Jihad

Artikel Mini-Kata Koran Cepat Detik.


“Blog

Apakah terorisme tidak beragama? Ketika bom bunuh diri diledakkan dengan sepenuh-penuhnya semangat dan keyakinan pelakunya bahwa ia sedang berjihad, seperti yang telah diajarkan kepadanya oleh pimpinan atau mungkin gurunya, mengapa setelah itu hampir semua pihak menolak tindakan tersebut dikaitakan dengan agama mana pun?

Setiap hari di banyak tempat, dan melalui bermacam-macam kanal komunikasi, orang-orang berbusa-busa berceramah mengobarkan semangat berkorban demi membela agama, berjihad di jalan Tuhan, tapi ketika sebuah rumah ibadah diledakkan, keterkaitannya dengan (ajaran) agama seperti ikut musnah? Mengapa para pelaku teror mendadak diperlakukan sebagai orang yang tidak beragama? Jangankan dianggap berjasa membela ajaran suci, diakui seagama saja pun tidak.

Kalau politik dan agama begitu dekat dengan hidup kita, di mana sebetulnya batas kapan urusan agama berakhir dan politik dimulai? Pada masanya, agama adalah sumber legitimasi ultim banyak tahta di dunia. Dan sejarah mencatat itu sebagai zaman kegelapan. Para filsuf Pencerahan kemudian menjadikan agama objek kritik rasional, dan merekomendasikan pemisahan yang tegas urusan dunia dari campur tangan ilahiah. Sekularisasi, dengan demikian, adalah proses decoupling antara kerajaan tuhan di syurga dan kekhalifahan manusia di bumi. Sejak itu kekuasaan politik kehilangan daya mitis, mengalami desakralisasi menjadi sekular dan relatif mudah dinalar.

Tapi sekularisasi adalah proses yang tidak pernah tuntas. Beberapa negara yang diklaim sekular sekarang juga mulai, dalam kadar tertentu, ikut masuk mengatur kehidupan keagamaan warganya. Dalam negara dengan politik yang tidak sanggup mensejahterakan rakyatnya, agama akan tetap jadi realitas paling dekat dengan hidup rakyat, sebuah seruan yang mudah membangkitkan gelora besar, mengundang semangat berjihad. Jihad yang sudah dikemas ulang jadi lebih kompak, portable, bisa dibawa ke mana pun seperti senapan genggam, sekaligus sangat sempit: ajakan berperang memusnahkan semua orang yang memiliki keyakinan berbeda, yang otomatis dianggap musuh, dan najis yang harus dibersihkan sampai habis. Sekularisasi direduksi menjadi sekularisme, dan dipertentangkan dengan agama bahkan Tuhan.

Faktanya, sampai hari ini agama tetap jadi sumber kosa kata politik yang terus dimobilisasi melalui wacana atau partai politik. Artinya orang memakai agama justru untuk meraih kekuasaan sekular. Kalau mau jujur, itu adalah satu praktik “tujuan menghalalkan cara.”

Karena itu kata “jihad” yang kembali banyak diserukan belakangan ini, misalnya, tidak harus dipahami sebagai seruan religius yang salah tempat, melainkan sebagai cermin betapa proses-proses politik sejauh ini telah memiskinkan kosa kata politik rakyat. Selama masih banyak tokoh politik menampik sekularisasi kekuasaan, menciptakan mitos integrasi antara syariat dan tata-negara, akan cukup banyak rakyat yang tetap melihat doktrin-doktrin agama sebagai pedoman terbaik satu-satunya tuntuk menafsirkan dan menghakimi perkara sekular. Dalam politik juga dalam segala sektor hidup yang lain. Kembali ke zaman gelap. Kalau sudah begitu, nyawa manusia akan hanya tinggal sebagai deret angka statistik yang halal dipenggal.

Teror dan terorisme mungkin memang tidak beragama. Tapi pelaku terorisme rata-rata adalah orang yang merasa dirinya paling taat beragama, dan paling habis-habisan membela agama tuhan. Mereka adalah murid-murid terbaik, yang khusuk mendalami apa yang telah diajarkan kepada mereka oleh para penganjur pengorbanan nyawa untuk agama. Mereka ini adalah orang-orang yang juga sama-sama merasa paling sempurna dalam beragama, bahkan seperti berkawan baik dengan penjaga pintu surga.

Jakarta, 14 April 2001

Versi awal artikel pendek ini pernah dimuat di salah satu edisi Koran Cepat Detik. Dimuat kembali di sini dengan beberapa perbaikan dan sedikit tambahan di sana-sini.



BACA JUGA

Sosiologi | Budaya

iPod, therefore I am