Almarhum filsuf utilitarian Inggris abad ke-18, Jeremy Bentham, tiba-tiba saja jadi penasihat presiden Susiolo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menghadapi korupsi di Indonesia. Kita semua tahu bahwa perang melawan korupsi kini mulai memasuki babak baru. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang tampak begitu perkasa. Ia diberi otoritas bahkan untuk menyadap percakapan telepon. Akibat sertamertanya terkesan lucu bahkan moronik, ketika konon banyak anggota dewan legislatif yang ramai-ramai mengganti nomor telepon selulernya, seolah dengan cara itu mereka akan bisa lepas dari pengawasan.
Apa yang dilupakan adalah bahwa dengan pemberian otoritas seperti itu, perang terhadap korupsi dan koruptor telah melebar sedemikian rupa, dari domain publik terus merangsak masuk bahkan ke wilayah privat masing-masing individu. Alasan sebagian angota dewan perwakilan rakyat (DPR) mengganti nomor telepon selulernya bisa saja bukan karena takut terbongkar tindak pidana korupsinya, melainkan lebih karena mereka tidak ingin wilayah privasinya diketahui terlalu banyak orang.
Tidak berhenti sampai di situ, sebab seperti diberitakan Kompas (14 Juli 2005), tahun 2005 ini pemerintah akan menerbitkan single identification number (SIN) untuk semua anggota masyarakat Indonesia. Seperti otoritas penyadapan telepon oleh KPK, SIN juga digagas sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi. Tujuannya, menurut Menteri Negara Pemberdayaan Aparatus Negara, adalah agar pemerintah bisa mengakses segala informasi tentang aktivitas dan mobilitas tiap individu warga negara.
Penjelasan sang mentri tersebut tentu saja akan mencuatkan kembali problem klasik, tentang sejauh mana sebenarnya negara diberi wewenang untuk melakukan intervensi ke dalam ranah kehidupan pribadi warganya. Kalau spasi-spasi pribadi kita telah pula dimasuki oleh agensi-agensi kuasa negara, di mana letak individu sebagai pribadi-pribadi warga negara yang bebas dalam sebuah politik demokrasi?
Otoritas penyadapan telepon oleh KPK kemungkinan sifatnya masih terbatas. Pertama, ia dibatasi hanya pada pemilik dan/atau pengguna telepon. Kedua, kemungkinan ia dibatasi pula oleh keterbatasan KPK untuk bisa menyadap pembicaraan telepon seluruh pemilik/pengguna telepon tanpa kecuali. Sebaliknya, kebijakan tentang SIN berlaku untuk seluruh warga negara dari segala lapisan, dan melibatkan begitu banyak instansi pemerintah untuk melaksanakannya.
Ditambahkan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), SIN akan menjadi penanda tunggal identitas personal untuk begitu banyak perkara dalam hidup kita, mulai dari urusan di Bank, kepolisian, melamar pekerjaan, menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, bahkan sampai kantor catatan sipil. Beberapa perkara yang selama ini cenderung rumit, bolehjadi akan menjadi lebih sederhana. Tapi dalam konteks seperti itu, menjadi lebih sederhana tidak otomatis berarti hidup kita lebih nyaman karenanya.
Surveillance
Logika di balik pemberlakuan SIN bukan lain adalah teknologi kontrol sosial. SIN diterbitkan untuk melakukan surveillance (pengawasan) terhadap warga negara agar sebuah tertib sosial bisa dikendalikan. Korupsi adalah gangguan terhadap tertib sosial itu, karena ia telah merugikan ekonomi negara secara besar-besaran. Maka ia harus, kalau tidak bisa dimusnahkan sama sekali, dikurangi secara signifikan. Pertantanyaannya, kalau korupsi sudah demikian berurat berakar dalam masyarakat dan birokrasi, bagaimana ia bisa dikurangi. Jawabannya, kembali mengacu pada berita Kompas di atas, semua aktivitas ekonomi warga negara harus dipantau sehingga pemerintah bisa mengetahui secara detail asal-usul kekayaan mereka.
Dengan model pengawasan semacam itu, jangan heran kalau dalam dua tahun ke depan, misalnya, pemerintah bisa mengetahui bukan hanya berapa jumlah simpanan uang Anda di bank, atau berapa luas dan di mana saja Anda memiliki tanah, tapi bahkan sampai ke kebiasaan Anda berbelanja, selera makan, kelas penerbangan, atau hotel yang biasa Anda sewa dan dengan siapa. Semua data tentang itu akan ditarik melalui pelacakan terhadap SIN Anda yang terhubung dengan nomor rekening, kartu kredit, KTP, paspor, dan segala jenis kartu identitas personal lainnya. Ambisi pemerintah ini tentu saja harus ditopang dengan penyediaan sebuah sistem data-base raksasa yang selalu diperbaharui terus-menerus.
