- Hikmat Budiman |
- Peneliti Independen
Setiap komisi negara di Indonesia tampaknya punya kisah kisruhnya sendiri. Komnas HAM periode lalu sudah kisruh sejak awal mereka bekerja karena soal jabatan ketua, mobil dinas, dan mungkin hal-hal tidak berguna lainnya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) kisruh ketika beberapa komisionernya terbukti korupsi, dan kisruh-kisruh lain yang berlangsung sampai belakangan ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kisruh di zaman Kabareskrim Jendral Susno Duaji (banyak yang menulisnya 2G sebagai mockery dengan merujuk pada terminologi dalam teknologi komunikasi) yang melahirkan drama Cicak vs. Buaya, berlanjut dengan kasus penangkapan Bambang Wijayanto sampai pemberhentiannya bersama Abraham Samad. Tapi faktanya semua komisi-komisi itu masih ada sampai hari ini. Sekarang kita sudah masuk era teknologi komunikasi 5G, Jendral Susno juga sudah jadi petani di kampungnya, tapi kisruh di KPK masih juga terjadi. Bahkan mungkin lebih parah.
KPK lain dari komisi-komisi yang lain karena ia berurusan langsung dengan uang negara yang dirampok dan yang diharapkan (atau seharusnya ditargetkan) bisa diselamatkan dengan mengembalikannya ke kas negara. Saya tidak setuju KPK dibubarkan tapi bukan karena alasan-alasan muluk yang biasanya hanya berakhir di bau mulut seperti perang melawan korupsi, menegakkan keadilan, dan dalih-dalih yang, meskipun terdengar megah tapi karena hampir mustahil terwujud jadi, kosong sejenis itu. Sudah mendekati satu abad usia kemerdekaan kita, seharusnya kita sudah hafal bahwa pada setiap ungkapan yang megah dalam politik atau apa pun itu, di dalamnya hanya lolong dari kekosongan.
Karena kalau melawan korupsi itu perang, kita sudah tidak pernah bisa menang. Hanya menunda bahkan memperpanjang kekalahan dengan menambah terus anggaran. Kalau itu untuk keadilan di mana adilnya kalau rakyat tetap merasa lebih banyak koruptor yang bebas daripada yang dihukum (ringan pula). Kalau itu untuk memberi efek jera, seharusnya pelaku korupsi sudah jauh menurun karena orang takut mengalami perlakuan yang sama. Tapi kenyataan jauhlah panggang daripada api. Korupsi terus marak dan merangsak ke semakin banyak sektor, dan KPK terus-terusan membuat negara tekor. Sudah berapa puluh koruptor yang ditangkap tangan, dan dipamerkan di depan publik melalui televisi, tapi kita tidak pernah melihat ada tanda-tanda para pelaku yang lain merasa jeri dan jera.
Daripada jera yang tampil di depan mata kita justru adalah prilaku korup yang semakin menjadi-jadi. Ketika seluruh dunia dihempaskan oleh pandemi Covid-19 ke tubir keruntuhan, di negeri ini bahkan dana untuk penanganannya pun tetap digarong juga. Maka berhentilah menggunakan alasan dan wacana efek jera. Sebuah peristiwa yang khusus dan memang dirancang dapat menimpakan akibat psikologis besar (seperti rasa malu) bagi yang mengalaminya, kalau itu terus-menerus diulang sudah pasti akan kehilangan sebagian besar, kalau bukan seluruhnya, efek psikologis yang direncanakan tadi. Satu atau dua kali mungkin masih memberi efek dramatis, malu besar, dan terpuruk secara psikologis, tapi kalau itu sudah menjadi sesuatu yang rutin, semua itu akan menjadi biasa-biasa saja.
The new normal.Dari riwayat evolusi manusia kita bisa belajar bahwa kita adalah spesies yang memiliki kemampuan adaptif cukup hebat dalam menghadapi berbagai kondisi yang membuat kita tetap bisa bertahan hidup di bumi. Jangankan hanya sanksi sosial atau moral, es di kutub mencair pun manusia masih bisa melampauinya. Dengan keberhasilan seperti itu manusia juga berhasil mengembangkan kemampuan untuk mengelola hal-hal yang berada di wilayah psikologi termasuk sikap bosan terhadap segala hal yang rutin, dingin menghadapi kabar buruk, meluapkan marah untuk sesaat dan lantas melupakan dan, yang tidak kalah penting, sikap tidak peduli,
blasé attitude, seperti yang pernah ditulis Georg Simmel di awal abad ke-20 yang lalu. Itu pula yang terjadi dengan acara-acara memamerkan pelaku korupsi yang berhasil ditangkap petugas KPK.
