Games
- Hikmat Budiman |
- Peneliti Junior Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Neraka Real Time Yang Asyik
Tiba-tiba siang berangsur suram. Gelap menggidikkan. Dunia seperti tenggelam entah di mana. Yang tampak hanya sepucuk BFG 9000—senapan pembunuh paling menghancurkan. Tangan saya besar oleh otot-otot bisep dan trisep serta topangan tendon yang mengukuhkan penyatuan saya dengan BFG 9000. Kaki saya dibungkus sepatu lars dari bahan kulit terbaik, lentur dan nyaris tidak bisa rusak. Solnya terbuat dari thermoplastic polyurethane yang beberapa kali lebih kuat dari yang digunakan sepatu merek Timberland.
Seribu hantu seperti tumpah dari langit, menggerung dahsyat, menjerit, melengking parau ke udara. Angkasa yang pasi.
Seorang diri sontak saya masuk, menelusur, melompat, mundur-turun-naik-maju, berjalan mengendap rapat ke tembok. Lari bersembunyi, atau jatuh terperosok ke dalam sebuah dunia yang ganjil. Kelam seperti malam jatuh di hutan, atau terang matahari di langit-langit rumah. Menjalani kesia-siaan Sisyphus, menghidupkan keberanian Promotheus. Berondongan chain guns, geram dan auman, dan suara-suara yang seperti datang dari alam yang lain, serta dua kemungkinan: membunuh atau dibunuh. Kematian mengepung saya dari seluruh arah. Hujan granat melesat lantas meledak, menggelegar menyambar-nyambar. Menghantam dinding batu berlumut. Memantul bolak-balik. Menghadirkan gema penguras nyali. Di kejauhan langit senja hampir habis, dan bunyi bukit-bukit runtuh. Bumi yang saya pijak terus-menerus bergetar, senantiasa rawan. Kiamat di depan mata, tapi saya masih bisa menikmati sejenis musik yang aneh. Kengerian yang begitu eksotis.
Saya bertemu dengan arwah-arwah penunggu kubur, demit pelayangan menggembor dan bunyi makhluk sekarat. Gumam kerongkongan, lorong-lorong penuh jebakan. Serdadu-serdadu yang kasar mematikan. Selokan busuk, lantai berlendir, banjir darah dan cairan menjijikkan leleh kian kemari. Tulang-tulang. Tengkorak serak-lantak. Kawah atau rawa-rawa beracun. Jasad siapa menggelayut kaku di tali gantungan? Jurang curam atau pintu-pintu rahasia. Sisanya sepi dan rasa takut. Mengaduk-aduk jantung. Jutaan lidah api, larik-larik cahaya yang membutakan. Saya hanya bisa mengerang atau melolong tinggi, tubuh koyak-moyak, darah mengalir deras, dan lantas mati tapi tanpa sedikit pun rasa sakit. Berkali-kali saya siuman lantas masuk kembali. Hidup untuk mati lagi, mati untuk hidup kembali. Seperti Rahwana dengan Pancasonanya. Menghidupi bahaya dengan rasa aman. Jantung sekejap berhenti berdegup, mengerang di puncak segala nikmat dan penderitaan.
Yang saya alami adalah tawaran menarik dari id Software Inc. (1994) dalam game serial
Doom II (Hell on Earth) for Macintosh, peniup kabar dari neraka yang begitu dekat. Malapetaka yang asyik.
Jangan membandingkan
Doom II dengan game-game tradisional seperti
Patriot Command-nya Microsoft, Spectre Challenger, The Prince, Solitaire, Prehistoric Man, MacAttack, LHX, Dark Castle, Astro Chase 3D dsb., bahkan
Wolfenstein 3D dan Blood Bath sekalipun. Kalau sebagai kolonel Christopher Blair dalam Wing Commander IV: The Prise of Freedom saya ditawari ketercekaman yang meriah dan mengagumkan, dalam Doom II saya dengan sadar memilih naluri-naluri kekejaman, dan bakat saya untuk menjadi pengecut yang paling menghancurkan.
Doom dan
Wing Commander keduanya bisa dikategorikan sebagai generasi awal game-game komputer tiga dimensi yang saat ini banyak beredar di pasaran Nusantara.
