Orang yang paling berpengaruh di wilayah kultural tahun 2003 yang lalu adalah Jonatahn Ive. Paling tidak itulah hasil pilihan pemirsa stasiun radio BBC, Inggris, baru-baru ini. Lahir di kawasan utara London, Ive mengalahkan jutawan baru, penulis serial Harry Potter, serial buku terlaris di planet bumi dalam tiga tahun terakhir ini, J.K. Rowling, dan beberapa tokoh berpengaruh lainnya. Ive bukanlah pengarang penerima penghargaan Nobel, atau ilmuwan humaniora kelas puncak, melainkan hanya seorang perancang desain peralatan teknologi mutakhir yang sekarang paling banyak dipakai di dunia: pemutar lagu portable berbasis teknologi komputer, MP3 player yang diberi nama iPod.
Cukup menarik bahwa tidak satu pun dari lima orang yang masuk nominasi tertinggi penghargaan tersebut berasal dari bidang-bidang yang sejauh ini masih sering dianggap representasi dari “kebudayaan tinggi”, melainkan justru dari areal-areal produksi kultural yang masih sering dianggap tidak serius: budaya massa. Konretnya, baik Ive maupun Rowling tidak pernah benar-benar dianggap sebagai refleksi dari sebuah elan vital kebudayaan umat manusia, sebagaimana kita membayangkan adanya semangat semacam itu pada tokoh-tokoh besar sekelas Kant, Da Vinci, Hume, Descartes, Sutan Takdir Alisjahbana, atau Asrul Sani.
Akhir tahun 2004 ini, menjelang natal dan perayaan tahun baru, iPod menjadi produk yang paling diminati di Amerika dan beberapa negara Eropa. Beberapa butik ternama bahkan konon menyisihkan produk-produk fashion tradisional untuk memberi tempat pada iPod. Anak-anak, remaja, dan orang tua menjadikannya bagian dari gaya hidup mereka. Sampai saat ini lebih dari 10 juta iPod telah terjual di seluruh dunia, termasuk Jakarta. Di lingkungan beberapa kampus di Amerika Serikat bahkan telah muncul ungkapan playlistisism yang diambil dari salah satu fitur iPod. Ungkapan ini mendepiksikan kecenderungan baru orang mengukur atau mendefinisikan posisi sosial orang lain dari pilihan-pilihan auditifnya, yakni kompilasi lagu-lagu yang dimasukkan ke dalam iPod.
Puluhan bahkan ratusan perusahaan, termasuk pabrik mobil BMW, Mercedes Benz, Ferari, dan rumah busana Christian Dior, lantas ramai-ramai menciptakan produk aksesori yang bisa dipasangkan dengan iPod. Beberapa media terkemuka seperti Fortune atau The Economist, menyebut kecenderungan ini sebagai ekonomi iPod (the iPod economy). Singkatnya, iPod telah menjadi sebuah ikon baru budaya massa. Beberapa kalangan mendeklarasikan silogisme yang terdengar konyol, tapi sangat boleh jadi benar adanya bagi sebagian orang: “iPod, therefore I am”.
Apa yang membuat iPod menjadi perkakas teknologi yang paling digandrungi saat ini? Itu karena ia merupakan sebuah elemen dari apa yang oleh direktur lembagar riset pasar Envisioneering, Richard Doherty, disebut “unobtainium”. Yakni ketika seseorang telah mengidentifikasikannya, sangat mengingingkannya, tapi pada saat yang sama sedikit sekali orang yang memilikinya. Itu adalah ungkapan lain dari apa yang dulu dikenal luas sebagai scarcity syndrome atau sindroma kelangkaan. Argumen Doherty merujuk pada kenyataan bahwa setiap ada momentum kultural penting, seperti Natal, tahun baru, atau sekedar libur panjang musim panas, iPod menjadi sebuah gajet (gadget) yang paling banyak dicari tapi (atau sehingga) karena itu ia menjadi sangat sulit didapatkan. Konon pada saat-saat tertentu orang bahkan harus menunggu 4-6 minggu untuk bisa mendapatkan iPod yang dipesannya.
iPod juga bisa dilihat sebagai sebentuk “affordable luxury”, kemewahan yang terjangkau. Ini akan terdengar sedikit oximoronis, karena ungkapan “mewah” biasanya bertolak belakang dengan “terjangkau” yang bisa berarti murah. Tapi pada akhirnya mewah identik dengan harga mahal hanya berlaku bagi orang yang tidak punya cukup uang. iPod seperti melebur batas itu karena betatapun ia berharga cukup mahal, dan dari sini sebenarnya label mewah sebagian besarnya berasal, tapi jumlah yang mampu membelinya jauh lebih besar daripada barang-barang mewah seperti perhiasan bertatah berlian, mobil Lexus atau jam tangan Rolex.
