Bagi-Kuasa
June 20, 2021 02:14| | Kategori:
Koran Cepat Detik | Politik | MiniKataMiniKata Koran Cepat Detik
- Hikmat Budiman |
- The Japan Foundation, Jakarta
Dalam setiap kemelut hidup, pegangan terakhir kita adalah akal sehat. Karena ia adalah batas terakhir kesanggupan intelektual kita memahami dan menafsirkan realitas. Setiap persoalan yang berada di luar jangkauan akal sehat akan menerbitkan rasa takut, serba asing, membingungkan, kaotik. Bankrutnya sebuah bangsa juga bisa dilihat dari sejauh mana akal sehat masyarakatnya (common sense) mengalami cedera.
Gagasan
power sharing yang bising di telinga kita hari-hari ini, misalnya, adalah salah satu tikaman pada nalar rakyat. Sejauh akal sehat masih dipakai, ungkapan
power sharing atau bagi-kuasa jelas mengandaikan adanya pihak yang membagi dan yang dibagi. Konkretnya, setelah pemilu berakhir berarti bagi-kuasa antara pemenang dan pihak-pihak yang mendukung kemenangannya atau bahkan dengan lawannya yang lantas menjadi pecundang pemilu. Bagi kuasa, dengan demikian, adalah refleksi dari kehendak untuk membagi tanggung jawab mengurus negara melalui pemerintahan bersama, terutama ketika sebuah pemilu tidak menghasilkan satu pemenang mutlak.
Maka Megawatilah yang seharusnya membagi kekuasaan setelah PDIP merebut suara terbanyak pemilu 1999 lalu. Ketika yang terjadi justru sebaliknya, tidak ada konsep lain yang bisa menjelaskannya kecuali penjarahan kuasa. Pencederaan akal sehat rakyat yang dilakukan demi kepentingan politik sesaat. Hasilnya adalah sebuah rezim kekuasaan dengan legitimasi yang selalu rawan, mudah gempa sekaligus membingungkan. Tidak masuk akal.
Dalam kondisi bangsa nyaris bankrut seperti sekarang, gagasan bagi-kuasa yang belakangan kembali bising di telinga kita, juga hanya akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang sama-sama rawan. Gus Dur, DPR, MPR bahkan Megawati pada dasarnya telah kehilangan legitimasi politik. Sebab mereka terlibat penuh membangun sebuah kekuasaan yang tidak masuk akal tadi. Maka solusi terbaik adalah kembali pada akal sehat rakyat. Lakukan pemilu ulang untuk menciptakan momentum historis baru, betapa pun mahal ongkos ekonomisnya.
Jakarta, 14 April 2001