Di awal-awal semua orang yang melihatnya mungkin akan sangat terpengeruh secara psikologis, tapi ketika sudah puluhan bahkan mungkin ratusan kali peristiwa serupa berulang, baik psikologi pelaku mau pun psikologi rakyat yang menonton sudah memiliki mekanisme alamiah untuk menghadapi itu semua sebagai hal yang biasa saja. Hal-hal yang repetitif akan cepat menjadi hal yang dianggap hanya peristiwa mekanis saja, seperti laju jarum jam dari sekon yang satu ke sekon berikutnya secara terus-menerus sejak ia ditemukan. Tidak ada lagi yang memperhatikannya. Maka kita bisa melihat bagaimana para koruptor berbaju orange itu bahkan ada yang banyak melempar senyum, mukanya ada yang sangat tenang seolah tidak terjadi peristiwa apa pun yang akan berakibat sangat buruk bagi dirinya maupun bagi keluarganya. Lebih dari itu bahkan kadang-kadang kita melihat masih ada dari mereka yang berusaha tampil sebagai sosok pemberani dan moralis. Ketika tertangkap mereka dengan bangga menyatakan akan bertanggungjawab atas apa yang sudah terjadi.
Ketika pemilu kepala daerah Jakarta tahun 2017, sebagian dari para tahanan kasus korupsi, dengan seringai gembira, tampak tidak segan-segan memamerkan dukungan dan pilihannya kepada salah satu kandidat. Tidak ada reaksi penyangkalan atau rasa malu pula pada kandidat yang terang-terangan didukung itu. Jika demikian, yang telah hilang rasa malunya itu bukan hanya pelaku korupsinya tapi juga bahkan orang-orang yang secara terbuka didukungnya dalam politik. Kalau ini dihubungkan dengan jutaan lain pendukung kandidat yang sama artinya adalah berjuta-juta orang yang sudah merasa tidak perlu malu dengan korupsi. Dengan karakter
blasé attitude itu, korupsi bukanlah hal yang memalukan melainkan peristiwa lumrah belaka. Ia memang merupakan bentuk
extraordinary crime dalam wacana hukum
, tapi secara sosial dan kultural sekarang ia sama sekali bukan aib istimewa. Penayangan para pelakunya di media bernilai sama saja dengan tapi jauh kalah menarik dari sinetron
Ikatan Cinta atau drama-drama Korea. Seburuk-buruknya sinetron atau drama Korea, semuanya masih memiliki alur cerita atau plot dan tahap-tahap dramatik yang bisa mengundang rasa penasaran dan menghibur, dan para pemain drama dengan tampang rupawan menggembirakan mata. Dramaturgi penayangan koruptor sangat monoton. Seperti nonton film bergenre
thriller dengan cerita yang berulang-ulang. Hanya begitu-begitu saja. Belasan tahun.
Acara eksposure media untuk para koruptor itu akhirnya memang jadi tidak lebih dari salah satu bentuk pergelaran pertunjukan yang regular bisa dipersembahkan oleh KPK untuk jadi tontonan warga setiap hari Jumat. Psikologi rakyat yang menonton sebagian besarnya pasti sudah kebas, tidak lagi menganggap itu sebagai hal penting dan harus diperhatikan. Ia tidak lebih penting dari sinetron, panggung musik bahkan kontes
standup comedy di layar-layar televisi. Contoh terbaru tentang kecenderungan seperti ini adalah siaran TV yang menampilkan informasi tentang perkembangan angka-angka jumlah warga yang terkena virus corona, mereka yang sudah sembuh, dan mereka yang sudah meninggal dunia. Sampai beberapa minggu pertama sejak disiarkan ia mungkin cukup membuat orang yang menontonnya ikut terbawa ke dalam suasana psikologis yang bercampur antara senang karena ada data yang bisa dibaca tapi sekaligus cemas, takut bahkan panik melihat perkembangan kenaikan kasus-kasus orang yang terinveksi dan, terutama, yang tidak bisa bertahan hidup.
