemakai kendaraan bermotor terus-menerus menghabiskan waktu dan biaya dalam kemacetan akibat buruknya fasilitas transportasi publik. Kecenderungan yang hampir sama pada dasarnya terjadi di hampir semua kota lainnya. Mereka yang sering mendatangi kota-kota di luar Jawa banyak yang menyatakan bahwa kota-kota tersebut banyak meniru Jakarta dalam hal pembangunan mall dan kemacetan jalan raya. Wajah pembangunan kota seperti ini tentu saja sudah berlangsung sejak pemerintah Orde Baru masih berkuasa, tapi dalam lebih dari satu dekade belakangan ini perkembangannya terasa lebih pesat. Di luar kepentingan kapital, kota-kota kita cenderung menjadi ruang-ruang tanpa hak warga.

Tentang Alam yang Kaya dan Warga yang Miskin

Ribuan pulau yang disatukan dalam nama Indonesia telah memberi kita dua bentuk kekayaan: sumber daya alam (SDA) yang semula demikian melimpah, dan keanekaragaman kultural yang luar biasa besar. Tapi yang kita alami dalam lebih satu dekade belakangan ini adalah angka kemiskinan yang tidak kunjung berkurang signifikan, dan bermacam-macam konflik antarkelompok sosial. Karena itu, pertanyaan klasik tentang apakah SDA yang melimpah dan diversitas kultural merupakan berkah atau kutukan bagi sebuah bangsa masih tetap relevan diajukan. Lantas bagaimana pula relasinya dengan upaya pengembangan demokrasi?


Paling tidak ada dua pendekatan teoritis yang memberikan jawaban negatif terhadap dua pertanyaan tersebut. Yang pertama adalah teori kutukan sumber daya (resource curse theory), dan yang kedua adalah teori modal sosial (social capital theory).

Singkatnya, menurut teori yang pertama, SDA yang melimpah tidak otomatis menjamin kemakmuran warga sebuah negara. Pertama, karena akibat menurunnya perdagangan akan ditanggung oleh negeri-negeri pengekspor bahan mentah. Kedua, fluktuasi tajam harga di pasar komoditi internasional berpengaruh langsung pada tidak kondusifnya ekonomi domestik negara-negara pengekspor komoditi, dan tidak terjaminnya sumber devisa negara. Ketiga, hasil keuntungan pengolahan sumber daya alam yang tidak bisa dikembalikan menjadi investasi dan malah dilarikan ke luar negeri. Keempat, karena apa yang dikenal sebagai the Dutch Disease, yakni perpaduan antara naik tajamnya ekspor SDA, dan larinya kapital dan buruh ke luar dari sektor pertanian dan manufaktur sehingga meningkatkan biaya produksi.

Sebaliknya, negara dengan SDA berlimpah justru banyak yang miskin secara ekonomis dan/atau tidak demokratis secara politis. Salah satu penjelasannya adalah karena hampir seluruh penghasilan negara tidak diperoleh dari kontribusi ekonomi warga, melainkan dari hasil ekspor SDA (dan hutang luar negeri). Karena tidak punya kontribusi ekonomi, rakyat tidak dapat mengontrol kekuasaan pemerintahnya.

Sementara teori modal sosial secara umum menerangkan bahwa semakin tinggi disparitas antar kelompok dalam sebuah bangsa, akan semakin kecil ikatan kepercayaan (bond of trust) di antara kelompok-kelompok tersebut, sehingga modal sosialnya sebagai sebuah bangsa akan semakin kecil pula. Ini terjadi karena ikatan kepercayaan intra-kelompok yang terlalu besar tidak dapat dikembangkan menjadi ikatan kepercayaan pada radius hubungan yang lebih besar di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Itulah paradoksnya: semakin besar kepercayaan ke dalam kelompok sendiri, semakin kecil kepercayaan kepada kelompok lain. Padahal, menurut teori ini, tanpa modal sosial yang kuat/besar sebuah bangsa akan sulit mencapai kemajuan, termasuk dalam pengembangan demokrasi. Sebab mengatasi segenap identitas partikular, demokrasi justru mempromosikan kesatuan sebagai warga negara.