Apa sesungguhnya yang terjadi ketika dua orang anak memegang sebuah konsol video-game yang bisa dihubungkan pada keduanya baik untuk bermain bersama atau sebagai musuh satu sama lain? Dua orang manusia duduk berhadapan, dengan seutas kabel membentang di antara keduanya. Mereka tengah berada dalam sebuah ruang bersama tapi pandangannya masing-masing jatuh pada alat kontrol yang terpisah. Mengacu Andrew Mayer, itu adalah awal dari realitas virtual yang bisa dialami bersama
(the first shared virtual reality). Video games dan komputer memang merupakan perata jalan bagi masa depan para pemakai komputer untuk menggunakan sebuah antarmuka realitas virtual. Yakni dalam apa yang sekarang kita sebut komputer multimedia-interaktif. Ini menandai momentum penting dalam sejarah media massa, yakni berlangsungnya pergeseran dari bentuk media searah
(directive media) menjadi paket multimedia interaktif
(interactive multimedia) yang merupakan integrasi dari berbagai jenis media sekaligus. Dengan teknologi multimedia-interaktif ini, Ruskhoff (1994: 182-5) menyatakan bahwa seorang pemakai komputer akan berusaha diyakinkan bahwa ia bukan sekedar bisa bermain dengan objek-objek audio-visual, melainkan terlibat langsung di dalam realitas permainan tersebut--bukan semata secara interaktif tapi juga dalam menciptakan medianya (anak-anak kita yang telah sangat menguasai sebuah game komputer, misalnya, mereka sering dengan sengaja membongkar bahasa perintah dari program game tersebut, mengubahnya menjadi tampilan sesuai selera mereka.) Yang ingin dibentuknya adalah semacam etik bahwa "apa pun bisa dicapai".
Prinsip mulitmedia-interaktif bukan hanya memutar ulang film atau mengintegrasikan suara, klip-klip video, animasi dan teks, melainkan juga berpretensi melampaui dunia yang real. Keunggulan realitas virtual dibanding film-film biasa atau mungkin film tiga dimensi, adalah karena ia secara langsung melibatkan kita tidak sebagai penonton yang pasif melainkan sebagai pelibat kejadian yang bisa mengintervensi bahkan sangat menentukan jalannya cerita. Dalam realitas virtual tidak ada sosok sutradara, penguasa tunggal atas segala kejadian, melainkan para pelaku kejadian yang berkekuatan seimbang.
SimCity keluaran Maxis Software's barangkali merupakan contoh terbaik tentang sebuah realitas virtual yang bisa dialami oleh pemakai komputer sebagai pelibat-langsung. Game tersebut akan membawa user pada sebuah kota hasil simulasi, ketika ia harus menentukan seluruh keputusan untuk melangsungkan kehidupan di sebuah pulau khayalan. Mereka yang bermimpi ingin jadi presiden atau walikota, misalnya, mungkin bisa menguji kesanggupannya untuk mengatur pembangunan
SimCity ini. Game ini dilengkapi dengan sebuah peta di atas mana Anda akan membangun kota. Anda harus memilih wilayah mana yang akan dibangun sebagai perkampungan penduduk, kompleks perdagangan dan industri, kantor polisi, jalan-jalan raya dan jalan-jalan bebas hambatan dsb. Setelah Anda menentukan keputusan, game akan menampilkan laporan untuk Anda tentang seluruh pelaksanaan politik pembangunan yang Anda ambil dalam bentuk nilai-nilai kepemilikan, kejahatan, polusi dan keberhasilan perdagangan. Segala keputusan Anda dibatasi oleh anggaran belanja kota, dan waktu yang berlalu dalam hitungan tahun, bulan atau hari.
Kecemerlangan game ini, seperti diungkapkan dengan antusias oleh Ruskhoff (1994:183), adalah karena ia telah menghadirkan sebuah gambaran tentang kesalingterhubungan dari tata kota. Anda tidak bisa membangun lebih banyak kompleks industri tanpa menciptakan masalah-masalah lalulintas. Tapi Anda juga tidak bisa seenaknya membangun jalan raya tanpa mengeruk anggaran belanja yang telah Anda tentukan dalam kebijaksanaan moneter Anda. Anda juga tidak bisa mengambil budjet tanpa meningkatkan kejahatan, persis seperti Anda tidak bisa membiarkan kejahatan meningkat tanpa menurunkan nilai kepemilikan. Persoalan yang diajukan game ini begitu kompleks, sehingga yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya bukan semata otak tapi juga intuisi dan kesabaran.
SimCity bukan sekedar menantang kesanggupan mekanis otak Anda tapi juga kebijaksanaan seorang pemimpin.
Mempertimbangkan
SimCity dan
Civilization sebagai alternatif media, pada dasarnya kita tengah didesak untuk mengakui bahwa keduanya bukan lagi merupakan permainan dalam pengertian tradisional. Efek audio-visual tiga dimensinya melampaui sebuah simulasi tentang dunia nyata, sehingga keduanya benar-benar merupakan peristiwa-peristiwa konkret yang berlangsung di dalam sebuah komputer. Jarak spasial dan temporal yang begitu besar berhasil dipampatkan secara lebih kaya, sehingga reduksi besar-besaran atas ruang dan waktu tidak menghambat kita dalam mengapresiasi sejarah sebagai proses berkelanjutan dan pelbagai keterputusan sekaligus.