Tapi lewat sebulan kemudian data yang ditampilkan itu akhirnya harus berakhir tidak lebih dari deretan angka-angka yang sudah tidak sanggup lagi membetot keingintahuan publik. Dalam beberapa bulan itu semua orang seperti telah mengembangkan daya imun sebagai perlindungan mental dalam menghadapi kabar buruk. Sikap imun ini semakin tebal ketika dalam kehidupan yang konkret di luar layar TV orang menyaksikan pelbagai inkonsistensi tindakan, lemahnya disiplin, kebijakan yang tidak tegas, polemik dan caci maki, heroisme sebagian kalangan, dan hoax.
Kalau hanya mengandalkan pameran hasil operasi penangkapan koruptor oleh para petugasnya, KPK akan sulit menghindari munculnya kesan kuat bahwa ia dalam praktiknya hanya menjalankan pertunjukan ritual: rutin, ditata dan dipersiapkan dengan baik, diliput media massa, dan tampilnya figur-figur pahlawan. Dilihat dari sudut ini, KPK bisa kita perlakukan sebagai semacam sebuah kelompok seni pertunjukan. Ada panggung yang selalu disiapkan, dan para wartawan yang berdesakan meliputnya. Pertunjukan regular itu bahkan diberi sebutan, entah oleh siapa pada awalnya, yang mudah diingat, “Jum’at Keramat”. Sebutan untuk proses pengumuman atau kronferensi pers KPK tentang hasil operasi tangkap tangan yang telah dilakukannya adalah upaya memberi tahu agenda yang ajeg, terjadwal seperti pentas pertunjukan regular pada umumnya. Ini mirip dengan ketika dulu pada dekade 1990an salah satu stasiun televisi swasta memberi tagline pada acara pemutaran film di studionya seperti “Senin Misteri”, “Selasa Drama”, “Rabu Aksi”, dan sejenis itu.
Singkatnya frase “Jum’at keramat” menyampaikan pesan tentang jadwal tayangan pertunjukan yang secara khusus sudah dikemas oleh tim KPK. Suspensi dramatik dimulai dengan berbagai adegan; mulai dari proses operasi tangkap tangan, atau kadang-kadang bocornya surat perintah penyidikan, berita tentang penyadapan telepon, perang opini di media massa, sampai titik klimaks ketika para tersangka pelaku koruptor itu dihadirkan dalam sebuah konferensi pers bersama para wartawan. Setelah itu semua peristiwa menuju antiklimaks ketika dalam persidangan di pengadilan para koruptor itu dijatuhi vonis hukuman ringan. Saya tidak ingat apakah pernah ada koruptor yang divonis penjara 20 tahun atau lebih. Kemungkinan besar tidak ada. Apa lagi sampai dituntut dan dijatuhi hukuman mati. Tidak pernah mungkin akan terjadi saat ini.
Tuntutan 5 (lima) tahun hukuman oleh jaksa KPK terhadap koruptor Edhy Prabowo adalah bukti paling akhir dari antiklimaks itu. Seorang pejabat publik dengan posisi sangat tinggi, yakni seorang menteri, yang baru satu tahun menjabat sudah melakukan pidanan korupsi besar dan hanya dituntut 5 (lima) tahun penjara hanya bisa dipahami dan diterima jika penggarong bank pun hanya dikenai hukuman jewer kuping. KPK yang menggebu-gebu membuat drama seolah-olah sedang menangani kasus korupsi kelas kakap, tapi KPK sendiri yang secara sengaja membuat antiklimaksnya. Lantas apanya yang
extra-ordinary kalau hanya berakhir seperti itu?