Dalam konteks pengembangan demokrasi, banyak studi yang memperlihatkan bahwa cukup banyak negara yang memiliki SDA melimpah justru berada di bawah rezim otoriter. Salah satu penyebabnya adalah karena hampir seluruh penghasilan negara tidak diperoleh dari kontribusi ekonomi warga, melainkan terutama dari hasil ekspor SDA (dan hutang luar negeri). Secara teoritis, negara semacam ini cenderung hanya akan berusaha keras menjaga status-quo daripada meningkatkan pembangunan (Seda, “Natural Resources and Development”, Masyarakat, No. 8/2000).
cover_buku_sulawesi

Di lain pihak, demokrasi pada dasarnya mengandaikan adanya homogenitas relatif dari demos. Bagi sebagian orang, diversitas kultural pada dasarnya adalah sebutan lain untuk “hambatan” dalam berdemokrasi. Demokrasi tidak anti perbedaan, tapi ia mensyaratkan adanya kesamaan-kesamaan tertentu. Salah satunya adalah konsepsi tentang warga negara, sehingga demokrasi bekerja bukan untuk menghapus perbedaan identitas partikular melainkan mempromosikan kesatuan sebagai warga negara.

Selain menyangkut soal status legal keanggotaan masing-masing individu dalam sebuah komunitas politik atau negara, kewarganegaraan juga menyangkut soal kualitas dari aktivitas atau partisipasi warga di dalam komunitas politiknya. Artinya, ia juga mengandaikan upaya bersama warga membangun kehidupan kolektif senegeri. Kalau yang pertama adalah tentang siapa yang bisa menjadi warga negara Indonesia, misalnya, yang kedua adalah tentang apa obligasi yang harus ditunaikan oleh masing-masing warga agar negara Indonesia sebagai sebuah kehidupan kolektif dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. Dalam konteks semacam itu, demokrasi adalah sebuah sistem politik yang seharusnya dapat membentuk perasaan bersama sebagai warga negara Indonesia.

Tapi salah satu resiko dari dominannya kekuasaan pasar dan lemahnya kepemimpinan politik pada level nasional adalah terjadinya pergeseran konsepsi kewarganegaraan (citizenship) menjadi konsumen belaka. Warga diajak menyikapi politik seperti konsumen menghadapi pilihan-pilihan di dalam pasar. Pemilu, misalnya, yang seharusnya menjadi momentum politik untuk menguatkan perasaan bahwa menjadi “orang Indonesia”, paling tidak lima tahun sekali, lebih utama daripada menjadi orang Jawa atau Sunda, orang Islam atau Kristen, Bugis, Batak, kyai, priyayi, santri, dst., itu berubah hanya menjadi sebuah pasar politik (a political market place) belaka.

Sistem-sistem politik telah menciptakan mekanisme memilih sebagian dari warga negara untuk diberi tugas mengurus jalannya negara. Karena itulah kita memilih sebagian dari sesama kita untuk menjalankan roda pemerintahan. Bung Hatta menyarankan agar padanan bahasa Indonesia untuk kata “government” adalah “pengurus”, karena memang tugas dan fungsinya adalah mengurus negara, bukan “pemerintah” yang konotasi konseptualnya adalah mereka yang kerjanya hanya main perintah.

Rangkuman Kisah

Jazirah Sulawesi adalah salah satu bagian besar yang ikut memberi Indonesia dua bentuk kekayaan tadi. Menyusul Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan mencatat peningkatan jumlah kota dan pemisahan wilayah terbesar di Indonesia (Booth, 2011:31-59). Jumlah Kota di Sulawesi meningkat dari 4 (empat) di tahun 1961 menjadi 6 (enam) tahun 1995 dan 11 pada tahun 2009. Dalam rentang waktu yang sama, jumlah kabupaten di Sulawesi bertambah dari 33 pada tahun 1961 dan tetap tidak berubah sampai tahun 1995, tapi kemudian melompat hampir dari dua kali lipat menjadi 62 kabupaten pada tahun 2009.

Selama tahun 2013-2015, saya memiliki kesempatan menjelajahi belasan kota di seluruh provinsi di Sulawesi, bahkan sampai di pulau Buton. Perjalanan dari kota ke kota tersebut telah memberi saya pengetahuan dan pengalaman yang luar biasa. Seperti ketika saya melakukan perjalanan yang sama, tapi dengan jumlah kota yang saya datangi lebih sedikit, di pulau Sumatra tahun 2011-2012 yang lalu, pengetahuan dan pengalaman-pengalaman tersebut dalam satu hal seperti selalu membenarkan satir pahit: bahwa kekayaan alam Indonesia memang pantas membuat iri banyak negeri lain, tapi tunggulah sampai kita melihat orang seperti apa yang ditakdirkan menjadi pemimpinnya. Atau bahwa apa pun ada di Indonesia kecuali satu hal, pemimpin yang baik.

