Sosiologi | Politik
Jakarta seperti sebuah kota yang hampir tumpas oleh amarah. Seluruh media massa jauh-jauh hari menghimbau orang berhati-hati ke luar rumah. AM Fatwa merengek meminta sidang DPR dipindah ke kompleks tentara, dan sebagian anggota dewan yang lain minta dipersenjatai. Seluruh kota ditikam ketakutan, dan bagian terbesar warganya terkurung dalam rasa cemas dan gelisah yang menyakitkan. Mereka yang ribut ngomong potensi kerusuhan, mereka juga yang paling cepat merasa ketakutan oleh bayangannya sendiri. Jantung ekonomi seperti hendak berhenti berdetak. Kekerasan seperti monster yang mengintai di setiap jendela. Orang-orang kaya tak lagi punya nyali pamer kemewahan di jalan-jalan yang kumuh: dan saya bisa menikmati Jakarta yang jauh lebih manusiawi, zonder kemacetan. Sangat dramatis!
Tanggal 29-30 Maret 2001 masyarakat Jakarta adalah korban paling konyol dari berlangsungnya kekerasan dalam wacana, yang kemudian berubah menjadi praktik kekerasan itu sendiri. Satu bentuk kekerasan fisik yang secara empirik sebenarnya tidak pernah ada, karena ia hanya ada dalam bentuk representasinya pada pelbagai media. Wacana tentang kekerasan yang terus diulang, disebarluaskan ke mana-mana dalam skala massif oleh seluruh kanal pemberitaan dan informasi lain, secara cepat menjadi ancaman kekerasan yang benar-benar terasa nyata. Warga Jakarta, dengan kalimat lain, adalah contoh konkret runyamnya hidup kalau makin banyak urusan direduksi menjadi bentuk-bentuk representasi dalam media massa. Ketika orang makin berlemak, dan lebih banyak menghabiskan waktu di depan TV, radio, situs-situs berita dan mengunyah berita di media-media cetak, mereka telah ditarik memasuki sebuah dunia tempat batas-batas antara yang real dan produk representasi tidak lagi relevan.Versi awal artikel pendek ini pernah dimuat di salah satu edisi Koran Cepat Detik. Dimuat kembali di sini dengan beberapa perbaikan dan sedikit tambahan di sana-sini.
Artikel Opini | Politik
Sosiogi | Teknologi
Sosiologi | Teknologi