Alur semacam ini bukan hanya terjadi pada era komisioner saat ini tapi juga pada era sebelumnya. Bombasmenya selalu jauh lebih besar daripada hasil akhirnya. Dramaturgi seperti ini terus-menerus diulang selama belasan tahun, sehingga justru muncul kesan bahwa kasus-kasus korupsi itu ada untuk memenuhi ritual pertunjukan “Jum’at Keramat”, dan hanya sedikit berhubungan dengan eradikasi korupsi yang sebenarnya. Mungkin masih cukup banyak yang ingat ketika KPK menangkap seorang pejabat tinggi sebuah lembaga tinggi negara untuk kasus bernilai 100 juta rupiah. Tentu saja 100 rupiah, 100 juta atau 100 milyar tetap saja merupakan korupsi. Tapi coba bandingkan itu dengan biaya yang harus dikeluarkan KPK untuk perkara seremeh itu. Tidakah, misalnya, KPK cukup memberi peringatan kepada pejabat tersebut bahwa uang yang akan diterimanya itu sangat besar kemungkinan bisa jadi kasus korupsi. Kalau Anda tetap menerimanya Anda pasti berurusan dengan KPK. Itu bentuk pencegahan tanpa teori-teori yang muluknya berlebihan, dan tentu hanya berlaku untuk kasus korupsi kelas ikan teri seperti yang saya contohkan.
Tapi jika demikian, KPK tidak bisa mengembangkan kasus ini dan membongkar praktik korupsi yang mungkin saja jauh lebih besar. Sanggahan seperti itu hanya mungkin muncul dari orang-orang yang tidak memiliki kemampuan mumpuni di bidang tersebut. Yang juga mungkin adalah bahwa dengan cara seperti itu KPK tidak bisa menunjukkan kehebatannya dalam memberantas korupsi. Persis di situlah letak salah satu persoalannya. KPK seperti terobsesi untuk selalu tampil dalam pertunjukan, jadi seniman panggung yang diliput gegap gempita seperti
action-figures dalam fiksi-fiksi Hollywood. Penangkapan ada karena ada pertunjukan yang harus dipenuhi panggungnya. Lembaga-lembaga masyarakat sipil, yang menjadi pendukung garis keras dalam ajang pementasan pertunjukan semacam itu, tampil mirip seperti para penjaga pintu bioskop di kota kecil tempat saya tumbuh dewasa, yang selalu berseru kepada para calon penonton film: “Ayo…ayo…hampir main, film action. Barry Prima, Eva Arnaz. Ayo…ayo… hampir main…hampir main”.
Sampai hari ini saya masih tidak terlalu paham bagaimana orang-orang yang bekerja memberantas korupsi tapi hampir setiap hari muncul dalam media massa. Tidak ada anonimitas melainkan sepenuhnya merupakan tokoh-tokoh yang dikenal luas oleh publik. Para komisioner seperti merasa tidak cukup dengan keberadaan dan fungsi juru bicara KPK sehingga mereka sendiri sering harus tampil memberikan penjelasan kepada media massa yang meliputnya. Tidak hanya itu, bahkan petugas yang langsung menangani perkara korupsi pun ada yang cukup dikenal luas oleh publik sebagai orang KPK. Mereka-mereka ini seperti bersaing tampil dengan para pejabat lain bahkan dengan para selebriti hiburan. Ini akan menimbulkan dugaan bahwa obsesi pada publisitas dan heroisme jadi distorsi besar-besaran pada eradikasi korupsi di Indonesia.
Pertimbangan saya untuk mempertahankan KPK hanya sederhana saja: uang negara yang dirampok itu harus dikembalikan dalam jumlah yang, kalau bisa, lebih besar daripada yang dirampok.
Artinya KPK lebih baik ditransformasikan menjadi sebuah lembaga tanpa beban yang terlalu mengada-ada, yang semua orang tahu itu mustahil, yakni melenyapkan korupsi. Ia harus diubah menjadi lembaga dengan target dan ukuran keberhasilan yang bisa diukur, realistis dan
doable. Saya sempat berpikir menggunakan istilah BUMN (Badang Usaha Milik Negara), tapi penggunaan nomenklatur ini bisa menimbulkan perkara baru nantinya. Maka sebutlah ia sebagai lembaga pengembalian uang negara atau nama lain. Ia menjadi semacam satuan buru sergap yang tugasnya memburu uang para koruptor.
Konkretnya, ukur saja besarnya input dengan besar outputnya. Kalau dalam 1 (satu) tahun KPK butuh anggaran 1 triliun, maka dalam waktu yang sama ia harus bisa mengembalikan minimal 5-10 triliun uang ke dalam kas negara dalam bentuk uang
cash, bukan hanya angka pernyataan tentang jumlah. Angka-angka tersebut hanya sebuah ilustrasi, bukan hasil penghitungan yang seksama, yang tujuannya untuk memberi gambaran tentang perbandingan antara biaya yang digunakan dan hasil yang harus ditargetkan untuk bisa dicapai. Angka konkretnya tentu saja hanya bisa dihitung oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas pada bidang-bidang yang terkait dengan upaya efisiensi anggaran negara dan eradikasi korupsi. Apakah angka-angka tersebut harus tercatat sebagai, misalnya, penerimaan negara yang bukan pajak atau yang lain biarlah yang berwenang yang memutuskan. Ini harus ditambah dengan
verified data tentang jumlah potensial kerugian negara yang bisa dicegah.