Sebagian dari kota-kota yang saya kunjungi di Sulawesi itu adalah kota-kota lama, yang sudah ada sejak kita masih hidup di bawah naungan Orde Baru. Tapi sebagian yang lainnya adalah kota-kota baru, yang tumbuh dari proses-proses politik selama era otonomi daerah, desentralisasi, dan demokrasi lokal ini. Meskipun ada belasan kota yang saya datangi, tapi secara formal saya hanya meliput tujuh kota saja: Limboto dan Pohuwatu di Gorontalo, Minahasa Utara di Sulawesi Utara, Donggala di Sulawesi Tengah, Mamasa di Sulawesi Barat, Maros di Sulawesi Selatan, dan Baubau di Sulawesi Tenggara.

Salah satu tujuan normatif dari pemisahan wilayah, dalam kajian politik di Indonesia biasa disebut pemekaran, tentu saja adalah agar pelayanan terhadap publik dan kemakmuran warga dapat ditingkatkan. Tapi kementrian dalam negeri mencatat bahwa sampai tahun 2012 yang lalu, misalnya, hanya 22% daerah hasil pemekaran dianggap berhasil, sedangkan 78% sisanya terbukti gagal meraih tujuannya. Sekjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan, menyatakan bahwa meskipun terbukti gagal, tapi elit politik lokal tetap tidak bersedia mengembalikan wilayah baru itu ke wilayah induknya semula.

Kabupaten Mamasa di Sulawesi Barat adalah salah satu contohnya. Memisahkan diri dari kabupaten Polewali, Sulawesi Selatan (Sulsel), pada 2002, Mamasa yang semula hanya sebuah kecamatan berkembang menjadi 17 kecamatan. Pemekaran jumlah ini tentu saja membawa berkah ekonomi bagi warga, karena ada kebutuhan tambahan pegawai negeri sipil (PNS). Tapi di luar itu, hampir tidak ada perubahan signifikan lainnya, bahkan setelah Mamasa masuk ke dalam wilayah provinsi baru hasil pembelahan Sulsel, yakni Sulawesi Barat. Jalan-jalan poros ekonomi penghubung Mamasa dengan wilayah lain seperti Polewali dan Toraja, misalnya, malah cenderung lebih buruk kondisinya.

Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah adalah kebalikan dari Mamasa. Ia adalah kabupaten induk yang ditinggalkan. Bukan hanya satu kali, tapi empat kali Donggala mengalami pemisahan wilayah yang kemudian membentuk kabupaten Toli-toli, Parigi Mountong, Sigi, dan Kota Palu. Donggala boleh jadi sebuah contoh yang membenarkan alasan pemekaran wilayah demi peningkatan ekonomi. Sebab sementara keempat kabupaten/kota baru tersebut mengalami kemajuan, terutama Kota Palu, Donggala tetap tinggal menjadi sebuah kabupaten miskin. Dari Palu ke Banawa, ibu kota Donggala, berjarak tidak lebih dari 36 km. Meskipun kondisi jalannya sangat baik, tapi hampir tidak ada sarana transportasi publik yang layak yang bisa melayani rute tersebut. Dulu Banawa sempat dikenal sebagai tempat pelabuhan laut yang ramai. Saat ini ia hanya menjadi sebuah kota tua, dan sepi. Mungkin karena itu sampai saat ini sebagian terbesar PNS di kantor pemerintah daerah (Pemda) Donggala memilih tinggal di Palu.

Demokrasi lokal di beberapa tempat di Sulawesi juga membenarkan temuan beberapa sarjana tentang kembalinya aristokrasi lama memegang supremasi politik. Di kota Baubau, Sulawesi Tenggara, misalnya, jabatan-jabatan politik penting selalu dibagi di antara dua kelompok tertinggi dalam sistem pelapisan sosial di sana, yakni antara kelompok Kaomu dan Walaka. Kaomu adalah keturunan keluarga Sultan Baubau, sedangkan Walaka adalah keturunan pemuka adat yang punya otoritas mengangkat Sultan. Pada sisi yang lain, upaya politik pada tingkat nasional untuk mengakui kraton-kraton yang ada di Indonesia sebagai khasanah kekayaan budaya, dalam konteks Kraton Kesultanan Buton justru memicu lahirnya konflik internal di antara sesama pewaris garis keturunan Sultan. Saat ini, misalnya, ada tiga orang yang mengaku dirinya sebagai Sultan Buton.

