Tauladan SBY

Tentang Tokoh | Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.

“Blog

Kita tahu, orang sama sekali tidak butuh keberanian untuk menentang kekuasaan saat ini. Apa yang ditakutkan dari sebuah kuasa yang tangannya satu persatu telah dibuntungi: melalui undang-undang atau tap MPR. Artinya, relasi antara keberanian dan perlawanan dalam konteks kekuasaan kini sudah lenyap. Karena itu, pada diri para penentang yang bawel itu, kita juga tidak pernah bisa menemukan satu hal pun yang punya harga. Semuanya seragam, membebek, sampah politik.

Maka tauladan yang ditinggalkan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) adalah sebuah keberanian untuk tidak banyak bicara setelah kedudukan bagus direnggutkan darinya. Ketika kebanyakan orang tidak lagi membedakan kritik dari penghinaan personal, SBY justru selalu tampil dengan bahasa yang sangat terjaga dari residu emosional. Ia secara cermat bisa memilah retorika dari erotika politik. Komunikasi politiknya bersih, rasional. Singkatnya, SBY adalah satu dari tidak banyak orang yang berhasil menghidupkan retorika sebagai bagian tercantik dari seni berpolitik.

Saya tidak tahu di mana SBY melatih dirinya sampai ia memiliki ketangguhan etik seperti itu. Kita hanya mengenalnya sebagai bekas tentara: profesi yang terlanjur dianggap gampang tergoda untuk melawan dengan kekuatan. Tapi bagaimana ia bisa tidak berbalik menghantam, dan tidak lantas melacurkan diri dengan begitu saja berkongsi dengan lawan politik Wahid? Orang tercekat. Dengan itu ia seperti sedang hendak menyampaikan sebuah konsep subtil yang kini terdengar muskil: ikhlas.

Ucapannya bahwa ia akan loyal pada putusan presiden, memperlihatkan bagaimana sebuah kuasa tidak lagi sanggup menerbitkan ketakziman mutlak. SBY memberi kita contoh bagaimana bersikap bersahaja di depan kekuasaan. Ia mungkin akan dianggap lamban oleh pendukung Wahid, tapi ia telah mengajari kita bahwa demokrasi memang butuh ketangguhan yang tabah, tidak gampang soak.

Jakarta, 10 Juni 2001