Dalam konteks itulah Jeremy Bentahm mengajari pemerintah Indonesia sebuah prinsip, bahwa kekuasaan harus tampak nyata tapi tidak bisa diverifikasi (visible and unverifiable). Kuasa harus tampak dalam arti bahwa warga secara konstan melihat atau menyadari ada tangan kuasa yang senantiasa memantau aktivitas mereka. Kuasa harus tidak bisa diverifikasi dalam arti bahwa warga harus tidak pernah tahu kapan persisnya ia sedang diawasi. Yang pasti, seperti kata sang menteri, apa pun yang dilakukan, dan ke mana pun seseorang bergerak, ia niscaya berada dalam pantauan pemerintah. Mekanisme ini akan menghasilkan sebuah kondisi psikologis warga negara yang selalu menimpakan beban pada diri mereka sendiri: beban bahwa mereka diawasi setiap saat.
Teknik surveillance tidak lagi diterapkan pada tubuh biologis seperti teknik pengawasan model struktur penjara Panopticon gagasan Jeremy Bentham, melainkan terhadap representasi datanya. Seorang pelopor Surveillance Studies dari Queens University, Kanada, David Lyon (2001:2), misalnya, memberi batasan mutakhir tentang pengawasan sebagai segala bentuk pengumpulan dan pengolahan data personal, baik yang bisa diidentifikasi maupun yang tidak, untuk maksud mempengaruhi atau mengatur mereka yang datanya telah berhasil dikumpulkan.
Konkretnya, melaui pemberlakuan SIN pemerintah tidak perlu lagi secara fisik mengawasi segala aktivitas pejabatnya, melainkan cukup hanya dengan mengawasi pergerakan data tentang aktivitas mereka. Data inilah yang akan digunakan untuk menetapkan apakah seseorang boleh disangka melakukan korupsi atau tidak. Singkatnya, nasib pejabat dan sebagian warga negara akan lebih banyak ditentukan oleh relasi antardata di dalam sistem data-base yang kelak (mungkin) akan dimiliki pemerintah.
Teknik pengawasan semacam itu oleh sejarawan Amerika, Mark Poster (1995), disebut dataveillance. Ini adalah teknologi pengawasan skema (super)panoptic dalam masyarakat yang sudah sangat bergantung pada sistem pencacahan data untuk berbagai kebutuhan hidupnya. Kalau surveillance pada dasarnya diarahkan pada upaya membatasi mobilitas mereka yang diawasi, dataveillance justru bisa dipakai untuk menguntit sumber data yang niscaya selalu bergerak, tanpa kehadiran fisikal si pengawas.
Meskipun berbeda dalam bentuk tapi substansi teknik pengawasan seperti itu sama saja dengan model pengawasan panopticon. Artinya, dengan cara itu pemerintah sedang berusaha membangun sebuah sistem pengawasan yang bersifat total, menciptakan sebuah dunia sosial tempat segala aktivitas pertukaran berubah menjadi medium pengawasan. Perang melawan korupsi, dengan demikian, dilakukan dengan cara menciptakan kondisi psikologis warga negara yang selalu merasa diawasi setiap aktivitas (ekonominya) oleh pemerintah yang omnipresent (hadir di mana-mana) sekaligus omniscient (tahu segala). Warga negara bukan lagi individu-individu bebas, bukan pula sebuah kumpulan dengan satu identitas kolektif, melainkan, dalam bahasa Foucault, “sebuah multiplisitas yang bisa dihitung dan diarahkan”.
SIN adalah sebuah praktek kekuasaan yang mungkin banyak gunanya bagi upaya pemberantasan korupsi atau untuk alasan keamanan negara. Tapi perlu diingat bahwa ia juga memiliki potensi yang mencemaskan bagi kehidupan bebas warga negara. Dengan data yang bisa diperolehnya, negara akan melakukan seklusi terhadap warga negara ke dalam sebuah lokasi yang secara total bisa dikontrol. Ambisi SIN, dengan demikian, adalah menempatkan warga negara pada posisi permanent visibility sehingga kelak bukan hanya jumlah kekayaan atau data ekonomi lainnya saja yang bisa diketahui, tapi bahkan sampai ke hal-hal paling privasi dalam hidup warga.
Menyusul tragedi 11 September 2001 di New York, atas nama perang melawan terorisme George W. Bush pernah memerintahkan untuk secara ketat mengawasi penggunaan internet oleh warganya. Federal Bureau of Investigation (FBI), misalnya, menggunakan spyware yang diberi nama Carnivore, yang bisa dipakai untuk menyaring, mendiagnosa, dan bahkan melakukan sensor atas lalu-lintas informasi yang bertebaran di internet. Wartawan Associated Press, John Leicester, melukiskan ironi tersebut dalam kalimatnya yang menarik bahwa "demokrasi Barat telah menjadi predator bagi kebebasan digital”.
Atas nama perang melawan korupsi demokrasi di sini juga bisa berubah menjadi predator bagi kebebasan warganya. Negara akan benar-benar menjadi terjemahan konkret paling mutakhir dari proposal Bentham tentang struktur penjara Panopticon. Atau sebenarnya memang sudah terjadi?