Kalau tidak bisa mencapai target pengurusnya bisa segera dirombak atau diganti. Tidak perlu ada drama politik yang membosankan seperti yang terjadi sekarang. Sesederhana itu saja. Bandingkan kasus KPK dengan kasus pembubaran Kementrian Riset dan Teknologi (Ristek) dan transformasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) oleh Presiden Jokowi. Tidak ada satu pun lembaga masyarakat sipil yang meributkannya secara terbuka. Orang tetap ribut menuduh Jokowi telah melemahkan KPK, padahal yang sudah konkret terjadi adalah proses pelemahan, kalau bukan pengerdilan, LIPI dan Ristek. Tapi kasus LIPI dan Ristek mungkin memang tidak begitu menarik untuk dijadikan bahan pertunjukan. Sebagai bahan cerita, kasus LIPI dan Ristek mungkin tidak memenuhi unsur-unsur dramatik yang dibutuhkan oleh sebuah seri pertunjukan untuk ditonton orang banyak.
Saya tidak tahu pasti berapa konkretnya uang yang bisa dikembalikan KPK ke kas negara setiap tahun. Tapi dugaan saya angkanya tidaklah besar-besar amat. Kalau dugaan ini benar, maka dalam hitung-hitungan rasionalnya, negara rugi bandar membiayai KPK. Yang ditonjolkan KPK hanya drama-drama tangkap tangan, tapi anggaran negara terus terkuras. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia konkretnya lebih banyak menghasilkan drama bukan dana yang bisa dikembalikan kepada negara bukan pula rasa jeri dan sikap jera untuk melakukan korupsi. Kesuksesan KPK selama ini baru terbatas pada keberhasilannya memenuhi aspek psikologis dari masyarakat yang sudah sangat muak dengan para koruptor. Caranya adalah dengan membuat pertunjukan ritual tangkap tangan tadi.
Mentransformasikan KPK menjadi lembaga yang memiliki target rasional dalam pengembalian uang negara akan menghindarkan lembaga ini dari perkara-perkara yang hanya bikin heboh tapi tidak pernah bikin persoalan jelas. Dengan ukuran pencapaian target yang jelas, seperti lembaga ekonomi pada umumnya, kita bisa memperlakukan KPK dan para pegawainya sebagai manusia-manusia biasa yang bekerja untuk mencapai
goal tertentu. Ini tentu saja akan berpengaruh kepada kebutuhan sumberdaya manusia yang berbeda daripada yang saat ini dipekerjakan oleh KPK. Para pegawai KPK kelak tidak lagi hanya mengandalkan orang-orang yang berlatarbelakang ilmu hukum tapi juga orang-orang yang paham betul soal anggaran dan disiplin-disiplin lain yang relevan termasuk ahli-ahli
data science mutakhir.
Lantas bagaimana dengan aspek penegakan hukumnya? Serahkan masalah itu kepada lembaga-lembaga penegak hukum yang sudah ada seperti kepolisian dan kejaksaan. Tapi bukankah KPK didirikan justru karena kita tidak percaya kepada institusi-institusi tersebut? Benar, dan tanpa disadari kita sudah membuang waktu lebih dari 20 tahun yang seharusnya sudah bisa digunakan untuk melakukan perbaikan-perbaikan fundamental dalam kedua lembaga itu. Perhatian dan anggaran negara lebih diprioritaskan untuk membesarkan KPK seolah dilupakan bahwa ia hanya sebuah lembaga darurat
(adhoc) belaka. Padahal negara jelas lebih membutuhkan kepolisian yang baik daripada sebuah lembaga darurat yang baik.