Bagaimana sesungguhnya fenomena iPod bisa dimaknai secara kultural? Bukankah ia tidak lebih dari sebuah instrumen pemutar lagu-lagu yang telah dikompresi secara digital? Bukankah ia tidak berbeda dengan atau hanya versi baru dari teknologi yang sudah dikenal orang dalam pemutar kaset berukuran kompak, Walkman produksi perusahaan Sony (yang konon sudah terjual sebanyak 300 juta unit selama 20 tahun terakhir ini)?
Kalau kita merujuk pada argumen teoritisi Marxis dari Inggris, Raymond Williams , bahwa “kebudayaan” merupakan salah satu kosa kata yang paling sulit ditetapkan arti definitifnya, apa yang terjadi dalam jajak pendapat radio BBC di atas pasti akan semakin membuat kita kebingungan. Pertanyaan yang segera akan muncul mengganggu pikiran kita adalah, jika demikian lantas apa makna dari terminologi “kebudayaan” saat ini? Berpuluh bahkan mungkin ratusan tahun kita meyakini kebudayaan sebagai sebuah domain bagi praktek, wacana, dan produk yang berkonotasi pada keluhuran intelektualitas, budi pekerti, dan estetika umat manusia. Karena itu pula, kebudayaan sering dianggap sebagai, seperti pernah disampaikan dalam naskah Manifesto Kebudayaan di zaman Orde Lama, sebuah upaya ke arah penyempurnaan hidup manusia (a pursuit of total perfection).
Manusia dan kebudayaan, dengan demikian, terlanjur diasumsikan sebagai dua hal yang eksistensinya saling menjelaskan satu dengan lainnya. Kebudayaan tidak bisa tidak harus diasumsikan sebagai produk dari aktivitas manusia, dan individu menjadi manusia karena ia hidup di dalam dan ikut memproduksi kebudayaan. Dalam tradisi fenomenologi, misalnya, kebudayaan dianggap sebagai bentuk konkret dari kerja manusia membangun apa yang disebut lebenswelt atau dunia kehidupan sebagai kontras dari dunia objektif realitas alamiah tiga dimensi. Istilah lebenswelt dipopularkan oleh filsuf Jerman, Edmund Husserl. Jejaknya dalam sosiologi yang cukup dikenal di Indonesia, antara lain, bisa dilihat dalam karya bersama Peter L. Berger dan Thomas Luckman, The Social Construction of Reality (1966).Ini adalah dunia yang secara serentak dan langsung dialami secara subjektif dalam kehidupan sehari-hari. Tempatnya berada di lingkungan alamiah tapi pengalamannya berlangsung di wilayah subjektif, yang dapat meliputi pengalaman-pengalaman individual, sosial, perseptual, dan praktikal.
Keterangannya lebih kurang seperti ini: manusia membedakan dirinya sendiri dari organisme hidup lainnya melalui pembentukan lebenswelt yang selain bisa dihuni secara alamiah juga dihidupi secara sosial. Berbeda dengan organisme biologis lain seperti binatang, individu manusia ketika lahir tidak memiliki kesanggupan mandiri menghadapi lingkungan ekstra-organismiknya tanpa bantuan manusia lain. Karena seorang individu lahir bersama individu-individu lain ke dunia yang sudah sejak lama dibangun dan dihuni oleh orang lain sebelumnya, kerja kebudayaan bukan lain adalah proses penciptaan tradisi. Individu, dengan demikian, pada dirinya sendiri tidak pernah bisa menciptakan kebudayaan sendirian, melainkan sebatas sebagai produsen bersama. Singkatnya, individu manusia melakukan aktivitas kerja kebudayaan bersama individu-individu lainnya untuk membangun dunia kehidupan yang khas miliknya, sehingga historisitasnya dicirikan oleh kenyataan bahwa ia merupakan koproduser tapi sekaligus produk kebudayaan.