Pengaruh pelapisan sosial berdasarkan garis keturunan juga masih dapat dilihat dalam politik di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Di sini, kaum tertingginya berasal dari klan Olil, Monoarpa, Pakaya, dan Mbuinga. Klan-klan inilah yang silih berganti berkuasa di kawasan ini sejak era kolonial Belanda. Salah satu dari klan ini, yakni Syarif Mbuinga, meraih kekuasaan sebagai bupati Pohuwato melalui pemilihan kepala daerah pada tahun 2010. Pohuwato juga menjadi salah satu contoh daerah dengan kekayaan SDA melimpah. Selain komoditas pertanian seperti jagung, bumi Pohuwato juga mengandung kekayaan emas yang cukup besar. Sebagai sebuah kabupaten baru hasil pemisahan dari Boalemo, nasib ekonomi Pohuwato memang tidaklah seburuk Mamasa. Tapi apakah kekayaan SDA ini akan membawa maslahat bagi warganya ataukah justru akan berujung pada nasib seperti di Papua, kita masih harus menunggu perkembangannya.

Kabupaten Gorontalo, terutama di bawah kepemimpinan bupati David Bobihue saat ini, menunjukkan bahwa bukan hanya di Jawa seorang kepala daerah bisa berinovasi dalam pelayanan publik. Salah satu inovasi Bobihue adalah program Government Mobile, yakni penyediaan pelayanan publik seperti pembuatan KTP, Kartu Keluarga, Surat Izin, dst., yang dilakukan langsung ke desa-desa dan kecamatan, sehingga warga tidak perlu lagi repot-repot datang ke ibu kota kabupaten. Bobihue juga membentuk Kantor Pelayanan Pengaduan Masyarakat, yang langsung dapat terhubung ke Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, dan kantor Ombudsman Gorontalo. Sebagai simbol keterbukaan dan keinginan melayani warga, Bobihue bahkan membongkar pagar dan pos jaga di rumah dinasnya.

Yang selalu menjadi korban adalah kesempatan menjadikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang, mengatasi segenap perbedaan identitas partikular, mempromosikan kesatuan sebagai warga negara Indonesia. Tapi dinamik politik di Sulawesi juga melahirkan pemimpin lokal yang pantas dipuji. Nurdin Abdullah, misalnya, berhasil mengubah Bantaeng menjadi sebuah kabupaten yang cukup maju di Sulawesi Selatan. Sementara David Bobihue di kabupaten Gorontalo, dikenal dengan beberapa inovasi kebijakan mempermudah pelayanan publik. Ia bahkan berinisiatif mendirikan Kantor Pelayanan Pengaduan Masyarakat, yang langsung terhubung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, dan kantor Ombudsman Gorontalo. Abdullah dan Bobihue juga dikenal dekat dengan warganya.

****

Artikel ini merupakan salah satu bagian dari program Kampanye-Media Yayasan Interseksi bekerjasama dengan harian Tribun-Makassar tahun 2015. Setiap bulan selama 6 (enam) bulan secara bergantian para peneliti Interseksi menulis sebagian temuan dan pengalaman mereka selama melakukan riset di Sulawesi. Selain dengan Tribun-Makassar, dalam format yang berbeda pada 2014 Interseksi juga bekerjasama dengan majalah Forum-Keadilan. Saya tidak persis ingat tanggal dan bulan apa tulisan saya ini dimuat. Kisah lengkap tentang dinamik politik dan kultural di Sulawesi dapat ditemukan pada buku Kota-Kota di Sulawesi. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2016.



Rujukan

Booth, Anne. “Splitting, Splitting and Splitting Again. A Brief History of the Development of Regional Government in Indonesia Since Independence”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 167, No. 1 (2011), h., 31-59.

Dieleman, Marleen. “New Town Development In Indonesia Renegotiating, Shaping And Replacing Institutions”. Bijdragen tot de Taal-, Land -en Volkenkunde Vol. 167, no. 1 (2011), hlm. 60-85 URL: http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv.

Evers. Hanz-Dieters. “Urban Symbolism and the New Urbanism of Indonesia”. Dalam Cities full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Disunting oleh Peter J.M. Nas. Amsterdam: Leiden University Press, 2011.

Evers, Hans-Dieter. “The End of Urban Involution and the Cultural Construction of Urbanism in Indonesia”. Internationales Asienforum 38. No. 1-2 (2007): 51-65.

Seda, Francisia Saveria Sika. “Natural Resources and Development”, Masyarakat, No. 8/2000.



© 2020 Hikmat Budiman