Anak dan Internet

Sosiologi, Teknologi



“Blog

Anak dan internet adalah perpaduan yang paling mengagumkan. Keduanya memiliki satu persamaan: peradaban yang baru. Anak-anak dalam sekejap akan menjadi dewasa. Internet sebentar lagi akan bermutasi menjadi bentuk-bentuk yang lebih rumit tapi juga makin lengkap. Seperti anak Anda yang sebentar lagi besar, internet besok lusa pasti tidak hanya akan berhenti dalam persaingan Netscape versus Microsoft. Bedanya, anak tumbuh ke arah sebuah format fisik yang relatif bisa ditebak, sedangkan internet justru belum lagi terduga masa depannya.

Kombinasi antara keduanya juga dihidupi oleh dua hal kontradiktif yang serupa: harapan dan kecemasan orang yang merasa dirinya lebih tua. Kepada seorang anak kita menjatuhkan berton-ton harapan agar ia kelak tumbuh menjadi manusia berbudi, sambil pada saat yang sama kita merasa cemas kalau harapan itu akan berbalik menjadi mimpi-mimpi buruk. Internet kita pilih sebagai medium yang memberi harapan bagi masa depan, sambil pada saat yang sama kita tetap mencemaskan karakter-karakter buruknya yang kita bayangkan sendiri. Anak-anak kita besarkan selalu dengan hati yang rawan: antara buncahan harapan baik di satu sisi, dan rasa was-was akan hari depannya di pihak lain.



Harapan dan kecemasan sering datang sebagai sikap yang menjengkelkan. Namun dengan itulah sejarah kita terus berdenyut. Manusia, kata John Kenneth Galbraith, adalah makhluk pesimis sekaligus utopis.

Dalam konteks masyarakat sekarang, orang yang beruntung di Indonesia adalah mereka yang lahir mulai dekade 1980an. Secara kultural mereka dilahirkan dalam peta budaya yang lebih luas dan ramai. Anak Sunda tak lagi harus hanya tahu wayang golek dan jaipongan, misalnya, melainkan juga harus bisa hidup dengan suara Madonna, dan toleransi ala dunia cyberspace—bahwa dunia bukan hanya sepetak tanah sempit dengan satu suara dan kemungkinan, melainkan berisi jutaan suara dan peluang.

Secara politis, generasi 80an ke atas di Indonesia adalah mereka yang telah sama sekali lepas dari pelbagai stigma dan trauma politik lama. Mereka adalah orang-orang yang lebih sanggup berhati lapang menerima penataran, tak beda dengan nasihat-nasihat dalam keping CD-ROM, sebagai bagian dari dunia entertainment: membosankan tapi kadang-kadang juga menghibur. Bahwa politik bukan lain adalah sebuah bentuk pertunjukan komedi yang lain, yang bukan hanya bisa mengundang tawa yang getir tetapi juga kematian yang keji. Politik bagi mereka adalah sebagian wajah dunia yang paling pucat tapi super berisik. Tidak menarik. Dan mereka punya satu jalan keluar dari sana: dunia virtual—tempat hidup bisa menjadi abadi karena tubuh biologis telah digantikan oleh serangkaian kode simulasi komputer.

Secara sosiologis, kelompok ini tidak terbidik oleh panah permusuhan purba antarideologi dan kepercayaan, yang menjengkelkan dan tidak produktif itu. Hidup di zaman internet adalah juga desakan ke arah sebuah sikap yang lebih menaruh hormat pada perbedaan. Sumber legitimasi tindakan mereka tidak lagi berasal dari keyakinan yang beku melainkan dari citra audio-visual yang begitu cair. Karena itu, benturan ideologis hanya akan dianggap sebagai pemborosan energi. Seorang sahabat di Yogyakarta dengan berseloroh berkata, “mereka yang masih suka tawuran pasti belum pernah menghidupi pengalaman di dunia cyberspace”.

Secara sosial milieu mereka adalah sebuah kondisi yang jauh lebih siap untuk menerima perubahan ketimbang kondisi yang membesarkan generasi-generasi sebelumnya. Sejak kecil mereka telah belajar untuk melihat kenyataan bukan sebagai sesuatu yang ajeg, tak bergerak. Dalam siaran TV mereka biasa melihat Janet Jackson berada di beberapa tempat di dunia sekaligus hanya dalam sepenggal bait lagu, tanpa harus pusing mencocokkannya dengan kenyataan. Itu artinya bahwa acuan realitas mereka jauh berbeda dengan apa yang sekarang masih kita pakai. Barangkali generasi inilah yang, dalam banyak hal tertentu, menyerupai apa yang di Barat disebut Generasi-X. Ini adalah sebuah generasi yang lebih memilih film dan opera sabun ketimbang ajaran moral, membaca Hegel dan Foucault sambil melahap citra Nadya Hutagalung. Singkatnya, mereka hidup dalam zaman ketika moral banyak diragukan, ideologi dicemooh, dan konsep negara-bangsa dipertanyakan terus-menerus.

Orang-orang tua boleh saja geram dengan mulai makin luruhnya tapal-tapal batas lama yang dengan susah payah dibangunnya. Tapi mendirikan sebuah batas adalah juga menegakkan sebuah prasangka kepada yang lain yang ada di luar batas itu. Dengan kata lain, orang-orang tua bersalah karena mereka telah menghidupkan sebuah dunia yang penuh syakwasangka. Karena itu kita senantiasa tak bisa lepas dari teror sensor. Beberapa millinea berakhir dengan keperihan dan rasa curiga yang tak habis-habis.

Anak-anak yang dibesarkan dengan TV sebagai sumber cerita, dan internet sebagai medium pergaulan yang begitu luas, pasti akan meragukan setiap klaim yang melulu berorientasi pada tanah. Sebab tanah (dan) air akhirnya memang hanya menjadi begitu penting bagai para pengembang bangunan fisik. Dari sana pelbagai cerita busuk kejahatan orang tua berkembang, dan kemiskinan menjadi terlampau menyakitkan. Anak dan internet menampik itu semua. Sebagian mungkin karena warisan moral yang sempat kita ajarkan. Sebagian lagi karena mereka memang tak lagi memandang tanah sebagai sesuatu yang lebih penting dari komunikasi antarmanusia—dari satu petak kamar ke petak kamar lainnya di seberang benua.

Maka dari mana datangnya wewenang pada kita untuk menentukan nasib masa depan anak-anak kita? Dari mana datangnya keharusan untuk mencemaskan perpaduan antara anak dan internet?


Majalah InfoKomputer Internet. Vol II No.1, edisi Januari 1998.