Dalam tradisi sosiologi, proses seperti ini bisa juga disebut sebagai sebuah peristiwa denaturalisasi manusia, ketika ia menjadi mahkluk sosial yang eksis di dalam sebuah dunia yang berada dalam tapi sekaligus terpisah dari dunia alamiah. Pasangannya adalah proses desosialisasi alam, yakni ketika alam dikeluarkan dari kehidupan sosial yang dibentuk hanya antar-sesama manusia. Meskipun istilah denaturalisasi manusia dan desosialisasi alam biasanya lebih banyak dipakai untuk menjelaskan fenomen modernitas dengan terutama mengacu pada tesis yang dibuat Max Weber tentang rasionalisasi, tapi nuansa makna dari ungkapan tersebut juga bisa dipakai untuk menjelaskan proses melalui apa manusia mengangkat dirinya mengatasi organisme biologis alamiah yang lain. Dalam konteks tersebut, kebudayaan menjelaskan eksistensi manusia sebagai sebuah organisme sosial sekaligus menetapkan batas-batas kategoris tentang manusia dalam relasinya dengan lingungan fisik alamiahnya.
Perhatian filsafat pada wilayah kebudayaan tentu saja dimulai dari pertanyaan-pertanyaan tentang diri manusia. Merujuk pada Cassirer, konon orakel Delphi pernah meminta Socrates untuk sebuah tugas religius mengkaji dan mengenali-diri. Studi Socrates tentang diri manusia dilakukan melalui pendekatan manusia sebagai individu. Salah seorang muridnya yang paling terkemuka, Plato, melihat bahwa pendekatan semacam itu terlampau terbatas tapi sekaligus terlampau rumit karena demikian besar perbedaan dan pertentangan yang akan muncul dari setiap individu. Karena itu, ia merekomendasikan studi tentang manusia yang terutama ditujukan untuk memahami manusia dalam kehidupan sosial dan politiknya. Tugas filsafat menurut Plato adalah bagaimana menerangkan makna manusia dengan jelas. Teori filsafat tentang manusia umumnya terangkum dalam teori tentang negara atau, dalam kalimat lain, penjelasan kehidupan politik.
Tapi kehidupan manusia pasti tidak hanya meliputi bidang politik. Faktanya, politik pada dasarnya adalah produk yang dihasilkan dari proses-proses peradaban yang mendahuluinya. Jauh sebelum mengenal politik dan menciptakan negara, manusia sudah menjadi sebuah organisme biologis yang terus-menerus mencurahkan dirinya untuk mengelola perasaan, pikiran, dan hasrat-hasrat insaninya. Apa yang sampai sekarang dikenal dan diberi kode kategoris sebagai mitos, agama, seni, dan tentu saja bahasa, berkembang jauh sebelum manusia membentuk kehidupan masyarakat politik. Sekarang kita bisa cukup aman mengatakan bahwa dalam kehidupan seperti itulah kita bisa mulai menemukan keterangan tentang status kebudayaan sebagai penjelas kehidupan manusia.
Problemnya kemudian adalah, jika landasan sejarah filsafat ini kita terima sebagai titik awal pemahaman kita tentang relasi antara manusia dan kebudayaan, konsepsi tadi secara otomatis melepaskan politik dari domain kebudayaan manusia. Apakah, jika demikian, kebudayaan harus dipahami sebagai praktek-praktek kehidupan manusia yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan negara? Konkretnya, apakah kebudayaan hanya harus dibatasi pada wilayah-wilayah ekspresi simbolik seperti bahasa, agama, mitos, dan seni semata? Secara teoritis tentu saja cukup mudah bagi kita untuk meyakini pemisahan seperti itu, tapi dalam praktek hidup sehari-hari benar-benar tidak masuk akal untuk memisahkan politik dari kebudayaan atau sebalinya. Inilah barangkali yang mendorong ketidakpuasan sebagian teoritisi sosial pada penjelasan-penejelas tentang kebudayaan yang telah mapan, yang lantas melahirkan berbagai pemikiran dan tafsir baru tentang kebudayaan.
Terlepas dari obskurantisme di atas, pertanyaan yang juga penting diajukan adalah, jika kebudayaan secara eksistensial sangat melekat dengan kehidupan sosial manusia, lantas apa sesungguhnya arti kebudayaan bagi hidup kita? Mudah-mudahan saya bisa menjawabnya kelak.
Jakarta, November 2004.
Saya sudah tidak ingat lagi sumber dari tulisan ini. Mungkin salah satu naskah pengantar kuliah ketika saya sesekali jadi pengajar tamu di kelas filsafat Universitas Parahiyangan Bandung. Tapi mungkin juga bukan. Yang pasti sampai saat ini saya belum bisa memberi jawaban yang jernih dan meyakinkan untuk pertanyaan di akhir tulisan di atas.