Ketidakpercayaan kepada kepolisian dan kejaksaan menjadi dalih bagi kita untuk hanya menaruh perhatian dan kepercayaan kepada KPK sehingga reformasi kepolisian dan kejaksaan tidak pernah benar-benar menjadi kepentingan bersama. Kita sibuk dengan narasi perang melawan korupsi dan penguatan KPK tapi dengan mengabaikan keharusan melakukan perbaikan-perbaikan fundamental pada kepolisian dan kejaksaan. KPK seolah menjadi lembaga pengganti kepolisian dan kejaksaan bukan hanya dalam hal penanganan tindak pidana korupsi melainkan sebagai institusi penegak hukum secara umum.
Bandingkan KPK dengan unit penindakan tindak pidana korupsi yang dimiliki oleh kepolisian. Bukan hanya dalam hal sumber daya manusia tapi bahkan dalam hal anggaran pun kondisinya sangatlah timpang. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana kita bisa mengharapkan mereka bisa bekerja sebaik atau bahkan lebih baik dari KPK? Padahal Polri memiliki unit khusus semacam Densus 88 anti-terorisme yang sampai saat ini telah bekerja dengan kinerja yang relatif baik. Penilaian negatif tentu saja selalu muncul dari beberapa kalangan yang keberatan dengan metode yang digunakan oleh Densus 88 dalam menangani terorisme, tapi secara umum saya menduga bahwa citra Densus 88 masih dinilai lebih positif daripada kepolisian RI secara umum. Satu hal yang juga menarik adalah karena hampir tidak ada rakyat biasa yang mengenal siapa personal-personal Densus 88, padahal sebagian cukup besar rakyat pasti cukup mengenal orang-orang KPK baik para komisionernya bahkan sampai ke petugas penyidiknya seperti Novel Baswedan.
Pertanyaannya, mengapa kita tidak mendorong Polri membentuk detasemen elite khusus untuk penanganan korupsi yang diambil dari sumberdaya manusia terbaik kepolisian kita, dan diberi anggaran yang cukup besar? Salah satu jawabannya tentu saja adalah karena sudah ada KPK. Tapi lantas sampai kapan KPK akan diperlakukan sebagai lembaga yang wajib ada dalam negara Indonesia sehingga karena itu ia bahkan bisa menurunkan kebutuhan untuk memperkuat kepolisian?
Distrust pada institusi-institusi hukum itulah yang membuat sebagian dari kita tidak bisa bersikap kritis pada institusi semacam KPK. Saya kadang-kadang juga senang melihat para koruptor itu dipertontonkan di hari Jum'at. Tapi mau sampai kapan masih di situ-situ saja? Kemungkinan orang-orang KPK berbuat lancung seperti orang-orang di kepolisian dan kejaksaan sebenarnya hampir sama saja. Bedanya hanya karena jaksa dan polisi tidak kita percaya, sedangkan KPK adalah pahlawan yang harus dipercaya. Tanpa cela. Teflon. Bahkan ketika sudah ada bukti pegawai KPK mencuri barang bukti emas beberapa kilogram itu tempo hari; ada truk yang bawa barang bukti kasus korupsi yang hilang; ada komisioner yang menyalahgunakan otoritas untuk kepentingannya sendiri dalam proses pencalonan pada pemilu 2014; ada komisioner yang kasus hukumnya harus di
deponeering karena belas kasih presiden, dan kasus-kasus lain.
Memberi kepercayaan terlalu besar kepada KPK sama bahayanya dengan tidak percaya sama sekali pada polisi. Mereka sudah lebih dari 20 tahun berdiri dan bekerja, dan semua status mitisnya sebagai lembaga super harus sudah dilucuti. Mereka harus dilecut supaya kerja lebih profesional, dan karenanya fungsinya cukup terbatas saja: kembalikan uang negara dari para koruptor. Berhenti bermain drama. Tapi kalau begitu kita tidak akan lagi memiliki pahlawan-pahlawan perang melawan korupsi. Maka kutipan dari dramawan Jerman, Bretolt Bracht, yang sudah menjadi klasik itu menjadi kembali penting untuk kita renungkan :
Andrea:
Unhappy is the land that breeds no hero. Galileo:
No, Andrea: Unhappy is the land that needs a hero. Andrea: Malang nasib negeri yang tidak melahirkan pahlawan. Galileo: Tidak, Andrea. Malang nasib negeri yang masih butuh seorang pahlawan.
Jakarta, 2-5 Juli 2021