SimCity dan
Civilization menawari kita untuk mengalami hal-hal nyata, yang terjadi di antara kita sebagai pemakai dengan gamenya itu sendiri, yang diperantarai oleh satu produk teknologi antarmuka
(interface) sebuah komputer: Antara sebuah keyboard, hardisk atau CD-ROM dan layar monitor terjalin relasi antarmuka, saling bicara, berkomunikasi, sehingga kalau kita memiliki akses untuk berinteraksi dengan salah satu perangkat tersebut, kita akan menjadi bagian dari kondisi komunikasi antarmuka tadi. Belajar memanipulasi
interface, dengan demikian, berarti mempelajari agenda si pembuat game. Andrew Mayer menyatakan bahwa dengan teknologi antarmuka, "Anda berinteraksi dengan tombol-tombol keyboard komputer dan laporan-laporan, dan Anda mengendalikan alur permainan, tapi Anda tidaklah berinteraksi dengan simulasinya itu sendiri. Anda hanya sedang memainkan antarmuka dan melihat pelbagai hasilnya." (Ruskhoff, 1994: 184). Di lain pihak, Baudrillard (1996:104) menyatakan bahwa integrasi pelbagai sirkuit menjadi sebuah antarmuka sistem komputer semacam itu berpretensi menujukkan kemungkin untuk menulis dunia secara otomatis
(the automatic writing of the world).
Mengalami sebuah game tiga dimensi dengan dunia virtualnya jelas berbeda dengan cara kita membaca sebuah cerita komik atau menonton pertunjukan film. Membaca adalah peristiwa yang melibatkan kita bukan sebagai pelaku kejadian melainkan orang luar yang dirangsang untuk berempati. Menonton film mendudukkan kita sebagai pelahap citra yang sudah jadi sama sekali dari awal hingga akhir. Mengalami game realitas virtual berarti membawa diri kita ke dalam kehidupan kedua di samping hidup sehari-hari, dalam apa segala hal bergantung sepenuhnya atas interaksi yang kita lakukan dengan media antarmuka dan tampilan simulasi realitas yang dihasilkannya. Metode interaktif inilah yang membedakan game-game komputer tiga dimensi dari teknologi yang sama yang digunakan dalam film. Belakangan ini, beberapa rumah penerbitan di Amerika Serikat telah berusaha untuk semakin mendekatkan tiga tradisi tersebut. Sebuah cerita novel atau komik yang laris manis di pasaran akan segera dijadikan film cerita layar lebar, dan menyusul kemudian diluncurkan dalam bentuk game-game komputer interaktif tiga dimensi.
Membaca novel Thomas Harris, Silence of the Lambs, atau filmnya dengan judul yang sama yang dibintangi Anthony Hopkins dan Jodie Foster, atau karya Ian Fleming seperti Golden Eye mungkin bisa dituntaskan dalam dua jam, tapi manakala ia diubah menjadi sebuah permainan komputer seperti cerita dalam game interaktif bertajuk Who Killed Sam Rupert? boleh jadi Anda belum bisa mengetahui ending ceritanya bahkan setelah tiga bulan. Anda akan mengalami sendiri bagaimana sulitnya mencari setiap kejelasan perkara seperti kesulitan tokoh detektif wanita yang diperani Foster, dan dengan cara itu pula Anda melampaui seorang aktirs karena Anda bukan “berperan sebagai” melainkan “menjadi” tokohnya sendiri. Semuanya begitu tergantung sepenuhnya pada bagaimana Anda berinteraksi dengan media antarmuka komputer segera setelah Anda melihat hasil dari proses interaksi Anda sebelumnya. Kalau kesadaran kita tentang kompleksitas persoalan kehidupan yang muncul setelah membaca sebuah novel atau menonton sebuah film dihasilkan dari proses refleksi paska kejadian dari seorang pembaca atau penonton, kesadaran semacam itu justru merupakan buah dari keterlibatan langsung kita dengan pelbagai peristiwa konkret setelah kita mengalami sebuah game realitas virtual seperti SimCity atau Civilization. Ruskhoff (1994: 184) bahkan menyimpulkan, bahwa ajaran terpenting dari dua game tersebut tidak lain adalah bagaimana kita bisa belajar untuk melihat realitas sebagai sebuah jaringan raksasa kesalingterhubungan daripada sekedar hubungan-hubungan kecil kekuasaan.
Yogyakarta, 8 Juli 1996